Pengembangan makroalga sebagai stimulan pakan bagi bulubabi dewasa (Tripneustes gratilla Linnaeus 1758)

(1)

PENGEMBANGAN MAKROALGA SEBAGAI

STIMULAN PAKAN BAGI BULUBABI DEWASA

(Tripneustes gratilla Linnaeus 1758)

WAHYU PURBIANTORO

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2013


(2)

(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pengembangan Makroalga sebagai Stimulan Pakan bagi Bulubabi Dewasa (Tripneustes gratilla Linnaeus 1758) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2013

Wahyu Purbiantoro NIM C151100311

* Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak luar IPB harus


(4)

(5)

ABSTRACT

WAHYU PURBIANTORO. Macroalgae Development as Feeding Stimulants for the Adult Sea Urchin (Tripneustes gratilla Linnaeus 1758). Supervised by NUR BAMBANG PRIYO UTOMO and AGUS OMAN SUDRAJAT

Development of artificial feed for somatic growth and gonad quality is one of the focus of research on sea urchin aquaculture activities. Palatability is important factor when developing artificial feed for aquaculture diets. This study investigated the effects of macroalgae (Sargassum polycystum, Gracilaria lichenoides, and Ulva reticulata) as feeding stimulants to artificial diets consumption and gonad profile for the adult sea urchin Tripneustes gratilla, by three feeding trials. Previously starved T. gratilla were held in replicated (3X) 50 L aquaria with recirculation water system (in the first feeding trial) and flow through water system (in the second and third feeding trial). In the first feeding trial, preference of T. gratilla for dried macroalgae was assessed in choice feeding experiment. T. gratilla displayed significant preference for the agar containing dried U. reticulata at 20% agar weight over nine other diets treatment when they were offered simultaneously. Total protein, energy and the ratio of protein to energy in the dried macroalgae had no correlation on agar consumption by T. gratilla. Three artificial diets were made by incorporating one of each of these dried macroalgae at 5% feed weight used in the second feeding trial. Although no significant difference in artificial diets containing dried macroalgae, urchins fed diets containing dried macroalgae consumed more than basal diet when they were offered as single diet. These results indicate that dried macroalgae added to the artificial diets act as feeding stimulants and increasing the acceptability of artificial sea urchin diets. The third feeding trial used dried U. reticulata as feeding stimulant to artificial diet. Data suggest that artificial diet containing 10% dried U. reticulata boosting feed consumption and significantly increasing nutrient accumulation, gonad index, egg diameter and fix gonad color.

Key words: artificial feed, feeding stimulant, macroalgae, sea urchin, Tripneustes gratilla


(6)

(7)

RINGKASAN

WAHYU PURBIANTORO. Pengembangan Makroalga sebagai Stimulan Pakan bagi Bulubabi Dewasa (Tripneustes gratilla Linnaeus 1758). Dibimbing oleh NUR BAMBANG PRIYO UTOMO dan AGUS OMAN SUDRAJAT

Pengembangan pakan buatan untuk meningkatkan pertumbuhan somatik dan kualitas gonad merupakan salah satu fokus penelitian pada kegiatan akuakultur bulubabi. Palatabilitas merupakan faktor penting dalam proses pengembangan pakan buatan. Penelitian ini menggunakan tiga jenis makroalga sebagai stimulan pakan, yaitu alga coklat Sargassumpolycystum, alga merah Gracilaria lichenoides dan alga hijau Ulva reticulata, yang dipanen saat melimpah dalam rentang waktu bersamaan di perairan Teluk Ambon. Pengaruh makroalga sebagai stimulan pakan dievaluasi melalui tiga tahap percobaan yang bertujuan untuk menentukan palatabilitas makroalga kering, jenis makroalga kering yang sesuai sebagai stimulan pakan buatan, dan dosis optimal stimulan pakanterhadap konsumsi pakan buatan dan profil gonad bulubabi dewasa Tripneustes gratilla.

Proses pengeringan makroalga dapat berdampak negatif terhadap palatabilitas herbivora laut. Pada percobaan I, U. reticulata kering memiliki palatabilitas lebih baik dibandingkan dengan dua jenis makroalga lain. Penambahan U. reticulata kering sebesar 20% dari berat agar (U-20) merupakan perlakuan diet dengan konsumsi agar terbesar. Protein seringkali dilibatkan sebagai faktor yang menentukan dalam pemilihan makanan. Namun dalam percobaan ini, preferensi T. gratilla tidak hanya dipengaruhi nilai protein, energi dan rasio protein terhadap energi suatu bahan, ada faktor lain yang bertindak sebagai stimulan sehingga dapat mempengaruhi preferensi. Beberapa penelitian menunjukkan metabolit sekunder bertindak sebagai stimulan atau deteren bagi bulubabi.

Pengujian terhadap jenis makroalga kering yang digunakan sebagai stimulan pakan buatan pada percobaan II menunjukkan bahwa penambahan 5% makroalga kering ke dalam pakan buatan, terbukti meningkatkan palatabilitas pakan. Walaupun besar konsumsi pakan oleh T. gratilla terhadap perlakuan diet yang mengandung makroalaga kering tidak berbeda saat diberikan sebagai pakan tunggal. Berdasarkan hasil percobaan ini dapat disimpulkan bahwa tanggap T. gratilla terhadap makanan juga dipengaruhi oleh ketersediaan pakan selain ada tidaknya senyawa yang bertindak sebagai stimulan atau deteren. Oleh sebab itu, pemilihan jenis makroalga yang akan digunakan pada percobaan III didasarkan atas komposisi biokimia makroalga. Hasil analisa proksimat terhadap ketiga jenis makroalga menunjukkan U. reticulata memiliki komposisi biokimia lebih baik dibandingkan dengan dua jenis makroalga lainnya.

U. reticulata digunakan sebagai stimulan pakan pada percobaan III. Tanpa bergantung pada jenis perlakuan diet, konsumsi pakan harian T. gratilla cenderung mengalami kenaikan setiap harinya. Konsumsi pakan yang lebih rendah di awal perlakuan diyakini dipengaruhi ukuran saluran pencernaan yang mengecil setelah dipuasakan. Sementara, berdasarkan pengujian frekuensi pemberian pakan, konsistensi pakan diyakini pula sebagai faktor yang menentukan tingkat konsumsi


(8)

pakan selain jenis perlakuan diet. Sintasan T. gratilla 100% pada semua jenis perlakuan diet. Penambahan U. reticulata kering sebesar 10% dari berat agar (U-10) merupakan perlakuan dengan laju pertumbuhan diameter cangkang dan laju pertumbuhan harian tertinggi. Hasil percobaan ini juga menunjukkan perkembangan gonad atau indek gonad T. gratilla sangat baik ketika diberikan pakan buatan, sebagaimana ditunjukkan perlakuan U-10 dan basal.

Penambahan makroalga kering dalam pakan buatan terbukti meningkatkan palatabilitas dan akumulasi nutrien pada gonad selain mempercepat proses gametogenesis, ditunjukkan meningkatnya kadar protein dan air diikuti menurunnya kadar lipid pada gonad untuk semua jenis perlakuan diet. Selaras dengan penafsiran histologi gonad, sebagian besar kondisi reproduktif T. gratilla diakhir percobaan berada pada fase II: pre-gametogenesis dan NP renewal serta fase III: gametogenesis dan NP utilisation. Protein dan lipid dalam jumlah besar diakumulasi dalam gonad terutama untuk perkembangan gonad. Protein diakumulasi dalam bentuk mayor yolk protein, bersama dengan komponen lain digunakan dalam proses gametogenesis. Ukuran diameter telur terbesar (rerata 82,86 µm) diperoleh dari perlakuan U-10 berbeda. Hasil percobaan juga menunjukkan perlakuan diet dapat menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi pigmentasi gonad.T. gratilla yang diberi pakan buatan menghasilkan gonad yang lebih pucat dibandingkan gonad T. gratilla yang diberi pakan alami berupa makroalga segar. Namun, pakan buatan menghasilkan komposisi warna gonad yang lebih seragam. U. reticulata kering mengandung karotenoid sebesar 17,84 mg 100 g-1, penambahan dalam pakan meningkatkan kadar karotenoid pakan dan

berkorelasi positif dengan kandungan karotenoid gonad

Kesimpulan dari penelitian ini adalah U. reticulata merupakan jenis makroalga kering dengan palatabilitas terbaik. Preferensi T. gratilla dipengaruhi konsentrasi senyawa yang bertindak sebagai stimulan atau deteren ketika diberikan diet agar yang mengandung makroalga kering. Preferensi T. gratilla dipengaruhi pula oleh ketersediaan makanan, sehingga komposisi biokimia menjadi dasar dipilihnya U. reticulata sebagai stimulan pakan buatan. Penggunaan U. reticulata sebesar 10% dari berat pakan signifikan meningkatkan konsumsi pakan, indek gonad, diameter telur, kandungan karotenoid gonad dan memperbaiki warna gonad T. gratilla.

Kata kunci: bulubabi, makroalga, pakan buatan, stimulan pakan, Tripneustes gratilla


(9)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(10)

(11)

PENGEMBANGAN MAKROALGA SEBAGAI

STIMULAN PAKAN BAGI BULUBABI DEWASA

(Tripneustes gratilla Linnaeus 1758)

WAHYU PURBIANTORO

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Akuakultur

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2013


(12)

(13)

Judul Tesis : Pengembangan Makroalga sebagai Stimulan Pakan bagi Bulubabi Dewasa (Tripneustes gratilla Linnaeus 1758)

Nama : Wahyu Purbiantoro NIM : C151100311

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Diketahui oleh Dr. Ir. Nur Bambang Priyo Utomo, M.Si

Ketua

Dr. Ir. Agus Oman Sudrajat, M.Sc Anggota

Ketua Program Studi Ilmu Akuakultur

Prof. Dr. Enang Harris, M.S Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr

Tanggal Ujian: 21 Januari 2013 Tanggal Lulus:


(14)

(15)

PRAKATA

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan tesis yang berjudul “Pengembangan Makroalga sebagai Stimulan Pakan bagi Bulubabi Dewasa (Tripneustes gratillaLinnaeus 1758)”.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Nur Bambang Priyo Utomo, M.Si dan Dr. Ir. Agus Oman Sudrajat, M.Sc selaku pembimbing, Profesor Riset. Ir. Sulistijo, M.S selaku copromotor, Dr. Ir. Tatag Budiardi, M.Si sebagai dosen penguji luar komisi dan Prof. Dr. Enang Harris, M.S serta Dr. Dinamella Wahjuningrum atas bimbingan dan sarannya selama proses penelitian dan penulisan tesis ini berlangsung. Penghargaan turut penulis sampaikan kepada Kementerian Negara Riset dan Teknologi dan Unit Pelaksana Teknis Balai Konservasi Biota Laut (UPT. BKBL) – Ambon, Pusat Penelitian Oseanografi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia atas dukungan material yang diberikan sehingga penelitian ini dapat berlangsung dengan lancar. Ungkapan terima kasih

juga penulis sampaikan kepada istri ‘Riny Widyaningrum’, anak-anak ‘Khalisha

Afra Madiha dan Najwa Laila Tsani’, bapak, ibu dan adik-adik tercinta atas doa dan

kasih sayangnya. Penulis sampaikan pula terima kasih dan penghargaan kepada semua pihak yang telah membantu secara langsung atau tidak langsung terutama kepada rekan kerja di laboratorium budidaya UPT. BKBL – Ambon, Pak Ranta, Pak Wasjan, Mbak Retno yang telah membantu proses analisis sampel, teman-teman mahasiswa Program Studi Ilmu Akuakultur, Sekolah Pascasarjana, IPB angkatan 2010 (Pak Tasruddin, Wida, Fitriska, Mbak Rita, Allamanda, Arsal, Mas Agung, Anna, Bu Eny, Mbak Tri, Asis, Mas Ipul, Lita dan teman-teman lainnya) atas kekompakan dan kerjasamanya yang baik.

