Rumahtangga Petani Tanaman Pangan

pendapatan pada keluarga petani subsisten di wilayah perdesaan Meksiko memberikan hasil terbaik dan berpotensi dalam menggerakkan pertumbuhan ekonomi. Hal ini disebabkan karena pola pengeluaran dari rumahtangga tersebut lebih menyukai produk yang dihasilkan di wilayahnya, sehingga kebijakan perubahan harga jagung yang rendah dalam konsensus NAFTA tidak menjadi stimulus untuk terjadinya migrasi dari Meksiko ke USA. 2.3.2. Studi di Indonesia

2.3.2.1. Rumahtangga Petani Tanaman Pangan

Telah cukup banyak studi dengan topik model ekonomi rumahtangga petani di Indonesia. Sawit 1993 menggunakan model ekonomi rumahtangga petani di Jawa Barat untuk menganalisis dampak dari berbagai kebijakan pemerintah, utamanya harga input dan output, terhadap pendapatan petani dan penyerapan tenaga kerja. Model ekonomi yang digunakan untuk menduga perilaku produksi keluarga petani adalah melalui pendekatan fungsi translog keuntungan, sedangkan untuk perilaku konsumsi dilakukan dengan model almost ideal demand system AIDS dan linear approximation dari AIDS LAAIDS. Sejumlah 241 keluarga petani digunakan sebagai responden dalam studi ini yang diseleksi berdasarkan multi stage stratified random sampling mulai dari kecamatan, desa, kampung dan rumahtangga. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak dapat dipungkiri jika perilaku keluarga petani adalah memaksimumkan keuntungannya. Hasil estimasi model LAAIDS pada lima komoditas usahatani menunjukkan bahwa kenaikan harga beras akan mengakibatkan 1 meningkatnya pendapatan keluarga melalui keuntungan yang diperoleh, 2 meningkatnya penyerapan tenaga kerja pada sektor pertanian melalui meningkatnya permintaan tenaga kerja, dan 3 meningkatnya jumlah beras yang dijual di pasar. Khusus untuk aspek tenaga kerja dinyatakan bahwa penawaran tenaga kerja laki-laki dan perempuan dalam usaha padi di Jawa Barat adalah elastis terhadap upahnya sendiri, sedangkan hal tersebut pada usaha non pertanian adalah mendekati nol. Model ekonomi rumahtangga pertanian juga telah digunakan oleh Heatubun 2001 dalam studinya untuk mengevaluasi keberhasilan program pemberdayaan petani multikomoditi di Propinsi Maluku. Penelitian ini menggunakan 152 petani contoh berdasarkan metoda stratified random sampling. Model analisis yang digunakan adalah model persamaan simultan dengan metode two stage least squares 2SLS. Hasil analisis secara deskriptif menunjukkan bahwa program pemberdayaan petani multikomoditi dinyatakan berhasil dari sisi tepat sasaran, sesuai agro ekosistem setempat, menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan produksi dan pendapatan petani. Skala usaha, produksi dan marketable surplus masing-masing usaha inelastis terhadap peubah harga. Usaha tanaman pangan kurang berorientasi pasar dan lebih bersifat subsisten, sedangkan pada usaha tanaman perkebunan meskipun sudah berorientasi pasar namun marketable surplusnya bersifat inelastis terhadap harga. Lebih lanjut dinyatakan bahwa untuk meningkatkan produksi, penggunaan tenaga kerja, marketable surplus, konsumsi dan dispossible income, maka skenario yang terbaik adalah kombinasi antara variabel-variabel kenaikan harga produk, upah dan pendapatan non usahatani. Penelitian terdahulu yang mengkaji masalah perilaku rumahtangga petani padi dalam kegiatan ekonomi di Jawa Barat menunjukkan bahwa produksi padi sangat dipengaruhi oleh luas sawah garapan, pendapatan bersih usaha padi dan curahan tenaga kerja baik laki-laki maupun perempuan Andriati, 2003. Data sekunder panel petani nasional Jawa Barat dipergunakan dalam studi ini dengan menggunakan model ekonometrika yang dianalisis secara