Pelaksanaan pendidikan agama di Indonesia saat ini mengalami

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa agar pendidikan karakter berjalan secara efektif diperlukan beberapa pendekatan. Pendidikan karakter dapat diterapkan tidak hanya pada lingkungan sekolah saja, melainkan pada lingkungan keluarga dan masyarakat. Selain itu, perlu adanya suri tauladan atau panutan yang baik sehingga peserta didik dapat mencontohkan yang baik pula. Salah satu suri tauladan yang patut dicontoh adalah Nabi Muhammad SAW yang mana dinyatakan dalam Al- Qur’an Surat Al-Ahzab ayat 21, “Pada diri Rasulullah itu terdapat suri tauladan yang baik-baik buat kamu sekalian”. Selain itu, pendidik ataupun tenaga kependidikan harus dapat mencontohkan nilai-nilai karakter, agar dapat dicontoh oleh peserta didik. Penilaian dari apa yang mereka sudah lakukan juga penting dilakukan karena sebagai bahan evaluasi apakah penerapan pendidikan karakter tersebut berjalan maksimal atau tidak.

B. Masyarakat Marjinal

1. Pengertian Masyarakat Marjinal

Kaum marjinal sama halnya dengan masyarakat yang miskin atau masyarakat pinggiran yang hidup di bawah garis kemiskinan. Masyarakat marjinal adalah golongan masyarakat yang merasakan penderitaan atas himpitan ekonomi dalam kehidupan sehari-sehari mereka. Menurut Paulo Freire, Kaum marjinal dibedakan dua kelompok yang jarang mendapat perhatian dalam hal pendidikan. Pertama, penyandang cacat, yaitu yang kurang beruntung mendapatkan pendidikan yang memadai dan pendidikannya dibedakan dengan kaum “normal” yang menjadikan kaum cacat menjadi terasing dari lingkungan sosial, tereklusi dari sistem sosial orang-orang normal. Kedua , anak-anak jalanan, kaum miskin yang sudah terbiasa dengan kekerasan. 20 Dari definisi tersebut dapat diketahui bahwa masyarakat marjinal dikelompokan menjadi dua macam, yaitu penyandang cacat dan anak jalanan. Kondisi seperti inilah yang menyebabkan mereka terasingkan dari lingkungannya. Masyarakat marjinal juga dapat definisikan sebagai kalangan masyarakat yang akhirnya terasing dan tersingkir akibat ketidakberdayaan mereka untuk mengakses kebutuhan-kebutuhan hidup dengan layak. 21 Berdasarkan pengertian tersebut, terasingnya masyarakat marjinal dikarenakan ketidakberdayaan atau ketidak mampuan mereka untuk mengakses kebutuhan hidup yang layak. Kebutuhan yang dimaksud disini penulis mencontohkan seperti kebutuhan akan sandang, pangan, dan papan. Golongan masyarakat marjinal, pada umumnya terjebak dalam kemiskinan karena tiadanya modal dan akses ke sumber-sumber pendanaan dan peluang-peluang usaha yang tidak memihak kepadanya. Hasil yang diperoleh dari usahanya pun rata-rata minim, dimana penghasilan yang diperoleh hanya cukup untuk hidup sederhana. 22 Definisi di atas menjelaskan bahwa masyarakat marjinal terjebak karena masalah ekonomi yang menyebabkan penghasilan mereka pun di bawah rata-rata. Dari beberapa pengertian di atas mengenai masyarakat marjinal, dapat kita ketahui bahwa masyarakat marjinal merupakan kelompok masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan diakibatkan karena himpitan ekonomi, sehingga akses untuk mendapatkan kebutuhan hidup yang layak pun tidak dapat terpenuhi, 20 Mohammad Ali Fauzi, “Pendidikan Alternatif Kaum Marjinal Studi Kasus Pembelajaran PAI di SMP Alternatif Qaryah Thayyibah Kalibening Salatiga”, Skripsi pada IAIN Walisongo Semarang, 2007, h. 25, tidak publikasikan. 21 Yanti Dewi Purwanti, Koentjoro, dan Esti Hayu Purnamaningsih, “Konsep Diri Perempuan Marginal”, Jurnal Psikologi, 2000, h. 48. 22 Agus Wijanarko, “Pemberdayaan Masyarakat Marjinal yang Bekerja sebagai Pedagang Kaki Lima untuk Meningkatkan Pendapatannya Studi Kasus pada Pedagang Kaki Lima di Simpang Lima Semarang”, Tesis pada Pascasarjana Universitas Negeri Semarang, Semarang, 2005, h. 1, tidak dipublikasikan. seperti ketidakberdayaan mereka untuk mendapatkan pendidikan dan kesehatan yang layak.

