daripada proporsi perokok kadang-kadang 38,1. Hal ini serupa dengan penelitian yang telah dilakukkan oleh peneliti bahwa perokok tiap hari baik
di wilayah rural maupun urban lebih banyak dibandingkan dengan perokok kadang-kadang baik di wilayah rural maupun di wilayah urban. Walaupun
proporsi perokok kadang-kadang lebih sedikit dibandingkan dengan perokok tiap hari. Tetapi, perokok kadang-kadang ini sangat rentan untuk
menjadi perokok tiap hari. Hal ini disebabkan oleh kadar nikotin yang terkandung didalam rokok yang membuat seseorang merasa ketagihan
Tobacco Free Kids, 2015. Oleh karena itu, Peneliti berharap agar Puskesmas baik di rural
maupun di urban agar melakukan edukasi kepada masyarakat secara langsung mengenai dampak rokok. Edukasi juga perlu dilakukan kepada
perokok yang menderita penyakit tertentu agar dapat berhenti merokok. Peneliti berharap juga diadakannya klinik berhenti merokok pada
Puskesmas pada kedua wilayah. Pada masyarakat rural juga diharapkan kader kesehatan dan pemerintah setempat kelurahan lebih proaktif untuk
mengadakan gerakan berhenti merokok yaitu dengan membuat kesepakatan berhenti merokok di wilayah setempat dan membuat wilayah bebas asap
rokok. Penelitian Hodge 1996 menunjukkan bahwa masyarakat urban lebih proaktif untuk berhenti merokok dikarenakan gerakan berhenti
merokok urban lebih kuat dibandingkan dengan rural. Dalam Klinik berhenti merokok juga diharapkan adanya monitoring pada setiap pasiennya
dengan mengadakan jadwal kunjungan. Peneliti juga berharap kepada Dinas
Kesehatan setempat agar melakukan pelatihan mengenai metode konseling atau promosi kesehatan yang efektif kepada petugas kesehatan agar pesan
yang disampaikan ke masyarakat lebih efektif. C.
Perokok Menurut Orang di Wilayah Rural dan Urban Tahun 2015
Karakteristik dari orang merupakan salah satu faktor yang berperan pada terjadinya suatu penyakit. Karakteristik menurut orang dalam CDC
2012 adalah karakteristik suatu individu, karakteristik biologi, aktivitas seseorang, dan kondisi selama hidup CDC, 2012. Dalam karakteristik ini
akan dijelaskan mengenai jenis kelamin, umur, pendidikan, pekerjaan, jumlah rokok, metode berhenti merokok, anggaran pembelian rokok dan age
initiation usia awal merokok.
1. Umur
Kamus Besar Bahasa Indonesia 2015 menerangkan bahwa umur merupakan lamanya masa hidup seseorang mulai dari orang tersebut
lahir sampai orang tersebut menutup umur. Pada penelitian ini ditemukan bahwa sebagian besar responden di urban berada pada
kelompok umur 25-44 tahun yaitu 50. Sedangkan, pada rural kelompok umur 45-64 tahun lebih besar dibanding kelompok umur
yang lain yakni 40,42. Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian yang dilakukkan oleh
American Lung Association. American Lung Association 2011 menunjukkan bahwa prevalensi perokok terbesar berada pada umur 25-
44 tahun. Hasil survei tersebut tidak jauh berbeda dengan survei yang
dilakukan oleh GATS 2011. Berdasarkan survei yang telah dilakukan oleh GATS 2011 di Indonesia menunjukkan bahwa prevalensi
perokok laki-laki terbesar berada pada umur 25-44 tahun. Sedangkan, prevalensi perokok perempuan yakni berada pada golongan umur 65
tahun. Meskipun persentase perokok lebih tinggi pada usia dewasa.
Namun, pada penelitian ini rata-rata usia awal Age initiation merokok baik daerah urban dan rural adalah usia remaja akhir antara 17-19
tahun. Hasil tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Tobacco Control Support Center. Laporan Tobacco Control Support
Center 2012 menyebutkan bahwa usia awal perokok mengonsumsi rokok terbanyak yakni usia
≥15 tahun sebesar 50,7 di tahun 2007 dan 43,3 di tahun 2010. Survei yang dilakukkan oleh GATS 2011 di
Indonesia juga menemukkan bahwa 40 dari 100 orang merokok pada usia 17-19 tahun.
Menurut B. F Skinner dalam Yunindyawati 2008 menerangkan bahwa pada awalnya manusia dibentuk melalui lingkungan di
sekitarnya. Hal ini menyebabkan seseorang menjadi sosok tertentu seperti menjadi perokok. Usia 17-19 tahun merupakan usia remaja akhir
dimana pada usia ini remaja ingin membentuk diri sendiri yang mereka anggap pantas dan baik untuk mereka Potter dan Perry, 2005 dalam
Barus, 2012. Dalam usia ini, remaja sulit mengontrol keinginan mereka sehingga perilaku kurang baik seperti merokok sulit untuk
dihindari. Adanya persepsi bahwa dengan merokok dapat meningkatkan ‗kejantanan‘ seseorang juga mungkin salah satu faktor perilaku
merokok Nichter, 2009. Usia remaja merupakan usia rentan. Mereka terkadang mengikuti perilaku teman atau orang dewasa lainnya.
Menurut Mu‘tadin 2002 dalam Hasanah 2011 mengatakan bahwa hal tersebut dikarenakan terjadinya peer sosialization antar remaja yang
artinya remaja dituntut berperilaku sama dengan kelompoknya sehingga remaja cenderung mengikuti perilaku teman-temannya seperti cara
berpakaian sampai kepada perilaku merokok. Adanya orang tua yang merokok juga merupakan salah satu faktor
yang menyebabkan seorang remaja merokok. Menurut Miller dan Dollard dalam Notoatmodjo 2013 menyebutkan bahwa tingkah laku
manusia terbentuk melalui proses hasil belajar. Pada daerah rural sebesar 53,09 perokok merokok di dalam rumah. Sedangkan, 42,62
perokok di wilayah urban merokok di dalam rumah. Adanya perokok di dalam rumah cenderung menimbulkan anggota
keluarga terutama anak-anak cenderung mengikuti perilaku merokok tersebut. Anak-anak melihat perilaku merokok yang ditunjukkan oleh
orang dewasa disekitarnya kemudian melakukan proses ‗coba-coba‘ merokok secara sembunyi-sembunyi. Penelitian yang dilakukkan oleh
Yunindyawati 2008 menerangkan bahwa perokok remaja baik di rural maupun di urban cenderung mengikuti orangtua mereka sehingga
menjadi perokok. Penelitian tersebut juga menerangkan bahwa orangtua
baik di rural maupun di urban cenderung membiarkan anak mereka merokok.
