49
BAB IV RUMAH SAKIT PANTI RAPIH
A. Sejarah Rumah Sakit Panti Rapih
Perkembangan sebuah usaha tak terlepas dari sejarah berdiri serta tujuannya didirikan. Demikian pun Rumah Sakit Panti Rapih
sebagai salah satu rumah sakit terkemuka di Yogyakarta. Keberadaan Rumah Sakit Panti Rapih berkaitan dengan sejarah perkembangan
Gereja Katolik di Yogyakarta. Pewartaan iman Katolik di Yogyakarta bermula pada tahun 1914 melalui katekese di rumah R.P Himadjaja
yang merupakan ayahanda dari Mgr. Djajasepoetro, SJ. Misionaris pada masa itu bersama para murid dari Xaverius College di Muntilan terlibat
dalam pengembangan karya misi hingga mampu mendirikan Standaart- School sebagai lembaga pendidikan Katolik pertama di Yogyakarta pada
tahun 1917. Perkembangan umat yang semakin nyata, terlebih setelah
berdirinya lembaga pendidikan katolik, memunculkan keinginan para misionaris untuk mendorong karya yang lebih bagi masyarakat pribumi.
Keinginan tersebut secara khusus berkaitan dengan karya pelayanan kesehatan melalui kehadiran Rumah Sakit di Yogyakarta. Demi
mewujudkan cita-cita luhur tersebut, para pengurus gereja di Yogyakarta mencoba menjalin kerjasama dengan para Suster Fransiskanes dalam
mengelola rumah sakit. Sayangnya keinginan kerjasama tersebut harus
ditolak halus oleh para Suster Fransiskanes karena konsentrasi kongregrasi mereka yang berada di bidang Pendidikan.
Berdasarkan situasi yang ada pasca pasca penolakan dari para Suster Fransiskanes, para pengurus gereja pada tahun 1921 mengambil
keputusan untuk mencari pihak lain yang dapat diajak bekerjasama. Pilihan pun akhirnya dijatuhkan pada para Suster-Suster Carolus
Borromeus CB yang berpusat di Maastricht, Belanda. Pilihan ini diduga karena adanya pengaruh Ir. Julius Robert Anton Marie
Schmutzer yang dekat dengan kongregrasi tersebut karena istrinya Ny. C.T.M Schmutzer pernah menjadi murid di Sekolah Perawat yang
dikelola para Suster CB di Belanda. Pilihan kerjasama ini pada akhirnya menemukan jalannya karena disambut baik para suster CB di Belanda.
Setelah terbangunnya komitmen bersama diantara pengurus gereja dan Suster CB di Belanda, maka sebagai titik awal berdirinya
Rumah Sakit, dibentuklah sebuah yayasan pada tanggal 22 Februari 1927 yang diberi nama “Onder de Bogen atau lengkapnya dalam
bahasa Belanda Onder de Bogen Stichting. oleh pengurus Gereja Yogyakarta.
Selanjutnya pada
tanggal 14
September 1928,
pembangunan fisik rumah sakit pun dimulai dengan ditandai peletakan batu pertama oleh Ny. C.T.M. Schmutzer van Rijckevorsel.
