di dalam darah meningkatkan resistensi terhadap insulin melalui aksinya terhadap hati dan otot-otot tubuh.
21
7. Analisis Hubungan Hipertensi dengan Penyakit DM
Menurut Sandeep tahun 2009 menyatakan bahwa hipertensi merupakan komorbiditas penting dalam diabetes, hipertensi dapat menjadi
penyulit maupun sebagai faktor prediksi diabetes. Hal ini disebabkan perannya yang sangat penting dalam proses perkembangan sindrom
metabolik. Chuang dkk tahun 2004 menyebutkan bahwa hipertensi sebagai bagian dari sindrom metabolik merupakan faktor risiko penting bagi
penyakit diabetes melitus tipe 2.
16
Berdasarkan analisis penelitian diketahui diabetes melitus pada penduduk yang mengalami hipertensi sebanyak 168 orang 5,2, dan
penduduk yang tidak mengalami hipertensi sebanyak 624 orang 4,3. Dari hasil uji statistik didapatkan nilai probabilitasnya sebesar 0,026
artiny a pada α 5 ada hubungan signifikan antara hipertensi dengan
penyakit diabetes melitus. Dari hasil analisis didapatkan nilai OR sebesar 1,2 artinya penduduk yang mengalami hipertensi memiliki kecenderungan
1,2 kali untuk mengalami penyakit diabetes melitus dibanding penduduk yang tidak hipertensi. Kemudian berdasarkan analisis uji multivariat di
dapatkan bahwa hipertensi mempengaruhi kejadian diabetes melitus setelah dikontrol oleh variabel umur, pekerjaan, obesitas, konsumsi
alkohol dan konsumsi kafein dengan OR terbesar ketiga setelah variabel obesitas, dan pekerjaan. Penelitian ini sesuai dengan penelitian yang
dilakukan oleh Bener dkk pada tahun 2008 kepada populasi orang dewasa di Qatar menyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan antara
hipertensi dengan kejadian diabetes melitus.
17
Sebagai usaha untuk mengurangi kejadian hipetensi di daerah perkotaan dapat dilakukan dengan mempromosikan gaya hidup sehat
seperti menghindari stress, rokok, diet tinggi garam, konsumsi kopi yang berlebih, dan kejadian obesitas.
8. Analisis Hubungan Konsumsi Lemak dengan Penyakit DM
Konsusmsi saturated fat yang tinggi menyebabkan timbulnya resistensi insulin dan dislipidemia. Saturated fat dapat menyebabkan
resistensi insulin karena perubahan komposisi phospholipid dalam membran sel, perubahan sinyal insulin dapat menghambat sintesis
glikogen, atau mekanisme lainnya.
30
Orang yang memiliki lemak berlebihan pada batang tubuh, terutama bagian perut lebih memungkinkan
terkena diabetes yang tidak tergantung pada insulin. Ini karena lemak pada organ-organ perut tampaknya lebih mudah diolah untuk memperoleh
energi. Ketika lemak diolah untuk memperoleh energi, kadar asam lemak di dalam darah meningkatkan resistensi terhadap insulin melalui aksinya
terhadap hati dan otot-otot tubuh.
21
Berdasarakan hasil penelitian, diabetes melitus pada penduduk yang sering mengkonsumsi lemak sebesar 4,6, penuduk yang jarang
mengkonsumsi lemak sebesar 4,1 dan penduduk yang tidak pernah mengkonsumsi lemak sebesar 5,1. Dari hasil uji statistik didapatkan nilai
probabilitasnya sebesar 0,014 artinya pada α 5 ada hubungan signifikan
antara konsumsi lemak dengan penyakit diabetes melitus. Penduduk yang sering mengkonsumsi lemak memiliki kecenderungan 0,91 kali untuk
mengalami penyakit diabetes melitus dibanding penduduk yang jarang dan tidak pernah mengkonsumsi lemak. Variabel konsumsi lemak memiliki
OR yang rendah yaitu kurang dari nilai satu artinya variabel konsumsi lemak merupakan faktor pencegah dari kejadian diabetes melitus hal ini
disebabkan data pada variabel konsumsi lemak yang homogen terlihat dari persentase penduduk yang konsumsi lemak hanya 16,1 dan penduduk
yang jarang serta tidak pernah mengkonsumsi lemak 83,4, data yang homogen dapat mempengaruhi hasil analisis penelitian.
Penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Bener dkk tahun 2008 kepada populasi orang dewasa di Qatar menyatakan bahwa ada
hubungan yang signifikan antara trigliserida dan HDL dengan kejadian diabetes melitus. Sama halnya penelitian yang dilakukan Rahajeng tahun
2004 bahwa mengkonsumsi l emak ≥ 40 gr per hari mempunyai hubungan
yang signifikan dengan kejadian DM tipe 2 dan memberikan risiko kejadian DM tipe 2 sebesar 4,43 kali.
17
Menurut tipe daerah pada Riskesdas 2007 prevalensi penduduk yang mengkonsumsi makanan berlemak lebih tinggi di daerah perkotaan
14,8 dibanding daerah pedesaan 11,7. Hal ini dimungkin karena di kota besar banyak ditemukan tempat-tempat penjual makanan siap saji
fast food yang tinggi lemak dan miskin serat dan konsumen banyak yang memilih menu fast food, karena keterbatasan waktu maupun fasilitas untuk
menyiapkan makanannya sendiri. Selain itu pada kalangan tertentu mengkonsumsi fast food juga menjadi bagian dari gaya hidup.
Namun, ketika konsumsi lemak masuk kedalam model multivariat, hasil uji tersebut menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna
antara variabel konsumsi lemak dengan diabetes melitus. Hal ini dikarenakan adanya interaksi antara variabel independen dalam uji
multivariat. Dengan demikian pengaruh variabel konsumsi lemak tertutupi oleh variabel lainnya yaitu variabel umur, pekerjaan, obesitas, hipertensi,
konsumsi alkohol, dan konsumsi kafein. Sebagai usaha untuk mengurangi konsumsi lemak yang tinggi di
daerah perkotaan dapat dilakukan dengan mempromosikan gaya hidup sehat dengan menghindari konsumsi makanan siap saji fast food dan junk
food yang tinggi lemak dan miskin serat. Kemudian bekerja sama dengan
lintas sektoral dalam izin mendirikan tempat-tempat penjual makanan siap saji fast food dan junk food demi mengurangi menjamurnya tempat-
tempat penjualan fast food dan junk food dengan harapan hal tersebut
dapat menurunkan konsumsi lemak yang tinggi pada penduduk di daerah perkotaan.
9. Analisis Hubungan Merokok dengan Penyakit DM