Remaja yang awalnya ‗coba-coba‘ untuk merokok menjadi
ketergantungan. Hal ini disebabkan oleh karena adanya bahan yang terdapat dalam rokok, nikotin, yang menyebabkan ketergantungan.
Ketergantungan yang disebabkan oleh nikotin inilah yang menyebabkan remaja yang
‗coba-coba‘ ini menjadi perokok aktif Tobacco Free Kids, 2015.
Pada penelitian ini ditemukan juga bahwa usia awal merokok termuda adalah 7 tahun pada daerah urban dan 10 tahun pada daerah
rural. Hal ini menarik mengingat wilayah urban merupakan wilayah dengan fasilitas yang memadai dibandingkan di daerah rural. Dalam hal
ini penduduk di wilayah urban dapat mengakses fasilitas dengan lebih mudah. Mudanya umur perokok di urban dibandingkan didaerah rural
mungkin disebabkan oleh faktor individu. Pada penelitian yang dilakukkan oleh Yunindyawati 2008 menunjukkan bahwa pada
wilayah perokok remaja di wilayah urban cenderung mengikuti perilaku teman sebayanya. Sedangkan, perokok di wilayah rural cenderung
merokok dikarenakan faktor coba-coba atau ingin tahu. Faktor lainnya yang mungkin menyebabkan usia awal merokok di wilayah urban lebih
muda yakni dikarenakan pada film yang mereka tonton dimana tokoh pria-nya merokok Lu, 1997.
Oleh karena itu, sebaiknya orang tua perokok harus menghindari merokok didepan anak-anak. Orangtua juga seharusnya mengontrol
pergaulan anak-anak agar anaknya tidak mengarah ke pergaulan yang negatif. Selain itu, peneliti menyarankan kepada Puskesmas sebagai
unit pelayanan terpadu yang paling dekat ke masyarakat untuk memberikan edukasi kepada para orang tua untuk menghindari
merokok di depan anak-anak. Puskesmas juga bisa melakukan edukasi langsung kepada sekolah-sekolah seperti SD, SMP dan SMA. Hal ini
dilakukan mengingat pada masa sekolah merupakan masa yang paling rentan untuk menjadi perokok.Peneliti juga berharap kepada pemerintah
setempat, Kelurahan dan Desa, agar dapat mengembangkan potensi para remaja melalui organisasi seperti Karang Taruna. Hal ini
dimaksudkan untuk menghindari remaja terhadap perbuatan yang negatif seperti merokok.
2. Jenis Kelamin
Jenis kelamin merupakan perbedaan biologis pada fisik manusia. Jenis kelamin ini terdiri dari pria dan wanita. Perbedaan antara pria dan
wanita bisa dilihat dari ciri-ciri fisik yang mereka miliki dimana pria memiliki penis sebagai alat reproduksi dan wanita memiliki rahim serta
payudara Sudarman, 2008. Hasil survei yang telah didapatkan peneliti yakni perokok baik di urban maupun rural adalah laki-laki dengan
persentase 87,84 pada Urban urban dan 76,60 pada daerah rural.
Hasil penelitian ini juga didukung oleh penelitian yang lain. Penelitian yang dilakukkan oleh Siagian tahun 2001 di Jakarta dan
Sukabumi menunjukkan bahwa perokok laki-laki baik di daerah Jakarta maupun Sukabumi memiliki persentase perokok yang lebih besar yakni
56,6 di Jakarta dan 5,8 di Sukabumi. Penelitian lainnya juga dilakukan oleh Gilani dan Leon 2012 terhadap orang dewasa di
Pakistan. Survei tersebut menunjukkan bahwa prevalensi perokok laki- laki lebih banyak dibandingkan dengan perokok perempuan dengan
prevalensi 51,2 pada laki-laki dan 48,8 pada perempuan. Penelitian yang dilakukan oleh Barus 2012 di Universitas Indonesia
memperlihatkan bahwa laki-laki memiliki presentase perokok tertinggi yaitu 77,1.
Tingginya perokok laki-laki ini mungkin dikarenakan oleh stress. Baldwin 2002 dalam Hasnida 2005 menyebutkan bahwa stress pada
laki-laki dan perempuan sama. Hanya saja, cara untuk menghadapi masalah berbeda. Cara menghadapi masalah pada perempuan ini
cenderung dengan perasaan cemas. Sedangkan, cara menghadapi masalah pada laki-laki cenderung dengan hal-hal negatif seperti merokok.
Dari sisi budaya, rokok cenderung dianggap biasa pada laki-laki sedangkan, pada wanita dianggap perilaku yang menyimpang Abghi,
1997. Besarnya proporsi perokok pada laki-laki ini juga mungkin terjadi dikarenakan oleh adanya persepsi bahwa merokok bagi laki-laki hal yang
jantan. Hal ini juga didukung oleh banyaknya iklan rokok yang
mempromosikan laki-laki sebagai model dari suatu iklan yang menampilkan sosok laki-laki yang berwibawa dan gagah Nichter, 2009.
Iklan rokok pada media-media terutama televisi merupakan salah satu media yang paling banyak diminati masyarakat. Masyarakat cenderung
mengikuti apa yang ada dalam media. Penelitian yang dilakukkan oleh peneliti menunjukkan bahwa 96,86 reponden di rural terpapar iklan
rokok. Sedangkan, di Urban urban 91,87 responden terpapar iklan rokok.
Rokok bagi laki-laki juga cenderung digunakan sebagai alat sosial. Hal ini dikarenakan rokok digunakan sebagai suatu metode untuk
membina persahabatan dan keintiman pada sesama laki-laki Merchen, 2009. Dalam hal ini rokok digunakan untuk menghormati teman atau
lawan bicara mereka pada saat tertentu seperti pada saat berkumpul dengan teman. Selain itu, besarnya proporsi perokok pada laki-laki juga
dimungkinkan karena faktor sosio cultural seperti kebiasaan budaya dan gengsi Smet 1994 dalam Hasnida 2005.
Oleh karena itu, untuk menghindari stress sebaiknya menghindari dari hal yang negatif seperti tidur sebentar ketika sedang lelah.
Menghindari stress juga bisa dialihkan dengan mendengarkan musik yang tenang dan juga dengan mengonsumsi permen. Pada saat
berkumpul dengan teman juga sebaiknya menyediakan penganti rokok seperti permen. Untuk berhenti merokok juga bisa mengadakan
perjanjian untuk tidak merokok atau mengadakan taruhan dengan imbalan yang besar.
