1.2 Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah untuk : 1. Menentukan perbandingan formulasi jumlah bahan pakan daging ayam dan
ikan kembung yang paling cocok untuk pertumbuhan anakan buaya muara di Taman Margasatwa Ragunan TMR.
2. Melakukan analisis kandungan gizi yang terkandung di dalam bahan pakan. 3. Mendeskripsikan teknik pemeliharaan anakan buaya muara di TMR.
1.3 Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini yaitu agar dapat menjadi referensi dan bahan masukan perencanaan dan pengelolaan buaya muara bagi instansi terkait dalam
upaya pengelolaannya. Penelitian ini juga diharapkan bisa memberi masukan terhadap usaha pembesaran anakan buaya muara dalam penangkaran yang lebih
baik lagi, sehingga populasi di alam tidak terancam oleh adanya kegiatan penangkaran buaya farming dan kelestarian buaya muara dapat terjaga.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Bio-Ekologi Buaya Muara 2.1.1 Klasifikasi dan morfologi
Menurut Goin et al. 1978 buaya muara secara sistematik diklasifikasikan sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Reptilia
Sub kelas : Archosauria
Ordo : Crocodylia
Famili : Crocodylidae
Sub famili : Crocodylinae Genus
: Crocodylus Spesies
: Crocodylus porosus Schneider, 1801 Buaya muara Crocodylus porosus memiliki nama umum antara lain
saltwater crocodile, salty crocodile, estuarine crocodile, indo-pacific crocodile, baya, buaja, buaya muara Indonesia, kone huala Papua New Guinea, gatta
kimbula, gorekeya, pita gatteya, pukpuk Aborigin dan jara kaenumkem Thailand. Secara etimologi crocodylus berasal dari bahasa Yunani krokodeilos
yang berarti “kerikil cacing” kroko=kerikil; deilos=cacing, atau laki-laki merujuk pada penampilan buaya. Porosus
berasal dari bahasa Yunani “porosis” dan “osus” yang berarti “permukaan kulit tebal, besar dan bergelombang”,
mengacu pada kulit yang berkerut dan bergelombang di bagian moncong dan permukaan atas buaya dewasa. Buaya muara memiliki sub spesies yaitu C. p.
minikanna yang merupakan hasil kawin silang dengan Crocodylus siamensis di penangkaran buaya, namun jenis ini tidak diakui secara resmi Britton 2011.
Buaya muara memiliki ekor yang panjang dan kuat yang digunakan untuk berenang, selain itu digunakan sebagai alat persenjataan diri dalam menyerang
dan bertahan Goin et al. 1978. Perbedaan jenis kelamin buaya jantan dan betina
menurut Dirjen PHPA 1985 dapat dilihat dari perbedaan bentuk ekor. Umumnya buaya jantan berekor tegak, sementara buaya betina berekor rebah.
Buaya muara memiliki warna kulit coklat kotor sampai hitam dengan bentuk kepala yang lonjong dan bentuk moncong yang bervariasi menurut umur
dan ukuran tubuh Masyud et al. 1993. Nuitja 1979 menjelaskan bahwa bagian atas tubuh buaya muara dewasa berwarna gelap kuning kehijauan dan bagian
bawah tubuh berwarna kekuningan. Nuitja 1979 menyatakan bahwa ukuran buaya muara terpanjang yang
pernah ditemui adalah 20 feet 6,1 meter dengan rata-rata panjang berkisar antara 12-14 feet 3,65-4,27 meter. Sementara itu, Masyud et al. 1993 mengemukakan
bahwa panjang badan jantan dewasa bisa mencapai 6-10 meter dan panjang betina dewasa dapat mencapai 4 meter. Bobot buaya muara dewasa bervariasi, tetapi
umumnya diketahui bahwa untuk bobot yang melebihi 1000 kg menunjukkan pendugaan ukuran panjang mencapai 6 meter. Gambar buaya muara dapat dilihat
pada Gambar 1 berikut ini.
Sumber: a Britton A, 2011; b Dokumentasi pribadi.
Gambar 1 Buaya muara Crocodylus porosus. Ket: a Kepala; b Seluruh tubuh.
2.1.2 Populasi dan Penyebaran
Menurut Dirjen PHPA 1985, penyebaran buaya muara Crocodylus porosus sangat luas yaitu meliputi daerah delta Sungai Gangga, Pantai Bengal di
India bagian Tenggara hingga Ceylon, Birma, Malaysia, Thailand, Indocina, Filipina, Australia, Papua New Guinea, Pulau Solomon, Vanuatu, Fiji dan daerah
barat daya daratan China. Di Indonesia, daerah penyebarannya meliputi hampir
a b
seluruh wilayah daerah-daerah sungai di Indonesia, diantaranya adalah di Pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Irian Jaya Gambar 2.