Akhirnya, penulis berharap semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Namun demikian penulis menyadari hasil penelitian dalam karya ilmiah ini bukanlah kebenaran mutlak karena sangat mungkin berubah seiring berkembangnya ilmu pengetahuan.

Bogor, Januari 2013


(16)

(17)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xiv

DAFTAR GAMBAR xv

DAFTAR LAMPIRAN xvii

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Tujuan Penelitian 3

1.3 Manfaat Penelitian 3

1.4 Hipotesis 3

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sistematika dan Distribusi Bulubabi 5

2.2 Morfologi Bulubabi 5

2.3 Makanan dan Cara Makan Bulubabi 5

2.4 Sistem Pencernaan Bulubabi 6

2.5 Gametogenesis dan Reproduksi Bulubabi 6

2.6 Bulubabi Termakankan 7

2.7 Makroalga 9

2.8 Stimulan Pakan 12

3 BAHAN DAN METODE

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian 15

3.2 Pengumpulan dan Pemeliharaan Organisme 15 3.3 Preparasi Makroalga sebagai Stimulan Pakan 15 3.4 Percobaan I: Pengujian Palatabilitas Makroalga Kering 17 3.5 Percobaan II: Pengujian Makroaga Kering sebagai Stimulan Pakan 18 3.6 Percobaan III: Pengujian Dosis Optimal Makroalga Kering sebagai

Stimulan Pakan terhadap Konsumsi Pakan, Pertumbuhan dan Profil

Gonad 20

3.7 Parameter Diukur 22

3.8 Analisis Statistik 24

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Kondisi Kualitas Air 25

4.2 Hasil Pengujian Palatabilitas Makroalga Kering 26 4.3 Hasil Pengujian Makroalga Kering sebagai Stimulan Pakan 29 4.4 Hasil Pengujian Dosis Optimal Makroalga Kering sebagai Stimulan

Pakan terhadap Konsumsi Pakan, Pertumbuhan dan Profil Gonad 31 5 SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan 45

5.2 Saran 45

DAFTAR PUSTAKA 47

LAMPIRAN 53


(18)

DAFTAR TABEL

1 Macam tanggapan perilaku terhadap bahan kimia dalam pakan 13 2 Berat utuh (BU) dan diameter cangkang (DC) T. gratilla yang

digunakan pada percobaan I 17

3 Berat utuh (BU) dan diameter cangkang (DC) T. gratilla dari empat jenis perlakuan diet (Basal, S-5= Basal+S.polycystum 5%, G-5= Basal+G. lichenoides 5%, U-5= Basal+U. reticulata 5%) pada

percobaan II 18

4 Formulasi pakan buatan pada percobaan II. Pakan buatan mengandung 56% bahan dasar yang dicampur ke dalam 12,5% pengikat. Komposisi biokimia pakan dinyatakan sebagai persentase

(berat basah) dan level energi dinyatakan dalam kkal kg-1 berat basah 19

5 Berat utuh (BU) dan diameter cangkang (DC) T. gratilla dari lima jenis perlakuan diet (Basal, U-10= Basal+ U. reticulata 10%, U-20= Basal+ U. reticulata 20%, U-30= Basal+U. reticulata 30%, MS:

makroalga segar) pada percobaan III 20

6 Formulasi pakan buatan pada percobaan tahap III. Pakan buatan mengandung 56% bahan dasar yang dicampur ke dalam 12,5% pengikat. Komposisi biokimia pakan dinyatakan sebagai persentase (berat basah) dan level energi dinyatakan dalam kkal kg-1 berat basah

21 7 Monitor parameter kualitas air selama periode pemeliharaan T.

gratilla 25

8 Komposisi biokimia (% berat kering) makroalga kering yang

digunakan sebagai stimulan pakan buatan pada percobaan II 30 9 Berat utuh (BU), diameter cangkang (DC), sintasan (SR), laju

pertumbuhan linier (LGR) dan laju pertumbuhan spesifik (SGR) T. gratilla dari lima jenis perlakuan diet (n= 15, rerata±simpangan

baku) 35

10 Protein, lipid (% berat kering) dan kadar air gonad T. gratilla dari

sampel awal, lima jenis perlakuan diet dan sampel alam 37 11 Total karotenoid pada pakan dan gonad T. gratilla dari sampel awal,


(19)

DAFTAR GAMBAR

1 Anatomi umum bulubabi regularia, Strongylocentrotus

droebachiensis 6

2 Tahap siklus gametogenesis (1) ‘inter-gametogenesis dan NP

phagocytosis’, (2) ‘pre-gametogenesis dan NP renewal’, (3) gametogenesis dan NP utilization’, (4) ‘end of gametogenesis, NP exhaustion dan spawning’ dari T. gratilla. (A) Betina dan (B) jantan. Akronim: rm –remnant reproductive cells; rc –reproductive cells;

np –nutritive phagocyte. Perbesaran x10 7

3 Sargassum polycystum C. A. Agardh. (A) Perawakan, (B) daun, (C) vesikula, (D) reseptakel jantan (panah), (E) irisan melintang

reseptakel jantan memperlihatkan konseptakel jantan (panah), (F) reseptakel betina (panah), (G) irisan melintang reseptakel betina memperlihatkan konseptakel betina (panah), (H) duri di atas cabang

utama, (I) pelekap sekunder (panah) 10

4 Gracilaria lichenoides atau Gracilaria edulis (S.G. Gmelin) P. C. Silva. (A) Thalus, (B) perawakan luar dari sistokarp, (C) irisan

melintang dari sendi utama 11

5 Ulva retikulata Forsskål 1775. (A) Perawakan, (B) rongga berbentuk

oval, sirkular, lonjong atau persegi panjang 12

6 Lokasi percobaan di ‘UPT. BKBL Ambon – LIPI’ (◊), lokasi

pengumpulan ‘G. lichenoides’ (○), ‘U. reticulata’ (□) serta ‘S. polycystum’ dan ‘T. gratilla’ (Δ)

16 7 Preparasi makroalga sebagai stimulan pakan. (A) Seleksi dan

pengumpulan makroalga, (B) pencucian makroalga (dilakukan sebelum dan setelah pengeringan), (C) pengeringan makroalga dengan cara dikeringanginkan, (D) makroalga yang sudah dikemas

setelah sebelumnya dihancurkan dan dilewatkan saringan 3 mm 16 8 (A) lempeng agar sebelum kantong plastik dibuka, (B) lempeng agar

setelah kantong plastik dibuka, ukuran 8 x 8 sel (1 sel = 1 cm2) 17 9 Klasifikasi warna PENTONETM colour card yang dicetak berdasar

colour libraries program Adobe Photoshop CS5 Extended 24 10 Konsumsi agar T. gratilla selama 24 jam terhadap penambahan tiga

jenis makroalga kering pada taraf dosis yang berbeda ‘0%’ ( ),

‘10%’ ( ), ‘20%’ ( ), ‘30%’ ( ) (n=20 ind wadah-1,

rerata±simpangan baku). Kolom dengan huruf yang sama tidak

berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji Tukey) 26 11 Konsumsi agar T. gratilla selama 24 jam pada perlakuan ‘Basal’ ( ),

S. polycystum’( ), ‘G. lichenoides’( ), ‘U. reticulata’ ( ) (taraf dosis 20%, n=5 ind wadah-1, rerata±simpangan baku). Kolom dengan

huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji Tukey) 27 12 Kadar protein dan energi dari ketiga jenis makroalga yang digunakan


(20)

DAFTAR GAMBAR (Lanjutan)

13 Total konsumsi pakan buatan oleh T. gratilla selama 24 jam dari empat jenis perlakuan diet (dosis makroalga 5%) (n=21 ind perlakuan-1, rerata±simpangan baku). Kolom dengan huruf yang

sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji Tukey) 29 14 (A) Konsumsi pakan harian ‘Basal’ (◊), ‘U-10’ (□), ‘U-20’ (Δ), ‘U

-30’ (○) dan (B) total konsumsi pakan T. gratilla dari empat jenis

perlakuan diet (n=21 ind perlakuan-1, rerata±simpangan baku).

Kolom dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji

5% (uji Tukey) 32

15 Stabilitas pakan ‘utuh’ (■), ‘hancur’ (□) dari empat jenis perlakuan

diet 33

16 Komposisi pemberian pakan makroalga segar ‘Enhalus acaroides’

( ), ‘G. lichenoides’( ), ‘P. australis’( ), ‘P. crasa’( ), ‘P.

minor’ ( ) dan total konsumsi makroalga segar ( ) pada T. gratilla

(n=21 ind perlakuan-1) 34

17 Indek gonad T. gratilla dari sampel awal (n=5 ind), lima jenis perlakuan diet (n=15 ind perlakuan-1) dan sampel alam (4

ind,rerata±simpangan baku). Kolom dengan huruf yang sama tidak

berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji Tukey) 36

18 Tahap siklus gametogenesis (1) ‘inter-gametogenesis dan NP

phagocytosis’, (2) ‘pre-gametogenesis dan NP renewal’, (3) gametogenesis dan NP utilization’, (4) ‘end of gametogenesis, NP exhaustion dan spawning’ dari T. gratilla (A) betina dan (B) jantan. Akronim: RC – reproductive cells; NP – nutritive phagocyte. Panah

pada poin (1) - remnant reproductive cells. Perbesaran x 4 38 19 Kondisi reproduktif gonad T. gratillainter-gametogenesis dan NP

phagocytosis’ ( ), ‘pre-gametogenesis and NP renewal’ ( ),

‘gametogenesis and NP utilisation’ ( ), ‘end of gametogenesis, NP

exhaustion and spawning’ ( ) pada sampel awal (n=10 ind), lima jenis perlakuan diet (n=10 ind perlakuan-1) dan sampel alam (n=4

ind) 39

20 Diameter telur T. gratilla dari lima jenis perlakuan diet (n=2 ind perlakuan-1, 80 telur perlakuan-1, rerata±simpangan baku). Kolom dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji

Tukey) 40

21 Komposisi kategori warna gonad T. gratilla dari sampel awal (n=10 ind), lima jenis perlakuan diet (n=21 ind perlakuan-1) dan sampel dari

alam (n=4 ind) 41

22 Warna gonad T. gratilla. (A) Sampel awal dan lima jenis perlakuan


(21)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Ringkasan klasifikasi echinoid (tidak terbatas pada spesies yang

dapat dimakan) 54

2 Sistem pemeliharaan (resirkulasi dan air mengalir) bulubabi T.

gratilla 55

3 Komposisi biokimia bahan dasar yang digunakan sebagai dasar

formulasi pakan perlakuan pada percobaan II dan III 56

4 Prosedur analisis kadar air 57

5 Prosedur analisis kadar abu 57

6 Prosedur analisis kadar protein dengan menggunakan metode

Kjehdall 57

7 Prosedur analisis lipid dengan menggunakan metode Soxchlet dan

metode Folch 58

8 Prosedur analisis kadar serat kasar 59


(22)

(23)

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bulubabi (sea urchin) termasuk filum Ekinodermata dari kelas Echinoidea yang memiliki nilai komersial penting sehingga banyak dieksploitasi. Bulubabi dipanen oleh manusia untuk diambil gonadnya (roe) sebagai sumber makanan sejak masa primitif (Saito 1992). Gonad bulubabi sebagai produk perikanan telah menjadi komoditi penting di berbagai negara (Keesing dan Hall 1998). Cile, Amerika Serikat, Jepang, Rusia, Cina dan Kanada merupakan produsen utama bulubabi (FAO 2012), sementara Jepang merupakan pengimpor dan konsumen gonad bulubabi terbesar yang menyerap lebih dari 80% produksi bulubabi dunia (Sonu 2003).

