Provisi Sumber Daya Hutan dan Dana Reboisasi

dimaksudkan agar industri kehutanan HPH dan Industri Pengolahan Kayu dapat melakukan penyesuaian kapasitasnya, sehingga apabila terjadi pengurangan pasokan bahan baku akibat berkurangnya tebangan, tidak mengakibatkan “shock landing ” pada industri tersebut yang implikasinya sangat berbahaya terutama pada aspek finansial perusahaan dan aspek sosial. Disamping itu, industri perkayuan akan menuju kebangkrutan jika dihadapkan pada pengurangan pasokan bahan baku secara drastis. Adapun penerapan kebijakan “Soft Landing”, dilakukan dengan menerapkan pengurangan jatah produksi tahunan sebesar 30 dari tahun sebelumnya pada tahun 2003, dan dilanjutkan masing- masing sebesar 10 pada tahun 2004 dan 2005. Pada periode 2005-2009, Departemen Kehutanan telah menetapkan 5 lima kebijakan prioritas, yaitu Departemen Kehutanan, 2005: 1. Pemberantasan pencurian kayu illegal logging dan perdagangan kayu illegal 2. Revitalisasi sektor kehutanan, khususnya industri kehutanan 3. Rehabilitasi dan konservasi sumber daya hutan 4. Pemberdayaan ekonomi masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan 5. Pemantapan kawasan hutan.

