Tinjauan Umum Kebijakan Perdagangan Kebijakan Kehutanan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan Umum Kebijakan Perdagangan

Kebijakan dapat dirumuskan sebagai suatu peraturan yang telah dirumuskan dan disetujui untuk dilaksanakan guna mempengaruhi suatu keadaan misalnya mempengaruhi pertumbuhan, baik besaran maupun arah yang meliputi kehidupan masyarakat umum. Dengan demikan kebijakan adalah suatu campur tangan yang dilakukan pemerintah untuk mempengaruhi suatu pertumbuhan secara sektoral magnitude dan arahnya dari suatu aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat Sanim dalam Sumartoto, 2004. Dalam kurun waktu satu dasa warsa ini kebijakan perdagangan Indonesia pada dasarnya sudah cukup maju dan sudah mengarah pada mekanisme perdagangan bebas yaitu sudah banyak hambatan-hambatan perdagangan yang telah dihapus, kecuali untuk produk-produk yang memang memerlukan proteksi. Bank Dunia menilai bahwa Indonesia akhir-akhir ini telah mengubah kebijakan perdagangannya secara nyata, diantaranya adalah : 1 penghapusan monopoli impor oleh Bulog atas beras, gandum, terigu, gula, kedelai dan bawang putih, 2 pengurangan tarif untuk seluruh pangan sampai maksimum 5 persen dan penghapusan peraturan kandungan lokal, serta 3 penghapusan hambatan pemasaran plywood. Kebijakan perdagangan untuk produk-produk kayu olahan yang masih menjadi kebijakan pemerintah sampai dengan saat ini adalah larangan ekspor log yang diberlakukan secara bertahap sejak tahun 1980 dan berlaku secara total tahun1985. Sedangkan untuk kayu gergajian adalah larangan ekspor untuk kayu gergajian dengan ukuran tertentu seperti bantalan rel kereta api dan kayu gergajian dengan 4 sisi permukaan yang tidak diserut.

2.2 Kebijakan Kehutanan

Kebijakan kehutanan yang terkait erat dengan kebijakan perdagangan dan mempunyai dampak yang nyata pada pembangunan nasional dimulai pada periode tahun 1970-an. Pada periode ini kebijakan pembangunan kehutanan masih mengacu pada kebijakan umum pembangunan nasional yang menitik beratkan pada pertumbuhan ekonomi. Sehingga orientasi pengumpulan devisa melalui ekspor kayu bulat dimulai pada periode ini. Disamping itu, kebijakan ke arah industrialisasi kehutanan secara bertahap direalisasikan. Beberapa peraturan yang merupakan tindak lanjut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 antara lain adalah Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1970 tentang Hak Pengusahaan Hutan HPH dan Hak Pemungutan Hasil Hutan HPHH, serta Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1975 yang merevisi ketentuan pemohon HPH yang tidak harus perusahaan asing. Semua peraturan ini mendorong berkembangnya industri perkayuan nasional. Pada era tahun 1980-an, upaya pemerataan dalam pembangunan kehutanan dapat dilihat dengan ditunjuknya kawasan hutan berdasarkan fungsinya di seluruh Indonesia yang dijabarkan dalam peta Tata Guna Hutan Kesepakatan TGHK. Peta TGHK ini pada dasarnya merupakan pengelompokan hutan berdasarkan fungsinya, yaitu hutan lindung, hutan suaka alam dan margasatwa, hutan produksi, dan hutan produksi konversi untuk pembangunan non-kehutanan. Disamping itu, ada kebijakan yang cukup fenomenal pada era tahun 1980-an yaitu kebijakan untuk mengurangi ekspor kayu bulat melalui Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri tanggal 8 Mei 1980. Kebijakan ini menyebabkan terjadinya penurunan ekspor secara bertahap dari tahun ke tahun hingga tahun terakhir PELITA III hanya dibatasi sebesar 1.5 juta m 3 , bahkan pada tahun 1985 ekspor kayu bulat tidak diperkenankan lagi. Sebaliknya, ekspor hasil hutan olahan ditingkatkan dengan mendorong tumbuhnya industri penggergajian dan kayu lapis. Disamping itu, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian dan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1990 tentang Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri menjadi dasar untuk pengembangan industri pengolahan hasil hutan dengan segala aspeknya. Kebijakan larangan ekspor kayu bulat, terkait dengan pengembangan industri pengolahan kayu di dalam negeri yang berintikan industri kayu lapis, bertujuan untuk 1 meningkatkan perolehan devisa dari ekspor kayu olahan, 2 memperluas kesempatan kerja di bidang industri hasil hutan, 3 meningkatkan nilai tambah, dan 4 memacu perkembangan ekonomi regional. Lebih lanjut, untuk lebih mendorong