memperkuat perasaan dan ide kolektif yang menjadi cirri dan inti persatuan masyarakat tersebut. Melalui upacara agama yang dilakukan secara berjemaah maka persatuan dan kebersamaan umat
dipupuk dan dibina. Ada ahli sosiologi yang mengemukakan bahwa agama mempunyai disfungsi pula.
Dikemukakan bahwa pertentangan yang membahayakan keutuhan masyarakat tidak jarang bersumber pada faktor agama. Konflik antara kaum Katholik dan kaum Protestan di irlandia
Utara, antara kaum Sikh dan kaum Hindu di Negara Bagian Punjab, antara kaum Muslim dan kaum hindu di Ayodhya, antara orang Palestina yang beragama Islam dan orang Israel yang
beragama Yahudi, antara kaum Muslim dan kaum Kristen di Nagorno-Karabach dan antara kaum shiah dan kaum Sunni di Irak dan Pakistan menunjukkan bahwa adanya agama berlainan
atau aliran berbeda dalam agama yang sama dalam satu masyarakat dapat membahayakan masyarakat. Dalam masyarakat kita sendiri telah kita lihat, misalnya, bahwa pertentangan
berkepanjangan antara dalam pucuk pimpinan organisasi Huria Kristen Batak Protestan HKBP telah mengakibatkan pemisahan diri oleh sejumlah fraksi anggota dan campur tangan satu pihak
keamanan dalam urusan internnya, dan bahwa faktor perbedaan agama merupakan salah satu penyebab bentrok berdarah antara kelompok penganut agama Islam dan Kristen di Ambon dan
daerah lain di Propinsi Maluku.
2.4.3. Agama dan Perubahan Sosial
Para ahli sosiologi agama mengkaji hubungan antara agama dan perubahan sosial. Ada yang berpendapat, misalnya, bahwa agama menghambat perubahan sosial. Pandangan ini
tercermin dari ucapan Marx bahwa ”agama adalah candu bagi rakyat”; menurutnya karena ajaran agamalah maka rakyat menerima saja nasib buruk mereka dan tidak tergerak untuk berbuat
Universitas Sumatera Utara
sesuatu untuk memperbaiki keadaan. Pandangan ini ditentang ahli sosiologi lain, yang menunjukkan bahwa dalam banyak masyarakat kaum agama merupakan kekuatan revolusioner
yang memimpin gerakan sosial untuk mengubah masyarakat. Contoh yang dapat diajukan untuk mendukung pendapat demikian adalah, antara lain, berbagai gerakan perlawanan kaum ulama di
tanah air kita terhadap penjajahan Belanda, kepeloporan para rohaniwan Katholik dalam menghadapi diktator dan rezim militer di berbagai negara Amerika Selatan, perlawanan para
rohaniwan Katholik di polandia terhadap rezim komunis, dan gerakan para Ayatollah yang berhasil menjatuhkan rezim Shah Iran. Kita tentu masih ingat pula tesis Weber, yang intinya
ialah bahwa perkembangan semangat kapitalisme di Eropa Barat berhubungan secara erat dengan perkembangan etika Protestan.
Dalam banyak masyarakat perubahan sosial sering diiringi dengan gejala sekularisme, yang oleh Giddens 1989:451 didefinisikan sebagai proses melalui mana agama kehilangan
pengaruhnya terhadap berbagai segi kehidupan manusia dan oleh Light, Keller dan Calhoun 1989 didefinisikan sebagai proses melalui mana perhatian manusia beserta institusinya semakin
tercurahkan pada hal duniawi dan perhatian terhadap hal yang bersifat rohaniah semakin berkurang. Para ahli sosiologi mengemukakan bahwa proses ini seringkali memancing reaksi
dari kalangan agama, yang dapat berbentuk perlawanan maupun penyesuaian diri. Kisah perlawanan agama terhadap perubahan sosial dapat kita temukan dalam sejarah
berbagai masyarakat. Revolusi yang berlangsung di Iran di bawah pimpinan Ayatollah Khomeini, misalnya, merupakan reaksi terhadap perubahan cepat yang terjadi dalam masyarakat.
Perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat kita telah diiringi dengan peningkatan keagamaan di kalangan umat Islam. Dampak perubahan sosial dapat pula berwujud dalam
perubahan pada agama. Bellah 1964 misalnya mengemukakan bahwa dalam agama secara
Universitas Sumatera Utara
bertahap berlangsung evolusi ke arah diferensiasi, kekomprehensifan, dan rasionalitas yang lebih besar.
2.4.4. Agama dan Institusi Lain Dalam Masyarakat