3. Pendidikan
Pendidikan merupakan usaha seseorang untuk membuat dirinya sadar sehingga bisa mengambil suatu keputusan Maulana, 2009.
Pendidikan memungkinkan individu untuk dapat memberdayakan dirinya dalam mendapatkan akses kesehatan. Penelitian yang telah peneliti
lakukan menunjukkan bahwa di urban proporsi pendidikan terakhir perokok lebih besar pada kelompok yg Sekolah Menengah Atas SMA
yakni sebesar 58,11. Sedangkan, di rural proporsi pendidikan perokok lebih besar pada kelompok Sekolah Menengah Pertama SMP yakni
38,30. Data dari Riskesdas tahun 2013 di DKI Jakarta menunjukkan bahwa proporsi perokok dengan pendidikan tamat SMA lebih besar
yakni 29,3 diikuti oleh proporsi perokok tamat SMP sebesar 23,3. Tingginya tingkat pendidikan perokok di urban dibandingkan
dengan rural merupakan salah satu faktor tingginya tingkat pendidikan perokok pada masyarakat urban. Menurut Wahyono 2012 tingkat
sosioekonomi masyarakat urban lebih tinggi dibandingkan masyarakat rural sehingga masyarakat urban cenderung memiliki keinginan maju
yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan masyarakat rural. Pada penelitian yang telah dilakukkan oleh peneliti, Sebagian besar
responden yang tamat SMP mulai merokok pada usia 15-24 tahun dengan proporsi 94,44 di rural dan 55,56 di urban. Menurut
Venkatnarayan 1996 dalam Gupta 2006 menunjukkan bahwa pendidikan merupakan salah satu faktor yang memungkinkan seseorang
merokok. Laki-laki yang tidak memiliki pendidikan memiliki risiko 1,8 kali menjadi perokok dibandingkan laki-laki yang memiliki pendidikan
tinggi. Sedangkan, perempuan yang tidak memiliki pendidikan berisiko menjadi perokok 3,7 kali dibandingkan dengan yang tidak merokok.
Dengan kata lain, pendidikan yang rendah cenderung memungkinkan seseorang menjadi perokok.
Hal ini mungkin disebabkan oleh karena para perokok memiliki masa sulit selama sekolah. Pada masa sekolah terdapat banyak tantangan
yang harus dihadapi seperti budaya disekitarnya, fisik dan diri sendiri. Jika individu itu gagal maka akan menimbulkan depresi, pesimis dan
mungkin akan mencoba untuk merokok. Alasan lainnya adalah para perokok kebanyakan merokok pada saat remaja ini memiliki kepercayaan
diri yang rendah sehingga mengambil keputusan untuk merokok Zhu, 1996.
Proses dari mencoba merokok menjadi perokok ini juga bisa timbul pada saat di sekolah yang mungkin disebabkan karena adanya pengaruh
dari teman sebaya Hasanah, 2011. Perokok yang telah kecanduan dengan rokok juga mungkin kurang tertarik untuk menyelesaikan
sekolahnya. Hal ini disebabkan oleh karena mereka sulit menahan diri untuk tidak merokok selama pelajaran berlangsung sehingga beberapa
ada yang melanggar peraturan sekolah untuk tidak merokok Zhu, 1996.
Oleh karena itu, sebaiknya para pendidik diharapkan dapat meningkatkan minat siswa terhadap sesuatu yang disenangi siswa.
Sekolah-sekolah juga diharapkan dapat memberikan waktu istirahat seperti diadakannya waktu untuk tidur didalam kelas secara bersama-
sama pada jam istirahat. Peneliti juga berharap agar pihak sekolah, khususnya SMP dan SMA, untuk mengadakan jadwal konsultasi secara
pribadi dengan guru Bimbingan Konseling pada jam istirahat. Kegiatan ini bertujuan agar siswa dapat berkeluh kesah kepada guru Bimbingan
Konseling tersebut. Selain itu, diperlukan adanya peran orang tua untuk selalu
membimbing anak-anak. Dalam hal ini orang tua berperan sebagai sahabat anak yang dapat mendengar keluh-kesah anak dan memberikan
saran yang sesuai sehingga anak tidak terjerumus kepada hal-hal yang negatif. Puskesmas juga bisa berperan dalam hal memberikan edukasi
kepada sekolah-sekolah mengenai rokok seperti pada saat masa orientasi siswa. Puskesmas juga bisa melatih petugas PMR atau dokter kecil di
setiap sekolah dalam hal mengedukasi siswa mengenai bahan yang ada dalam rokok dan bahayanya bagi kesehatan dan bagaimana menyikapi
orang-orang disekitar mereka yang merokok.
4. Pekerjaan
Pekerjaan merupakan suatu kegiatan yang dapat menghasilkan barang baik untuk diri sendiri maupun orang lain Suroto 1992 dalam
Udin 2010. Sedangkan, bekerja menurut Peraturan Menteri Tenaga
Kerja no 1 tahun 2014 bekerja merupakan kegiatan ekonomi yang dilakukan seseorang dengan maksud memperoleh atau membantu
memperoleh pendapatan atau keuntungan. Hasil survei yang telah didapatkan peneliti yakni wiraswasta
merupakan pekerjaan perokok yang paling besar persentasenya di wilayah urban Urban yakni 41,90. Sedangkan, di wilayah rural
perokok dengan pekerjaan sebagai buruh memiliki persentase yang paling banyak dibandingkan dengan pekerjaan yang lain sebesar 36,17.
Data GATS 2011 menunjukkan bahwa presentase terbesar perokok berada pada jenis pekerjaan wirausaha dengan presentase sebesar 60,1
GATS, 2011. Sementara itu, Di DKI Jakarta proporsi perokok paling tinggi berada pada jenis pekerjaan petaninelayanburuh yakni sebesar
47. Penelitian yang dilakukkan oleh peneliti juga menemukkan bahwa
pada wilayah urban Urban maupun rural cenderung membeli rokok 10- 14 batang perhari, dimana pada masyarakat urban mayoritas
pekerjaannya adalah wiraswastapedagangpelayan jasa sementara masyarakat rural mayoritas pekerjaannya adalah buruh. Pada penelitian
ini juga ditemukan bahwa mayoritas pekerjaan responden yang merokok adalah buruh cenderung membeli rokok dengan harga diatas rata-rata Rp
10.600 dengan proporsi 57,14. Sedangkan, pada wilayah urban yang mayoritas pekerjaannya adalah wiraswasta cenderung membeli rokok
dengan harga dibawah rata-rata Rp 13.700 dengan proporsi 51,6.
Kebutuhan pokok yang tinggi di daerah urban dan juga faktor sosial yang mengakibatkan stress dan menjadi perokok Volzke, 2006.
