Hubungan antara Faktor Pekerjaan dengan Keluhan NPB pada Pekerja

memang lebih rendah dari pada masa kerja pekerja pada bagian office, namun pada bagian farikasi terdapat pekerja yang telah bekerja selama 307 bulan 25 tahun 7 bulan dan masa kerja terendah pada bagain fabrikasi adalah 23 bulan 1 tahun 11 bulan, bila dibandingkan dengan pekerja office yang memiliki masa kerja terlama adalah 299 bulan 24 tahun 11 bulan dan terendah 12 bulan. Dimana seseorang dengan masa kerja yang semakin lama maka keluhan MSDsnya akan meningkat, karena semakin lama seseorang bekerja tentunya akan menerima risiko lebih besar jika dibandingkan dengan pekerja yang baru Ohlssson dkk, 1989.

C. Hubungan antara Faktor Pekerjaan dengan Keluhan NPB pada Pekerja

PT. Bakrie Metal Industres Tahun 2015 Faktor pekerjaan pada pekerja di PT. Bakrie Metal Industries berhubungan dengan posisi kerja yang dilakukan oleh pekerja. Grandjean 1993 menyatakan bahwa salah satu penyebab terjadinya keluhan LBP atau NPB yaitu sikap kerja atau posisi kerja yang tidak alamiah. Sikap kerja tidak alamiah adalah sikap kerja yang menyebabkan bagian tubuh bergerak menjauhi posisi alamiahnya. Semakin jauh posisi bagian tubuh dari pusat gravitasi, semakin tinggi pula terjadi keluhan otot skeletal. Sikap kerja tidak alamiah pada umumnya karena ketidaksesuaian pekerjaan dengan kemampuan pekerja Grandjean, 1993. Hasil yang didapatkan dari tabel 5.5 bahwa dari 47 pekerja dengan skor postur leher yang berisiko dan mengalami keluhan NPB adalah sebesar 36 pekerja 76.6, sedangkan dari 29 pekerja dengan skor postur leher tidak berisiko dan mengalami keluhan NPB adalah sejumlah 12 pekerja 41.4. Berdasarkan hasil uji chi-square tabel 5.5 diperoleh p value 0.002 p value ≤ 0.05 sehingga dapat disimpulkan bahwa hipotesis diterima yang berarti terdapat hubungan yang bermakna secara statistik antara postur leher dengan keluhan NPB pada pekerja di PT. Bakrie Metal Industries Tahun 2015. Berdasarkan hasil pengukuran pada pekerja fabrikasi diperoleh sebanyak 89.4 pekerja memperoleh skor postur leher yang berisiko dan pada pekerja office diperoleh sebanyak 75.8 pekerja memperoleh skor postur leher tidak berisiko. Pada pekerja fabrikasi sebagian besar posisi kerja pekerja yang statis dan posisi janggal seperti jongkok atau membungkuk sedangkan pada pekerja office sebagain besar posisi kerja yang statis saat melakukan pekerjaan, hal tersebut yang dapat memungkinkan skor postur leher pada pekerja fabrikasi lebih berisiko dikarenakan posisi kerja yang dilakukan. Posis kerja pada bagain fabrikasi memerlukan ketelitian yang lebih seperti pekerjaan pengelasan, pemotongan, punching dan drilling, blasting, dan pengecatan dibandingkan pada bagian office sehingga menuntut pekerja untuk bekerja dengan posisi janggal yang berisiko untuk menyebabkan NPB seperti posisi leher yang ekstensi atau fleksi melebihi 20 , menunduk, dan memutir secara lateral dengan durasi lebih dari 10 detik serta terdapat pengulangan gerakan tiga kali permenit. Dibandingkan dengan pekerja pada bagian office yang rata-rata pekerjaannya menggunakan komputer dengan durasi kurang lebih delapan jamhari serta terdapat penggulangan gerakan selama jam kerja mereka dibandingkan dengan pekerja fabrikasi dengan frekuensi gerakan ≥ lima kalimenit . Berdasarkan hasil pemantauan dilapangan diperoleh bahwa masih ada beberapa pekerja yang bekerja dengan postur janggal yang berisiko untuk menyebabkan NPB seperti posisi leher yang ekstensi atau fleksi melebihi 20 , menunduk, dan memutir secara lateral. