bahwa pekerja wanita memiliki asosiasi kuat dalam munculnya keluhan MSDs. Berdasarkan laporan yang diterimanya, pekerja wanita
mempunyai risiko dua kali lipat.
3. Hubungan Merokok dengan Keluhan NPB
Hasil penelitian terkait kebiasaan merokok pekerja dapat diketahui berdasarkan jumlah rokok yang dikonsumsi setiap hari dengan
pengkategorian merokok dan tidak merokok atau jika telah berhenti. Pekerja dikategorikan tidak merokok jika tidak pernah atau sudah
berhenti merokok lebih dari tiga puluh hari. Berdasarkan hasil analisis univariat dapat diketahui bahwa responden yang merokok pada pekerja
fabrikasi adalah 72.0 pekerja yang merokok dan pekerja yang tidak merokok atau jika telah berhenti merokok pada pekerja fabrikasi
sebanyak 42.1. Sedangkan pada pekerja office, pekerja yang merokok yaitu sebanyak 28.0 dan dan pekerja yang tidak merokok atau jika telah
berhenti merokok pada pekerja office sebanyak 57.9. Berdasarkan pengamatan di lapangan masih banyak ditemui pekerja
pada bagian fabrikasi yang merokok secara sembunyi-sembunyi di dalam area kerja dikarenakan kebanyakan pekerja fabrikasi berjenis kelamin
laki-laki sehingga mayoritas dari mereka kemungkinan merokok. Tidak hanya pada bagian fabrikasi pada bgaian office pun ditemui pekerja yang
merokok namun mereka cenderung merokok pada saat jam istirahat namun tidak dapat dipungiri bahwa masih saja ada pekerja yang merokok
secara sembunyi-sembunyi pada ruang kerja mereka. Padahal tindakan merokok secara sembunyi-sembunyi di dalam area kerja atau ruang kerja
sangatlah berisiko baik itu dari sisi keselamatan maupun kesehatan pekerja tersebut. Data Riskesdas 2013, perevalensi merokok di
Indonesia naik dari tahun ke tahun. Presentase pada penduduk berumur 15 tahun yang telah merokok adalah sebanyak 36.3 aktif merokok
66.0 berjenis kelamin laki laki dan 6.7 berjenis kelamin perempuan, artinya adalah dua diantara tiga laki-laki adalah perokok aktif Kemenkes
RI, 2013. Kebiasaan merokok terkait erat antara meningkatnya keluhan otot
dengan lama dan tingkat kebiasaan merokok. Mekanisme merokok berhubungan dengan nyeri punggung adalah sebagai berikut: Rokok
menurunkan kualitas darah yang disebabkan oleh kandungan nikotin dalam rokok, sehingga menyebabkan kandungan mineral dalam tulang
berkurang dan menyebabkan micro-factures. Rokok juga dapat menyebabkan batuk yang dapat meningkatkan tekanan di area perut dan
tekanan intradiscal Hales dan Bernard, 1996 dalam Beeck dan Hermans, 2000. Nikotin akan hilang dalam tubuh setelah 30 hari berhenti
merokok. Selain itu, pada saat merokok terjadi pelepasan bahan-bahan beracun yang dapat merusak lapisan dalam dinding pembuluh darah.
Pembuluh darah yang mengalami kerusakan terlebih dahulu adalah pembuluh darah kecil, yang berperan menyalurkan zat nutrisi dan
oksigen ke diskus invertebralis. Selain itu karbonmonoksida juga akan terbawa dalam aliran darah dan mengakibatkan kurangnya julmah asupan
oksigen ke jaringan Halim dan Tana, 2011.