Hal ini disebabkan oleh karena tingginya persaingan hidup didaerah urban. Selain itu, terdapat tuntutan agar dapat bertahan hidup didaerah
urban BPS, 2007. Sedangkan, di wilayah rural hal ini mungkin dikarenakan oleh lingkungan sosial selama bekerja. Adanya tawaran
untuk merokok dari sesama pekerja buruh memungkinkan seseorang untuk merokok. Selain itu, merokok dapat menurunkan beban pikiran
para pekerja buruh dan membuat pikiran tenang Depparinding et all, 2014.
Oleh karena itu, peneliti menyarankan agar terselenggaranya kerjasama antara pemerintah dalam hal ini kelurahan dengan dinas
perdagangan dalam hal mengembangkan usaha kreatif rakyat khususnya para ibu untuk menambah income penduduk seperti mengumpulkan
barang bekas menjadi barang baru yang bisa dipakai dan dijual ke masyarakat umum. Selain itu, diharapkan pekerja yang mendapat
tawaran untuk merokok dapat menolak secara tegas tawaran tersebut. Pekerja bisa mengantisipasinya dengan membawa sejumlah permen atau
snack lainnya ketika bekerja.
5. Jumlah Rokok
Hasil survei yang telah didapatkan peneliti yakni sebagian besar perokok pada kedua wilayah menunjukkan bahwa responden
menghabiskan 10-14 batang rokok perharinya dengan persentase 41,89
di urban dan 38,30 di rural. Sedangkan, rata-rata jumlah batang rokok yang dihabiskan responden perhari di Urban yakni 13 batang rokok
perhari dan rata-rata jumlah batang rokok di Rural adalah 11 batang rokok perhari.
Survei tersebut didukung oleh survei yang dilakukkan oleh GATS tahun 2011. Menurut survei GATS 2011 penduduk Indonesia rata-rata
menghabiskan 12,8 atau sekitar 13 batang rokok perharinya. Survei yang dilakukkan Riskesdas tahun 2013 juga menunjukkan hasil yang sama.
Dalam Riskesdas tahun 2013 juga menunjukkan bahwa penduduk Indonesia rata-rata mengonsumsi rokok sekitar 12,3 atau 13 batang rokok
perharinya. Menurut Bradford Hill suatu kejadian penyakit meningkat seiring
dengan bertambahnya pajanan Gersmant, 2003. Dalam hal ini, semakin banyak batang rokok yang dikonsumsi oleh responden maka semakin
mungkin terjadinya suatu penyakit. Penelitian yang dilakukan oleh Walter tahun 1987 menunjukkan bahwa perokok yang mengonsumsi 1-4
rokok perbatang memiliki risiko terkena jantung koroner sebanyak dua kali dibanding non-perokok. Hasil yang sama juga ditemukan oleh David
tahun 1999. Penelitian David menunjukkan bahwa perokok yang mengonsumsi rokok 1-9 batang memiliki risiko terkena jantung koroner
sebesar 2 kali lipat dibanding non-perokok. Penelitian lainnya yang dilakukkan oleh Suharmiati tahun 2008 menunjukkan bahwa proporsi
perokok 11-20 batang perhari lebih banyak dibandingkan dengan proporsi perokok 1-10 batang perhari.
Dalam penelitian yang telah dilakukkan oleh peneliti didapatkan bahwa perokok di rural yang mengonsumsi rokok 10-14 batang perhari
memiliki proporsi menderita hipertensi lebih banyak dibanding dengan 10-14 batang yakni 57,14. Sedangkan, di Urban perokok yang
mengonsumsi rokok 10-14 batang perhari memiliki proporsi menderita PJK lebih banyak dibandingkan dengan 10-14 batang rokok perhari
yakni 50. Hal ini dapat ditarik kesimpulan bahwa semakin banyak rokok
yang dikonsumsi maka semakin berisiko terkena suatu penyakit. Dalam setiap batang rokok, bahan-bahan yang dihirup oleh perokok akan masuk
ke dalam tubuh. Nikotin merupakan salah satu bahan yang terhirup. Nikotin dapat diserap tubuh dalam waktu 10-19 detik Action on
Smoking and Health, 2014. Dalam 40 menit, efek rokok ini akan menghilang sehingga menyebabkan perokok kembali menghirup rokok
dikarenakan perokok akan gelisah dan depresi jika tidak menghirup rokok POM, 2014. Hal inilah yang menyebabkan seseorang perokok
merasa kecanduan dikarenakan nikotin dapat merangsang sistem saraf pusat. Selain merangsang sistem saraf pusat nikotin dapat meningkatkan
detak jantung dan tekanan darah Action on Smoking and Health, 2014. Oleh karena itu, untuk menghindari terjadinya masalah kesehatan
para perokok khususnya harus meminimalisir atau mengurangi jumlah
rokok yang dikonsumsi. Cara mengurangi jumlah batang rokok yakni dengan olahraga dan istirahat teratur. Selain itu, metode seperti
mengganti rokok dengan permen, konseling, mengganti rokok dengan obat tradisional maupun dengan mencoba untuk berpuasa diiringi dengan
niat yang kuat. Selain itu, keluarga diharapkan dapat menjadi pengingat dan memberikan motivasi kepada perokok.
6. Metode Berhenti Merokok
Berhenti merokok merupakan salah satu cara agar terhindar dari risiko penyakit. Manfaat berhenti merokok diantaranya yaitu dapat
menurunkan risiko dari penyakit yang berhubungan dengan pajanan rokok pada anak, menurunkan risiko memiliki anak prematur, impoten,
gangguan kesuburan, keguguran dan BBLR. Manfaat berhenti merokok juga dapat mengurangi risiko penyakit kardiovaskular WHO, tt.
Perokok melakukan berbagai upaya dalam mengurangi efek kesehatan akibat rokok. Metode yang dilakukan untuk berhenti merokok
adalah terapi pengganti nikotin, terapi konsumsi obat, mencoba obat tradisional, konseling, berhenti tanpa bantuan dan mengganti konsumsi
rokok tembakau dengan tembakau kunyah GATS, 2011. Hasil survei yang telah didapatkan peneliti mengenai metode berhenti merokok yang
paling banyak digunakan yakni tanpa menggunakan metode berhenti rokok apapun dengan proporsi sebesar 48,57 di urban dan 64,29 di
rural.
Hasil survei ini sama dengan survei yang dilakukkan oleh GATS tahun 2011 di Indonesia. Di Indonesia tahun 2011 sekitar 70,7 perokok
berhenti merokok dengan kemauan sendiri tanpa bantuan orang lain GATS, 2011. Namun, berhenti merokok ini hanya bersifat sementara.
