84
Penilaian ini akan mengakibatkan penilaian sikap yang sulit, siswa yang baik dan siswa yang buruk saja yang menjadi patokan perbedaan nilai,
sementara nilai yang lainnya standar umum saja. Untuk meningkatkan pemahaman guru dalam menerapkan aplikasi
penilaian secara khusus pada tingkat SMA di Kabupaten Belu, hal yang perlu dilaksanakan adalah diadakan pelatihan berkala yang berfokus pada
pembelajaran akan aplikasi penilaian sehingga tidak terjadi lagi kesalahan persepsi. Selain itu pendampingan akan penerapan K-13 harus
dilaksanakan dengan sebaik-baiknya agar bisa diketahui kesulitan apa yang masih dirasakan oleh para guru dalam menerapkan aplikasi
penilaian. Upaya lain untuk bisa mengatasi hambatan yang dialami guru
selama proses pembelajaran dalam hal penilaian terhadap peserta didik yaitu sangat perlu dilakukan diskusi-diskusi bagi para guru dalam
mengatasi permasalahan-permasalahan yang dihadapinya. Dengan cara tersebut guru bisa saling tukar pikiran dan saling membantu satu sama
lain sehingga guru yang tidak mengetahui bisa mengetahui dalam melakukanpenilaian yang benar. Forum diskusi ini dapat dilakukan pada
saat Musyawarah Guru Mata Pelajaran MGMP, sehingga MGMP ini dapat menjadi alternatif para guru dalam mengatasi permasalahan-
permasalahan yang dihadapi.
b. Evaluasi Keluaran Product
85
Sax 1980 dalam Widoyoko 2009 memberikan pengertian evaluasi produkhasil adalah sebagai
“ to allow to project director or techer to make decision of program
“. Dari evaluasi proses diharapkan dapat membantu pimpinan proyek atau guru untuk membuat keputusan
yang berkenaan dengan kelanjutan, akhir, maupun modifikasi program. Berkaitan dengan penelitian ini, evaluasi keluaran berupa tanggapan
umum responden tentang implementasi K-13 di Kabupaten Belu Sebagai produk yang baru dari pemerintah Kemententerian
Pendidikan K-13 tentunya menimbulkan banyak persepsi yang berbeda dari para pelaku pendidikan di Kabupaten Belu. Secara umum warga
sekolah di SMA di Kabupaten Belu menanggapi secara positif kehadiran K-13 sebagai salah satu produk pendidikan yang semakin mengarahkan
siswa untuk bersaing secara global dengan menguasai informasi dan teknologi. Berdasarkan wawancara yang dilakukan oleh peneliti di 7 SMA
di Kabupaten Belu, diperoleh beberapa tanggapan tentang K-13. “Kurikulum ini sangat bagus karena membawa murid-murid menuju
ke jenjang globalisasi dengan berbasiskan teknologi. Jadi kalau kita memang mau setara dengan pendidikan di luar dalam hal ini
pendidikan di luar negeri , semestinya kita mengikuti K-13 karena memang menurut pengalaman saya sebgai guru dan kepala sekolah,
kurikulum itu diubah dan berubah-ubah sesuai perkembangan pendidikan dan juga menyangkut output pendidikan itu sendiri.
Tetapi tentunya implementasi itu juga harus disesuaikan dengan kondisi dan situasi lingkungan sekolah yang bersangkutan. Jika kita
berbiacara mengenai ini, maka akan terjadi gab atau adanya jurang karena implementasi kurikulum tidak didukung denga sarana
prasarana yang memadai”. Evodius K. Suri,S.Fil, Guru SMAN I Lamaknen
86
“K-13 itu Not Teacher centries but student centries. Hal ini merupakan revolusi dalam dunia pendidikan Indonesia yang lebih
mengutamakan keterampilan dan kemandirian siswa daripada guru” Drs.Videlis Bau, Kepala Sekolah SMAK Gabriel Manek Lahurus
“Kurikulum ini sangat baik karena memacu siswa untuk lebih kreatif. Apabila dilaksanakan dengan baik maka saya yakin
pendidikan kita di Indonesia akan mampu bersaing dengan
pendidikan di negara lain”. Amandus Bauk, S.Pd. Guru SMA Weluli.
“Kurikulum ini lebih bagus dari kurikulum sebelumya karena lebih mengutamakan sis
wa dan siswa lebih aktif dari guru”. Natriana Koko, Siswi SMAN I Tasifeto Timur.
“Kurikulum ini sangat bagus dan sangat pas dengan kondisi sekarang. Dimana, di Indonesia dikritik dan dituntut untuk
menghasilkan output yang lebih baik untuk bias langsung bekerja
dan bersaing dengan negara lain”. Kanisius Leto, Siswa SMAN I Lamaknen.
