Populasi dan Penyebaran Habitat dan Pakan

menurut Dirjen PHPA 1985 dapat dilihat dari perbedaan bentuk ekor. Umumnya buaya jantan berekor tegak, sementara buaya betina berekor rebah. Buaya muara memiliki warna kulit coklat kotor sampai hitam dengan bentuk kepala yang lonjong dan bentuk moncong yang bervariasi menurut umur dan ukuran tubuh Masyud et al. 1993. Nuitja 1979 menjelaskan bahwa bagian atas tubuh buaya muara dewasa berwarna gelap kuning kehijauan dan bagian bawah tubuh berwarna kekuningan. Nuitja 1979 menyatakan bahwa ukuran buaya muara terpanjang yang pernah ditemui adalah 20 feet 6,1 meter dengan rata-rata panjang berkisar antara 12-14 feet 3,65-4,27 meter. Sementara itu, Masyud et al. 1993 mengemukakan bahwa panjang badan jantan dewasa bisa mencapai 6-10 meter dan panjang betina dewasa dapat mencapai 4 meter. Bobot buaya muara dewasa bervariasi, tetapi umumnya diketahui bahwa untuk bobot yang melebihi 1000 kg menunjukkan pendugaan ukuran panjang mencapai 6 meter. Gambar buaya muara dapat dilihat pada Gambar 1 berikut ini. Sumber: a Britton A, 2011; b Dokumentasi pribadi. Gambar 1 Buaya muara Crocodylus porosus. Ket: a Kepala; b Seluruh tubuh.

2.1.2 Populasi dan Penyebaran

Menurut Dirjen PHPA 1985, penyebaran buaya muara Crocodylus porosus sangat luas yaitu meliputi daerah delta Sungai Gangga, Pantai Bengal di India bagian Tenggara hingga Ceylon, Birma, Malaysia, Thailand, Indocina, Filipina, Australia, Papua New Guinea, Pulau Solomon, Vanuatu, Fiji dan daerah barat daya daratan China. Di Indonesia, daerah penyebarannya meliputi hampir a b seluruh wilayah daerah-daerah sungai di Indonesia, diantaranya adalah di Pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Irian Jaya Gambar 2. Sumber: Britton A, www.crocodilian.comcnhccst_cpor_dh_map.htm Gambar 2 Daerah penyebaran buaya muara. Estimasi populasi buaya muara mencapai 200.000 sampai 300.000 individu yang terdapat di Australia, Indonesia dan Papua New Guinea tetapi langka dan habis di tempat lain pada habitatnya di seluruh dunia. Australia merupakan pusat dari sebagian besar penelitian yang ekstensif dilakukan pada spesies ini, dan beberapa model penangkaran juga program konservasi telah ada disana. Diperkirakan bahwa setidaknya terdapat 100.000 sampai 150.000 individu buaya muara di tiga negara bagian Australia yaitu Australia Barat, Queensland, dan Australia Utara dimana populasi dari buaya muara terbesar berada Britton 2011.