Berdasarkan hasil uji chi-square diperoleh nilai p value sebesar 0.099 P value 0.05, hal ini menunjukan bahwa hipotesis ditolak yang
berarti bahwa tidak ada hubungan yang bermakna secara statistik antara kebiasaan merokok dengan munculnya keluhan NPB yang dialami oleh
pekerja di PT. Bakrie Metal Industries tahun 2015. Melihat data diatas dapat diketahui bahwa pekerja yang mengalami keluhan NPB dan
memiliki kebiasaan merokok adalah 68.4, sedangkan pekerja yang memiliki kebiasaan tidak merokok atau telah berhenti dan memiliki
keluhan NPB sebanyak 47.4. Tidak adanya hubungan dimungkinkan karena adanya bias recall yaitu bias dalam mengingat kembali kapan
mulai merokok dan berhenti merokok. Juga dimungkinkan karena pekerja yang merasa tidak nyaman saat ditanyai mengenai kebiasaan
merokok saat banyak orang sehingga kemungkinan mereka untuk menutupi kebiasaan mereokok tersebut. Disamping itu berdasarkan
temuan dilapangan, perusahaan memberlakukan kebijakan mengenai larangan merokok di area sekitar perusahaan. Larangan merokok
ditujukan untuk menghindari bahaya yang disebabkan oleh rokok tersebut seperti ledakkan, kebakaran ataupun bahaya kesehatan seperti
jantung dan gangguan paru-paru, sehingga bagai pekerja perokok telah disediakan area untuk merokok yang diletakan terpisah dari area kerja.
Disebabkan karena kebijakan tersebutlah kemungkinan pekerja untuk menjawab tidak merokok dikarenakan takut akan adanya larangan
tersebut.
Hasil penelitian tersebut tidak sesuai dengan hasil penelitian Jatmikawati 2006, yang menyatakan bahwa ada hubungan bermakna
antara kebiasaan merokok dengan nyeri punggung bawah, dikarenakan rokok dipercaya mengandung zat-zat yang berbahaya untuk kesehatan
tubuh. Ketidaksesuaian dikarenakan adanya perbedaan sampel dalam penelitian dimana sampel penelitian tersebut adalah pengemudi taksi.
Hasil penelitian tersebut juga tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Zulfiqor 2010, yang menyatakan bahwa terdapat
hubungan yang signifikan antara kebiasaan merokok dengan keluhan MSDs pada welder di bagian fabrikasi PT. Caterpillar Indonesia, dengan
nilai p value pada penelitian tersebut sebesar 0.044 p value ≤ 0.05,
ketidaksesuaian dikarenakan adanya perbedaan pengkategorian kebiasaan merokok dimana penelitian tersebut mengkategorikan kebiasaan
merokok menjadi berat, sedang, ringan dan tidak merokok. Namun hasil penelitian tersebut sesuai dengan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Mutiah dkk 2013, yang menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara kebiasaan merokok dengan
keluhan MSDs pada setiap sektor tubuh, dengan nilai p value pada penelitian tersebut sebesar 0.709 p value 0.05. Hasil penelitian
tersebut juga sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Defriyan 2011, yang menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna
antara kebiasaan merokok dengan keluhan nyeri punggung bawah, dengan nilai p value pada penelitian tersebut sebesar 1.000 p value
0.05.
Berdasarkan hasil penelitian oleh para ahli diperoleh bahwa meningkatnya frekuensi merokok akan meningkatkan keluhan otot yang
dirasakan. Meningkatnya keluhan otot sangat erat hubungannya dengan lama dan tingkat kebiasaan merokok. Risiko meningkat 20 untuk tiap
10 batang rokok per hari. Mereka yang telah berhenti merokok selama setahun memiliki risiko NPB sama dengan mereka yang tidak merokok.
Kebiasaan merokok akan menurunkan kapasitas paru-paru, sehingga kemampuannya untuk mengkonsumsi oksigen akan menurun. Bila orang
tersebut dituntut untuk melakukan tugas yang menuntut pengerahan tenaga, maka akan mudah lelah karena kandungan oksigen dalam darah
rendah Croasmun, 2003. Menurut Frymoyer dkk 1980 dalam Bridger 2003, merokok
merupakan salah satu faktor individu yang berisiko meningkatkan atau memicu adanya keluhan LBP atau NPB. Pada perokok lebih merasakan
sakit ketika nyeri pinggang dibandingkan dengan orang-orang yang tidak merokok. Kebanyakan penelitian mengkaji pengaruh merokok
berhubungan dengan nyeri punggung. Merokok berhubungan positif dengan nyeri punggung, sciatica, atau intervertebral herniated disc
Bernard dkk., 1997 dalam Beeck dan Hermans, 2000. Berdasakan hasil temuan dilapangan, perusahaan memberlakukan
kebijakan mengenai larangan merokok di area sekitar perusahaan. Larangan merokok ditujukan untuk menghindari bahaya yang disebabkan
oleh rokok tersebut seperti ledakkan, kebakaran ataupun bahaya kesehatan seperti jantung dan gangguan paru-paru, sehingga pekerja
perokok telah disediakan area untuk merokok yang diletakan terpisah dari area kerja. Hasil temuan lainnya, terdapat beberapa pekerja yang
merokok secara sembunyi-sembunyi di dalam area kerja. Padahal tindakan merokok secara sembunyi-sembunyi di dalam area kerja
sangatlah berisiko baik itu dari sisi keselamatan maupun kesehatan pekerja tersebut. Melihat fakta tersebut, sehingga kemungkinan besar
pekerja untuk memiliki risiko keluhan NPB yang diakibatkan oleh kebiasaan merokok semakin besar.