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Dewayani 2006, yang menemukan hubungan yang signifikan antara beban otot statis dengan keluhan pada bagian leher. Beban otot statis ditimbulkan akibat otot dalam keadaan tegang tanpa menghasilkan gerakan dan ketika postur tubuh dalam kondisi tidak alamiah, dalam hal ini adalah leher melakukan fleksi menunduk Dewayani, 2006. Namun hasil penelitian tersebut tidak sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Mutiah dkk 2013, yang menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat risiko pada bagian leher dengan keluhan MSDs, dengan nilai p value pada penelitian tersebut sebesar 0.159 p value 0.05, ketidaksesuaian dikarenakan pada adanya perbedaan instrumen dalam pengukuran tingkat risiko faktor pekerjaan dimana penelitian tersebut pengukuran tingkat risiko perbagian tubuh menggunakan The BRIEF Survey dan juga adanya perbedaan sampel dalam penelitian dimana sampel penelitian tersebut adalah pekerja pembuatan wajan. Hasil yang didapatkan dari tabel 5.5 bahwa dari 65 pekerja dengan skor postur badan yang berisiko dan mengalami keluhan NPB adalah sebesar 45 pekerja 69.2, sedangkan dari dari 11 pekerja dengan skor postur badan tidak berisiko dan mengalami keluhan NPB adalah sejumlah 3 pekerja 27.3. Berdasarkan hasil uji chi-square tabel 5.5 diperoleh p value 0.008 p value ≤ 0.05 sehingga dapat disimpulkan bahwa hipotesis diterima yang berarti terdapat hubungan yang bermakna secara statistik antara postur badan dengan keluhan NPB pada pekerja di PT. Bakrie Metal Industries Tahun 2015. Berdasarkan hasil pengukuran pada pekerja fabrikasi diperoleh sebanyak 73.9 pekerja memperoleh skor postur badan yang berisiko dan pada pekerja office diperoleh sebanyak 26.1 pekerja memperoleh skor postur badan yang berisiko. Berdasarkan pengamatan dilapangan didapatkan bahwa pada pekerja fabrikasi minimal melakukan satu posisi tidak alamiah antara lain berupa posisi tubuh eksetensi 20 atau fleksi 60 , membungkuk, berputar, posisi tubuh membungkuk dilakukan dalam durasi panjang 10 detik. Hal yang sama juga dapat dijumpai pada pekerja pada bagian office. Lama dan frekuensi dalam melakukan postur janggal yang dilakukan pekerja pada kedua bagian tersebut juga melebihi kriteria normal dua jam dan satu-tiga kalimenit, yaitu posisi tubuh ekstensi 20 atau fleksi 60 , membungkuk, berputar, dan posisi tubuh membungkuk dengan durasi tujuh jam dan frekuensi dua-tiga kalimenit. Menurut Humantech 1995, untuk durasi pada pinggang saat postur miring, rotasi berputar badan, dan membungkuk adalah ≥10 detik, dengan frekuensi ≥dua kalimenit. Jika melebihi batas normal tersebut, dapat menimulkan cumulative trauma disorder trauma NPB. Hasil tersebut sesuai dengan Kurniawidjaja 2014 yang menyatakan bahwa posisi badan fleksi terjadi ketegangan terutama pada ligamentum interspinosus dan supraspinosus, diikuti dengan ligamentum intraskapular dan ligamentum flavum. Beban kompresif pada diskus sewaktu fleksi membuat diskus berpotensi merobek anulus fibrosus, akibatnya nucleus pulposus mampu keluar melalui robekan. Keluarnya hernia nucleus pulposus selanjutnya dapat menekan saraf spinal, bila kerja sering membungkuk, ligamen dan otot-otot penyangga tulang belakang dapat melemah dan meningkatkan tekanan pada diskus intervertebral Kurniawidjaja, 2014. Hal tersebut juga sesuai dengan temuan Bureau of Labor Statistic BLS bahwa di Amerika Serikat tahun 2001 terjadi 69.724 kasus MSDs yang disebabkan oleh posisi punggung yang membungkuk atau memutar Bureau of Labor Statistic, 2007. Hasil tersebut juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Munir 2012, yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat risiko punggung dengan keluhan nyeri punggung bawah, dengan nilai p value pada penelitian tersebut sebesar 0.000 p value ≤ 0.05. Demi mengurangi terjadinya keluhan NPB sebaiknya pekerja melakukan istirahat pendek disaat sudah mulai merasakan keluhan pada otot tubuh selama 5-10 menit di sela-sela waktu kerja untuk relaksasi agar otot mendapatkan suplai oksigen cukup, pekerja juga sebaiknya memperbaiki sikap kerja yaitu