Sediaan bulubabi diberbagai negara terus menurun akibat tangkap lebih, di sisi lain permintaan selalu ada bahkan terus meningkat, kondisi ini telah menciptakan kesempatan bagi kegiatan akuakultur bulubabi (Keesing dan Hall 1998; Andrew et al. 2002). Metode produksi juvenil bulubabi dalam skala besar untuk program penyemaian kembali telah dikembangkan sejak tahun 1980an di Jepang, bagi dua jenis bulubabi Strongylocentrotus intermedius dan S. nudus (Agatsuma et al. 2010). Produksi juvenil bulubabi telah dilakukan pula diberbagai negara, seperti juvenil Evechinus chloroticus di Selandia Baru (Barker 2010), S. droebachiensis di Norwegia (Hagen dan Siikavuopio 2010), Echinus esculentus, Psammechinus miliaris dan Paracentrotus lividus di Scotlandia dan Irlandia (Kelly dan Chamberlain 2010), Anthocidaris crasssispina, S. nudus dan S. intermedius di Cina (Liu et al. 2010) serta S. droebachiensis, S. franciscanus dan S. purpuratus di Kanada (Pearse dan Robinson 2010).

Di Indonesia, kegiatan akuakultur bulubabi secara komersial belum dilakukan. Penelitian perihal bulubabi ke arah akuakultur masih minim dilakukan. Kondisi ini berujung tidak tersedianya benih bagi kegiatan akuakultur meskipun teknik pemijahan secara buatan sudah dikuasai. Tripneustes gratilla Linnaeus 1758 merupakan jenis bulubabi tropis ekonomis penting di Indonesia. Terutama pada ekosistem lamun, biota ini tersebar di Kawasan Tengah dan Timur Indonesia seperti Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi dan Maluku (Aziz 1993). T. gratilla memiliki tingkat pertumbuhan yang cepat (Shimabukuro 1991, diacu dalam Lawrence dan Agatsuma 2007), kualitas gonadnya memenuhi selera pasar, berwarna kuning cerah sampai oranye dengan tekstur halus sampai kasar (berbutir) dan berbau khas produk laut (Chasanah dan Andamari 1997). Permintaan pasar domestik dan ekspor pada komoditas ini baru dipenuhi dari hasil tangkapan di alam. Angka statistik menunjukkan ekspor bulubabi hidup Indonesia ke Jepang kuantitasnya kurang dari 0,5 metrik ton tahun-1 (JFTA 2003, diacu dalam Sonu 2003).

Indukan dalam kegiatan pembenihan bulubabi umumnya diperoleh dari alam untuk dipelihara selama waktu tertentu baru dipijahkan secara buatan. Selama proses pemeliharaan umumnya bulubabi diberi pakan rendah protein berupa campuran beberapa jenis makroalga segar. Konsekuensinya, di alam bulubabi harus menelan dan mengolah pakan rendah protein dalam jumlah besar untuk memenuhi


(24)

2

kecukupan protein yang diperlukan bagi pertumbuhannya (Miller dan Mann 1973). Hal ini disebabkan karena laju pertumbuhan dan reproduksi dari bulubabi sangat bergantung pada dietari protein daripada energi (Lowe dan Lawrence 1976). Akibatnya penggunaan makroalga segar sebagai pakan alami bagi indukan T. gratilla dapat menimbulkan beberapa masalah mendasar, yakni ketersediaan makroalga segar dengan kualitas yang baik secara kontinyu, biaya penyimpanan, kelestarian dan dampak terhadap lingkungan akibat pemanenan.

Pengembangan pakan buatan untuk mengurangi penggunaan pakan alami sekaligus untuk meningkatkan pertumbuhan somatik dan kualitas gonad merupakan salah satu fokus penelitian pada kegiatan akuakultur bulubabi. Selain penelitian terhadap perkembangan larva dan juvenil, pemeliharaan larva dan juvenil pada kepadatan tinggi, produksi bahan pengikat baru guna meningkatkan stabilitas pakan, sistem pemeliharaan bulubabi di darat (land-based rearing system) dan produksi bulubabi untuk konsumsi melalui sistem akuakultur terpadu (Agatsuma et al. 2010; Barker 2010; Kelly dan Chamberlain 2010).

Bagaimanapun, penggunaan pakan buatan pada bulubabi sebagai pengganti pakan alami masih menemui kendala. Beberapa penelitian menunjukkan bulubabi mengkonsumsi pakan buatan lebih sedikit dibandingkan pakan alami, Lytechinus albus (Lawrence et al. 1997) dan Strongylocentrotus franciscanus (McBridge et al. 1997). Namun, bulubabi yang diberi pakan buatan tinggi protein tumbuh lebih cepat dengan indek gonad lebih besar dibandingkan bulubabi yang diberi pakan rendah protein (Hammer et al. 2006a; Hammer et al. 2006b; Cook dan Kelly 2007). Hal ini disebabkan karena proses absorpsi dan efesiensi asimilasi bulubabi terhadap pakan tinggi protein lebih baik dibandingkan pakan rendah protein (Fernandez dan Boudouresque 2000).

Perkembangan gonad seringkali digunakan sebagai indek dari kondisi nutrisi bulubabi. Pada bulubabi, ukuran telur dan kandungan kimia, ukuran larva dan perkembangannya diketahui bervariasi, tidak hanya antar individu dari populasi yang berbeda tetapi juga antar individu dari populasi yang sama (George et al. 1990). Proses fertilisasi dan perkembangan yang terjadi secara eksternal menyebabkan investasi parental pada gamet akan selesai saat memijah. Oleh sebab itu diet yang dikonsumsi dan ketersediaan pakan bagi bulubabi dewasa berpontensi mempengaruhi kualitas telur, morfometri larva dan tingkat perkembangan larva selanjutnya (George et al. 1990).

Kendala lain dari penggunaan pakan buatan adalah warna gonad yang lebih pucat dibandingkan dengan warna gonad bulubabi yang diberikan diet pakan alami (Shpigel et al. 2005). Pigmentasi pada gonad bulubabi berasal dari karotenoid yang langsung terakumulasi dari pakan atau sebagian dimodifikasi melalui reaksi metabolis (Griffiths dan Perrot 1976; Tsushima 2007). Penelitian Tsushima et al.

(1993) menunjukkan bahwa biokonservasi dari β, β-karoten menjadi β-ekinenone

melalui β-isocryptoxantin pada bulubabi terutama terjadi di dalam visera dan

menghasilkan β-ekinenone yang terinkorporasi ke dalam gonad (ovari dan testis).

Lebih lanjut Tsushima et al. (1997), diacu dalam Tsushima (2007) melaporkan

bahwa keberadaan β-karoten dan β-ekinenone sangat berpengaruh terhadap

perkembangan stadia awal dari bulubabi.

Penggunaan komponen pakan seperti protein dan pigmen pada hewan budidaya biasanya dimanipulasi dengan memvariasikan konsentrasi atau kecernaan komponen pakan tersebut, tetapi dapat pula dicapai dengan mengubah jumlah


(25)

3 pakan yang dikonsumsi (Jobling et al. 2001). Dengan jalan menambahkan stimulan pakan untuk memperbaiki palatabilitas pakan. Beberapa studi menunjukkan dampak stimulan pakan terhadap bulubabi (McClintock et al. 1982; Klinger dan Lawrence 1984; Sakata et al. 1989; Dworjanyn et al. 2007).

Kajian mengenai makroalga kering sebagai kandidat stimulan pakan diharapkan dapat meningkatkan jumlah konsumsi protein bagi indukan bulubabi guna mempercepat pertumbuhan dan memperbaiki kualitas gonad. Selain itu diharapkan dapat memperbaiki warna dan meningkatkan kandungan karotenoid gonad, sebab makroalga kaya akan karotenoid (Burtin 2003). Bulubabi menampilkan hirarki preferensi ketika diberikan pilihan pakan alami, yaitu lebih memilih jenis makroalga tertentu dibanding jenis makroalga yang lain (Steinberg dan van Altena 1992). Penelitian ini menggunakan tiga jenis makroalga, yaitu Sargassumpolycystum, Gracilaria lichenoides dan Ulva reticulata. Alasan utama penggunaan ketiga makroalga tersebut karena melimpah pada waktu bersamaan di perairan Teluk Ambon.

1.2 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan menentukan palatabilitas makroalga kering, jenis makroalga kering yang sesuai sebagai stimulan pakan buatan dan dosis optimal stimulan pakan terhadap konsumsi pakan buatan dan profil gonad T. gratilla dewasa.

1.3 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi solusi yang efektif dan efisien dalam meningkatkan palatabilitas pakan buatan dan bermanfaat bagi pengembangan akuakultur bulubabi dengan tetap mengedepankan aspek kelestarian lingkungan.

1.4 Hipotesis

Hipotesis yang disusun berdasarkan tujuan penelitian ini adalah (1) Setiap jenis makroalga kering memiliki urutan palatabilitas yang berbeda, (2) Penambahan makroalga sebagai stimulan dapat meningkatkan palatabilitas pakan buatan, tetapi setiap jenis makroalga memiliki kemampuan berbeda dalam meningkatkan palatabilitas pakan buatan, (3) Dosis makroalga berpengaruh terhadap konsumsi pakan buatan dan profil gonad T. gratilla.


(26)

(27)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sistematika dan Distribusi Bulubabi

Bulubabi (sea urchin) termasuk ke dalam filum Ekinodermata, kelas Echinoidea yang terbagi atas tiga subkelas, Perischoechinoidea, Cidaroidea dan Euchinoidea (Lampiran 1) (Lawrence 2007) dan saat ini sekitar 1000 spesies bulubabi telah diidentifikasi (Yokota 2002).

Bulubabi dapat ditemui pada semua laut dan lautan, dengan batas kedalaman antara 0 m sampai dengan 8000 m. Bulubabi dapat hidup bebas sebagai epifauna baik menyendiri ataupun hidup berkelompok, hidup meliang ataupun membenamkan diri dalam lumpur dan pasir dan dikenal sebagai penghuni laut sejati dengan batasan toleransi salinitas antara 30-34 ppt (Aziz 1987).

2.2 Morfologi Bulubabi

Secara morfologi, bulubabi terbagi dalam dua kelompok yakni bulubabi regularia dan iregularia. Bentuk tubuh bulubabi regularia adalah simetri pentaradial hampir berbentuk bola sedangkan bulubabi iregularia memperlihatkan bentuk simetri bilateral yang bervariasi (Aziz 1987). Bulubabi memiliki kaki tabung yang berasal dari membran peristomial dan pedicularia yang responsif terhadap keberadaan makanan dan predator. Spina atau duri-durinya yang panjang menutupi seluruh tubuh dan bisa digerakkan. Duri bulubabi terbentuk dari kristal CaCO3 dan terdiri dari dua macam yaitu duri utama yang panjang dan duri sekunder yang pendek. Pada sisi aboral terdapat anus, lubang genital, dan madreporit sebagai tempat keluar-masuk air, sedangkan pada sisi oral terdapat mulut (Gambar 1).

2.3 Makanan dan Cara Makan Bulubabi

Umumnya sebagian besar bulubabi memakan berbagai jenis tanaman laut baik dari kelompok thalophyta ataupun dari kelompok spermatophyta. Namun demikian, bulubabi yang hidup di perairan jeluk tempat alga tidak dijumpai lagi, sangat tergantung dari sisa organisme yang terdapat disekitarnya. Jenis-jenis bulubabi yang hidup menyendiri ataupun mengelompok (agregasi), hidup bebas mencari makan secara aktif, berpindah dari satu rumpun alga ke rumpun alga lainnya dan menyapu bersih biota apa saja yang ada disekitarnya. Aktivitas makan ini terutama dilakukan di malam hari (Aziz 1987).