Survei yang dilakukkan oleh peneliti menujukkan bahwa responden hanya beberapa saat saja berhenti merokok yakni berkisar 1 sampai 9
bulan di rural dan 1 sampai 6 bulan di urban. Setelah itu, perokok mengonsumsi kembali rokok tersebut.
Hal ini terjadi mungkin disebabkan oleh karena keluhan yang disebut dengan withdrawal syndrom Aditama, 1997 dalam Barus, 2012.
Gejala dari sindrom tersebut seperti keinginan untuk merokok, depresi, insomnia, mudah marah, gelisah, cemas dan sulit konsentrasi. Gejala ini
dapat terjadi dalam waktu 3 hari atau bahkan sampai berminggu-minggu tergantung pada jumlah rokok dan durasi merokok setelah seeorang
berhenti merokok Hesami. 2010. Oleh karena itu, peneliti menyarankan kepada para perokok
khususnya agar memiliki keyakinan pada diri sendiri untuk bisa berhenti merokok. Keyakinan akan diri sendiri bahwa akan mampu berhenti
merokok tidak hanya sesaat akan memberikan dorongan tersendiri kepada diri sendiri agar bisa berhenti merokok. Selain itu, terapkan
metode berhenti merokok pada keseharian sehingga menjadi kebiasaan. Berhenti merokok juga dapat dilakukkan dengan menentukanwaktu
berhenti merokok. Setelah itu perokok memulai metode berhenti
merokok dengan mengurangi jumlah rokok yang dikonsumsi. Apabila dalam sehari perokok menghabiskan satu bungkus maka perokok bisa
mengurangi menjadi setengah bungkus. Jika perokok sudah berhenti merokok dalam waktu yang lama kemudian merokok kembali, jangan
menilai diri anda sebagai perokok. Nilai diri anda sebagai bukan perokok dan buat perjanjian dengan diri anda untuk tidak merokok.
7. Anggaran Pembelian Rokok
Dalam penelitian ini didapatkan hasil bahwa rata-rata anggaran pembelian rokok di urban sebesar Rp 13.700 perharinya. Sedangkan, di
rural sebesar Rp 10.600 perharinya. Dari penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa pembelian rokok perharinya lebih tinggi di wilayah
urban. Hasil penelitian ini jika dikalikan selama sebulan 30 hari maka para perokok setiap bulannya baik di kedua wilayah menghabiskan
hampir setengah juta perbulannya. Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian yang telah dilakukkan oleh GATS tahun 2011. GATS
memperlihatkan bahwa rata-rata pembelian rokok diwilayah urban sebesar Rp 14.375 perharinya. Sedangkan, di wilayah rural Rp 11.250
perharinya. Pada penelitian yang telah dilakukkan oleh peneliti menunjukkan
bahwa rata-rata banyaknya rokok yang dibeli di rural yakni 12 batang perhari dan di urban 13 batang perhari. Pembelian batang rokok minimal
pada rural adalah 1 batang perhari dan maksimal 48 batang rokok
perhari. Sementara itu, pembelian rokok minimal pada urban adalah 2 batang rokok perhari dan maksimal 24 batang rokok perhari.
Dari hasil tersebut, jika dilakukkan analisis untuk pembelian rokok maksimal 48 batang atau sekitar 4 bungkus perhari di rural dalam
sebulannya menghabiskan dana sebesar Rp 1.680.000 jika harga rokok perbungkus Rp 14.000. Sedangkan, pembelian rokok di urban 24
batang rokok atau sekitar 2 bungkus menghabiskan dana sebesar Rp 840.000 jika harga rokok perbungkus Rp 14.000. Pengeluaran tersebut
jika ditambah dengan kerugian yang ditimbulkan oleh rokok seperti penyakit akan menimbulkan dampak kerugian yang besar.
Laporan dari
Tobacco Control
Support Center2010
memperkirakan pengeluaran tembakau pada masyarakat Indonesia sebesar 138 triliyun rupiah. Data tahun 2010 menunjukkan bahwa total
tahun produktif yang hilang karena penyakit tembakau berjumlah 105,30 triliyun rupiah TCSC, 2012. Angka ini jika ditambahkan antara
pengeluaran tembakau dan total tahun produktif yang hilang mencapai 243,30 triliyun rupiah. Angka tesebut sangat jelas merugikan negara dan
juga individu baik yang merokok maupun yang tidak merokok perokok pasif.
Pada penelitian ini ditemukan juga bahwa anggaran pembelian rokok yang paling sedikit adalah Rp 1000 untuk di rural dan Rp 2500
untuk di urban. Sedangkan, anggaran tertinggi yakni Rp 21.000 di rural dan Rp 32.000 di urban. Pada rural, jika dilihat dari harga rokok
perbatang yang dibeli kemungkinan besar adalah rokok non-filter atau rokok kretek. Sedangkan, di urban kemungkinan pembelian jenis
rokoknya adalah rokok filter. Rokok non-filter lebih berbahaya jika dibandingkan dengan rokok filter karena rokok filter memiliki kadar
nikotin yang lebih tinggi pada arus samping dengan perbandingan 4-6 kali daripada arus utama Sussana, 2003.
Rokok kretek atau rokok non-filter ini memiliki kandungan 20 mg tar dan 4,5 mg nikotin lebih banyak dari rokok filter Suharmiati, 2008.
Sehingga risiko perokok yang menggunakan rokok non-filter ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan perokok yang menggunakan rokok filter.
Hal ini memungkinkan perokok di wilayah rural memiliki proporsi penyakit yang lebih tinggi dibandingkan di wilayah urban. Penelitian
yang telah dilakukkan oleh peneliti menunjukkan bahwa proporsi responden yang merokok di wilayah rural lebih banyak dibandingkan di
urban yakni 13,72 di rural dan 10,20 pada urban. Tidak hanya hipertensi saja, proporsi penderita penyakit seperti stroke dan asma di
wilayah rural lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah urban. Selain itu, pada penelitian ini responden menunjukkan bahwa
hampir semua perokok pada kedua wilayah mendapatkan rokok membeli rokok di warung daripada di tempat lainnya. Pembelian di
warung ataupun toko rokok lainnya juga tidak memandang umur. Hampir semua golongan umur bisa dengan mudah mengakses rokok.
Kemudahan dalam mengakses rokok ini, harus menjadi perhatian bersama. Selain itu, mahalnya pengeluaran yang diakibatkan oleh
membeli rokok dan efek samping yang ditimbulkannya juga harus diperhatikan. Dalam hal ini peneliti berharap kepada para perokok untuk
dapat mengurangi jumlah rokok yang dikonsumsi karena selain untuk mencegah dampak yang terjadi juga dapat mengurangi biaya untuk
membeli rokok sehingga uang yang digunakan bisa membeli kebutuhan pokok lainnya.
