Skenario 5: Kenaikan Upah 10 Persen

negeri karena akan cepat mendapatkan cash flow dan dengan harga yang lebih baik dibandingkan dengan harga dalam negeri. Peluang ini akan dimanfaatkan karena juga dipicu oleh belum sebandingnya nilai tambah added value bila kayu bulat tersebut diolah di dalam negeri. Hal ini karena biaya investasi untuk industri masih cukup tinggi, sedangkan harga dalam negeri untuk produk kayu primer kurang kompetitif.

7.5. Skenario 5: Kenaikan Upah 10 Persen

Kebijakan kenaikan upah tenaga kerja sebesar 10 persen merupakan kebijakan yang harus dilakukan untuk mempertahankan nilai tukar pendapatan pekerja karena adanya inflasi tahunan dengan kisaran sekitar 10 persen. Kebijakan tersebut akan berdampak pada produksi kayu bulat Indonesia, yaitu terjadi penurunan sebesar 1.61 persen. Jika dilihat dari besarnya persentase, penurunan produksi ini relatif kecil terhadap produksi kayu bulat Indonesia. Namun bila dikonversi menjadi besaran volume terlihat cukup besar yaitu sekitar 290 395.70 m 3 pertahun. Turunnya produksi kayu bulat mengakibatkan penawaran kayu bulat domestik berkurang sekitar 1.62 persen atau 287 404.20 m 3 , berkurangnya penawaran kayu bulat dalam negeri akan mengakibatkan harga kayu bulat domestik mengalami kenaikan sebesar 0.42 persen. Berkurangnya produksi kayu bulat dalam negeri sebesar 1.61 persen ternyata juga berdampak pada penurunan ekspor kayu bulat sebesar 1.25 persen atau sekitar 3 692.73 m 3 pertahun. Penurunan volume ekspor kayu bulat Indonesia ternyata berdampak pada kenaikan harga kayu bulat dunia sebesar 0.0022 persen. Meskipun kenaikan harga ini relatif kecil, tetapi dari hasil peramalan menunjukkan bahwa ekspor kayu bulat Indonesia dimasa akan datang masih dapat mempengaruhi harga pasar kayu bulat dunia. Sejalan dengan berkurangnya penawaran bahan baku dalam negeri karena produksi yang berkurang, maka jumlah kayu bulat yang masuk ke industri kayu primer dalam negeri juga berkurang. Hal ini berdampak pada penurunan ekspor produk industri kayu primer. Ekspor produk kayu gergajian rata-rata turun 0.007 persen atau sekitar 227.71 m 3 , kayu lapis rata-rata turun 0.027 persen atau sekitar 1 422.36 m 3 dan ekspor pulp rata-rata turun 0.112 persen atau kurang lebih 1 827.84 ton per tahun. Pada pasar dalam negeri, berkurangnya produksi industri kayu primer karena berkurangnya penawaran kayu bulat berakibat pada berkurangnya penawaran produk industri kayu primer dalam negeri. Kekurangan penawaran produk industri kayu primer ini menyebabkan terjadinya kenaikan harga domestik produk industri kayu primer. Harga kayu gergajian mengalami kenaikan sebesar 0.0003 persen, tetapi kenaikan harga ini tidak diikuti dengan penurunan permintaan kayu gergajian domestik. Permintaan kayu gergajian domestik tetap tidak berubah. Hal ini terjadi karena persentase kenaikan harganya relatif kecil dan kebutuhan kayu gergajian di masyarakat cukup tinggi sehingga tidak berpengaruh pada permintaan kayu gergajian dalam negeri. Demikian juga untuk kayu lapis, walaupun ada kenaikan harga domestik kayu lapis sebesar 0.0182 persen, ternyata tidak terjadi penurunan permintaan kayu lapis. Permintaan kayu lapis dalam negeri tetap stabil. Pada persamaan ini variabel kayu gergajian dan kayu lapis diasumsikan sebagai barang substitusi, sehingga bila harga kayu gergajian naik maka konsumen akan menggantinya dengan membeli kayu lapis, hal ini yang mendorong terjadinya kenaikan harga kayu lapis. Pada produk pulp, turunnya penawaran kayu bulat ke industri pulp sebesar 0.2715 persen berakibat pula pada penurunan produksi pulp dalam negeri sebesar 0.2792 persen. Tetapi penurunan produksi ini ternyata tidak mempengaruhi harga pulp dalam negeri dan permintaan pulp dalam negeri tetap stabil.

7.6. Skenario 6: Kuota Produksi Kayu Bulat Turun 50 Persen.