(28)

6

Gambar 1 Anatomi umum bulubabi regularia, Strongylocentrotus droebachiensis (James dan Siikavuopio 2012)

2.4 Sistem Pencernaan Bulubabi

Secara umum sistem pencernaan pada semua kelompok bulubabi dibangun oleh unit yang sama, yaitu terdiri dari mulut, faring, esofagus, lambung, usus, rektum dan anus. Lambung merupakan bagian saluran pencernaan yang terpanjang. Saluran pencernaan pada kelompok regularia relatif lebih panjang bila dibandingkan, dengan saluran pencernaan kelompok irregularia. Selain itu, pada kelompok regularia terdapat semacam rahang yang dilengkapi dengan semacam

gigi pemotong ‘lentera aristoteles’. Mulut biasanya terdapat pada bagian tengah dari

sisi oral, dari mulut berjalan saluran pencernaan ke arah anus yang biasanya terletak pada sistem apical di sisi aboral. Saluran pencernaan berputar satu lingkaran penuh searah dengan arah jarum jam dan kemudian kembali berputar satu lingkaran penuh berlawanan arah dengan jarum jam (Durham 1966, diacu dalam Aziz 1987).

2.5 Gametogenesis dan Reproduksi Bulubabi

Gametogenesis, penyimpanan nutrien intra-gonadal dan penggunaannya merupakan preoses yang saling berhubungan dalam reproduksi bulubabi. Dinamika interaksi antara populasi sel germinal dan somatik menyusun epithelium germinal dari gonad bulubabi. Uniknya, perkembangan ukuran gonad bulubabi tidak hanya karena meningkatnya fase gametogenesis, yakni bertambahnya ukuran dan jumlah dari sel germinal saat ini, tetapi juga karena sel somatik dalam epithelium germinal berupa nutritive phagocytes (NP)yang digunakan sebagai tempat untuk menyimpan nutrien secara ekstensif sebagai cadangan sebelum proses gametogenesis dimulai (Walker et al. 2007).


(29)

7 2.5.1 Struktur Gonad Bulubabi

Gonad bulubabi menempel pada lapisan "perivisceral epithelium lempeng interambulakral" mengisi lebih dari separuh rongga badan pada sisi apikal. Gonad bulubabi terdiri atas lima lobi yang tersusun secara radial. Tiap lobus gonad mempunyai sebuah saluran (gonoduct) bermuara ke arah luar pada lempeng genital. Penampang melintang gonoduct berbentuk bulat, berdiameter 800-1000 μm. Organ gonad memiliki 13-15 pasangan percabangan "racemose" pada sisi-sisi gonoduct, yang disebut "acini", masing-masing berbentuk Y (Darsono 1986).

2.5.2 Fase Gametogenesis Bulubabi

Perkembangan siklus reproduktif bulubabi dibagi dalam empat fase (Gambar 2) (Walker et al. 2007). Saat ini, klasifikasi tersebut luas digunakan untuk menggambarkan fase reproduktif bulubabi dari berbagai jenis varietas.

Gambar 2 Tahap siklus gametogenesis (1) ‘inter-gametogenesis dan NP phagocytosis’, (2) ‘pre-gametogenesis dan NP renewal’, (3)

‘gametogenesis dan NP utilization’, (4) ‘end of gametogenesis, NP

exhaustion dan spawning’ dari T. gratilla. (A) Betina dan (B) jantan. Akronim: rm –remnant reproductive cells; rc –reproductive cells; np –nutritive phagocyte. Perbesaran x10 (James dan Siikavuopio [2012])

2.6 Bulubabi Termakankan

Dari sekian banyak bulubabi yang telah teridentifikasi hanya sekitar 16 jenis bulubabi dipanen untuk dimakan gonadnya (roe) di seluruh dunia, diantaranya terdistribusi pada sejumlah ordo echinoid regularia (Lawrence 2007). Ada tiga kemungkinan kenapa tidak semua jenis bulubabi dapat dikonsumsi. Kemungkinan pertama adalah kemudahan akses, semua spesies yang dapat dimakan ditemukan


(30)

8

pada perairan dangkal. Alasan kedua adalah palatabilitas, Tetrapygus niger tidak dikonsumsi meskipun melimpah di pantai Chile karena rasa gonadnya tidak enak. Gonad Hemicentrotus pulcherrimus yang belum matang terkenal di Jepang tetapi ovari yang matang tidak dikonsumsi karena pahit. Alasan ketiga adalah budaya, tingkat konsumsi bulubabi di negara Mediterania bervariasi, tinggi di Perancis tetapi terbatas di Afrika Utara dan pantai Aegean (Lawrence 2007).

2.6.1 Genus Tripneustes

Genus Tripneustes termasuk ke dalam ordo echinoid regularia merupakan jenis bulubabi termakankan. Tripneustes L Agassiz 1841 secara tradisional diyakini terdiri atas tiga spesies yakni Tripneustes gratilla Linnaeus 1758, T. ventricosus Lamarck 1816 dan T. depressus A Agassiz 1863 (Lawrence dan Agatsuma 2007). Tiga spesies tersebut secara morfologi sangat mirip dan diyakini mungkin merupakan satu spesies (Zigler dan Lessios 2003).

2.6.2 Distribusi Geografis Tripneustes gratilla

Tripneustes merupakan genus sirkumtropis yang meluas sampai ke subtropik. T. gratilla dilaporkan ditemukan di seluruh Samudera Hindia sampai Pasifik Barat, Afrika Timur (Laut Merah ke Natal), Laut Kepulauan Selatan (dari Norfolk dan Kepulauan Karmadec ke Marquesas dan Hawaii) dan dari Australia (Port Jackson di pantai Timur dan Sharks Bay di Barat), ke selatan Jepang (Kepulauan Bonin) (Lawrence dan Agatsuma 2007).

2.6.3 Biologi Tripneustes gratilla

T. gratilla sangat umum ditemukan di perairan dangkal meskipun T. gratilla dapat ditemukan pada kedalaman 75 m. T. gratilla terdapat pada semua habitat mencakup padang lamun dan alga, pasir dengan kerikil, batuan dan rataan terumbu karang. Di habitatnya T. gratilla dapat hidup pada kisaran suhu 20-30oC, di Kepulauan Bonin T. gratilla ditemukan hidup pada suhu 23,6-26,8oC, di Mauritius pada suhu 21,6-27,2oC dan di Madagaskar pada suhu 26-32oC (Lawrence dan

Agatsuma 2007).

Tinjauan yang dilakukan Lawrence dan Agatsuma (2007) menyebutkan bahwa T. gratilla biasanya ditemukan dalam kelompok yang terdiri atas tiga sampai empat individu, saling bersentuhan bahkan tumpang tindih. Walaupun penelitian lain melaporkan T. gratilla biasanya terisolasi dan jarang saling bersentuhan satu dengan yang lainya bahkan dalam kondisi kepadatan tinggi.

T. gratilla ditemukan diberbagai jenis habitat, sehingga tidak mengejutkan apabila jenis pakannya bervariasi. Juvenil T. gratilla makan sesil diatom dan individu yang lebih besar makan makroalga. Di Madagaskar T. gratilla makan lamun T. hempricii, sementara di Hawaii T. gratilla makan alga koralin, filamen dan detritus (Lawrence dan Agatsuma 2007).


(31)

9 2.6.4 Potensi Akuakultur Tripneustes gratilla

T. gratilla merupakan jenis bulubabi ekonomis penting di Indonesia. Biota ini tersebar di Kawasan Tengah dan Timur Indonesia seperti Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi dan Maluku terutama di ekosistem lamun (Aziz 1993). T. gratilla memiliki tingkat pertumbuhan yang cepat (Shimabukuro 1991, diacu dalam Lawrence dan Agatsuma 2007), kualitas gonadnya memenuhi selera pasar, berwarna kuning cerah sampai oranye dengan tekstur halus sampai kasar (berbutir) dan berbau khas produk laut (Chasanah dan Andamari, 1997). Induk matang gonad T. gratilla tersedia di alam cukup lama, sehingga keperluan induk siap memijah bagi usaha pembenihan tidak menjadi masalah (Tuwo dan Pelu, 1997). Selain itu, T. gratilla dapat dipelihara pada kepadatan tinggi (Lawrence dan Agatsuma 2007).

2.7 Makroalga

Makroalga adalah tumbuhan tingkat rendah, tidak mempunyai akar, batang dan daun sejati yang kemudian disebut dengan thalus. Berdasarkan pigmentasinya makroalga terbagi dalam tiga kelas utama, yaitu alga coklat (Phaeophyceae), alga merah (Rhodophyceae) dan alga hijau (Chlorophyceae). Tinjauan mengenai makroalga dalam tulisan ini terbatas pada deskripsi taksonomi dari tiga jenis makroalga yang mewakili ketiga kelas , yaitu alga coklat Sargassum polycystum, alga merah Gracilaria lichenoides dan alga hijau Ulva reticulata.

2.7.1 Sargassum polycystum C. A. Agardh

Sargassum C. A. Agardh (Sargassaceae, Fuucales) merupakan genus alga coklat yang sedikitnya terdiri atas 400 jenis. Tersebar luas pada perairan hangat dan dingin, terutama di wilayah barat Indo-Pasifik dan Australia (Tseng et al. 1985, diacu dalam Noiraksar dan Ajisaka 2008).

Ciri morfologi Sargassum polycystum C. A. Agardh dideskripsikan sebagai berikut. Pelekap mencakram, diameter mencapai 13 mm. Batang menggalah, berbintil, diameter mencapai 3 mm dan panjang 4 mm. Bantalan terdiri atas lima stolon dan 7-9 spiral yang menyusun cabang utama. Stolon menggalah sedikit memadat atau memendek pada bagian proksimal, panjang mencapai 12 cm dan lebar 2 mm. Cabang utama biasanya berbintil dan berduri (Gambar 3H) dan bertransformasi menjadi stolon dan pelekap sekunder (Gambar 3I), panjang mencapai 200 cm dan diameter 2 mm. Daun berbentuk bulat panjang, melanset sampai memita, panjang mencapai 45 mm dan lebar 13 mm. Bagian pangkal daun asimetris sampai membaji dan membulat sampai meruncing pada bagian ujungnya. Pinggiran daun bergerigi kasar dan tulang tengah semakin berkurang atau samar ke arah pangkal. Kriptostomata kecil dan tersebar berjajar di atas kedua sisi dari tulang tengah. Cabang sekunder tersusun memutar, menggalah, penuh sesak dengan duri, panjang mencapai 60 cm dan jarak antar cabang 16 cm. Daun memita-melanset sampai menyudip, panjang mencapai 30 mm dan lebar 7 mm. Bagian pangkal daun


(32)

10

asimetris sampai membaji dan membulat sampai meruncing pada bagian ujungnya. Pinggiran daun bergerigi kasar dan tulang tengah semakin berkurang atau samar ke arah pangkal. Kriptostomata kecil dan tersebar berjajar di atas kedua sisi dari tulang tengah (Gambar 3B). Vesikula membulat sampai bulat telur, panjang 8 mm, lebar 6 mm dan ketebalan 5 mm. Pangkal seluruhnya di atas kedua sisi vesikula, tangkai tanaman diesis. Reseptakel jantan panjang, menggalah, panjang sampai 15 mm dan lebar 1 mm, dengan permukaan berbintil dan cabang terbagi atas dua atau lebih (Gambar 3D, E). Reseptakel betina sedikit memadat, panjang mencapai 4 mm dan lebar 1 mm, dengan permukan berbintil, cabang terbagi atas dua atau lebih (Gambar 3F, G). Jantan dan betina tersusun dalam tandan, halozigokarpik dan vesikulata, menggalah, biasanya lebih pendek dibandingkan dengan vesikula (Gambar 3C) (Noiraksar dan Ajisaka 2008).