Selain itu, dimungkinkan bagi mereka yang tidak merokok bukan berarti terhindar untuk mengalami keluhan NPB. Hal ini dapat
disebabkan mereka terpapar asap rokok dari rekan kerja atau lingkungan tempat kerjanya atau tempat tinggalnya. Oleh karena itu, bagi pekerja
yang merokok sebaiknya diberikan informasi mengenai besarnya dampak
yang ditimbulkan dari kebiasaan merokok. 4.
Hubungan Riwayat NPB dengan Keluhan NPB
Riwayat NPB merupakan salah satu faktor yang memperngaruhi munculnya keluhan NPB. Riwayat NPB pada pekerja tidak berdasarkan
hasil pemeriksaan medis rekam medis tetapi hanya berdasarkan gejala- gejala NPB yang pernah dirasakan pekerja sebelum bekerja pada
pekerjaan saat ini. Berdasarkan hasil pengukuran diperoleh sebanyak 63.6 pekerja
pada bagian fabrikasi memiliki riwayat keluhan NPB, sedangkan pada bagian office sebanyak 36.4 pekerja memiliki riwayat keluhan NPB.
Hasil analisis hubungan antara faktor riwayat NPB dengan keluhan NPB
pada pekerja di PT. Bakrie Metal Industries menyebutkan bahwa kelompok pekerja yang memiliki keluhan NPB dan memiliki riwayat
NPB yaitu sebesar 54.5, sedangan pekerja yang memiliki keluhan NPB dan tidak memiliki riwayat NPB yaitu sebesar 64.6. Berdasarkan hasil
uji statistik tabel 5.6 diperoleh p value 0.522 p value 0.05 hal ini menunjukan bahwa hipotesis ditolak yang berarti bahwa tidak ada
hubungan yang bermakna secara statistik antara riwayat NPB dengan keluhan NPB pada pekerja di PT. Bakrie Metal Industies tahun 2015.
Berdasarkan hasil di lapangan diketahui bahwa pekerja yang memiliki pekerjaan sebelumnya yang sama pada bagian pekerjaan saat
ini yaitu sebanyak 46.1 dimana sisanya yaitu 53.9 tidak memiliki pekerjaan sebelumnya yang tidak sama dengan pekerjaan saat ini.
Banyaknya pekerjaan pekerja sebelumnya yang tidak sama dengan pekerjaan saat ini cenderung memiliki pekerjaan yang tidak berisiko
untuk memiliki keluhan NPB. Sehingga pekerja tidak memiliki keluhan NPB akibat pekerjaan sebelumnya.
Riwayat nyeri punggung merupakan salah satu faktor prediktif yang paling dapat menyebabkan LBP atau NPB dikemudian hari yang
berhubungan dengan pekerjaan Beeck dan Hermans, 2000. Luoma dkk 1998 dalam penelitiannya menemukan bahwa faktor-faktor risiko
lumbar disc degenarition merupakan tanda degenarasi terkait dengan berulangnya kembali kejadian nyeri punggung Beeck dan Hermans,
2000. Seseorang dengan riwayat penyakit NPB mempunyai kecenderungan untuk mengalami kejadian lanjutan Nursatya, 2008.
Berdasarkan penelitian Handayani 2011 didapatkan nilai OR sebesar 9.818 yang artinya pekerja yang memiliki riwayat penyakit MSDs
mempunyai kecenderungan untuk mengalami keluhan MSDs 9.818 kali dibandingkan pekerja yang tidak memiliki riwayat penyakit MSDs.