tidak mempertahankan postur leher secara menunduk dan postur badan secara membungkuk dalam waktu yang lama. Hal tersebut sesuai dengan teori yang disebutkan dalam Parkes dkk 2005, bahwa otot yang tegang dapat dipulihkan apabila ada jeda waktu istirahat yang digunakan untuk peregangan otot Parkes dkk, 2005. Hasil yang didapatkan dari tabel 5.5 bahwa dari 44 pekerja dengan skor postur kaki yang berisiko dan mengalami keluhan NPB adalah sebesar 25 pekerja 56.8, sedangkan dari dari 32 pekerja dengan skor postur badan tidak berisiko dan mengalami keluhan NPB adalah sejumlah 23 pekerja 71.9. Berdasarkan hasil uji chi-square tabel 5.5 diperoleh p value 0.178 p value 0.05 sehingga dapat disimpulkan bahwa hipotesis ditolak yang berarti tidak terdapat hubungan yang bermakna secara statistik antara postur kaki dengan keluhan NPB pada pekerja di PT. Bakrie Metal Industries Tahun 2015. Berdasarkan hasil pengukuran pada pekerja fabrikasi diperoleh sebanyak 100 pekerja memperoleh skor postur kaki tidak berisiko yaitu pekerja bekerja dengan posisi kaki tertopang dengan baik dilantai dalam keadaan berdiri maupun berjalan atau disertai dengan salah satu atau kedua kaki ditekuk fleksi antara 60 dan pada pekerja office diperoleh sebanyak 77.6 pekerja memperoleh skor postur kaki yang berisiko yaitu pekerja bekerja dengan posisi kaki tertopang dengan baik di lantai dalam keadaan berdiri maupun berjalan serta salah satu atau kedua kaki ditekuk fleksi antara 60 . Tidak adanya hubungan dimungkinkan karena berdasarkan pengamatan dilapangan bahwa pada pekerja office seluruh pekerja melakukan pekerjaannya dengan posisi duduk atau kaki ditekuk fleksi 60 , sehingga tidak adanya variasi postur kaki pada pekerja di bagian office. Hasil tersebut sesuai dengan Soeharso 1987 dan Klooch 2006 dalam Shocker 2008, gaya berat tubuh, terutama dalam posisi berdiri, duduk dan berjalan dapat mengakibatkan rasa nyeri pada punggung dan dapat menimbulkan komplikasi pada bagian tubuh yang lain, misalnya genu valgum, genu varum, dan coxa valgum Soeharso, 1987. Beberapa pekerjaan yang mengaharuskan berdiri dan duduk dalam waktu yang lama juga dapat mengakibatkan terjadinya NPB Klooch, 2006 dalam Shocker, 2008. Salah satu pemicu nyeri punggung adalah posisi duduk atau berdiri dalam jangka waktu lama, atau suatu gerakan yang sama dilakukan terus menerus, yang mengakibatkan otot kaku spasme Arda, 2007. Berdiri lama dengan posisi yang salah akan menyebabkan otot-otot punggung menjadi tegang dan dapat menusak jaringan lunak sekitarnya. Bila ini berlanjut terus, akan menyebabkan penekanan pada bantalan saraf tulang belakang yang mengakibatkan hernia nukleus pulposus. Otot yang tegang terus menerus akan menimbulkan rasa pegal dull ache, misalnya sikap duduk, tidur, berjalan, atau berdiri yang salah. Keadaan tegang mental juga akan menyebabkan nyeri otot yang dikenal sebagai nyeri myogenik, yaitu nyeri yang tidak wajar dan tidak sesuai dengan distribusi saraf serta dermatom dengan reaksi yang berlebihan. Selama bekerja, kebutuhan peredaran darah dapat meningkat sepuluh sampai dua puluh kali. Meningkatnya peredaran darah pada saat otot-otot yang bekerja, memaksa jantung untuk memompa darah lebih banyak. Saat berdiri lama, otot cenderung bekerja statis, kerja otot statis ini ditandai oleh kontraksi otot yang lama yang biasanya sesuai dengan sikap tubuh. Tidak dianjurkan untuk meneruskan kerja otot statis dalam jangka waktu yang lama karena akan menimbulkan rasa nyeri Effendi, 2007. Namun hasil penelitian tersebut sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Koesyanto 2013, yang menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara keluhan subyektif nyeri punggung dengan sikap kerja duduk dikarenakan bekerja dengan sikap kerja duduk meminimalkan beban yang ditopang oleh tubuh, mengurangi besarnya beban otot statis pada kaki, serta kerja duduk tidak membutuhkan energi yang banyak dibandingkan dengan sikap kerja berdiri. Hasil yang didapatkan dari tabel 5.5 bahwa dari 5 pekerja dengan skor postur lengan yang berisiko dan mengalami keluhan NPB adalah sebesar 4 pekerja 80.0, sedangkan dari dari 71 pekerja dengan skor postur lengan tidak berisiko dan mengalami keluhan NPB adalah sejumlah 44 pekerja 62.0. Berdasarkan hasil uji chi-square tabel 5.5 diperoleh p value 0.646 p value 0. 