D. Perokok Menurut Tempat di Wilayah Rural dan Urban Tahun 2015
Karakteristik menurut tempat ini tidak hanya digunakan untuk tempat tinggal melainkan juga digunakan dalam area geografi yang relevan dengan
kejadian penyakit CDC, 2012. Berikut adalah penjelasan mengenai distribusi menurut tempat:
1. Pajanan Asap Rokok
Pajanan asap rokok di lingkungan rumah atau secondhand smoke merupakan pajanan asap rokok yang dihirup oleh perokok maupun non-
perokok di lingkungan rumah. Hasil survei yang telah didapatkan peneliti yakni pajanan asap rokok di dalam rumah lebih banyak terjadi di rural
53,09 dibandingkan dengan di urban 42,62. Pajanan asap rokok di lingkungan kerja yakni 16,18 pada di rural dan 11,41 di urban.
Sedangkan, pajanan rokok di tempat umum diperoleh hasil bahwa
sebagian besar responden pada kedua wilayah mendapatkan pajanan yang berasal dari tempat makan.
Penelitian yang
dilakukkan oleh
Nurwidayanti 2013
menunjukkan bahwa sebanyak 55 dari 84 responden menjadi perokok pasif. Survei lainnya yang dilakukkan di Indonesia didapatkan bahwa
sekitar 78,4 penduduk yang berusia diatas 15 tahun terpapar asap rokok di lingkungan rumah, 51,3 terpapar pada area kantor, 63,4 kantor
pemerintah, 17,9 fasilitas pelayanan kesehatan 85,4 restauran, 70 di tranpotasi umum GATS, 2011.
Pada penelitian yang dilakukkan peneliti diketahui bahwa perokok didalam rumah merokok paling banyak dengan jumlah batang rokok 10-
14 batang rokok perhari di rural dan urban dengan proporsi 42 di rural dan 44,44 di uban. Selain itu, rumah yang diperbolehkan merokok
cenderung memiliki perokok dengan durasi merokok 10-19 tahun pada kedua wilayah dengan proporsi 57,69 di rural dan 74,07 di urban.
Hill menyebutkan suatu kejadian penyakit meningkat seiring dengan bertambahnya pajanan Gersmant, 2003. Ashari 2011 menyebutkan
bahwa lamanya pajanan asap rokok akan berisiko menderita penyakit hipertensi sebanyak 2,6 kali dibanding yang tidak terkena pajanan.
Pada peneltian yang dilakukkan peneliti menunjukkan bahwa rumah yang diperbolehkan merokok di rural cenderung memiliki
proporsi penderita penyakit hipertensi yang lebih tinggi 42. Sedangkan, di urban cenderung memiliki proporsi penderita TB. Studi yang
dilakukan di daerah Finlandia tahun 1997 menunjukkan bahwa pajanan asap rokok di tempat kerja berisiko menderita penyakit asma sebesar 2
kali daripada yang tidak terpapar dan pajanan rokok di rumah berisiko menderita penyakit asma sebesar 5 kali dibandingkan yang tidak terpapar
Jaakkola, 1997. Dalager et al tahun 1986 dalam Rufaridah 2011 menyebutkan
bahwa perokok pasif mempunyai risiko lebih tinggi menderita penyakit daripada perokok aktif. Hal ini dikerenakan perokok pasif menghisap
asap rokok yang berasal dari ujung rokok yang terbakar dan arus utama. Selain itu, asap rokok juga masih terdapat di lingkungan walaupun rokok
telah dimatikan. Oleh karena itu, sebaiknya di dalam rumah diadakan larangan atau
peraturan mengenai rokok. Perokok baik itu anggota keluarga maupun tamu tidak diperkenankan merokok di dalam rumah agar terhindar dari
asap rokok yang menimbulkan berbagai masalah kesehatan. Selain itu, Puskesmas dapat mengadakan pelatihan anti rokok yang didalamnya
berisi monitoring perokok didalam rumah dan sekolah serta memberikan edukasi kepada masyarakat mengenai rokok sehingga dapat mencegah
adanya perokok baru dan mengurangi risiko terjadinya penyakit akibat rokok.
2. Pajanan Iklan Rokok
Iklan merupakan pesan gambar dengan ragam tulisan maupun suara di surat kabar, majalah, bus kota, papan reklame, slide dan film di
Bioskop Pudjianto 1995 dalam Gumelar 2011. Menurut Gumelar dan Sareb 2011 iklan merupakan media komunikasi persuasif yang
bertujuan untuk mempromosikan suatu produk dengan komunikasi lisan mupun tulisan.
Iklan rokok ini sangat berperan pada perokok. Hasil survei yang telah didapatkan peneliti yakni sebagian besar responden pada kedua
wilayah mendapatkan pajanan iklan yang berasal dari televisi. Survei GATS tahun 2011 menunjukkan bahwa sebagian penduduk di Indonesia
melihat iklan rokok di televisi yaitu sebanyak 66,3. Selain itu, peneliti juga menemukkan bahwapajanan iklan rokok di
televisi lebih banyak terjadi pada perokok dengan umur awal merokok kurang dari 15 tahun yakni 83,33. Penelitian yang dilakukkan oleh
Pierce 1998 menunjukkan bahwa kegiatan promosi industri tembakau pada pertengahan tahun 19990 mempengaruhi 17 dari responden untuk
merokok. Studi lainnya juga menunjukkan bahwa iklan rokok dapat mempengaruhi seseorang menjadi perokok Lovato, 2003. Besarnya
proporsi remaja yang merokok ini mungkin disebabkan oleh pajanan iklan rokok.
Menurut Ray dalam Pierce 1998 bahwa promosi bekerja untuk membangun perilaku konsumen. Dalam hal ini iklan cenderung
mempengaruhi kelompok usia muda untuk merokok. Iklan rokok yang menampilkan pria yang menarik seperti kuat, sehat, mandiri, tegas dan
juga jantan akan menimbulkan persepsi bahwa merokok dapat
menyebabkan mereka menarik Nichter, 2009. Sehingga, ada yang berpikiran bahwa tidak merokok dapat menyebabkan mereka tidak
menarik. Dalam iklan rokok juga mencantumkan pesan bahwa rokok dapat memberikan apa yang remaja inginkan seperti penerimaan dari
orang sekelilingnya, identitas gender maskulin dan feminim, pemberontakkan, mengurangi stres dan depresi serta popularitas
National Cancer Institute, 2008. Oleh karena itu, untuk mengurangi adanya jumlah perokok baru
pada usia remaja baik laki-laki maupun perempuan peneliti menyarankan kepada orangtua atau pengasuh untuk melakukan monitoring kepada
anak dalam hal menonton tv atau film. Hal ini bertujuan untuk mencegah anak khususnya remaja awal untuk mengikuti perilaku merokok yang
dilakukkan oleh tokoh atau promosi iklan yang ada di televisi. Orangtua bisa memberikan edukasi kepada anak tentang rokok.