2. Penderitaan Migran Perkotaan

Migran perkotaan biasanya merupakan kelompok yang kurang beruntung. Mereka hidup di tempat kumuh, pinggiran sungai, sebagai pekerja kasar, kuli bangunan, kuli angkut, tukang becak, pengemis, anak jalanan, parkir, dan lain-lain. Mereka biasanya berpendidikan rendah, tidak memahami berbagai peraturan daerah, dan lain-lain. Mereka yang hidup miskin dan menderita di perkotaan sebenarnya lebih rentan dan berbahaya ketimbang yang hidup miskin di pedesaan. Mereka yang di pedesaan lebih hidup tenang, pasrah menerima nasib, tetapi yang hidup di kota pasti tertekan dengan peluang lebih banyak untuk berperilaku menyimpang. Hidup sebagai migran perkotaan memang penuh derita untuk sebagian besar dari mereka. Salah satu derita yang biasa dialami adalah yang disebut derita status status anguish, yaitu penderitaan yang disebabkan karena adanya pertentangan-pertentangan status bagi seseorang Eitzen, 1991. Dari status ada tiga macam, yaitu marginalitas, status tidak konsisten inconsistency status, dan status menarik diri withdrawal status. Marginalitas adalah suatu kondisi yang berasal dari dua gaya hidup yang berbeda-beda dan setengah- setengah. Dalam kondisi ini biasanya banyak ketegangan-ketegangan psikologis. Dari sini biasanya lahir tingkah laku aneh-aneh sebagai gambaran adanya konflik batin di dalamnya. Status tidak konsisten dialami seorang di satu lapisan sosial rendah, tetapi dari sisi lain punya status peringkat tinggi. Sedangkan status menarik diri terjadi sebagai hasil kehilangan status dan orang-orang seperti ini biasanya mencari kambing hitam sebagai penyebab masalah dengan berbagai macam reaksi perubahan yang radikal revolusioner untuk mengubah statusnya. 23 Keadaan seperti itu membuat kelompok marjinal merasa hidup penuh dengan beban, tidak seperti kelompok masyarakat pada umunya. Belum lagi kerasnya hidup yang dirasakan oleh masyarakat marjinal di perkotaan, hal ini semakin menunjukkan bahwa masyarakat seperti ini dibutuhkan treatment khusus dari pemerintah. Apabila hal ini dibiarkan begitu saja, dikhawatirkan masyarakat marjinal akan semakin menjamur dimana-mana. Orang miskin di daerah perkotaan hidup di kawasan pemukiman yang memiliki berbagai fasilitas tetapi tanpa akses yang memadai untuk dapat menikmatinya. Mereka termasuk dalam kelompok masyarakat marginal, kalangan masyarakat yang akhirnya terasing dan tersingkir akibat ketidakberdayaan mereka untuk mengakses kebutuhan-kebutuhan hidup dengan layak. 24 Kebutuhan hidup tersebut meliputi ekonomi, kesehatan, dan pendidikan. Hal yang membuat mereka tersingkir atas ketidakberdayaan mereka ialah karena mereka terasingkan atau terkucilkan dari lingkungan masyarakat dimana mereka tinggal. Hal yang mungkin menyebabkan ini terjadi karena adanya kesenjangan sosial di lingkungan masyarakat, sehingga masyarakat marjinal yang memang berasal dari kalangan ekonomi lemah tidak dapat menyesuaikan diri atau beradaptasi dengan kelompok masyarakat kelas atas. Selain itu, rendahnya pendidikan yang masyarakat marjinal miliki semakin membuat kelompok masyarakat ini terasingkan, apalagi minimnya pengetahuan yang mereka peroleh sehingga fasilitas yang memang sudah tersedia tidak dapat dimanfaatkan oleh kelompok masyarakat marjinal. 23 M. Saleh Marzuki, Pendidikan Nonformal, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010, h. 207-209. 24 Yanti Dewi Purwanti, Koentjoro, dan Esti Hayu Purnamaningsih, “Konsep Diri Perempuan Marginal”, Jurnal Psikologi, 2000, h. 48.