Sumber: Britton A, www.crocodilian.comcnhccst_cpor_dh_map.htm
Gambar 2 Daerah penyebaran buaya muara. Estimasi populasi buaya muara mencapai 200.000 sampai 300.000 individu
yang terdapat di Australia, Indonesia dan Papua New Guinea tetapi langka dan habis di tempat lain pada habitatnya di seluruh dunia. Australia merupakan pusat
dari sebagian besar penelitian yang ekstensif dilakukan pada spesies ini, dan beberapa model penangkaran juga program konservasi telah ada disana.
Diperkirakan bahwa setidaknya terdapat 100.000 sampai 150.000 individu buaya muara di tiga negara bagian Australia yaitu Australia Barat, Queensland, dan
Australia Utara dimana populasi dari buaya muara terbesar berada Britton 2011.
2.1.3 Habitat dan Pakan
Habitat adalah kawasan yang terdiri dari beberapa kawasan, baik fisik maupun biotik yang merupakan satu kesatuan dan dipergunakan sebagai tempat
hidup serta berkembangbiaknya satwaliar Alikodra 2002. Sandjojo 1982 mengatakan bahwa buaya adalah jenis satwa yang sangat tergantung pada adanya
air, dimana air berperan sebagai media hidup bagi buaya tersebut. Buaya pada siang hari biasa berjemur di tepi sungai terbuka.
Buaya muara Crocodylus porosus memiliki toleransi yang tinggi terhadap salinitas, dapat ditemukan di perairan payau sekitar wilayah pesisir dan sungai.
Buaya muara juga terdapat di sungai air tawar, rawa dan danau. Perpindahan
buaya diantara beberapa habitat terjadi saat musim kering dan basah, merupakan hasil dari adanya status sosial. Remaja dibesarkan di daerah perairan tawar, tetapi
menjelang dewasa buaya biasanya keluar dari daerah ini ke daerah yang lebih terpisah dan bersalinitas tinggi untuk melakukan perkawinan sebagai daerah
teritori dan berkembangbiak Britton 2011. Nuitja 1979 mengemukakan bahwa habitat peneluran buaya muara
umumnya ditumbuhi oleh formasi paku-pakuan Acrostichum aureum, bluntas Pluchea indica, gelam Melaleuca sp., pulai Alstonia angustiloba, terenteng
Cempnosperma bancanus, geranggang Cratoxylon arborescens, meranti batu Shorea teysmaniana, merbau Intsia bijuga, dan raja bunga Adenanthera
temarindifilia. Selain itu diketahui pula jenis nipah Nypa fruticans dan pidada Sonneratia sp. umumnya mudah ditemui di sekitar daerah habitat buaya muara.
Buaya bermoncong panjang dan langsing seperti Gavialis gangeticus, Tomistoma sp., dan beberapa dari jenis Crocodylus adalah pemangsa ikan sejati,
meskipun buaya tersebut juga memakan berbagai jenis hewan air lainnya serta mamalia dalam ukuran kecil. Sementara itu buaya bermoncong lebih berat, lebar,
dan kuat seperti jenis C. porosus dan C. palustris memakan mangsa yang berukuran lebih besar. Jenis buaya tersebut juga ditemukan menyerang dan
memakan manusia Ross 1989. Sandjojo 1982 mengemukakan bahwa buaya juga memakan bangkai dan terkadang mengubur mangsanya terlebih dahulu untuk
dimasakkan. Fungsi dimasakkan ini diduga adalah sebagai cara untuk membuat makanan tersebut mengalami pembusukan.