Gambar 3 Sargassum polycystum C. A. Agardh. (A) Perawakan, (B) daun, (C) vesikula, (D) reseptakel jantan (panah), (E) irisan melintang reseptakel jantan memperlihatkan konseptakel jantan (panah), (F) reseptakel betina (panah), (G) irisan melintang reseptakel betina memperlihatkan konseptakel betina (panah), (H) duri di atas cabang utama, (I) pelekap sekunder (panah) (Noiraksar dan Ajisaka 2008)


(33)

11 2.7.2 Gracilaria lichenoides atau Gracilaria edulis (S.G. Gmelin) P. C. Silva

Gracilaria ditemukan pada perairan yang jernih di zona intertidal dan tidak terekspose udara selama air laut surut. Gracilaria tumbuh di atas bebatuan atau permukaan lumpur pada area pasir berlumpur (FAO/NACA 1996). Ciri morfologi

G. lichenoides dideskripsikan sebagai berikut, yaitu tanaman tegak dan tumbuh mencapai 8-25 cm atau lebih, berwarna hijau tua sampai kekuningan, percabangan dikotomus atau trikotomus, sendi utama 1-1,5 mm, diameter cabang 0,5-1,0 mm dengan sudut percabangan yang lebar. Jarak antar cabang rendah, cabang berbentuk tabung dengan ketebalan 1 mm dan menjadi lebih tipis 0,5 mm pada bagian ruas pangkal. Irisan melintang pelepah terdiri atas dinding tipis sel medula yang membulat, dengan diameter 100-200 µm dan 1-2 baris sel kortikal kecil yang beralih tiba-tiba dari medula ke korteks. Sistokarp membulat, diameter 0,5-1 mm dengan ujung rostrum menyempit pada pangkal (Gambar 4) (FAO/NACA 1996).

Gambar 4 Gracilaria lichenoides atau Gracilaria edulis (S.G. Gmelin) P. C. Silva. (A) Thalus, (B) perawakan luar dari sistokarp, (C) irisan melintang dari sendi utama (FAO/NACA 1996)

2.7.3 Ulva reticulata Forsskål 1775

Ulva dapat ditemukan pada pertengahan zona litoral, tumbuh pada bebatuan atau sebagai epifit. Tanaman tumbuh terpisah atau kadang-kadang berasosiasi dengan alga lainnya. Warna hijau terang sampai gelap, seperti jaring atau mata jala,


(34)

12

lebar 10-20 cm dengan sejumlah lakunae (Gambar 5A). Rongga berbentuk oval, sirkular, lonjong atau persegi panjang (Gambar 5B), memisahkan lamina ke dalam lasinia dengan titik-titik mikroskopis yang terlihat jelas di tepi thalus dan lubang; dua sel memanjang ditengah-tengah thalus (Jha et al. 2009).

Gambar 5 Ulva retikulata Forsskål 1775. (A) Perawakan, (B) rongga berbentuk oval, sirkular, lonjong atau persegi panjang (Jha et al. 2009)

2.8 Stimulan Pakan

Pengaruh rangsangan kimia pada perilaku makan sudah diketahui dengan baik. Namun demikian, klasifikasi bahan kimia yang mempengaruhi perilaku makan agak membingungkan meskipun istilah perihalnya telah dikemukakan: attractan, repellant, arrestant, incitant, suppressant, stimulant dan deterrent (Tabel 1) (Lindsteadt 1971). Tiga istilah pertama digunakan bagi substansi yang terditeksi pada konsentrasi yang sangat rendah dan terkait dengan tanggap orientasi positif atau negatif. Istilah tersisa berlaku untuk taggapan positif atau negatif yang berkaitan dengan inisiasi atau kelanjutan kontak makan, dan bersentuhan langsung dengan makanan biasanya dibutuhkan untuk tanggap tersebut (Higuera 2001).

Sedikit bahasan di atas memberikan gambaran bahwa attractan dan stimulant merupakan perilaku yang diakibatkan substansi kimia yang dapat dibedakan satu sama lainnya. Lebih lanjut, suatu substansi dapat disebut sebagai stimulan pakan apabila memiliki sifat fisikokimia sebagai berikut: nonvolatil, bobot molekulnya rendah, mengandung nitrogen, amfoterik,larut dalam air, stabil dengan perlakuan panas dan memiliki distribusi biologi yang luas (Higuera 2001).

Sebagaimana telah dikemukanan sebelumnya, tanggapan hewan terhadap komposisi kimia dari makanan menunjukkan perilaku konsumsi yang rumit dan memiliki beberapa tahapan (Lindsteadt 1971). Tahap-tahap ini tidak selalu secara eksplisit diakui dalam studi mengenai pemberian makan terhadap bulubabi. Klinger dan Lawrence (1984) menyakini perbedaan konsumsi makanan oleh L. variegatus


(35)

13 terutama ditentukan oleh derajat ketekunan dalam makan bukan pemilihan makanan. Ketekunan bulubabi saat kontak dengan makanan menunjukkan stimulasi makan.

Hirarki preferensi yang digambarkan Steinberg dan van Altena (1992), menunjukkan bulubabi lebih memilih jenis makroalga tertentu ketika diberikan pilihan pakan alami. Faktanya, sebagai sumber makanan makroalga sangat bervariasi dalam morfologi, kualitas nutrisi, metabolit sekunder dan derajat pengapuran yang berpengaruh terhadap preferensi pemangsanya (Vadas 1977; Sakata et al. 1989; Duffy dan Hay 1990; Wright et al. 2005). Pengamatan di lapangan dan pengujian di laboratorium menunjukkan metabolit sekunder dapat bertindak sebagai stimulan atau deteren yang kuat bagi bulubabi (Sakata et al. 1989; Steinberg dan van Altena 1992; Deal et al. 2003). Beberapa studi menunjukkan golongan monosakarida, polisakarida, asam amino, lipid, terpenoid dan fenol dapat bertindak sebagai stimulan bagi bulubabi (Klinger dan Lawrence 1984; Sakata et al. 1989; Steinberg dan van Altena 1992), tetapi di sisi lain dapat pula bertindak sebagai deteren (Steinberg dan van Altena 1992; Cronin dan Hay 1996; Deal et al. 2003).

Tabel 1 Macam tanggapan perilaku terhadap bahan kimia dalam pakana

Kategori Tanggapan perilaku Attractant Bergerak ke arah makanan

Repellant Bergerak menjauhi makanan

Arrestant Berhenti bergerak ke arah makanan

Incitant Permulaan makan

Suppressant Tidak ada permulaan makan

Stimulant Proses penelanan makanan

Deterrent Tidak ada proses penelanan makanan


(36)

(37)

3 BAHAN DAN METODE

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Percobaan dilakukan di Laboratorium Budidaya, Unit Pelaksana Teknis Balai Konservasi Biota Laut (UPT. BKBL), Pusat Penelitian Oseanografi (P2O), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Ambon dari bulan Mei-Agustus 2012 (Gambar 1). Proksimat (bahan kering, pakan percobaan, gonad) dan analisis total karotenoid (makroalga, pakan percobaan, gonad) serta preparasi histologi dilakukan di Laboratorium Nutrisi Ikan dan Laboratorium Kesehatan Ikan Departemen Budidaya Perairan (BDP), Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK), Institut Pertanian Bogor (IPB).

3.2 Pengumpulan dan Pemeliharaan Organisme

Tiga jenis makroalga digunakan dalam penelitian ini, yaitu alga coklat Sargassum polycystum, alga merah Gracilaria lichenoides dan alga hijau Ulva reticulata. Masing-masing makroalga dikumpulkan dari tiga lokasi berbeda di sekitar pulau Ambon selama dua hari, 3-4 November 2011. S. polycystum dikumpulkan dari pantai Liang (S 03o48’76,7”, E 128o25’36,5”), G. lichenoides dikumpulkan dari pantai Hative Besar (S 03o41’10,7”, E 128o07’24,0”) dan U. reticulata dikumpulkan dari pantai Tantui (S 03o40’09,1”, E 128o11’46,0”)

(Gambar 6). Hewan uji yang digunakan, yaitu Tripneustes gratilla dikumpulkan dari pantai Liang pada kedalaman 0,3-3 m (zona intertidal) (Gambar 6), sebelum digunakan diadaptasikan pada bak pemeliharaan dengan air laut mengalir yang diaerasi, serta diberi pakan berupa campuran makroalga segar dan lamun.

3.3 Preparasi Makroalga sebagai Stimulan Pakan

Makroalga segar dibawa ke laboratorium dalam bak plastik berisi air laut. Selanjutnya, makroalga dicuci bersih menggunakan air laut dan dikering anginkan di atas para-para yang diberi naungan. Setelah kristal garam pada thalus muncul, makroalga kembali dicuci dengan menggunakan air tawar dan dikering anginkan kembali selama beberapa hari. Makroalga kering kemudian dihancurkan dan dilewatkan saringan 3 mm. Selanjutnya, makroalga kering dalam bentuk simplisia dengan kadar air 10-12% disimpan dalam kontainer kedap udara yang dilengkapi dengan gel silika. Penyimpanan simplisia makroalga sampai digunakan dilakukan selama ± 6 bulan (Gambar 7).


(38)

16

Gambar 6 Lokasi percobaan di ‘UPT. BKBL Ambon – LIPI’ (◊), lokasi

pengumpulan ‘G. lichenoides’ (○), ‘U. reticulata’ (□) serta ‘S.

polycystum’ dan ‘T. gratilla’ (Δ)

Gambar 7 Preparasi makroalga sebagai stimulan pakan. (A) Seleksi dan pengumpulan makroalga, (B) pencucian makroalga (dilakukan sebelum dan setelah pengeringan), (C) pengeringan makroalga dengan cara dikeringanginkan, (D) makroalga yang sudah dikemas setelah sebelumnya dihancurkan dan dilewatkan saringan 3 mm


(39)

17 3.4 Percobaan I: Pengujian Palatabilitas Makroalga Kering

3.4.1 Persiapan dan Pemeliharaan Hewan Uji

Setelah diadaptasikan T. gratilla diseleksi berdasarkan bobot utuh dan diameter cangkang (Tabel 2), selanjutnya sebelum digunakan T. gratilla dipuasakan selama lima hari dan dipelihara dalam wadah pemeliharaan menggunakan sistem resirkulasi dengan kepadatan 1 ind 4 L-1 air laut (perlakuan A,10 jenis lempeng

agar) dan 1 ind 7 L-1 air laut (perlakuan B, 4 jenis lempeng agar). Penggantian air

laut dalam sistem resirkulasi pada perlakuan B dilakukan sebanyak 10% hari-1 bersamaan dengan penyiponan feses. Total volume air laut yang digunakan sebanyak 480 L unit sistem resirkulasi-1 (perlakuan A) dan 300 L unit sistem

resirkulasi-1 (perlakuan B) (Lampiran 2). Parameter kualitas air yang diamati meliputi suhu, salinitas, pH dan oksigen diukur menggunakan Horiba tipe U52G.

Tabel 2 Berat utuh (BU) dan diameter cangkang (DC) T. gratilla yang digunakan pada percobaan I

A (10 Jenis Lempeng Agar) B (4 Jenis Lempeng Agar)

BU (g) 95,45±0,71 94,81±0,44

DC (mm) 62,55±0,20 62,88±0,18

3.4.2 Preparasi Lempeng Agar

Agar sebanyak 0,55 g dicampur 15 ml akuades, selanjutnya dipanaskan sampai mendidih menggunakan hot plate. Setelah dibiarkan dingin dalam beberapa detik, makroalga kering ditambahkan dalam larutan agar. Kombinasi campuran tersebut selanjutnya dituangkan ke dalam kantong plastik yang di dalamnya terdapat super net (ukuran 1 cm2 sel-1), selanjutnya diratakan sehingga memiliki

ketebalan yang sama. Setelah dingin, plastik dibuka dan agar dipinggir super net dibuang (Gambar 8).