05 sehingga dapat disimpulkan bahwa hipotesis ditolak yang berarti tidak terdapat hubungan yang bermakna secara statistik postur lengan dengan keluhan NPB pada pekerja di PT. Bakrie Metal Industries Tahun 2015. Berdasarkan hasil pengukuran pada pekerja fabrikasi diperoleh sebanyak 62.0 pekerja memperoleh skor postur lengan tidak berisiko yaitu pekerja bekerja dengan posisi lengan fleksi atau ekstensi antara 20 atau posisi lengan fleksi 21-90 dan pada pekerja office diperoleh sebanyak 38.0 pekerja memperoleh skor lengan tidak berisiko yaitu pekerja bekerja dengan posisi lengan fleksi atau ekstensi antara 20 atau posisi lengan fleksi 21-90 . Tidak adanya hubungan dimungkinkan karena sebanyak 71 pekerja 93.4 memiliki skor lengan tidak berisiko atau data yang didapatkan homogen. Dalam penelitian ini, gerakan postur lengan pekerja cenderung pada posisi 0- 45 atau ekstensi 20 serta beban badan ditopang untuk menahan gravitasi. Hasil tersebut tidak sesuai dengan Tulaar 2008, yang menyatakan bahwa posisi lengan dapat mempengaruhi terjadinya keluhan NPB. Bahu dalam pengukuran REBA disebut sebagai posisi lengan atas yang menggantung mempengaruhi spina sevikal. Skapula berotasi ke bawah, dada menggantung, rongga toraks berkurang sehingga kapasitas vital menurun dan orang bertambah pendek karena otot trapesius berorigo pada spina servikal maka skapula yang tertekan memberi tegangan pada otot leher. Foramen intervetebra lebih menutup pada postur lordotik sevikal yang meningkat dan akar syaraf tertekan. Kontraksi isometrik yang telalu kuat dapat menyebabkan robekan serabut otot serta edem. Kontraksi otot yang berkepanjangan akan menyebabkan penekanan berkepanjangan pada diskus intervetebra Tulaar, 2008. Namun hasil penelitian tersebut sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Mutiah dkk 2013, yang menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat risiko pada bagian tangan dengan keluhan MSDs, dengan nilai p value pada penelitian tersebut adalah 0.276 p value 0.05. Hasil yang didapatkan dari tabel 5.5 bahwa dari 70 pekerja yang memiliki risiko pekerjaan yang diperlukan tindakan dan mengalami keluhan NPB adalah sebesar 45 pekerja 64.3, sedangkan dari 6 pekerja dengan risiko pekerjaan yang mungkin diperlukan tindakan dan mengalami NPB adalah sebesar 3 pekerja 50.0. Berdasarkan hasil uji chi-square tabel 5.5 diperoleh p value 0.002 p value ≤ 0.05 sehingga dapat disimpulkan bahwa hipotesis diterima yang berarti terdapat hubungan yang bermakna secara statistik antara faktor pekerjaan skor akhir REBA dengan keluhan NPB pada pekerja di PT. Bakrie Metal Industries tahun 2015. Berdasarkan skor kategori REBA didapatkan hasil bahwa pada pekerja fabrikasi dengan tingkat risiko yang diperlukan tindakan sebanyak 62.8 dan mungkin diperlukan tindakan perbaikan sebanyak 50.0, sedangkan pada pekerja office dengan tingkat risiko yang diperlukan tindakan sebanyak 37.2 dan mungkin diperlukan tindakan perbaikan sebanyak 50.0. Berdasarkan pengamatan dilapangan didapatkan bahwa posisi pekerja berisiko menimbulkan NPB yang dilakukan oleh pekerja antara lain postur badan yang membungkuk fleksi antara 20-60 atau ekstensi 60 , posisi leher fleksi atau ekstensi 20 , kaki tidak tertopang baik, jongkok dan ditekuk fleksi, postur lengan fleksi 90 , dengan beban kerja 5 kg. Keadaan di atas terjadi karena