Ross 1989 menyebutkan bahwa pada dasarnya jenis Crocodilian di berbagai habitat akan memakan jenis mangsa apapun yang tersedia. Idealnya,
dengan bertambahnya ukuran tubuh maka buaya tersebut akan memakan jenis mangsa berukuran besar. Namun buaya tersebut tidak kehilangan kemampuannya
dalam menangkap mangsa berukuran kecil. Dirjen PHPA 1985 mengemukakan bahwa variasi jenis pakan buaya
tergantung pada usianya. Setelah ukuran buaya mencapai panjang 2 meter lebih, maka buaya tersebut dapat mulai memangsa jenis mamalia dan bahkan bangkai
dari makhluk hidup lainnya. Dari hasil analisa makanan terhadap isi perut 4 ekor buaya muara berukuran 1,5-1,67 meter di Sungai Paloh Kalimantan Barat,
diketahui bahwa porsi terbesar makanan buaya tersebut adalah ikan belanak Mugil sp. disusul oleh berbagai jenis crustacean dan ikan bulan-bulan Megalop
sp.. Sedangkan buaya muara di daerah Australia, menunjukkan bahwa buaya dewasa memakan jenis ikan, kepiting, reptil, burung, dan mamalia. Sedangkan
buaya muda memakan jenis ikan-ikan kecil, burung, insekta, dan crustacean, Buaya termasuk karnivora sehingga memakan berbagai jenis daging
diantaranya berupa serangga, udang, ikan, tikus, burung air dan ular. Jenis yang dapat diberikan kepada anak-anak buaya yaitu serangga, udang kecil, dan ikan
kecil Taylor 1979. Anak buaya yang masih kecil biasanya masih perlu dibantu untuk makanannya dengan cara disuapi. Jenis pakan yang dapat diberikan adalah
ikan dan daging binatang yang masih segar dan bila sudah busuk harus dibuang agar tidak terjangkit penyakit. Kantor Wilayah Departemen Kehutanan 1986.
Selanjutnya Taylor 1979 menyatakan pada 289 ekor buaya muara di alam Australia Utara yang berukuran tidak lebih dari 180 cm menunjukkan bahwa porsi
terbesar makanan buaya tersebut adalah kepiting mangrove dari sub famili Sesarminae dan udang dari genus Macrobrachium. Selain itu diketahui pula jenis
ikan yang paling banyak dimakan adalah jenis Pseudogobius sp. yang merupakan jenis ikan perenang lambat di permukaan air. Garmett dan Murray 1986 pada
buaya muara di penangkaran telah berhasil menyimpulkan bahwa buaya muara akan mendapatkan hasil pertumbuhan yang lebih baik dengan pemberian makanan
jenis daging babi dan daging sapi dibandingkan dengan jenis ikan. Kebutuhan pakan buaya berbeda-beda tergantung dari berbagai faktor
seperti, spesies, jenis kelamin, umur, keaktifan, dan keadaan lingkungan Masyud et al. 1993. Buaya liar di alam umumnya mencari makanan pada malam hari saat
suhu lingkungan menurun Lang 1987 diacu dalam Harto 2001. Selain temperatur, salinitas perairan dan tipe habitat yang berbeda juga turut mempunyai
peran dalam frekuensi pakan yang dimakan oleh buaya muara liar Taylor 1979. Garret dan Murray 1986 menjelaskan bahwa kepadatan populasi buaya muara di
kandang pada sistem penangkaran yang terlalu tinggi akan menimbulkan interaksi signifikan pada tingkat stres buaya. Hal ini dapat mempengaruhi tingkat konsumsi
buaya tersebut pada makanannya. Permatasari 2002 menjelaskan bahwa tingkat kelaparan buaya dipengaruhi oleh temperatur lingkungan, penyakit, maupun stres.
Ross 1989 menyatakan buaya dapat bertahan hidup tanpa makanan selama beberapa bulan karena buaya dapat menyimpan dan mengkonversi energi hasil
yang dimakan dalam bentuk lemak. Jika terlalu lama berpuasa, dapat mengakibatkan pertumbuhan buaya terhambat dan kondisis buaya menjadi lemah.
Pakan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kehidupan organisme pada buaya. Pemberian pakan ditujukan tidak hanya untuk memenuhi
kebutuhan pokok, tetapi juga untuk mencapai tingkat produksi yang setinggi- tingginya. Bahkan karena biaya pakan dalam usaha penangkaran merupakan biaya
tidak tetap terbesar, tingkat produksi tersebut harus diusahakan dapat dicapai dengan biaya yang semurah-murahnya Butardi diacu dalam Izzudin 1989.
2.1.4 Reproduksi
Menurut Thohari 1987, dalam usaha penangkaran dikatakan berhasil apabila
teknologi reproduksi
jenis satwa
tersebut telah
dikuasai. Pengembangbiakkan dapat melalui perkawinan antara satwa jantan dengan betina
secara alami, inseminasi buatan, pemindahan embrio embrio trasfer ataupun dengan pembuahan secara invitro.
Buaya muara Crocodylus porosus diketahui mencapai kedewasaan pada ukuran panjang 3-3,6 meter. Panjang minimum buaya muara pada saat memijah
adalah 2,2 meter untuk buaya betina dan 3 meter untuk buaya jantan atau umur minimum 10 tahun untuk buaya betina dan umur 15 tahun untuk buaya jantan
Dirjen PHPA 1985. Sex rasio buaya jantan dan betina di penangkaran adalah 1 : 3 Dirjen PHPA 1987.