Selain itu, perlu adanya penyuluhan di sekolah-sekolah seperti SD dan SMP. Kegiatan ini bertujuan memberikan informasi kepada siswa
yang umumnya berada pada masa remaja awal tentang rokok. Penyuluhan yang dilakukkan tidak hanya memberikan informasi tetapi
juga mengarahkan siswa kepada kegiatan yang positif untuk mengembangkat bakat setiap siswa.
E. Perokok Menurut Waktu di Wilayah Rural dan Urban Tahun 2015
Karakteristik menurut waktu bisa di analisis dari berbagai sudut pandang seperti menunjukkan tren suatu penyakit ataupun pola penyakit
sporadis, endemik, dll Gerstman, 2003. Karakteristik menurut waktu digunakan untuk melakukan pengawasan pada kejadian penyakit sehingga
bisa dilakukan intervensi CDC, 2012.
1. Durasi Merokok
Durasi merokok didefinisikan yaitu lamanya merokok dimulai dari usia awal merokok sampai saat berhenti merokok Guo, 2006. Sama
seperti banyaknya jumlah batang rokok yang dikonsumsi, durasi merokok juga memiliki dose response yakni semakin lama durasi
merokoknya maka semakin berisiko terkena efek yang ditimbulkan. Penelitian yang telah dilakukkan peneliti menunjukkan bahwa
sebagian besar perokok pada kedua wilayah memiliki durasi merokok 10- 19 tahun yakni 72,97 di urban dan 63,83 di rural. Hasil penelitian ini
sama dengan penelitian yang dilakukkan oleh Chen 1995 menunjukkan bahwa proporsi terbesar terjadi pada durasi merokok 10-19 tahun 5
dibandingkan dengan kategori durasi merokok yang lainnya. Lamanya durasi merokok ini cenderung mempengaruhi kesehatan
perokok. Penelitian yang telah dilakukkan oleh peneliti menunjukkan bahwa responden yang memiliki durasi merokok 10-19 tahun memiliki
proporsi terbanyak menderita penyakit hipertensi dengan proporsi 55,56 pada rural dan urban responden yang merokok dengan durasi
merokok 10-19 tahun cenderung memiliki proporsi menderita penyakit hipertensi 28,57.
Studi yang dilakukkan oleh Suharmiati 2008 menunjukkan bahwa semakin lama durasi merokok lebih dari 20 tahun menunjukkan proporsi
yang tinggi menderita hipertensi yakni 95,4 dibanding yang merokok 11-20 tahun. Studi lainnya yang dilakukkan Ismaeel 2010. Penelitian
Ismail menunjukkan hasil bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara tingginya tekanan darah sistolik dengan durasi merokok lebih dari
10 tahun. Dalam hal ini, durasi merokok menimbulkan gangguan endotel
pembuluh darah sehingga terjadinya kelainan dalam aliran darah miokardia. Merokok mengurangi produksi prostasiklin endotel dan
meningkatkan adhesi leukosit pada sel endotel. Merokok juga meningkatkan produksi angiotesin II yang mengurangi aktivitas nitrat
oksida sehingga menyebabkan tidak berfungsinya endotel Campisi, 1998. Selain itu, merokok pada masa muda dapat meningkatkan tekanan
darah karenaterjadinya perubahan ketebalan arteri seiring berjalannya waktu Raitakari, 2003.
Dalam hal ini, peneliti berharap agar para perokok dapat mengurangi jumlah rokok. Pengurangan jumlah rokok ini diharapkan
dapat melatih para perokok agar tidak mengonsumsi rokok kembali sehingga durasi merokok akan lebih pendek dan risiko efek kesehatan
yang ditimbulkan juga semakin kecil. Selain itu, peneliti menyarankan kepada perokok untuk melakukan olahraga secara rutin minimal 3 kali
dalam seminggu selama 30 menit. Olahraga ini bertujuan untuk mengurangi keinginan merokok.
F. Kondisi Kesehatan yang Dialami Perokok di Wilayah Rural dan Urban
Tahun 2015
Rokok merupakan salah satu faktor penyebab dari penyakit kardiovaskular. Heart Foundation 2014 menunjukkan bahwa sebanyak 2,7
juta penduduk Australia merokok dengan jumlah perokok tiap hari sebesar 300.000 orang. Hasil penelitian yang dilakukkan oleh peneliti
memperlihatkan bahwa kondisi kesehatan yang dialami perokok yang paling banyak terjadi yaitu penyakit kardiovaskular seperti hipertensi dengan
proporsi 42,42 pada rural dan 38,46 pada urban. Tingginya proporsi perokok di rural mungkin disebabkan oleh
besarnya jumlah rokok yang dikonsumsi oleh perokok di rural dibandingkan dengan urban. Penelitian yang dilakukkan oleh peneliti menunjukkan bahwa
proporsi perokok yang mengonsumsi ≥ 25 batang rokok perhari di rural
lebih banyak dibandingkan dengan urban yakni 6,38 pada rural dan 4,05 pada urban. Hal ini didukung oleh pernyataan Price dan Wilson 2006
dalam Nurwidayanti 2013. Menurut Price dan Wilson 2006 jumlah rokok yang dikonsumsi oleh perokok lebih berpengaruh meningkatkan
hipertensi. Hal ini dikarenakan adanya akumulasi dari bahan-bahan yang terhirup yang masuk ke dalam tubuh sehingga menjadi toksin di dalam
tubuh.