Gambar 8 (A) lempeng agar sebelum kantong plastik dibuka, (B) lempeng agar setelah kantong plastik dibuka, ukuran 8 x 8 sel (1 sel = 1 cm2)


(40)

18

3.4.3 Prosedur Pengujian Palatabilitas Makroalga Kering

Pengujian palatabilitas makroalga kering dilakukan dengan menggunakan lempeng agar yang proses pembuatannya sudah dijelaskan pada sub bab sebelumnya. Empat jenis lempeng agar yang masing-masing mengandung makroalga kering sebanyak 0, 10, 20 dan 30% dari bobot agar diujikan sebagai pakan bersama terhadap T. gratilla sebanyak tiga kali ulangan. Selanjutnya, dosis makroalga yang memberikan tanggap konsumsi agar terbaik kembali diujikan dengan prosedur yang sama sebagaimana pengujian sebelumnya.

3.5 Percobaan II: Pengujian Makroalga Kering sebagai Stimulan Pakan

3.5.1 Persiapan dan Pemeliharaan Hewan Uji

Setelah diadaptasikan T. gratilla diseleksi berdasarkan bobot utuh dan diameter cangkang (Tabel 3). Sebelumnya T. gratilla dipuasakan terlebih dahulu selama lima hari dan dipelihara dalam wadah pemeliharaan menggunakan sistem air mengalir (flow through system) dengan kepadatan 1 ind 7 L-1 air laut. Sistem air mengalir yang digunakan memiliki debit air masuk dan keluar sebesar 6,25 L jam

-1 sehingga memungkinkan terjadinya penggantian air sebesar 300% hari-1

(Lampiran 2). Parameter kualitas air yang diamati meliputi suhu, salinitas, pH dan oksigen diukur menggunakan Horiba tipe U52G.

Tabel 3 Berat utuh (BU) dan diameter cangkang (DC) T. gratilla dari empat jenis perlakuan diet (Basal, S-5= Basal+S. polycystum 5%, G-5= Basal+G. lichenoides 5%, U-5= Basal+U. reticulata 5%) pada percobaan II

Basal S-5 G-5 U-5

BU (g) 90,10±0,64 93,62±1,21 89,28±0,70 89,40±0,82 DC (mm) 61,64±0,17 62,52±0,14 62,00±0,62 61,43±0,81

3.5.2 Formulasi Pakan Buatan

Bahan dasar diproksimat untuk mengetahui komposisi biokimia yang terkandung di dalamnya sebagai dasar untuk memformulasikan pakan perlakuan yang akan digunakan pada percobaan ini (Lampiran 3). Komposisi biokimia yang di analisis meliputi kadar air, kadar abu , kadar protein, kadar lipid, kadar serat dan BETN. Analisis kadar protein menggunakan metode Kjehdall, sedangkan analisis kadar lipid pada bahan dasar menggunakan metode Soxchlet. Prosedur lengkap analisis komposisi biokimia dijelaskan pada Lampiran 4, 5, 6, 7, 8 dan 9. Makroalga kering sebanyak 5% sebagai faktor perlakuan masing-masing disatukan dengan pakan basal. Komposisi pakan dasar yang memberikan efek negatif terhadap palatabilitas T. gratilla dimodifikasi dandigunakan dalam percobaan (Fernandez & Boudouresque 2000). Kadar protein pakan ±31%, sama pada setiap jenis perlakuan


(41)

19 dan gelatin (kadar protein 88,28%) digunakan sebagai pengikat untuk memperoleh konsistensi pakan yang kuat namun lembut (Robinson et al. 2002). Formulasi pakan buatan untuk setiap jenis perlakuan dideskripsikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Formulasi pakan buatan pada percobaan II. Pakan buatan mengandung 56% bahan dasar yang dicampur ke dalam 12,5% pengikat. Komposisi biokimia pakan dinyatakan sebagai persentase (berat basah) dan level energi dinyatakan dalam kkal kg-1 berat basah

Bahan dasar Protein Komposisi bahan dasar (%)

Basal1 S-51 G-51 U-51

Tepung ikan 54.17 55,22 55,56 55,82 55,34

Tepung jagung 9.38 17,04 14,37 14,24 14,48

Tepung pollar 13.46 17,04 14,37 14,24 14,48

S. polycystum 8.60 0,00 5,00 0,00 0,00

G. lichenoides 6.31 0,00 0,00 5,00 0,00

U. reticulata 10.38 0,00 0,00 0,00 5,00

Minyak ikan 0,00 4,50 4,50 4,50 4,50

Minyak sawit 0,00 4,50 4,50 4,50 4,50

Filler, vitamin dan mineral

mix2 3.49 1,70 1,70 1,70 1,70

Analisa proksimat pakan (56% bahan dasar+12,5% gelatin)4

Kadar protein 31,77 31,59 31,36 31,49

Kadar lemak 9,80 9,92 10,09 10,17

Serat kasar 0,88 1,33 1,67 1,36

BETN 18,55 16,16 15,16 15,86

Kadar abu 6,06 6,69 6,78 6,73

Energi kasar3 3460.87 3364.08 3326.18 3369.68

GE/P 10.89 10.65 10.61 10.70

1 Empat jenis perlakuan diet, yaitu Basal, S-5= Basal+S. polycystum (5%), G-5= Basal+G.

lichenoides (5%), U-5= Basal+U. reticulata (5%)

2 Vitamin dan mineral mix tersusun atas (mg atau UI kg-1 terhadap pakan): tocopherol acetate 70,8

UI; ascorbic acid 283 mg; thiamin 7,1 mg; riboflavin 7,6 mg; pyridoxine 9,4 mg; cyanobalanine 0,014 mg; biotin 0,47 mg; folic acid 1,89 mg; calcium panthothenate 23,6 mg; vitamin A 710 UI, vitamin D3 700 UI; niacin 14,6 mg; CaCO3 2,1 mg; CuSO4 9,4 mg; Fe SO4 4,7 mg; NaF 7,1 mg;

Mg CO3 174 mg; Mn SO4 18,9 mg; CaHPO4 75,5 mg; Zn SO4 7,7 mg

3 Perhitungan manual, protein: 5,6 kkal g-1; lemak 9,4 kkal g-1; karbohidrat 4,1 kkal g-1 (NRC 1977) 4 Hasil analisa proksimat, Laboratorium Nutrisi Ikan Departemen BDP, FPIK - IPB

3.5.3 Prosedur Pengujian Makroalga Kering sebagai Stimulan Pakan

Empat jenis perlakuan (Basal, S-5: basal+S. polycystum, G-5: basal+G. lichenoides, U-5: basal+U. reticulata) masing-masing diujikan sebagai pakan tunggal terhadap T. gratilla sebanyak tiga kali ulangan. Setiap perlakuan kecuali basal mengandung konsentrasi makroalga sebagaimana telah disebutkan sebesar 5%. Kadar protein pada tingkat yang sama untuk setiap jenis perlakuan. Pemberian pakan dilakukan sehari sekali menjelang matahari terbenam, Pemberian pakan


(42)

20

dilakukan selama 14 hari dan pencatatan parameter konsumsi pakan mulai dilakukan pada hari ketujuh.

3.6 Percobaan III: Pengujian Dosis Optimal Makroalga Kering sebagai Stimulan Pakan terhadap Konsumsi Pakan, Pertumbuhan dan Profil Gonad

3.6.1 Persiapan dan Pemeliharaan Hewan Uji

Setelah diadaptasikan T. gratilla diseleksi berdasarkan bobot utuh dan diameter cangkang (Tabel 5). Sebelum digunakan T. gratilla dipuasakan selama 21 hari dengan tujuan untuk mempermudah evaluasi penggunaan protein untuk pertumbuhan. Selanjutnya T. gratilla dipelihara dalam wadah pemeliharaan menggunakan sistem air mengalir (flow through system) dengan kepadatan 1 ind 7 L-1 air laut. Sistem air mengalir yang digunakan memiliki debit air masuk dan keluar

sebesar 6,25 L jam-1 sehingga memungkinkan terjadinya penggantian air sebesar 300% hari-1 (Lampiran 2). Parameter kualitas air yang diamati meliputi suhu,

salinitas, pH dan oksigen diukur menggunakan Horiba tipe U52G. Sementara, kadar total amonia nitrogen (TAN) diukur menggunakan spektrofotometer berdasarkan metode phenate.

Tabel 5 Berat utuh (BU) dan diameter cangkang (DC) T. gratilla dari lima jenis perlakuan diet (Basal, U-10= Basal+ U. reticulata 10%, U-20= Basal+ U. reticulata 20%, U-30= Basal+U. reticulata 30%, MS: makroalga segar) pada percobaan III

Basal U-10 U-20 U-30 MS

BU (g) 112,38±1,77 113,76±0,84 113,37±0,49 114,79±1,02 113,49±0,66 DC (mm) 66,27±1,76 67,23±0,10 66,48±0,31 67,17±0,97 66,64±1,04

3.6.2 Formulasi Pakan Buatan

Bahan dasar diproksimat untuk mengetahui komposisi biokimia yang terkandung di dalamnya sebagai dasar untuk memformulasikan pakan perlakuan yang akan digunakan pada percobaan ini (Lampiran 3). Komposisi biokimia yang di analisis meliputi kadar air, kadar abu , kadar protein, kadar lipid, kadar serat dan BETN. Analisis kadar protein menggunakan metode Kjehdall, sedangkan analisis kadar lipid pada bahan dasar menggunakan metode Soxchlet. Prosedur lengkap analisis komposisi biokimia dijelaskan pada Lampiran 4, 5, 6, 7, 8 dan 9. U. reticulata pada konsentrasi 10, 20 dan 30% masing-masing ditambahkan dalam pakan dasar. Komposisi pakan dasar yang memberikan efek negatif terhadap palatabilitas T. gratilla dimodifikasi dandigunakan dalam percobaan (Fernandez & Boudouresque 2000). Kadar protein pakan ±31%, sama pada setiap jenis perlakuan dan gelatin (kadar protein 88,28%) digunakan sebagai pengikat untuk memperoleh


(43)

21 konsistensi pakan yang kuat namun lembut (Robinson et al. 2002). Formulasi pakan buatan untuk setiap jenis perlakuan dideskripsikan pada Tabel 6.