pada area kerja fabrikasi belum memiliki meja kerja sehingga ketika bekerja posisi kerja mereka dapat berisiko untuk menimbulkan keluhan NPB. Selain postur kerja yang tidak alamiah, keluhan NPB akan meningkat bila dalam pekerjaan melakukan gerakan berulang. Hasil penelitian tersebut sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Hendra dan Raharjo 2008 bahwa 83,7 pekerja merasakan keluhan MSDs pada leher dan punggung bawah dengan skor risiko pekerjaan REBA 8-10high risk. Namun hasil penelitian tersebut tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Ekawati 2014, yang menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat risiko ergonomi dengan keluhan Muskuloskeletal, dengan nilai p value pada penelitian tersebut sebesar 0.073 p value 0.05, ketidaksesuaian dikarenakan pada adanya perbedaan pengkategorian hasil pengukuran skor REBA dimana penelitian tersebut mengkategorikan hasil pengukuran skor REBA menjadi lima kategori dan juga adanya perbedaan sampel dalam penelitian dimana sampel penelitian tersebut adalah pekerja pemecah batu. Menurut Beeck dan Hermans 2000, faktor pekerjaan yang dapat menyebabkan terjadinya keluhan LBP atau NPB yaitu pekerjaan secara manual yang berat Heavy manual labor, Penanganan material secara manual Manual material handling, Posisi janggal Awkward postures, Kerja ststis Static work, Getaran seluruh tubuh Whole body vibration, dan Tergelincir dan jatuh Slipping and falling. Salah satu penyebab terjadinya keluhan NPB yang paling sering ditemui pada saat pemantauan dilapangan yaitu posisi janggal atau sikap kerja tidak alamiah. Sikap kerja tidak alamiah adalah sikap kerja yang menyebabkan bagian tubuh bergerak menjauhi posisi alamiahnya. Semakin jauh posisi bagian tubuh dari pusat gravitasi, semakin tinggi pula terjadi keluhan otot skeletal. Sikap kerja tidak alamiah pada umumnya karena ketidaksesuaian pekerjaan dengan kemampuan pekerja Grandjean, 1993. Melihat beratnya pekerjaan yang dilakukan di bagian fabrikasi, risiko untuk terkena NPB lebih tinggi dibandingkan dengan risiko NPB pada bagian office. Hal tersebut dikarenakan pada pekerjaan di bagian fabrikasi tidak ada pekerjaan yang tidak memiliki risiko, apalagi jenis pekerjaan yang ada adalah pembuatan komponen dasar pembuatan jembatan yang mayoritas berbahan dasar dari baja sehingga diperlukan tenaga yang ekstra dan ketahanan fisik yang baik dalam mengerjakannya. Oleh karena itu, melihat besarnya dampak yang muncul maka perusahaan dapat membuat anjuran agar pekerja diperbolehkan melakukan istirahat pada satu waktu dalam periode jam kerjanya disaat pekerja sudah mulai merasakan keluhan pada otot tubuh. Hal tersebut sesuai dengan teori yang disebutan dalam Parkes dkk 2005 bahwa otot yang tegang dapat dipulihkan apabila ada jeda waktu istirahat yang digunakan untuk peregangan otot. Secara administratif dapat dilakukan dengan memberikan pelatihan atau training pada pekerja mengenai risiko pekerjaan dan tata cara bekerja yang sesuai dengan prinsip ergonomi serta pihak perusahaan dapat membuat SOP yang dapat digunakan oleh pekerja untuk menciptakan sistem kerja yang aman, nyaman, dan tetap sehat pagi pekerja saat bekerja. Perusahaan sebaiknya juga menyediakan bantalan yang dapat berfungsi menyokong pinggang dan punggung guna meminimalisir keluhan NPB pada pekerja office. Serta perusahaan mewajibkan kepada pekerja agar melakukan senam pagi secara rutin. Olahraga yang teratur juga memperbaiki kualitas hidup, mencegah osteoporosis, dan berbagai penyakit rangka serta penyakit lainnya, olahraga sangat menguntungkan karena riskonya minimal. Program olahraga harus dilakukan secara bertahap, dimulai dengan intensitas rendah pada awalnya untuk menghindari cedera pada otot dan sendi Kurniawidjaja, 2011.

D. Hubungan antara Usia, Jenis Kelamin, Kebiasaan Merokok, Riwayat