2.1.3 Habitat dan Pakan

Habitat adalah kawasan yang terdiri dari beberapa kawasan, baik fisik maupun biotik yang merupakan satu kesatuan dan dipergunakan sebagai tempat hidup serta berkembangbiaknya satwaliar Alikodra 2002. Sandjojo 1982 mengatakan bahwa buaya adalah jenis satwa yang sangat tergantung pada adanya air, dimana air berperan sebagai media hidup bagi buaya tersebut. Buaya pada siang hari biasa berjemur di tepi sungai terbuka. Buaya muara Crocodylus porosus memiliki toleransi yang tinggi terhadap salinitas, dapat ditemukan di perairan payau sekitar wilayah pesisir dan sungai. Buaya muara juga terdapat di sungai air tawar, rawa dan danau. Perpindahan buaya diantara beberapa habitat terjadi saat musim kering dan basah, merupakan hasil dari adanya status sosial. Remaja dibesarkan di daerah perairan tawar, tetapi menjelang dewasa buaya biasanya keluar dari daerah ini ke daerah yang lebih terpisah dan bersalinitas tinggi untuk melakukan perkawinan sebagai daerah teritori dan berkembangbiak Britton 2011. Nuitja 1979 mengemukakan bahwa habitat peneluran buaya muara umumnya ditumbuhi oleh formasi paku-pakuan Acrostichum aureum, bluntas Pluchea indica, gelam Melaleuca sp., pulai Alstonia angustiloba, terenteng Cempnosperma bancanus, geranggang Cratoxylon arborescens, meranti batu Shorea teysmaniana, merbau Intsia bijuga, dan raja bunga Adenanthera temarindifilia. Selain itu diketahui pula jenis nipah Nypa fruticans dan pidada Sonneratia sp. umumnya mudah ditemui di sekitar daerah habitat buaya muara. Buaya bermoncong panjang dan langsing seperti Gavialis gangeticus, Tomistoma sp., dan beberapa dari jenis Crocodylus adalah pemangsa ikan sejati, meskipun buaya tersebut juga memakan berbagai jenis hewan air lainnya serta mamalia dalam ukuran kecil. Sementara itu buaya bermoncong lebih berat, lebar, dan kuat seperti jenis C. porosus dan C. palustris memakan mangsa yang berukuran lebih besar. Jenis buaya tersebut juga ditemukan menyerang dan memakan manusia Ross 1989. Sandjojo 1982 mengemukakan bahwa buaya juga memakan bangkai dan terkadang mengubur mangsanya terlebih dahulu untuk dimasakkan. Fungsi dimasakkan ini diduga adalah sebagai cara untuk membuat makanan tersebut mengalami pembusukan. Ross 1989 menyebutkan bahwa pada dasarnya jenis Crocodilian di berbagai habitat akan memakan jenis mangsa apapun yang tersedia. Idealnya, dengan bertambahnya ukuran tubuh maka buaya tersebut akan memakan jenis mangsa berukuran besar. Namun buaya tersebut tidak kehilangan kemampuannya dalam menangkap mangsa berukuran kecil. Dirjen PHPA 1985 mengemukakan bahwa variasi jenis pakan buaya tergantung pada usianya. Setelah ukuran buaya mencapai panjang 2 meter lebih, maka buaya tersebut dapat mulai memangsa jenis mamalia dan bahkan bangkai dari makhluk hidup lainnya. Dari hasil analisa makanan terhadap isi perut 4 ekor buaya muara berukuran 1,5-1,67 meter di Sungai Paloh Kalimantan Barat, diketahui bahwa porsi terbesar makanan buaya tersebut adalah ikan belanak Mugil sp. disusul oleh berbagai jenis crustacean dan ikan bulan-bulan Megalop sp.. Sedangkan buaya muara di daerah Australia, menunjukkan bahwa buaya dewasa memakan jenis ikan, kepiting, reptil, burung, dan mamalia. Sedangkan buaya muda memakan jenis ikan-ikan kecil, burung, insekta, dan crustacean, Buaya termasuk karnivora sehingga memakan berbagai jenis daging diantaranya berupa serangga, udang, ikan, tikus, burung air dan ular. Jenis yang dapat diberikan kepada anak-anak buaya yaitu serangga, udang kecil, dan ikan kecil Taylor 1979. Anak buaya yang masih kecil biasanya masih perlu dibantu untuk makanannya dengan cara disuapi. Jenis pakan yang dapat diberikan adalah ikan dan daging binatang yang masih segar dan bila sudah busuk harus dibuang agar tidak terjangkit penyakit. Kantor Wilayah Departemen Kehutanan 1986. Selanjutnya Taylor 1979 menyatakan pada 289 ekor buaya muara di alam Australia Utara yang berukuran tidak lebih dari 180 cm menunjukkan bahwa porsi terbesar makanan buaya tersebut adalah kepiting mangrove dari sub famili Sesarminae dan udang dari genus Macrobrachium. Selain itu diketahui pula jenis ikan yang paling banyak dimakan adalah jenis Pseudogobius sp. yang merupakan jenis ikan perenang lambat di permukaan air. Garmett dan Murray 1986 pada buaya muara di penangkaran telah berhasil menyimpulkan bahwa buaya muara akan mendapatkan hasil pertumbuhan yang lebih baik dengan pemberian makanan jenis daging babi dan daging sapi dibandingkan dengan jenis ikan. Kebutuhan pakan buaya berbeda-beda tergantung dari berbagai faktor seperti, spesies, jenis kelamin, umur, keaktifan, dan keadaan lingkungan Masyud et al. 1993. Buaya liar di alam umumnya mencari makanan pada malam hari saat suhu lingkungan menurun Lang 1987 diacu dalam Harto 2001. Selain temperatur, salinitas perairan dan tipe habitat yang berbeda juga turut mempunyai peran dalam frekuensi pakan yang dimakan oleh buaya muara liar Taylor 1979. Garret dan Murray 1986 menjelaskan bahwa kepadatan populasi buaya muara di kandang pada sistem penangkaran yang terlalu tinggi akan menimbulkan interaksi signifikan pada tingkat stres buaya. Hal ini dapat mempengaruhi tingkat konsumsi buaya tersebut pada makanannya. Permatasari 2002 menjelaskan bahwa tingkat kelaparan buaya dipengaruhi oleh temperatur lingkungan, penyakit, maupun stres. Ross 1989 menyatakan buaya dapat bertahan hidup tanpa makanan selama beberapa bulan karena buaya dapat menyimpan dan mengkonversi energi hasil yang dimakan dalam bentuk lemak. Jika terlalu lama berpuasa, dapat mengakibatkan pertumbuhan buaya terhambat dan kondisis buaya menjadi lemah. Pakan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kehidupan organisme pada buaya. Pemberian pakan ditujukan tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan pokok, tetapi juga untuk mencapai tingkat produksi yang setinggi- tingginya. Bahkan karena biaya pakan dalam usaha penangkaran merupakan biaya tidak tetap terbesar, tingkat produksi tersebut harus diusahakan dapat dicapai dengan biaya yang semurah-murahnya Butardi diacu dalam Izzudin 1989.

2.1.4 Reproduksi