Sementara dalam proses pembangunan Rumah Sakit, para suster CB memulai perutusannya ke Yogyakarta. Tercatat pada Januari 1929
sebagai awal kehadiran lima orang Suster Cinta Kasih St. Carolus
Borromeus dari Belanda. Para suster perintis misi ini adalah Moeder Gaudentia Brand, Sr. Yudith de Laat, Sr. Ignatia Lemmens, Sr. Simonia,
dan Sr. Ludolpha de Groot. Mengingat bangunan Rumah Sakit belum selesai, maka kelima suster tersebut untuk sementara tinggal di biara
Suster OSF Yogyakarta. Pada pertengahan Agustus 1929, pembangunan Rumah Sakit
pada akhirnya dapat diselesaikan. Mgr. A.P.F van Velse, SJ pun berkenan memberkati bangunan Rumah Sakit pada 24 Agustus 1929
yang akhirnya dibuka secara resmi oleh Sri Sultan Hamengku Buwono VIII dengan nama Rumah Sakit Onder de Bogen. Kehadiran Rumah
Sakit ini sekaligus juga menandai perkembangan awal misi katolik. Dukungan terhadap kehadiran rumah sakit ini pun bahkan turut
ditunjukkan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono VIII yang beberapa tahun kemudian berkenan menghadiahkan sebuah mobil ambulance
sebagai wujud penghargaan atas pelayanan bagi masyarakat pribumi. Berdiri kokohnya bangunan yang dihiasi dengan rancangan
berupa lengkungan-lengkungan dan nama Onder de Bogen melengkapi kenangan para Suster CB yang berdinas di rumah sakit ini akan induk
biara mereka di di Maastricht Belanda. Sebuah motivasi tersendiri dalam kesatuan karya mereka dalam kongregrasi terhadap sesama. Khususnya
pelayanan bagi masyarakat pribumi pada masa itu yang dilayani tanpa memandang agama dan identitas kebangsaannya. Berdasar pada ajaran
dan semangat Injil mereka terus berkarya melayani pasien yang pada
masa itu sebagian besar adalah para pejabat Belanda dan Kerabat Keraton.
Pada saat itu belum seluruh elemen masyarakat, khususnya rakyat yang miskin dan lemah dapat menikmati pelayanan rumah sakit.
Mengingat ajaran dan semangat injil, para suster yang berkarya menjadi prihatin dan merasa tidak puas terhadap keadaan yang ada. Hal ini dapat
dipahami karena intensi mereka dalam karya bagi orang yang kecil, lemah dan miskin merupakan dasar pengabdian mereka di Bumi
Nusantara. Maka melihat kondisi tersebut, Pimpinan Umum Suster-suster CB di Maastricht mendesak Pengurus Yayasan Onder de
Bogen untuk menyediakan juga fasilitas kesehatan guna melayani rakyat kecil yang miskin dan lemah.
Rupanya keterbatasan Yayasan Onder de Bogen yang belum mempunyai dana cukup pada masa itu menunda sejenak keinginan para
Suster CB. Hingga akhirnya melalui uluran tangan Kongregasi Bruder FIC pada masa itu, mendorong rumah sakit membangun bangsal khusus
untuk mereka yang tidak mampu. Bangsal tersebut kemudian diberi nama Bangsal Theresia. Sebuah hasrat pelayanan pada mereka yang
terpinggirkan yang akhirnya dapat terwujud. Keberadaan Rumah Sakit pun semakin nyata berkembang, ditandai dengan peningkatan jumlah
pasien. Hal ini mendorong pembangunan lebih lanjut fasilitas yang ada demi mengimbangi kebutuhan pelayanan.
Terjadinya perubahan konstelasi politik yang ditandai oleh kehadiran pasukan Jepang pada tahun 1942 turut mempengaruhi
perkembangan pelayanan. Kehadiran pasukan Jepang yang pada akhirnya menjajah Bumi Nuasantara dalam waktu singkat menambah
persoalan baru. Penderitaan baru mengakibatkan kekacauan terjadi dimana-mana. Bahkan rumah sakit Onder de Bogen tidak tak dapat
menhindar dari penderitaan ini. Pengelolaan rumah sakit menjadi kacau dan kondisi keuangan rumah sakit kian menyedihkan. Biaya operasional
rutin semakin sulit terpenuhi oleh para pengurus. Kondisi ini semakin rumit setelah para Suster yang merupakan
warga negara Belanda pun diinternir dan dimasukkan kamp tahanan Jepang. Tak kalah mengecewakan setelah rumah sakit Onder de
Bogen diambil alih menjadi rumah sakit pemerintah Jepang. Dr. Sentral selaku Direktur Rumah Sakit pada masa itu dipindahkan ke Rumah
Sakit Bethesda, yang juga diambil alih pemerintah Jepang. Pimpinan rumah sakit akhirnya diserahkan kepada Sr. Sponsari, sementara Moeder
Yvonne diangkat sebagai Pembesar Umum Suster CB di Indonesia. Pemerintahan Jepang semakin menunjukkan sikap tidak
senangnya terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan Belanda. Sehingga segala sesuatu yang masih berkaitan dengan Belanda termasuk
penggunaan bahasa pun harus diganti. Hal ini memaksa juga Rumah Sakit untuk mengganti namanya dengan nama lain yang dianggap tidak
berbau Belanda. Menyikap hal ini Mgr. Albertus Soegijopranoto, SJ
selaku Uskup di Keuskupan Semarang pada akhirnya berkenan memberi nama baru bagi Rumah Sakit Onder de Bogen. Sejak itu Rumah Sakit
tersebut berganti nama menjadi Rumah Sakit Panti Rapih yang bermakna Rumah Penyembuhan.