Grzimek 1975 mengemukakan bahwa buaya muara jantan dewasa mencapai dewasa kelamin pada ukuran panjang tubuh 2,9-3,3 m dengan berat
badan 80-160 kg, sedangkan betina mencapai dewasa pada ukuran panjang minimum 2,4-2,8 m, mencapai dewasa diperkirakan 8-12 tahun.
Masyud et al. 1993 menjelaskan bahwa di alam, buaya muara mulai berkembangbiak apabila telah mencapai umur 10 tahun pada betina dan mencapai
umur 15 tahun pada buaya jantan. Masa hidup buaya muara dapat mencapai 60-80 tahun dengan masa potensial reproduksi dari umur 25-30 tahun. Buaya muara
bereproduksi pada musim hujan, yang berlangsung antara bulan November hingga bulan Maret. Umumnya buaya muara ditemukan memijah di perairan air tawar,
dimana jantan akan menetapkan serta mempertahankan wilayahnya apabila ada jantan lain yang berusaha masuk ke daerah tersebut.
Buaya muara berkembangbiak dengan cara bertelur dan jumlah telur yang dihasilkan setiap musim sebanyak 10-75 butir dengan rata-rata telur yang
dihasilkan sebanyak 44 butir. Lama pengeraman telur berkisar antara 78-114 hari dengan rata-rata pengeraman selama 98 hari. Berat telur buaya muara yang
dihasilkan berkisar antara 69-118 gram dengan rata-rata berat telur sebesar 93 gram. Sedangkan panjang anakan buaya muara setelah menetas berkisar antara
20-30 cm Masyud et al. 1993. Menurut Iskandar 2000 buaya muara betina bertelur pada awal musim hujan. Sekali bertelur dihasilkan rata-rata 22 butir telur
dengan berat rata-rata 104 gram, anakan yang menetas berukuran 310-370 mm, memiliki warna abu-abu kecoklatan.
Buaya memperbanyak keturunannya dengan cara bertelur. Kopulasi dilakukan di dalam air yang didahului perkelahian antara buaya jantan dengan
buaya betina dan hanya berlangsung beberapa menit pada siang hari Dinas Kehutanan 1986 diacu dalam Ratnani 2007. Tanda-tanda masa birahi dan
terjadinya perkawinan buaya jantan selalu membenturkan kepala ke tubuh buaya betina. Buaya betina tidak melakukan reaksi melawan terhadap benturan buaya
jantan. Perkawinan terjadi di dalam kolam dan sulit dideteksi, pada umumnya terjadi antara bulan Februari
– Oktober Tim PT Yasanda 1992 diacu dalam Ratnani 2007.
Buaya muara di penangkaran sering kali membuat sarang untuk menempatkan sejumlah telur. Sarang-sarang dibuat pada tanah yang agak tinggi
dan kering. Di sekeliling sarang tersebut terdapat pelepah pisang, glagah dan ranting-ranting, semak-semak dan dedaunan kering. Semua material yang sudah
kering dibuat sarang yang berbentuk gundukan menyerupai kurungan ayam. Di sekeliling sarang biasanya terdapat tanah kering yang agak bersih dengan sebuah
lingkaran berjari-jari berkisar 2-3 m Ratnani 2007. Dirjen PHPA 1985 menjelaskan bahwa tipe sarang telur buaya muara
adalah tipe mound, dengan diameter, tinggi, dan suhu sarang berukuran masing- masing 1,2-2,3 m, 0,4-0,76 m, dan 30
C-37,2 C. Buaya muara memiliki musim
bertelur yang berbeda tergantung dari daerah penyebarannya. Di Australia Utara
musim bertelur buaya muara berlangsung antara Bulan Oktober – Juni, di Srilanka
pada Bulan Juni – September, dan di daerah Papua musim bertelur berlangsung
pada Bulan Oktober – April.
Buaya memiliki suatu hierarki dominansi baik itu populasi yang terdapat di alam liar maupun populasi yang terdapat di dalam penangkaran. Suatu individu
yang dominan ditentukan dari ukuran dari buaya tersebut. Apabila buaya tersebut memiliki ukuran yang paling besar, individu buaya tersebut merupakan individu
buaya yang paling dominan Morpurgo et al. 1993. Individu jantan yang dominan memiliki kekuasaan dalam mengontrol kesempatan kawin, perolehan
makanan dan ruang gerak, sedangkan individu betina cenderung memperlihatkan dominansinya saat melakukan pemilihan letak sarang Ross 1989.