ekspor kayu lapis, Pemerintah juga mengenakan pajak ekspor yang tinggi terhadap kayu gergajian yang berlaku mulai November 1989, yaitu sebesar US 250-1000 per m 3 Simangunsong, 2004. Kebijakan tersebut menyebabkan produksi dan ekspor kayu lapis kembali meningkat sangat tajam. Tetapi hal sebaliknya terjadi pada ekspor kayu gergajian yang menurun sangat drastis. Pada sisi lain, produksi kayu bulat dan kayu gergajian pada tahun 1990 meningkat karena adanya peningkatan konsumsi kayu bulat oleh industri kayu lapis dan peningkatan konsumsi kayu gergajian domestik yang diindikasikan oleh peningkatan ekspor furniture yang terbuat dari kayu. Kebijakan larangan ekspor kayu bulat ternyata berhasil mengembangkan industri kayu lapis dan kayu gergajian di Indonesia serta merubah Indonesia dari eksportir kayu bulat terbesar di dunia menjadi eksportir utama kayu olahan. Namun demikian, Pemerintah mencabut kebijakan tersebut pada tanggal 27 Mei 1992 dan menggantinya dengan menerapkan pajak ekspor yang tinggi, yaitu sebesar US 500 – 4800 per m 3 kayu bulat yang berlaku mulai Juni 1992. Hal ini untuk menghindari klaim internasional yang menganggap kebijakan larangan ekspor kayu bulat sebagai non-tariff barier Simangunsong, 2004. Pembangunan kehutanan pada era 1990-an juga diarahkan untuk pemerataan melalui peningkatan kesempatan kerja, produktivitas tenaga kerja dan pengentasan penduduk dari kemiskinan. Menjelang akhir 1990-an telah terjadi reformasi politik, sosial, ekonomi dan hukum yang diakibatkan oleh berbagai kesenjangan yang semakin tajam. Kondisi ini diperparah dengan terjadinya krisis ekonomi pada tahun 1997, sehingga menyebabkan pertumbuhan ekonomi menjadi negatif yang berdampak kuat pada penurunan kualitas hidup rakyat, terhentinya roda perekonomian, pembengkakan angka pengangguran, serta berbagai pengaruh lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa wujud perekonomian nasional mempunyai daya tahan yang sangat lemah terhadap gejolak perubahan yang terjadi secara global. Berdasarkan penelitian Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Departemen Kehutanan bekerjasama dengan Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor 1997, pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya hutan selama periode Orde Baru sejak periode awal 1970 sampai periode akhir 1990-an menunjukkan kinerja yang mengarah pada terjadinya kerusakan sumber daya hutan yang terlalu cepat. Kondisi ini terjadi disebabkan antara lain oleh kegagalan kebijakan policy failure, khususnya yang menyangkut kelembagaan kehutanan dan perbedaan perlakuan penilaian valuation terhadap sumber-sumber daya yang terdapat dalam sistem ekonomi pasar. Eksploitasi hutan secara besar-besaran pada periode tersebut sebagai akibat dari target pembangunan ekonomi yang dilakukan tanpa mempertimbangkan kemampuan daya regenerasi hutan. Sistem pemberian Hak Pengusahaan Hutan HPH kepada kelompok usaha tertentu dilakukan dengan tidak cermat. Hal ini berakibat pada hilangnya hak-hak masyarakat setempat atas hak pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya hutan di sekitar tempat tinggalnya yang pada gilirannya mengakibatkan terjadinya proses pemiskinan masyarakat di sekitar kawasan hutan, serta terjadinya degradasi hutan dengan cepat. Oleh karena itu, permasalahan degradasi hutan dicirikan oleh perbedaan hak entitlement yang sangat mencolok pada berbagai lapisan masyarakat, yaitu golongan masyarakat yang kuat seperti pemegang hak konsesi hutan HPH, khususnya pengusaha besar yang memperoleh limpahan sumber daya dan hak-hak property right karena akses yang kuat terhadap kekuasaan, dan kelompok masyarakat miskin yang tidak mempunyai hak dan menerima dampak negatif dari kerusakan sumber daya hutan. Disamping itu, dicirikan oleh kegagalan kebijakan pemerintah dalam menangani permasalahan kehutanan. Pada era tahun 1990-an dan 2000-an, sebenarnya ditandai dengan munculnya isu global di bidang hak asasi manusia, ekonomi, dan lingkungan. Tuntutan masyarakat internasional yang menghendaki kegiatan pembangunan kehutanan yang ramah lingkungan telah mendorong Pemerintah untuk menerapkan kebijakan secara hati- hati, dengan melaksanakan norma- norma internasional yang disepakati secara global dalam kebijakan operasional. Kepedulian masyarakat global diwujudkan dalam Konferensi Tingkat Tinggi KTT Bumi Earth