2.3. Provisi Sumber Daya Hutan dan Dana Reboisasi

Provisi Sumber Daya Hutan PSDH atau dulu sangat dikenal sebagai Iuran Hasil Hutan IHH adalah pungutan yang dikenakan sebagai pengganti nilai intrinsik dari hasil hutan yang dipungut dari hutan negara. Sedangkan Dana Reboisasi DR adalah dana yang dipungut dari Pemegang Hak Pengusahaan Hutan, Pemegang Hak Pemungutan Hasil Hutan dan Pemegang Ijin Pemanfaatan Kayu, atas hasil hutan yang dipungut dari hutan alam. Besarnya pungutan bervariasi tergantung pada jenis kayunya dan ditetapkan dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan. Pada awal ditetapkan 1968-1971 besarnya PSDH ditetapkan berdasarkan US dollar per M 3 yaitu antara US 0.5 - US 3 per M 3 , kemudian pada 1971-1976 dengan rupiah yaitu Rp 250 - Rp 800 per M 3 , kemudian pada tahun 1976-1979 sebesar Rp 900 - Rp 5 000 per M 3 . Kemudian mulai bulan Juni 1979 sampai sekarang besarnya PSDH ditetapkan berdasarkan persentase dari harga patokan kayu bulat dalam negeri yaitu sebesar 6 persen dari harga patokan kayu bulat di dalam negeri. Perkembangannya DR dapat dilihat sebagai berikut; dari tahun 1968 sampai dengan tahun 1979 Dana Reboisasi yang dipungut merupakan Dana Jaminan Reboisasi DJR yang dapat diminta kembali seluruhnya oleh para pemegang HPH bila HPH bersangkutan telah melaksanakan reboisasi dan rehabilitasi areal HPHnya. Sedangkan sejak tahun 1980 pelaksanaan reboisasi diambil alih oleh Pemerintah dan DJR diganti dengan DR yang besarnya tergantung pada jenis kayunya. Pada awalnya juga ditetapkan untuk tiap M 3 kayu yang dipanen. Sebagai contoh untuk kelompok Meranti 1980-1988 ditetapkan sebesar US 4 per M 3 , pada tahun 1996-1999 sebesar US 15 per M 3 , dan mulai 1999 sampai sekarang sebesar 6 persen dari harga patokan kayu bulat di dalam negeri Departemen Kehutanan dan Perkebunan RI, 1999. Pungutan PSDH dan DR jelas akan mempengaruhi biaya produksi dari kayu bulat. Apalagi dengan adanya ketentuan baru dari Pemerintah bahwa iuran PSDH dan DR dibayarkan dimuka setelah kayu bulat ditebang, sedangkan sebelumnya adalah setelah kayu dimanfaatkan di industri pengolahan kayu. 2.4. Beberapa Penelitian Terdahulu yang Te rkait dengan Pe rdagangan dan Produk Industri Kayu Prime r Penelitian yang berkaitan dengan perdagangan sudah banyak dilakukan oleh para peneliti yang umumnya menggunakan model- model ekonometrika. Ratnawati 1996 meneliti dampak kebijakan tarif impor dan pajak ekspor terhadap kinerja perekonomian, sektor pertanian dan distribusi pendapatan di Indonesia menggunakan Model Keseimbangan Umum. Dalam penelitian tersebut disimulasi berbagai alternatif kebijakan yaitu penurunan tarif impor, pajak ekspor dan kombinasi keduanya. Secara umum didapatkan bahwa penurunan tarif impor dan pajak ekspor akan meningkatkan kinerja perekonomian Indonesia, yang dicerminkan oleh peningkatan riil produk domestik bruto serta menguatnya nilai tukar rupiah terhadap dollar. Studi tentang perdagangan produk industri perkayuan telah dilakukan oleh beberapa peneliti, diantaranya Sinaga 1989, dalam penelitiannya telah membangun Model Ekonometrika Industri Produk Kayu Keras hardwood Indonesia yang meliputi kayu bulat, kayu gergajian dan kayu lapis, yang menggambarkan hubungan antara penawaran, permintaan dan harga serta intervensi kebijakan pemerintah terhadap pasar. Menggunakan simulasi model, dievaluasi pengaruh berbagai alternatif intervensi kebijakan terhadap harga, produksi, konsumsi dan ekspor produk industri kayu Indonesia, serta dampak ekonomi yang ditimbulkannya. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa tujuan larangan ekspor kayu bulat yang tadinya untuk mendorong pengembangan industri perkayuan di dalam negeri dan meningkatkan kinerja ekspor produk kayu Indonesia tidak sepenuhnya tercapai dengan baik. Dampak ekonomi yang ditimbulkan menunjukkan adanya penurunan kesejahteraan bersih masyarakat Indonesia. Hal ini karena industri dalam negeri terutama yang berorientasi ekspor ternyata tidak mampu menyerap pasar kayu bulat yang melimpah di dalam negeri. Konsumen produk kayu dalam negeri dan produsen kayu gergajian akan mendapat keuntungan tetapi produsen plywood dan produsen kayu bulat akan mendapat kerugian. Manurung 1995, meneliti dampak larangan ekspor kayu bulat Indonesia periode tahun 1969-1989. Untuk menganalisis dampak tersebut telah dibangun model simulasi non-spatial equilibrium. Model yang dibangun meliputi persamaan-persamaan penawaran ekspor negara-negara pesaing Indonesia dan permintaan impor negara- negara pembeli, serta permintaan dan penawaran domestik untuk kayu bulat, kayu gergajian dan kayu lapis. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, adanya kebijakan melarang ekspor kayu bulat akan menyebabkan pesatnya pertumbuhan industri kayu lapis dan kayu gergajian Indonesia. Akan tetapi peningkatan devisa yang diperoleh dari ekspor kayu lapis dan kayu gergajian tersebut masih lebih kecil dibandingkan dengan jika tidak ada larangan ekspor kayu bulat. Apabila larangan ekspor kayu bulat dihapus, maka rata-rata total penerimaan ekspor dari tahun 1981 sampai dengan tahun 1989 akan meningkat sebesar 14 . Disamping itu, lapangan kerja yang diciptakan dari meningkatnya industri kayu gergajian dan kayu lapis tersebut, masih lebih kecil jika dibandingkan berkurangnya lapangan kerja akibat adanya larangan ekspor kayu bulat. Nilai tambah yang diperoleh dari berkembangnya industri kayu gergajian dan kayu lapis lebih tinggi dengan adanya larangan ekspor kayu bulat, namun hal ini disebabkan karena harga domestik kayu bulat yang rendah. Harga tegakan stumpage price dan tambahan penerimaan pemerintah lebih kecil dengan adanya larangan ekspor kayu bulat, disamping itu produksi kayu bulat rata-rata per tahun turun sebesar 20 dan penggunaan bahan baku kayu bulat yang tidak efisien. Timotius 2000 dalam studinya tentang Perkembangan Industri Kayu Lapis Indonesia Tahun 1975-2010 menggunakan analisis Ekonometrika dan simulasi kebijakan, menyatakan bahwa prospek industri kayu lapis Indonesia sangat tergantung sekali pada ketersediaan log atau kelestarian hutan. Terjadinya krisis ekonomi di Indonesia yang berakibat pada melemahnya nilai tukar rupiah dan dihapuskannya larangan ekspor kayu log serta diberlakukannya ecolabelling, berdampak pada kenaikan biaya produksi industri kayu lapis yang mendorong peningkatan produktivitas. Secara bersamaan terjadi peningkatan ekspor kayu log, karena harga log dunia yang lebih tinggi dibandingkan dengan harga log domestik.

2.5. Kinerja Ekspor Produk Kayu Olahan