2.2 Pemeliharaan Buaya
Setyonugroho 1995 menyebutkan bahwa kriteria pemilihan bibit di penangkaran Perhutani Purwakarta dan Taman Buaya Indonesia TBI Bekasi
yaitu sehat, penampilan baik, pertumbuhan yang tinggi, dan tidak memiliki cacat bawaan. Penjodohan yang dilakukan di kedua penangkaran tersebut yaitu dengan
menempatkan beberapa induk buaya jantan dan betina dalam satu kandang pembiakan. Pengeraman telur di Perhutani dilakukan secara alami dengan daya
tetas sebesar 29,70 , sedangkan di TBI telur dierami secara buatan inkubator dengan daya tetas sebesar 38,36. Perawatan dan penyapihan anakan buaya di
penangkaran Perhutani dilakukan sampai buaya berumur satu bulan, sedangkan di TBI sampai buaya berumur satu tahun.
Susanti 2011 menyebutkan di penangkaran buaya CV Surya Raya Balikpapan terdapat lima jenis kandang yaitu kandang show room untuk
memamerkan jenis buaya yang dipelihara dan agar memudahkan pengunjung mengetahui jenis buaya yang terdapat di penangkaran, kandang anakan hatchling
pen untuk anakan buaya yang baru menetas sampai berumur 6 bulan, kandang buaya muda juvenile pen untuk pemeliharaan buaya setelah dipindahkan dari
kandang anakan berumur 6 bulan – 1 tahun, kandang remaja atau pembesaran
rearing pen untuk membesarkan buaya muda berumur di atas 1 tahun hingga buaya mencapai ukuran siap potong kira-kira berumur 2-4 tahun, dan kandang
induk atau pembiakan breeding pen untuk buaya induk berumur 8 tahun.
Susanti 2011 juga menyebutkan bahwa ditinjau dari konstruksi kandangnya, semua jenis kandang di penangkaran buaya CV Surya Raya
termasuk dalam katagori kandang permanen dan box plastik. Konstruksi kandang permanen terdiri dari pagar berupa tembok dan sebagian ditambah kawat ram,
kayu sebagai kerangka kandang, seng, asbes atau fiber sebagai atap. Bolton 1989 mengatakan bahwa pagar kandang buaya sebaiknya terbuat dari kayu atau
jaring kawat besi serta tembok dari batu bata, beton, bahan metal atau kombinasi dari bahan tersebut. Dallas 2006 menyebutkan bahwa plastik merupakan bahan
yang dianjurkan dalam pemeliharaan reptil karena memiliki permukaan tidak kasar, mengikuti perubahan suhu lingkungan, mudah dibersihkan dan diperoleh.
Susanti 2011 menyebutkan bahwa kegiatan perawatan kandang di penangkaran buaya CV Surya Raya terdiri dari pembersihan di dalam dan di luar
kandang. meliputi kegiatan membersihan kandang dari sisa-sisa makanan, menguras dan mengganti air kolam dengan air yang bersih, membersihkan
sampah di sekitar kandang, merapikan tanaman yang tumbuh di sekitar penangkaran, dan memperbaiki sarana penangkaran yang rusak. Perawatan
kandang bertujuan untuk menjaga kebersihan kandang sehingga buaya dapat hidup sehat dan mencegah timbulnya bibit penyakit. Kebersihan kandang dan
perlengkapannya perlu diperhatikan karena akan mempengaruhi kesehatan buaya. Pemeliharaan buaya jenis yang sama dan ukuran besarnya mendekati satu
kelompok biasanya deviasi panjang 5 cm ditempatkan dalam satu kandang yang memiliki kolam, daratan dan tempat berjemur. Kandang dipantau setiap hari
mencakup kegiatan kebersihan kandang, perkembangan buaya, jadwal pakan per kandang dan nafsu makan buaya terhadap pakan yang diberikan. Untuk
perkembangan buaya yang perlu diperhatikan adalah pengelompokkan buaya ke kandang yang sesuai, buaya yang kurus atau luka dimutasikan ke kandang
karantina Dirjen PHPA diacu dalam Setyonugroho 1995. Penyakit yang umumnya menyerang buaya, diantaranya adalah
gastroenteritis, pneumonia, hepatitis, luka pada kulit, katarak pada mata, cacingan, dan kelumpuhan Djaidi diacu dalam Setyonugroho 1995. Gejala umum yang
mudah dikenali dari buaya yang kurang sehat adalah kurang nafsu makan, luka pada kulit dan gerakan yang lamban. Untuk jenis buaya yang terdapat gejala
tersebut pada umumnya oleh penangkar di isolasikan pada kandang karantina Dirjen PHPA diacu dalam Setyonugroho 1995.
2.3 Perilaku Makan dan Sistem Pencernaan