“Kurikulum ini sangat bagus dan kami senang dengan kehadirannya di Indonesi karena siswa dituntut untuk lebih aktif dalam proses
pembelajaran” Gregorius A. Kas, S.Fil. Guru SMUK Surya Atambua.
“Kami senang dengan kurikulum ini, pak. Walau kami dituntut untuk lebih bekerja keras dalam menyelesaikan tugas-tugas. Kami
juga dipaksa untuk selalu tampil di depan gurur dan teman-teman semua. Kami kadang takut, tp kami lebih tajkut kalau nanti tidak
dapat nilai. Jadi kami maju saja biar bicara tidak tau juga”. Delfiana Bere, Siswa SMAK Gabriel Manek, Lahurus.
Kebanyakan dari responden yang diwawancara mengatakan bahwa kurikulum ini lebih bagus karena lebih mengutamakan keaktifan siswa. Ini
merupakan revolusi dalam dunia pendidikan karena selama ini yang menjadi patokan adalah guru dan guru dianggap mengetahui segalanya
87
sedangkan siswa hanya mengikuti guru. Perubahan sudut pandang dari pedagogi ke andragogi tentunya juga membawa implikasi pada
perubahan pola hubungan yang terjadi antara pendidik dan peserta didik dalam proses pembelajaran. Pedagogi yang menempatkan guru sebagai
sumber belajar utama bagi peserta didik membuat guru menjadi pusat dari seluruh proses pembelajaran yang berlangsung teacher oriented.
Guru menjadi subyek pembelajaran dan peserta didik menjadi obyek pembelajaran. Guru memberi dan peserta didik menerima. Sedangkan
andragogi yang menekankan pada persamaan hak dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan pendapat memberi kesempatan bagi peserta didik
untuk tidak lagi menjadi sekedar obyek pembelajaran, namun ia bersama dengan pendidik akan menjadi subyek bagi proses pembelajaran yang
berlangsung. Peserta didik bahkan harus berperan aktif dalam mencari, mengembangkan, dan menemukan hal-hal baru dalam proses
pembelajaran yang dilaksanakan
Tilaar, Nugroho, 2008. Mempertahankan keberadaan dan penerapan K-13 di Kabupaten Belu
adalah pilihan yang ideal mengingat banyak warga sekolah yang sudah terlanjur tertarik dan menyukai gaya pembelajaran K-13. Dengan berbagai pembenahan
pada manajemen implementasi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi K-13 di tingkat SMA di Kabupaten Belu, diharapkan implementasi K-
13 bisa berjalan dengan sukses dan tujuan untuk menciptakan generasi bangsa Indonesia yang berkarakter baik bisa tercapai.
88
B. Faktor-faktor yang Menghambat Implementasi Kurikulum 2013 di
Kabupaten Belu
Bagian ini mendeskripsikan dan membahas tentang masalah penelitian kedua yaitu kendala yang dihadapi dalam implementasi K-13 di Kabupaten
Belu. Peneliti mencoba untuk mendeskripsikan faktor-faktor yang menghambat implementasi K-13 di Kabupaten Belu selama implementasi berlangsung.
Faktor penghambat implementasi K-13 di Kabupaten Belu dapat dirumuskan dari hasil wawancara dengan narasumber terkait dengan
implementasi K-13. Berikut rincian wawancara dengan narasumber baik para guru, siswa dan kepala seklolah sebagai informan kunci key-informan.
“Pastilah Pak, ada faktor panghambat dalam pelaksanaan implementasi K-13. Oke pak, saya terangkan yang pertama yakni saya kurang dalam
mendapatkan informasi yang valid tentang K-13. Kedua, pemerintah dalam mensosialisasikan K-13 masih lambat jadi kita yang kena
imbasnya. Imbasnya yakni kita tertatih dalam usaha pendalaman dan pengaplikasian K-13 tersebut. Faktor ketiga, saya lebih suka
menggunakan kurikulum KTSP 2006. Karena kurikulum 2006 sudah lama saya pakai, jadi saya paham apa yang harus saya lakukan.
Menurut saya itu yang menjadi penghambat dalam K-13
”. Evodius K. Suri, S.Fil- Guru SMAN 1 Lamaknen.
“Saya merasa lebih senang dengan kurikulum yang lama, karena waktunya lebih enak. Kita masuk kelas jam 7.15, pulang jam 1. Tapi
kalau kurikulum yang baru ini, kita masuk jam 7, pulang jam 2. Belum lagi sore kita harus les sore, pulang ke asrama kadang tidak makan
langsung ganti baju untuk les sore“ Karolus De Carvajal, siswa SMAN I Tasifeto Timur.
“Faktor penghambatnya adalah buku dan jaringan komputer dan internet.“
Gresiana Mau – siswa SMAN I Atambua
“Faktor penghambatnya adalah sarana prasaran yang terbatas, kemudian waktu yang terlalu menekan siswa sampai ada orang tua yang mengadu