Tabel 6 Formulasi pakan buatan pada percobaan tahap III. Pakan buatan mengandung 56% bahan dasar yang dicampur ke dalam 12,5% pengikat. Komposisi biokimia pakan dinyatakan sebagai persentase (berat basah) dan level energi dinyatakan dalam kkal kg-1 berat basah

Bahan dasar Protein Komposisi bahan dasar (%)

Basal1 U-101 U-201 U-301

Tepung ikan 54.17 55,22 55,46 55,72 55,96

Tepung jagung 9.38 17,04 11,92 6,79 1,67

Tepung pollar 13.46 17,04 11,92 6,79 1,67

U. reticulata 10.38 0,00 10,00 20,00 30,00

Minyak ikan 0,00 4,50 4,50 4,50 4,50

Minyak sawit 0,00 4,50 4,50 4,50 4,50

Filler, vitamin dan mineral

mix2 3.49 1,70 1,70 1,70 1,70

Analisa proksimat pakan (56% bahan dasar+12,5% gelatin)4

Kadar protein 31,77 31,69 31,91 31,81

Kadar lemak 9,80 8.86 9,20 9,12

Serat kasar 0,88 1,49 2.03 2,08

BETN 18,55 18,84 16,96 16,92

Kadar abu 6,06 6,69 7,82 7,98

Energi kasar3 3460.87 3379.92 3347.12 3332.36

GE/P 10.89 10.67 10.49 10.48

1 Lima jenis perlakuan diet, yaitu Basal, U-10= Basal+ U. reticulata 10%, U-20= Basal+ U.

reticulata 20%, U-30= Basal+U. reticulata 30%, MS= makroalga segar

2 Vitamin dan mineral mix tersusun atas (mg atau UI kg-1 terhadap pakan): tocopherol acetate 70,8

UI; ascorbic acid 283 mg; thiamin 7,1 mg; riboflavin 7,6 mg; pyridoxine 9,4 mg; cyanobalanine 0,014 mg; biotin 0,47 mg; folic acid 1,89 mg; calcium panthothenate 23,6 mg; vitamin A 710 UI, vitamin D3 700 UI; niacin 14,6 mg; CaCO3 2,1 mg; CuSO4 9,4 mg; Fe SO4 4,7 mg; NaF 7,1 mg;

Mg CO3 174 mg; Mn SO4 18,9 mg; CaHPO4 75,5 mg; Zn SO4 7,7 mg

3 Perhitungan manual, protein: 5,6 kkal g-1; lemak 9,4 kkal g-1; karbohidrat 4,1 kkal g-1 (NRC 1977) 4 Hasil analisa proksimat, Laboratorium Nutrisi Ikan Departemen BDP, FPIK - IPB

3.6.3 Prosedur Pengujian Dosis Optimal Makroalga Kering sebagai Stimulan Pakan terhadap Konsumsi Pakan, Pertumbuhan dan Profil Gonad Perlakuan yang memberikan respon konsumsi pakan atau makroalga dengan komposisi biokimia terbaik dari percobaan sebelumnya digunakan pada percobaan III. T. gratilla dipuasakan selama 21 hari, sebelum diuji dengan lima jenis perlakuan diet (Basal, U-10= Basal+U. reticulata 10%, U-20= Basal+20%, U-30= Basal+30%, dan MS= makroalga segar+lamun). Sama halnya dengan percobaan II, setiap perlakuan diberikan sebagai pakan tunggal dan kadar protein pakan buatan pada tingkat yang sama untuk setiap jenis perlakuan. Frekuensi pemberian pakan dilakukan satu kali sehari menjelang matahari terbenam selama 24 hari pertama,


(44)

22

berikutnya sampai hari ke 38 pemberian makan dilakukan dua kali sehari menjelang matahari terbit dan terbenam. Parameter yang diukur meliputi tingkat konsumsi pakan, sintasan, laju pertumbuhan diameter cangkang dan laju pertumbuhan spesifik serta profil gonad (indek gonad, kandungan lipid, protein dan kadar air, kondisi reproduktif gonad, diameter telur, warna dan kandungan karotenoid gonad).

3.7 Parameter Diukur

3.7.1 Konsumsi Pakan

Banyaknya konsumsi pakan harian T. gratilla dihitung mengikuti persamaan berikut (Dworjanyn et al. 2007):

� ��� = ( �× � �⁄ ) −�

Ui adalah bobot pakan awal; Uf adalah sisa pakan serta Ci dan Cf adalah bobot pakan kontrol sebelum dan setelah pengujian.

3.7.2 Sintasan (SR)

Persentase sintasan (SR) diperoleh dengan menghitung jumlah T. gratilla pada awal dan akhir pemeliharaan, dengan persamaan berikut:

= ��⁄�� × %

No adalah jumlah individu T. gratilla pada awal pemeliharaan dan Nt adalah jumlah individu T. gratilla pada akhir pemeliharaan

3.7.3 Pertumbuhan (Laju Pertumbuhan Diameter Cangkang (LGR) dan Laju Pertumbuhan Harian (SGR))

LGR adalah pertumbuhan diameter cangkang dan SGR adalah laju pertumbuhan harian T. gratilla dihitung mengikuti persamaan berikut (Cook & Kelly 2007):

� = ( − �)⁄ dan � = [ / � 1/�− ] × %

Li dan Lf adalah rerata diameter awal dan akhir cangkang (mm); Wi dan Wf adalah rerata bobot basah awal dan akhir T. gratilla dan t adalah jumlah hari percobaan.


(45)

23 3.7.4 Profil Gonad

3.7.4.1 Indek Gonad (GI)

Berat basah gonad dan indek gonad diukur pada hari ke 0 (mengorbankan 10 individu T. gratilla) dan ke 38 mengikuti persamaan (Cook & Kelly 2007).

�� = ( ⁄ ) ×� %

Wg adalah bobot basah gonad (g) dan Wt adalah bobot utuh basah T. gratilla (g).

3.7.4.2 Kandungan Lipid, Protein dan Kadar Air Gonad

Persentase kadar air ditentukan dengan mengeringkan sampel gonad seberat 2 g selama 4 jam pada suhu 110oC. Protein gonad dianalisis menggunakan metode

Kjehdal, sedangkan kandungan lipid pada gonad dianalisis mengikuti prosedur Folch (Folch et al. 1957) (Lampiran 4, 6 dan 7).

3.7.4.3 Kondisi Reproduktif Gonad

Kondisi reproduktif gonad T. gratilla diklasifikasikan dalam empat fase (Walker et al. 2007) ditaksir dengan jalan melihat gambaran histologi gonad. Preparasi histologi gonad dilakukan dalam lima tahap, yakni penentuan jaringan, fiksasi jaringan, proses perlakuan jaringan (dehidration, clearing, impregnation, embedding dan blocking), pemotongan jaringan dan pewarnaan jaringan (Hewitson et al. 2010). Pada penelitian ini sampel jaringan gonad dipotong setebal 2–3 mm3

dan direndam dalam larutan fiksatif Bouin’s.

3.7.4.4 Diameter Telur

Telur T. gratilla diperoleh dari cairan yang keluar dari gonad ketika bulubabi dibedah untuk diambil gonadnya. Telur diamati dengan menggunakan mikroskop binokuler Nikon 5Ɛi dan diukur dengan menggunakan aplikasi software yang terintegrasi didalamnya.

3.7.4.5 Warna Gonad

Penilaian warna (kualitatif) gonad T. gratilla dilakukan dengan menggunakan PENTONETM colour card (Cook 1999, diacu dalam Cook & Kelly 2007) yang dicetak sendiri berdasar colour libraries program Adobe Photoshop CS5 Extended (Gambar 9). Penentuan warna gonad dilakukan pada kondisi cahaya alami di siang hari oleh pengamat yang sama.


(46)

24

Gambar 9 Klasifikasi warna PENTONETM colour card yang dicetak berdasar colour libraries program Adobe Photoshop CS5 Extended

3.7.4.6 Karotenoid Total Makroalga Kering, Pakan Percobaan dan Gonad Sampel (makroalga kering, pakan percobaan dan gonad) diekstraksi dengan rasio 1:5 (sampel:pelarut), kemudian di kocok pada 140 rpm selama 15 jam menggunakan shaker. Hasil ekstraksi selanjutnya ditapis menggunakan kertas tapis Whatman No.1. Pigmen karotenoid dalam pelarut (aseton) kemudian dipekatkan menggunakan rotary vacuum evaporator pada temperatur 60-70oC sampai volume akhir menjadi 1/8 volume awal. Absorban panjang gelombang (λ) diobservasi mengikuti karakteristik pigmen karotenoid (400-490 nm) (Harbone & Swain 1987). Total karotenoid dalam 100 g sampel dihitung mengikuti persamaan (McBeth 1972, diacu dalam Liyana-Pathirana et al. 2002).

� � � �−1 = � × × 3 � ×

A adalah absorban pada λmak; Vadalah total volume sampel (ml); ε adalah koefisien

molar ekstingsi (2500) dan W adalah bobot sampel (g).

3.8 Analisis Statistik

Besar konsumsi pakan, LGR, SGR, indek gonad dan diameter telur diuji menggunakan one way variance analysis (ANOVA) dan uji lanjut menggunakan Tukey test pada derajat kepercayaan 5%. Perbedaan konsumsi pakan berdasarkan frekuensi pemberian pakan di uji menggunakan uji t sampel bebas (Independent sample t test). Hubungan protein, energi dan rasio protein terhadap energi diuji menggunakan korelasi product moment Pearson pada derajat kepercayaan 5%. Uji analisa statistik dilakukan dengan bantuan software IBM SPPS Statistics versi 19.


(47)

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Kondisi Kualitas Air

Dicirikan dengan persen sintasan yang mencapai 100% untuk semua perlakuan, selama percobaan berlangsung parameter kualitas air berupa oksigen terlarut, total amonia nitrogen, temperatur, salinitas dan pH dalam kondisi baik. Siikavuopio et al. (2007) mengemukakan kualitas air yang buruk dalam pemeliharaan bulubabi berkontribusi terhadap tingginya kematian bulubabi. Berdasarkan karakteristiknya Tripneustes gratilla digolongkan dalam jenis ruderal (ruderal spesies), walaupun memiliki laju pertumbuhan yang cepat dan upaya reproduktif yang besar, bulubabi yang tergolong dalam jenis ruderal diketahui sensitif terhadap penurunan kualitas air terutama naiknya level ammonia (Lawrence 2007). Pada percobaan ini kadar total amonia nitrogen (TAN) sebesar 0,02-0,095 mg L -1 masih jauh dari nilai kritis (Tabel 7). Siikavuopio et al. (2004) melaporkan Strongylocentrotus droebachiensis (jenis ruderal) mengalami kematian lebih dari 50% saat dipelihara selama 42 hari dalam air laut dengan kadar TAN 6,48 mg L-1.

Suhu air selama percobaan berlangsung cukup rendah, yakni pada kisaran 23,30-26,24oC pada pagi-siang hari dan 24,99-25,84oC di malam harinya. Salinitas pada percobaan III sampai dengan hari ke 37 dapat dipertahankan pada kisaran 29,96-33,00 ppt pada pagi-siang hari dan 30,86-32,74 ppt pada malam hari. Pada hari ke 38 T. gratilla terekspose air laut dengan salinitas 22,80 ppt selama ± 3 jam (Tabel 7). Kondisi ini menyebabkan keragaan T. gratilla menurun, sehingga percobaan dihentikan pada hari tersebut. Di habitatnya T. gratilla dapat hidup pada kisaran suhu 20-30oC, di Kepulauan Bonin T. gratilla ditemukan hidup pada suhu 23,6-26,8oC, di Mauritius pada suhu 21,6-27,2oC dan di Madagaskar pada suhu

26-32oC (Lawrence dan Agatsuma 2007). Kelompok bulubabi sendiri dikenal sebagai penghuni laut sejati dengan batasan toleransi salinitas 30-34 ppt (Aziz 1987).

Tabel 7 Monitor parameter kualitas air selama periode pemeliharaan T. gratilla Parameter

Waktu Pengukuran

Pagi-Siang Malam

Oksigen Terlarut (mg l-1) 4,37-6,24 4,62-6,13 Total Amonia Nitrogen

(TAN) (mg L-1) 0,02-0,095 - -

Temperatur (oC) 23,30-26,24 24,99-25,84 Salinitas (ppt) 22,80-33,00 30,86-32,74


(48)

26 0.59 0.63 0.75 0.45 0.61 0.54 0.80 0.74 0.57 0.74 0.00 0.20 0.40 0.60 0.80 1.00 Basal Basal+S. polycystum Basal+G. lichenoides Basal+U. reticulata K onsum si ag ar i nd -1 (g bb) Perlakuan a b

ab ab ab

ab ab

ab ab

b

4.2 Hasil Pengujian Palatabilitas Makroalga Kering

Tanggap T. gratilla dalam bentuk konsumsi terhadap penambahan tiga jenis makroalga kering (Sargassum polycystum, Gracilaria lichenoides dan Ulva reticulata) dalam agar dengan taraf dosis berbeda (0, 10, 20, 30%) menunjukkan preferensi yang berbeda nyata (one way ANOVA, F=3,331, p<0,05). Secara umum penambahan U. reticulata kering dalam agar memberikan tanggap terbaik dibandingkan dengan penambahan kedua jenis makroalga lainnya. Uji lanjut mengungkapkan konsumsi antar perlakuan Basal dengan Basal+S. polycystum 30% dan Basal+U. reticulata 20% beda nyata, tetapi kedua perlakuan dengan penambahan makroalga tersebut tidak beda nyata dengan tujuh perlakuan lain (Tukey, p>0,05) (Gambar 10). Hasil percobaan ini mengindikasikan penambahan makroalga kering ke dalam pakan buatan dalam konsentrasi tertentu berpengaruh terhadap besar konsumsi agar oleh T. gratilla. Percobaan lebih lanjut memperkuat hasil pengujian sebelumnya bahwa penambahan U. reticulata kering sebesar 20% bobot agar merupakan perlakuan terbaik terhadap tanggap T. gratilla dalam bentuk konsumsi agar, dibandingkan dengan perlakuan lain (Tukey, p<0,05) (Gambar 11). Proses pengeringan makroalga dapat berdampak negatif terhadap palatabilitasnya bagi herbivora laut (Cronin dan Hay 1996). Dworjanyn et al. (2007) melaporkan juvenil T. gratilla mengkonsumsi U. lactuca lebih banyak dibandingkan S. linearifolium yang telah dikeringkan. Penelitian lain mencatat S. droebachiensis mengkonsumsi U. linza lebih banyak dibandingkan Palmaria palmata dan Laminaria saccharina (Daggett et al. 2005).