simultan, sedangkan analisis dampak perubahan harga input dan output usahatani dilakukan dengan metode simulasi. Produksi usahatani di wilayah hulu daerah aliran sungai DAS Jratunseluna, Jawa Tengah juga telah diduga dengan menggunakan bentuk umum agricultural household model, dimana produksi ditentukan oleh tingkat penggunaan variabel input, tingkat penggunaan tenaga kerja dan karakteristik proses produksi Basit, 1996. Sejumlah 459 petani digunakan sebagai responden dan model penelitian menggunakan persamaan simultan dengan metoda pendugaan 3SLS. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keputusan petani untuk mengadopsi teknologi sangat ditentukan oleh luas lahan yang dikuasai, tenaga kerja, status penguasaan lahan, frekuensi penyuluhan dan keikutsertaan petani dalam program tersebut. Petani berlahan sempit lebih responsif terhadap teknologi usahatani yang diterapkan dibandingkan dengan petani dengan lahan lebih luas. Semakin besar jumlah tenaga kerja yang terlibat, semakin kuat status penguasaan lahan dan semakin tinggi frekuensi penyuluhan berdampak pada semakin besarnya peluang petani untuk mengadopsi teknologi. Keragaan usahatani ditentukan oleh kualitas penerapan teknologi, pendapatan non usahatani, harga output dan upah tenaga kerja. Kualitas penerapan teknologi merupakan faktor terpenting yang berpengaruh terhadap keragaan usahatani, khususnya terhadap produksi dan pendapatan, dimana kualitas penerapan teknologi sangat ditentukan oleh intensitas penyuluhan dan ketersediaan modal. Kebijakan harga yang dilakukan melalui mekanisme pasar tidak banyak dirasakan manfaatnya oleh petani. Kebijakan yang diperlukan adalah kebijakan yang sifatnya langsung, seperti peningkatan intensitas dan kualitas penyuluhan, bantuan penyediaan modal subsidi dan kredit serta pengembangan kelembagaan usahatani. Kebijakan yang sifatnya tidak langsung dapat ditempuh melalui pembangunan perdesaan, yang antara lain mencakup pembangunan sarana dan prasarana, lembaga keuangan perdesaan dan peningkatan kualitas sumberdaya manusia di perdesaan. Kusnadi 2005 mengintegrasikan harga bayangan input atau faktor produksi maupun harga output ke dalam model ekonomi rumahtangga petani dalam kondisi pasar persaingan tidak sempurna. Hasil simulasi menunjukkan bahwa rumahtangga petani pada kondisi pasar persaingan tidak sempurna responsif terhadap perubahan harga output usahatani, sehingga perbaikan harga output secara efektif dapat menggerakan ekonomi rumahtangga petani. Sebaliknya, pada kondisi ini, rumahtangga petani tidak responsif terhadap perubahan harga pupuk dan upah tenaga kerja usahatani dan upah tenaga kerja di luar usahatani. Dengan demikian, pada kondisi pasar persaingan tidak sempurna, disinsentif ekonomi yang ditimbulkan oleh kenaikan harga input tidak terlalu banyak merugikan rumahtangga petani. Model ekonomi rumahtangga petani dengan menggunakan model simultan pada komoditas tanaman pangan dan perkebunan di provinsi Lampung juga telah dilakukan oleh Asmarantaka 2007. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kenaikan harga output mempunyai dampak positif terhadap produksi dan penggunaan input, terutama di desa pangan. Kenaikan harga input berdampak negatif terhadap produksi, terutama di desa pangan padi. Hal yang sama, kenaikan penggunaan tenaga kerja keluarga yang diiringi dengan kenaikan harga input dan output mempunyai dampak positif terhadap produktivitas usahatani dan pendapatan rumahtangga petani terutama di desa pangan padi. Di desa kebun, kenaikan investasi alat-alat pertanian berdampak positif terhadap produksi kebun dan pendapatan total.

2.3.2.2. Rumahtangga Industri Kecil dan Menengah