Hasil penelitian tersebut tidak sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Handayani 2011, yang menyatakan bahwa terdapat
hubungan yang bermakna antara riwayat penyakit dengan keluhan MSDs, dengan nilai p value pada penelitian tersebut sebesar 0.027 p
value ≤ 0.05, ketidaksesuaian dikarenakan pada adanya perbedaan
sampel dalam penelitian dimana sampel penelitian tersebut adalah
pekerja bagian polishing. 5.
Hubungan Kebiasaan Olahraga dengan Keluhan NPB
Kebiasaan olahraga
merupakan salah
satu faktor
yang mempengaruhi munculnya keluhan NPB. Hasil penelitian terkait
kebiasaan olahraga pekerja dapat diketahui berdasarkan jumlah waktu yang digunakan oleh pekerja untuk berolahraga selama seminggu dengan
pengkategoriaan cukup dan kurang. Menurut Bustan 2007, kurang atau
tidak melakukan olahraga merupakan salah satu faktor risiko utama penyakit tidak menular diantaranya yang berhubungan dengan otot dan
tulang. Hal ini disebabkan karena salah satu manfaat dari olahraga adalah memperkuat otot-otot, tulang dan jaringan ligamen serta meningkatkan
sirkulasi darah dan nutrisi pada semua jaringan tubuh. Berdasarkan hasil uji univariat dapat dilihat bahwa 66.6 pekerja
fabrikasi memiliki kebiasaan olahraga yang cukup sedangkan pada
pekerja office sebanyak 33.4 pekerja memiliki kebiasaan olahraga yang cukup. Kurangnya olahraga dapat menurunkan suplai oksigen ke dalam
otot sehingga dapat menyebabkan adanya keluhan otot. Pada umumnya, keluhan otot lebih jarang ditemukan pada seseorang yang dalam aktivitas
kesehariannya mempunyai cukup waktu untuk istirahat dan melakukan aktivitas fisik yang cukup. Tingkat keluhan otot juga sangat dipengaruhi
oleh kesegaran
tubuh. Pada
orang dewasa,
harus olahraga
diakumulasikan selama 150 menit selama satu minggu. 150 menit ini bisa dibagi selama enam hari setiap harinya hanya perlu olahraga 25
menit atau satu hari berolahraga selama 150 menit Janssen dan Clarke, 2013. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa kurangnya
kebiasaan olahraga pada pekerja disebabkan karena pada saat bekerja pekerja telah melakukan kegiatan yang memerlukan energi yang berlebih
sehingga pekerja kemungkinan malas untuk berolahraga kembali setelah bekerja. Kegiatan senam pagi juga tidak diikuti oleh sebagian pekerja
fabrikasi dikarenakan berdasarkan hasil penelitian pekerja fabrikasi cenderung mengatakan bahwa mereka tidak merasa diajak untuk
mengikuti kegiatan senam pagi tersebut, akibatnya mereka mungkin malas untuk mengikuti senam pagi yang memang didominasi diikuti oleh
pekerja office. Pada umumnya keluhan otot jarang dialami oleh seseorang dalam
aktifitas kesehariannya mempunyai cukup waktu untuk beristirahat dan berolahraga. Sebaliknya, bagi yang dalam pekerjaan kesehariaannya
memerlukan tenaga besar dan tidak cukup istirahat akan lebih sering
mengalami keluhan otot. Aktivitas fisik yang cukup dan dilakukan secara rutin dapat membantu mencegah adanya keluhan NPB. Tingkat
kesegaran tubuh yang rendah akan mempertinggi risiko terjadinya keluhan otot Mitchell, 2008.
Berdasarkan hasil analisis bivariat diperoleh 0.784 p value 0.05, hal ini menunjukkan bahwa hipotesis ditolak yang berarti bahwa tidak
ada hubungan yang bermakna secara statistik antara kebiasaan olahraga pekerja dengan keluhan NPB pada pekerja di PT. Bakrie Metal Industries
tahun 2015. Dari hasil diatas didapatkan bahwa paling banyak pekerja adalah kurang melakukan olahraga dan memiliki keluhan NPB yaitu
sejumlah 40 pekerja 62.5. Sedangkan pekerja paling sedikit adalah yang cukup melakukan olahraga tetapi tidak memiliki keluhan NPB yaitu
4 pekerja 33.3. Tidak adanya hubungan disebabkan karena pekerja dengan kebiasaan olahraga kurang cenderung dimiliki oleh pekerja
berusia ≥ 30 tahun, seiring dengan bertambahnya usia kelenturan otot menjadi berkurang, serta mudah letih dan capek serta kurangnya
kesadaran terhadap pentingnya kesehatan dan kebugaran. Hal tersebut didukung oleh, kebiasaan olahraga pada penduduk Indonesia yang
mungkin malas berolahraga dikarenakan alasan tidak ada waktu, malas dan capek setelah bekerja.