Semakin gencarnya perjuangan kebangsaan dan bertepatan dengan berakhirnya pendudukan pasukan Jepang menguatkan kembali
posisi republik yang masih muda. Pembebasan para tawanan termasuk para Suster CB yang akhirnya dapat berkarya lagi di Rumah Sakit
semakin mendorong perbaikan kondisi saat itu. Para suster tersebut juga menunjukkan dedikasi dan cinta kasih mereka melalui perawatan
khususnya pada para pejuang kemerdekaan Indonesia. Kenangan akan pengabdian para Suster CB dan dedikasi
mereka dalam merawat para pejuang kemerdekaan turut membuat Panglima Angkatan Perang Republik Indonesia, Jenderal Soedirman,
berkenan hadir pada peringatan dua puluh lima tahun hidup membiara Sr. Benvunito. Suster tersebut merupakan seorang Suster CB yang
penuh kasih merawat Jenderal Soedirman ketika harus dirawat di Rumah Sakit Panti Rapih. Tak sekedar hadir, beliau bahkan secara tulus
merangkai sajak indah berjudul ‘Rumah Nan Bahagia’. Sajak yang
secara khusus didedikasikan untuk Sr. Benvunito, perawat beliau. Puisi yang ditulis tangan oleh Jenderal Besar Soedirman tersebut hingga kini
masih tersimpan baik di RS Panti Rapih Yogyakarta.
Setelah kedaulatan Indonesia diakui oleh dunia internasional, RS Panti Rapih pun kian dikenal dan mendapatkan kepercayaan dari
masyarakat. Bertambahnya kepercayaan masyarakat ini berdampak pada pertumbuhan jumlah pasien yang hendak dirawat di RS Panti Rapih.
Demi mengimbangi peningkatan tersebut, maka pengurus Yayasan beserta Suster CB merencanakan perluasan bangunan dan penambahan
fasilitas. Biaya yang tidak sedikit untuk rencana tersebut mendorong
mereka berupa keras dalam mengupayakan dana. Upaya bantuan pun diupayakan baik dari lingkaran umat katolik maupun pemerintah. Para
suster bersemangat menggalang dana dengan membuat lukisan dan kerajinan tangan lainnya yang dapat dijual. Marcus Mangoentijoso
selaku Pengurus Yayasan pada waktu itu pun tak kalah bersemangat dan harus berjerih payah hingga akhirnya bantuan pun dapat mengalir dari
Pemerintah melalui Yayasan Dana Bantuan. Hasil dari bantuan tersebut akhirnya dapat mewujudkan pembangunan bangsal Albertus, bangsal
Yacinta dan Poliklinik Umum. Secara bertahap, RS Panti Rapih akhirnya dapat melengkapi
kebutuhan pengembangannya melalui dana bantuan yang ada. Kehadiran fasilitas-fasilitas baru baik peralatan medis, peralatan penunjang,
maupun bangunan bangsal dan poliklinik kian menambah kepercayaan diri dalam mengembangkan pelayanan terhadap masyarakat. Tak
sekadar itu, demi mendekatkan pelayanan pada masyarakat yang
kesulitan menjangkau pelayanan kesehatan khususnya warga pedesaan, maka dibangunlah cabang berupa Rumah Sakit Bersalin dan Balai
Pengobatan di daerah Pakem dan Kalasan. Sementara khusus mereka yang benar-benar miskin dan lemah, didirikan pula bangsal Puspita yang
merupakan singkatan dari Pusat Spiritualitas.
B. Seputar Logo