Jenis Kelamin Perokok di Wilayah Rural dan Urban Tahun 2015

perjanjian untuk tidak merokok atau mengadakan taruhan dengan imbalan yang besar.

3. Pendidikan

Pendidikan merupakan usaha seseorang untuk membuat dirinya sadar sehingga bisa mengambil suatu keputusan Maulana, 2009. Pendidikan memungkinkan individu untuk dapat memberdayakan dirinya dalam mendapatkan akses kesehatan. Penelitian yang telah peneliti lakukan menunjukkan bahwa di urban proporsi pendidikan terakhir perokok lebih besar pada kelompok yg Sekolah Menengah Atas SMA yakni sebesar 58,11. Sedangkan, di rural proporsi pendidikan perokok lebih besar pada kelompok Sekolah Menengah Pertama SMP yakni 38,30. Data dari Riskesdas tahun 2013 di DKI Jakarta menunjukkan bahwa proporsi perokok dengan pendidikan tamat SMA lebih besar yakni 29,3 diikuti oleh proporsi perokok tamat SMP sebesar 23,3. Tingginya tingkat pendidikan perokok di urban dibandingkan dengan rural merupakan salah satu faktor tingginya tingkat pendidikan perokok pada masyarakat urban. Menurut Wahyono 2012 tingkat sosioekonomi masyarakat urban lebih tinggi dibandingkan masyarakat rural sehingga masyarakat urban cenderung memiliki keinginan maju yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan masyarakat rural. Pada penelitian yang telah dilakukkan oleh peneliti, Sebagian besar responden yang tamat SMP mulai merokok pada usia 15-24 tahun dengan proporsi 94,44 di rural dan 55,56 di urban. Menurut Venkatnarayan 1996 dalam Gupta 2006 menunjukkan bahwa pendidikan merupakan salah satu faktor yang memungkinkan seseorang merokok. Laki-laki yang tidak memiliki pendidikan memiliki risiko 1,8 kali menjadi perokok dibandingkan laki-laki yang memiliki pendidikan tinggi. Sedangkan, perempuan yang tidak memiliki pendidikan berisiko menjadi perokok 3,7 kali dibandingkan dengan yang tidak merokok. Dengan kata lain, pendidikan yang rendah cenderung memungkinkan seseorang menjadi perokok. Hal ini mungkin disebabkan oleh karena para perokok memiliki masa sulit selama sekolah. Pada masa sekolah terdapat banyak tantangan yang harus dihadapi seperti budaya disekitarnya, fisik dan diri sendiri. Jika individu itu gagal maka akan menimbulkan depresi, pesimis dan mungkin akan mencoba untuk merokok. Alasan lainnya adalah para perokok kebanyakan merokok pada saat remaja ini memiliki kepercayaan diri yang rendah sehingga mengambil keputusan untuk merokok Zhu, 1996. Proses dari mencoba merokok menjadi perokok ini juga bisa timbul pada saat di sekolah yang mungkin disebabkan karena adanya pengaruh dari teman sebaya Hasanah, 2011. Perokok yang telah kecanduan dengan rokok juga mungkin kurang tertarik untuk menyelesaikan sekolahnya. Hal ini disebabkan oleh karena mereka sulit menahan diri untuk tidak merokok selama pelajaran berlangsung sehingga beberapa ada yang melanggar peraturan sekolah untuk tidak merokok Zhu, 1996. Oleh karena itu, sebaiknya para pendidik diharapkan dapat meningkatkan minat siswa terhadap sesuatu yang disenangi siswa. Sekolah-sekolah juga diharapkan dapat memberikan waktu istirahat seperti diadakannya waktu untuk tidur didalam kelas secara bersama- sama pada jam istirahat. Peneliti juga berharap agar pihak sekolah, khususnya SMP dan SMA, untuk mengadakan jadwal konsultasi secara pribadi dengan guru Bimbingan Konseling pada jam istirahat. Kegiatan ini bertujuan agar siswa dapat berkeluh kesah kepada guru Bimbingan Konseling tersebut. Selain itu, diperlukan adanya peran orang tua untuk selalu membimbing anak-anak. Dalam hal ini orang tua berperan sebagai sahabat anak yang dapat mendengar keluh-kesah anak dan memberikan saran yang sesuai sehingga anak tidak terjerumus kepada hal-hal yang negatif. Puskesmas juga bisa berperan dalam hal memberikan edukasi kepada sekolah-sekolah mengenai rokok seperti pada saat masa orientasi siswa. Puskesmas juga bisa melatih petugas PMR atau dokter kecil di setiap sekolah dalam hal mengedukasi siswa mengenai bahan yang ada dalam rokok dan bahayanya bagi kesehatan dan bagaimana menyikapi orang-orang disekitar mereka yang merokok.

4. Pekerjaan

Pekerjaan merupakan suatu kegiatan yang dapat menghasilkan barang baik untuk diri sendiri maupun orang lain Suroto 1992 dalam Udin 2010. Sedangkan, bekerja menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja no 1 tahun 2014 bekerja merupakan kegiatan ekonomi yang dilakukan seseorang dengan maksud memperoleh atau membantu memperoleh pendapatan atau keuntungan. Hasil survei yang telah didapatkan peneliti yakni wiraswasta merupakan pekerjaan perokok yang paling besar persentasenya di wilayah urban Urban yakni 41,90. Sedangkan, di wilayah rural perokok dengan pekerjaan sebagai buruh memiliki persentase yang paling banyak dibandingkan dengan pekerjaan yang lain sebesar 36,17. Data GATS 2011 menunjukkan bahwa presentase terbesar perokok berada pada jenis pekerjaan wirausaha dengan presentase sebesar 60,1 GATS, 2011. Sementara itu, Di DKI Jakarta proporsi perokok paling tinggi berada pada jenis pekerjaan petaninelayanburuh yakni sebesar 47. Penelitian yang dilakukkan oleh peneliti juga menemukkan bahwa pada wilayah urban Urban maupun rural cenderung membeli rokok 10- 14 batang perhari, dimana pada masyarakat urban mayoritas pekerjaannya adalah wiraswastapedagangpelayan jasa sementara masyarakat rural mayoritas pekerjaannya adalah buruh. Pada penelitian ini juga ditemukan bahwa mayoritas pekerjaan responden yang merokok adalah buruh cenderung membeli rokok dengan harga diatas rata-rata Rp 10.600 dengan proporsi 57,14. Sedangkan, pada wilayah urban yang mayoritas pekerjaannya adalah wiraswasta cenderung membeli rokok dengan harga dibawah rata-rata Rp 13.700 dengan proporsi 51,6.