Summit di Rio de Janeiro pada tahun 1992, yang menghasilkan kesepakatan-kesepakatan penting dan dituangkan dalam Prinsip- prinsip Kehutanan Forest Principles, Konvensi Keanekaragaman Hayati Convention on Biodiversity, dan Agenda 21. Proses-proses ini terus bergulir secara dinamis di tingkat global melalui berbagai pertemuan seperti KTT Millenium Tahun 2000 yang menghasilkan Millenium Development Goals MDGs dan KTT Pembangunan Berkelanjutan di Johanesburg pada tahun 2001. Bahkan khusus untuk bidang Kehutanan telah disusun suatu kesepakatan internasional bidang kehutanan yang disebut dengan International Arrangement on Forests IAF. Komitmen-komitmen global tersebut, mendorong terjadinya upaya reformasi bidang kehutanan di tingkat nasional yang dicerminkan pada penyusunan kebijakan kehutanan nasional. Kondisi sektor kehutanan setelah krisis ekonomi mendorong Pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan kehutanan menurunkan pajak ekspor kayu bulat menjadi maksimum 10 sebelum akhir Desember 2000 dan 0 pada tahun 2003. Setelah pajak ekspor kayu bulat diturunkan, ekspor kayu bulat berlangsung kembali namun volumenya sangat kecil. Perubahan kebijakan ini ternyata sangat berpengaruh terhadap komposisi produksi dan ekspor hasil hutan Indonesia, dimana selain kayu bulat, kayu lapis dan kayu gergajian ternyata bubur kertas pulp dan kertas paper telah menjadi produk hasil hutan utama Indonesia setelah 1998 Simangunsong, 2004. Selanjutnya perubahan kebijakan kehutanan pada era tahun 2000-an diawali dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan dirangsang juga oleh adanya desentralisasi pemerintahan sejalan dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 22 dan 25 tahun 1999. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 memberikan perhatian khusus pada aspek perencanaan kehutanan secara partisipatif, pemberdayaan ekonomi masyarakat, penyerahan sebagian kewenangan kepada pemerintah daerah dalam penyelenggaraan kehutanan, peran serta masyarakat, dan pengawasan masyarakat dalam kegiatan pengelolaan hutan Departemen Kehutanan, 1987 Kebijakan kehutanan yang cukup kontroversial sampai saat ini adalah kebijakan “soft-landing” atau pengurangan produksi kayu dari hutan alam secara nasional mulai tahun 2003, yang berakibat menurunnya produksi kayu secara drastis pada beberapa provinsi. Sistem pengelolaan hutan selama ini didasarkan pada asumsi yang diterapkan untuk pengelolaan hutan primer, termasuk perhitungan untuk menentukan jatah produksi tahunan atau Annual Allowable Cut AAC. Setelah dilakukan eksploitasi hutan selama lebih dari tiga dasawarsa, saat ini pengelolaan hutan di Indonesia telah memasuki siklus kedua yang berupa hutan bekas tebangan. Disamping itu, terjadinya konversi, kebakaran, perambahan hutan, penebangan kayu secara liar dan tebangan melebihi jatah tebang over- cutting menunjukkan bahwa AAC yang ada tidak mendukung kelestarian hasil. Padahal, AAC yang lestari merupakan syarat utama untuk pengelolaan hutan lestari dan merupakan komitmen dari Pemerintah . Berdasarkan kondisi tersebut, pengurangan AAC yang terencana dan bertahap soft-landing perlu segera dilakukan. Penyesuaian AAC ini dimaksudkan agar industri kehutanan HPH dan Industri Pengolahan Kayu dapat melakukan penyesuaian kapasitasnya, sehingga apabila terjadi pengurangan pasokan bahan baku akibat berkurangnya tebangan, tidak mengakibatkan “shock landing ” pada industri tersebut yang implikasinya sangat berbahaya terutama pada aspek finansial perusahaan dan aspek sosial. Disamping itu, industri perkayuan akan menuju kebangkrutan jika dihadapkan pada pengurangan pasokan bahan baku secara drastis. Adapun penerapan kebijakan “Soft Landing”, dilakukan dengan menerapkan pengurangan jatah produksi tahunan sebesar 30 dari tahun sebelumnya pada tahun 2003, dan dilanjutkan masing- masing sebesar 10 pada tahun 2004 dan 2005. Pada periode 2005-2009, Departemen Kehutanan telah menetapkan 5 lima kebijakan prioritas, yaitu Departemen Kehutanan, 2005: 1. Pemberantasan pencurian kayu illegal logging dan perdagangan kayu illegal 2. Revitalisasi sektor kehutanan, khususnya industri kehutanan 3. Rehabilitasi dan konservasi sumber daya hutan 4. Pemberdayaan ekonomi masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan 5. Pemantapan kawasan hutan.

2.3. Provisi Sumber Daya Hutan dan Dana Reboisasi