Penelitian yang telah dilakukkan oleh Suparto 2010 menunjukkan bahwa adanya hubungan antara rokok dengan kejadian hipertensi. Rokok
merupakan salah satu risiko meningkatkan hipertensi. Penelitian oleh Sihombing 2010 menunjukan bahwa risiko hipertensi pada perokok
sebesar 1,2 kali dibandingkan dengan yang tidak merokok. Penelitian lainnya oleh Bowman 2007 juga menunjukkan hasil yang sama yakni
orang yang memiliki kebiasaan merokok dapat berisiko menderita penyakit hipertensi sebesar 1,2 kali dibandingkan dengan yang tidak memiliki
kebiasaan merokok. Bahan-bahan kimia yang masuk ke dalam tubuh seperti nikotin dapat
merusak lapisan endotel pembuluh darah sehingga terjadinya kelainan dalam aliran darah miokardia. Merokok mengurangi produksi prostasiklin
endotel dan meningkatkan adhesi leukosit pada sel endotel. Merokok juga meningkatkan produksi angiotesin II yang mengurangi aktivitas nitrat
oksida sehingga menyebabkan tidak berfungsinya endotel Campisi, 1998. Nikotin juga merangsang pelepasan epinefrin dan norepinefrin dari medula
adrenal dan ujung saraf terminal yang mengakibatkan peningkatan denyut jantung dan kontraktilitas lebih besar m
elalui stimulasi reseptor β1 miokard. Resistensi pembuluh darah perifer meningkat melalui α-reseptor yang
akhirnya dapat meningkatkan tekanan darah CDC, 2010. Konsumsi rokok minimal 2 batang akan dapat meningkatkan tekanan darah sistolik dan
diastolik sebesar 10 mmhg. Tekanan darah tersebut akan tetap tinggi pada 30 menit setelah berhenti menghisap rokok. Saat efek nikotin menghilang
tekanan darah juga menurun. Namun, pada perokok berat tekanan darah akan tetap tinggi Nurwidayanti, 2013.
Dalam hal ini peneliti menyarankan kepada perokok untuk melakukkan konsultasi pada Puskesmas terdekat untuk mengurangi dampak
merokok. Peneliti juga menyarankan kepada Puskesmas untuk membuat suatu edukasi langsung kepada masyarakat mengenai perilaku merokok dan
efek rokok yang ditimbulkan. Puskesmas juga diharapkan dapat melakukan monitoring mengenai perilaku kesehatan masyarakat di wilayah kerja nya
terutama masalah rokok dengan melibatkan kader. Kegiatan monitoring ini bisa dilakukan dengan mengadakan kegiatan screening pada POSBINDU di
masyarakat. Kegiatan POSBINDU ini dilakukan dengan pendekatan lima meja dimana meja pertama dilakukan anamnesis selanjutnya pengukuran
dan penyuluhan. Diharapkan pada acara ini juga bekerjasama dengan klinik berhenti merokok khusus untuk orang-orang yang merokok.
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
1. Perokok di wilayah urban lebih banyak 24,83 dibanding wilayah rural 17,09.
2. Berdasarkan jenis kelamin perokok, perokok laki-laki lebih banyak dibanding perokok perempuan yaitu 76,60 pada wilayah rural dan
87,84 pada wilayah urban. 3. Berdasarkan pendidikan terakhir perokok, perokok di wilayah rural lebih
banyak pada kelompok Sekolah Menengah Pertama SMP yakni 38,30. Sedangkan, di wilayah urban lebih banyak pada kelompok yg Sekolah
Menengah Atas SMA yakni 58,11. 4. Berdasarkan pekerjaan perokok, perokok di wilayah rural lebih banyak
pada buruh yakni sebesar 36,17. Sedangkan, di wilayah urban pekerjaan perokok lebih banyak terdapat pada kelompok wiraswasta
41,90. 5. Berdasarkan jumlah rokok yang dikonsumsi, perokok mengonsumsi 10-14
batang rokok perharinya baik di wilayah rural 41,89 maupun di wilayah urban 38,30 dengan rata-rata perhari 13 batang perhari di
wilayah rural dan 11 batang perhari di wilayah urban.
6. Berdasarkan metode berhenti merokok, metode berhenti merokok tanpa bantuan pada wilayah rural dan urban lebih banyak dibanding dengan
metode lainnya yakni 64,29 pada rural dan 48,57 pada urban. 7. Berdasarkan anggaran pembelian rokok, rata-rata anggaran yang
dikeluarkan perokok sebesar Rp 13.700 pada wilayah urban dan Rp 10.600 pada wilayah rural. Anggaran pembelian rokok maksimal pada wilayah
rural sebesar Rp 21.000 dan pada wilayah urban Rp 32.000. 8. Berdasarkan usia awal perokok, rata-rata usia awal merokok Age
Initiation pada wilayah rural yakni 19 tahun. Sedangkan, pada wilayah urban rata-rata usia awal merokok 17 tahun.
9. Berdasarkan pajanan asap rokok, pajanan asap rokok di dalam rumah lebih banyak terjadi di wilayah rural 53,09 dibanding dengan wilayah urban
42,62. Hal ini juga terjadi pada pajanan asap rokok di lingkungan kerja yakni 16,18 di wilayah rural dan 11,41 di wilayah urban. Sedangkan,
di tempat umum pajanan asap rokok terbanyak yakni terjadi pada tempat makan baik di wilayah rural 80,17 maupun di wilayah urban 82,50.
10. Berdasarkan pajanan iklan rokok, hampir semua responden mendapat pajanan iklan rokok pada televisi yakni 96,86 di wilayah rural dan
91,87 di wilayah urban. 11. Berdasarkan durasi merokok, sebagian besar perokok memiliki durasi
merokok 10-19 tahun yakni 63,83 di wilayah rural dan 72,97 di wilayah urban.
12. Berdasarkan kondisi kesehatan perokok, kondisi kesehatan yang dialami perokok yang paling banyak terjadi yaitu hipertensi dengan proporsi
42,42 di wilayah rural dan 38,46 di wilayah urban.
B. Saran 1. Puskesmas Wilayah Setempat
a. Puskesmas wilayah setempat perlu melakukan edukasi kepada warga
mengenai dampak rokok terutama kepada kalangan pelajar seperti SD, SMP dan SMA. Selain itu, agar surveilans rokok ini dapat diterapkan
pada wilayah Puskesmas untuk melakukan monitoring perkembangan kesehatan.
b. Puskesmas wilayah setempat disarakan untuk mengadakannya klinik
berhenti merokok pada Puskesmas di wilayah rural maupun urban.
2. Kelurahan dan Desa
Pemerintah wilayah setempat kelurahan lebih proaktif untuk mengadakan gerakan berhenti merokok yaitu dengan membuat
kesepakatan berhenti merokok di wilayah setempat dan membuat wilayah
bebas asap rokok. 3.
Perokok
Peneliti berharap agar perokok dapat berhenti merokok dengan melakukan metode seperti mengurangi jumlah rokok yang dikonsumsi, mengganti
rokok dengan permen, konseling, dll. Metode ini juga harus dibarengi dengan kepercayaan diri yang kuat untuk bisa berhenti merokok.
4. Peneliti Selanjutnya
Peneliti menyarankan kepada peneliti selanjutnya untuk membuat penelitian dengan menggunakan metode mix-metode kuantitatif dan
kualitatif untuk mengetahui alasan merokok responden di wilayah pedesaan dan perkotaan.