Gambar 10 Konsumsi agar T. gratilla selama 24 jam terhadap penambahan tiga

jenis makroalga kering pada taraf dosis yang berbeda ‘0%’ ( ), ‘10%’

( ), ‘20%’ ( ), ‘30%’ ( ) (n=20 ind wadah-1, rerata±simpangan

baku). Kolom dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji Tukey)


(1)

Lampiran 3 Komposisi biokimia bahan dasar yang digunakan sebagai dasar formulasi pakan perlakuan pada percobaan II dan IIIa

Bahan dasar

Komposisi biokimia (%)

Kadar Air Abu Protein Lipid Serat Kasar BETN

Tepung ikan 11.18 14.68 54.17 15.54 0.00 4.43

Tepung jagung 11.56 14.41 9.38 4.00 2.34 58.31

Tepung pollar 8.31 3.38 13.46 4.70 5.29 64.86

Filler (Tepung Tapioka) 10.46 0.02 3.49 0.00 0.61 85.42

Sargassum polycystum 22.74 21.98 8.60 1.52 17.17 27.99

Gracilaria lichenoides 25.45 24.42 6.31 1.20 5.88 36.74

Ulva reticulata 20.91 14.82 10.38 2.03 6.77 45.09

Minyak ikan 0.00 0.00 0.00 100.00 0.00 0.00

Minyak sawit 0.00 0.00 0.00 100.00 0.00 0.00

Gelatin 8.27 1.02 88.28 0.00 0.00 2.43

a Analisa komposisi biokimia bahan dasar dilakukan di Laboratorium Nutrisi Ikan, BDP, FPIK - IPB


(2)

57 Lampiran 4 Prosedur analisis kadar air

Cawan dipanaskan di dalam oven pada suhu 110oC selama 1 jam kemudian dimasukkan ke dalam eksikator selama 30 menit sebelum ditimbang (X1). Di bagian lain, sampel ditimbang sebanyak 2-3 g (A). Selanjutnya, sampel dimasukkan cawan dan dipanas di dalam oven pada suhu 110oC selama 4 jam kemudian dimasukkan ke dalam eksikator selama 30 menit sebelum ditimbang kembali (X2). Berdasarkan prosedur di atas kadar air dapat dihitung dengan menggunakan persamaan berikut:

� � = � + − � × %

Lampiran 5 Prosedur analisis kadar abu

Cawan dipanaskan di dalam oven pada suhu 110oC selama 1 jam kemudian dimasukkan ke dalam eksikator selama 30 menit sebelum ditimbang (X1). Di bagian lain, sampel ditimbang sebanyak 2-3 g (A). Selanjutnya, sampel dimasukkan cawan dan dipanas di dalam tanur pada suhu 600oC sampai bahan menjadi abu kemudian setelah suhu cawan turun sampai suhu 100-200oC, cawan dimasukkan ke dalam eksikator selama 30 menit sebelum ditimbang kembali (X2). Berdasarkan prosedur di atas kadar abu dapat dihitung dengan menggunakan persamaan berikut:

� = � − � × %

Lampiran 6 Prosedur analisis kadar protein dengan menggunakan metode Kjehdall Tahap oksidasi, sampel sebanyak 0,5 g dimasukkan ke dalam labu Kjehdall dan ditambahkan 3 g katalis K2SO4+CuSO4.5H2O (9:1). Selanjutnya, 10 ml H2SO4 pekat ditambahkan sebelum labu dipanaskan pada suhu 400oC (±1 jam) sampai larutan dalam labu berwarna hijau kebeningan. Kemudian, larutan didinginkan selama ±30 menit dan ditambahkan 25 air destilasi. Setelah itu larutan dimasukkan ke dalam labu takar dan diencerkan dengan akuades sampai volume larutan tersebut mencapai 100 ml (A).

Tahap destilasi, 10 ml H2SO4 0,05 N diisikan dalam labu erlenmeyer dan ditambah 2 tetes indikator methylred (B). Selanjutnya, 10 ml NaOH 30% ditambahkan pada larutan A sebanyak 5 ml dan dimasukkan ke dalam labu Kjehdall. Kemudian dilakukan destruksi selama 10 menit mulai saat tetesan pertama pada larutan B.

Tahap titrasi, hasil destruksi dititrasi dengan NaOH 005 N. Selanjutnya hasil titran dicatat. Prosedur yang sama berlaku pula pada blanko. Berdasarkan ketiga tahapan prosedur analisa protein yang telah dilakukan, kadar protein dapat dihitung menggunakan persamaan berikut:


(3)

58

� � = , ∗× ��− �� × , ∗∗× × %

Vb = ml 0,05 N titran NaOH untuk blanko; Vs = ml 0,05 N titran NaOH untuk blanko; A = bobot sampel (g); * = setiap ml ml 0,05 N titran NaOH ekivalen dengan 0,0007 g N; ** = faktor nitrogen

Lampiran 7 Prosedur analisis lipid dengan menggunakan metode Soxchlet dan metode Folch

Metode Soxchlet, labu ekstraksi dipanaskan di dalam oven pada suhu 110oC selama 1 jam. Selanjutnya didinginkan dalam eksikator selama 30 menit sebelum ditimbang (X1). Di bagian lain, sampel ditimbang sebanyak 1-2 g (A) selanjutnya dimasukkan dalam tabung filter sebelum dipanaskan pada suhu 90-100oC selama 2-3 jam. Tabung filter ditempatkan ke dalam ekstrak dari alat Soxchlet yang dihubungkan kondensor dengan labu ekstraksi yang telah diisi dengan 100 ml petrolium eter. Petrolium eter dipanaskan pada labu ekstraksi dengan menggunakan

water bath pada suhu 70oC selama 16 jam. Kemudian, labu ekstraksi dipanaskan pada suhu 100oC sebelum ditimbang (X2).

Berdasarkan prosedur di atas kadar lemak dapat dihitung dengan menggunakan persamaan berikut:

� � � = � − � × %

Metode Folch, sampel sebanyak 2 g (A) ditambahkan 40 ml larutan chloroform:methanol (2:1). Senjutnya, dihomogenkan selama 5 menit dengan sentrifuga pada 5000 rpm dan disaring menggunakan vacuum pump. Hasil penyaringan dipindahkan ke dalam labu pemisah yang sebelumnya telah diisi dengan larutan MgCl2.6H2O sebanyak 0,2 kali volume larutan chloroform:methanol (2:1) yang digunakan. Selanjut, larutan kembali disaring dan dibilas dengan menggunakan 10 ml larutan chloroform:methanol (2:1). Setelah disaring larutan di dalam labu pemisah ditutup dan diaduk hingga merata selama 1 menit dan didiamkan selama 1 malam hingga terpisah menjadi 2 lapisan. Lapisan bagian bawah diambil dan ditampung dengan labu lain yang telah diketahui bobotnya (C). Selanjutnya larutan dalam labu tersebut diuapkan dengan menggunakan rotary evaporator hingga larutan dalam labu menguap semua. Setelah dipastikan larutan dalam labu tersebut telah menguap semua, labu tersebut ditimbang kembali (B).

Berdasarkan prosedur di atas kadar lemak dapat dihitung dengan menggunakan persamaan berikut:


(4)

59 Lampiran 8 Prosedur analisis kadar serat kasar

Kertas saring dipanaskan dalam oven selama 1 jam pada suhu 110oC, setelah itu didinginkan dalam eksikator sebelum ditimbang (X1). Di bagian lain, 0,5 g sampel (A) ditambah dengan 50 ml H2SO4 0,3 N dimasukkan ke dalam erlenmeyer 250 ml untuk dipanaskan selama 30 menit. Selanjutnya, 25 ml NaOH 1,5 N ditambahkan dan dipanaskan kembali selama 30 menit. Larutan dan bahan yang telah dipanaskan kemudian disaring dalam corong Buchner yang dihubungkan dengan vacuum pump untuk mempercepat proses penyaringan. Larutan dan bahan yang tertinggal dalam corong dibilas secara berturut-turut menggunakan 50 ml air panas, 50 ml H2SO4 0,3 N, 50 ml air panas dan 25 ml aseton. Kemudian, kertas saring dan isinya dimasukkan ke dalam cawan porselin lalu dikeringkan selama 1 jam dan kemudian didinginkan dalam eksikator sebelum ditimbang (X2). Selanjutnya kertas saring dan isinya tersebut dipanaskan dalam tanur pada suhu 600oC hingga berwarna putih sebelum didinginkan dalam eksikator dan ditimbang (X3).

Berdasarkan prosedur di atas kadar serat kasar dapat dihitung dengan menggunakan persamaan berikut:

� = � − � − � × %

Lampiran 9 Prosedur analisis bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN)

Bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN) merupakan bagian dari karbohidrat setelah dikurangi serat. BETN tidak dianalisis secara langsung tetapi ditentukan dengan perhitungan dari:


(5)

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Pacitan pada tanggal 15 Februari 1982 sebagai anak sulung dari tiga bersaudara oleh pasangan Djoko Purwanto dan Sri Wahyuni. Penulis menikah dengan Riny Widyaningrum dan telah dikarunia dua orang anak, Khalisha Afra Madiha dan Najwa Laila Tsani.

Pendidikan sekolah menengah atas (SMA) penulis selasaikan pada tahun 2000 di SMA Negeri 1 Pacitan. Pada bulan Februari tahun 2007 penulis berhasil menyelesaikan pendidikan sarjana di program studi Manajemen Agribisnis, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Kesempatan untuk melanjutkan studi ke program pascasarjana pada program studi Ilmu Akuakultur di perguruan tinggi yang sama diperoleh pada tahun 2010. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Kementerian Negara Riset dan Teknologi (KNRT) Republik Indonesia.

Penulis bekerja sebagai kandidat peneliti di Unit Pelaksana Teknis Balai Konservasi Biota Laut – Ambon, Pusat Penelitian Oseanografi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia sejak tahun 2008, setelah sebelumnya bekerja pada beberapa perusahaan swasta di Indonesia. Bidang penelitian yang menjadi tanggung jawab penulis adalah teknik budidaya biota laut non-ikan.

Selama menjalani pendidikan di program pascasarjana, penulis juga mengikuti berbagai pelatihan yang diselenggarakan oleh KNRT, di antaranya pelatihan mengenai motivasi, kepemimpinan dan team work, pengenalan dan orientasi sarana dan prasarana litbang untuk riset, penyusunan proposal penelitian, penulisan karya ilmiah dan peningkatan kemampuan bahasa Inggris. Selain itu penulis juga terlibat dalam berbagai jajak pendapat yang dilakukan oleh berbagai lembaga riset independen.