Hasil diatas tidak sejalan dengan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Evans 1996 yang dilakukan terhadap 10 pekerja dan
telah berumur tua, didapatkan bahwa olahraga telah terbukti efektif meningkatkan daya tahan otot tubuh. Hal ini dapat dilihat karena adanya
kenaikan 128 kapasitas oksigan pada otot akibat olahraga yang dilakukan setiap hari selama 12 pekan Evans, 1996. Hasil penelitian
tersebut juga tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Munir 2012, yang mengatakan bahwa terdapat hubungan yang bermakna
antara kebiasaan olahraga dengan keluhan nyeri punggung bawah dengan nilai p value pada penelitian tersebut sebesar 0.000 p value
≤ 0.05, ketidaksesuaian dikarenakan pada adanya perbedaan pengkategorian
kebiasaan olahraga dimana penelitian tersebut mengkategorikan kebiasaan olahraga berdasarkan kebiasaan olahraga secara teratur atau
tidak selama seminggunya dan juga adanya perbedaan sampel dalam penelitian dimana sampel penelitian tersebut adalah pekerja final packing
dan part supply. Namun hasil penelitian tersebut sesuai dengan hasil penelitian Defriyan 2011, yang mengatakan bahwa tidak ada hubungan
antara kebiasaan olahraga dengan keluhan nyeri punggung bawah, dengan p value pada penelitian tersebut sebesar 0.171 p value 0.005.
Olahraga yang teratur juga memperbaiki kualitas hidup, mencegah osteoporosis, dan berbagai penyakit rangka serta penyakit lainnya,
olahraga sangat menguntungkan karena risikonya minimal. Program olahraga harus dilakukan secara bertahap, dimulai dengan intensitas
rendah pada awalnya untuk mengindari cedera pada otot dan sendi Kurniawidjaja, 2011. Kurang atau tidak melakukan olahraga
merupakan salah satu faktor risiko utama penyakit tidak menular diantaranya yang berhubungan dengan otot dan tulang. Hal ini
disebabkan karena salah satu manfaat dari olahraga adalah memperkuat
otot-otot, tulang dan jaringan ligamen serta meningkatkan sirkulasi darah dan nutrisi pada semua jaringan tubuh Bustan, 2007.
Berolahraga dapat
meningkatkan temprature,
meningkatkan metabolisme dan tingginya kadar oksigen darah. Sehingga lama
kelamaan otot tubuh akan menjadi kuat dan menambah daya tahan serta menghindari kelelahan otot. Olahraga juga dapat memberikan struktur
tulang yang kuat dan stabil serta mencegah terjadinya cedera. Hal tersebut tertuang dalam Undang-Undang No. 23 tahun 1992 tentang
kesehatan pasal 26 bahwa dengan olahraga atau latihan jasmani yang benar akan dicapai tingkat kesegaran jasmani yang baik dan merupakan
modal penting dalam peningkatan prestasi. Melihat pentingnya dampak yang diakibatkan dari kurangnya
olahraga, maka perusahaan sebaiknya tidak hanya mewajibkan pekerjanya untuk melakukan senam tetapi juga melakukan pengawasan
dan memberikan sanksi jika ada pekerja yang tidak melaksanakan. Selain itu, perusahaan juga dapat memberikan hadiah atau penghargaan kepada
pekerja yang rutin melakukan senam atau dapat diadakan perlombaan senam. Hal demikian semata-mata dilakukan untuk memotivasi pekerja
agar melakukan senam pagi dan juga sebagai bentuk kepedulian perusahaan terhadap pekerjanya yang merupakan aset utama serta
merupakan upaya meningkatkan produktivitas pekerja.
E. Hubungan antara Berat Badan, Ukuran Lingkar Pinggang, Tinggi