komunikasi serta sektor industri lainnya dengan nilai masing-masing sebesar 2,068, 1,864 dan 1,545. Pada tahun 2007, mengalami perubahan peringkat tiga
besar untuk nilai keterkaitan output langsung dan tidak langsung ke depan yakni, peringkat pertama untuk sektor pengangkutan dan komunikasi yang diikuti oleh
sektor perdagangan, hotel dan restoran serta sektor tanaman padi dengan nilai masing-masing sebesar 2,097, 1,915 dan 1,619. Perubahan terbesar nilai
keterkaitan langsung dan tidak langsung ke depan berada pada sektor jasa-jasa dengan nilai sebesar 0,352.
Nilai keterkaitan output langsung dan tidak langsung ke depan sektor kelapa sawit mengalami perubahan dari tahun 1999 ke 2007 sebesar 0,264 berada
pada peringkat ketiga dalam besarnya perubahan dalam perekonomian Sumatera Barat dari 1,006 menjadi 1,269 yang berarti bahwa jika terjadi peningkatan
permintaan akhir sebesar satu juta rupiah, maka output sektor kelapa sawit yang dijual atau dialokasikan langsung maupun tidak langsung ke sektor lainnya
termasuk sektor kelapa sawit itu sendiri akan mengalami peningkatan sebesar 1,269 juta rupiah.
5.2.2. Keterkaitan ke Belakang Backward Linkage
Keterkaitan ke belakang menunjukkan pengaruh suatu sektor terhadap sektor-sektor lain yang menyediakan input antara bagi sektor tersebut pada tiap
unit kenaikan permintaan total. Nilai keterkaitan ke belakang ini menunjukkan besarnya nilai input yang dibutuhkan oleh suatu sektor yang berasal dari sektor
lain maupun dari sektor itu sendiri jika terjadi peningkatan permintaan akhir sebesar satu satuan. Sama halnya dengan nilai keterkaitan output ke depan, untuk
memperoleh nilai keterkaitan output ke belakang backward linkage juga dapat
dilakukan dengan analisis keterkaitan output langsung maupun langsung dan tidak langsung
.
Tabel 5.8 Keterkaitan Output ke Belakang Sektor-sektor Perekonomian Provinsi Sumatera Barat Tahun 1999 dan 2007
Kode Sektor
KB KBLT
Perubahan 1999
2007 1999
2007 KB
KBLT 1
Padi 0,070
0,099 1,084
1,097 0,029
0,013 2
Tanaman Bahan Makanan 0,040
0,177 1,046
1,225 0,136
0,179 3
Karet 0,117
0,236 1,151
1,321 0,119
0,170 4
Kelapa Dalam 0,084
0,141 1,112
0,838 0,057
-0,273
5 Kelapa Sawit
0,083 0,460
1,100 1,697
1
0,377
1
0,597
1
6 Tanaman Pertanian dan Perkebunan
Lainnya 0,086
0,167 1,105
-19,780 0,081
-20,886 7
Peternakan dan Hasil-hasilnya 0,237
0,359 1,318
0,608 0,122
-0,709 8
Kehutanan dan Hasil-hasilnya 0,155
0,131 1,240
1,163 -0,024
-0,077 9
Perikanan 0,124
0,135 1,153
1,177 0,011
0,024 10
Pertambangan dan Penggalian 0,111
0,134 1,141
1,182 0,023
0,040 11
Industri Makanan dan Minuman serta Tembakau
0,687
1
0,718
1
1,807
1
1,437 0,032
-0,370 12
Industri Lainnya 0,433
0,464
3
1,580
3
1,550 0,030
-0,030 13
Industri Pupuk dan Pestisida serta Kimia 0,316
0,347 1,384
1,325 0,032
-0,059 14
Industri Semen 0,471
2
0,377 1,576
1,556 -0,094
-0,020 15
Listrik, Gas dan Air Bersih 0,116
0,440 1,146
1,651
3
0,324
2
0,505
2
16 Bangunan
0,488
3
0,485
2
1,681
2
1,689
2
-0,004 0,008
17 Perdagangan, Hotel dan Restoran
0,166 0,416
1,218 1,310
0,251
3
0,092 18
Pengangkutan dan Komunikasi 0,203
0,423 1,263
1,587 0,220
0,324
3
19 Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya
0,037 0,260
1,045 1,353
0,223 0,308
20 Jasa-jasa
0,065 0,242
1,083 1,116
0,176 0,033
Keterangan: KB = Keterkaitan ke Belakang Langsung
KBLT = Keterkaitan ke Belakang Langsung dan Tidak Langsung Superscript menunjukkan peringkat rangking
Sumber: Tabel Input-Output Sumatera Barat Tahun 1999 dan 2007 Klasifikasi 20 Sektor Data diolah
Berdasarkan Tabel 5.8 yang menunjukkan nilai keterkaitan langsung maupun langsung dan tidak langsung ke belakang dari setiap sektor perekonomian
di Provinsi Sumatera Barat. Pada tahun 1999, nilai keterkaitan langsung ke belakang untuk peringkat tiga besar dalam sektor perekonomian Sumatera Barat
adalah sektor industri makanan dan minuman serta tembakau, industri semen dan sektor bangunan dengan nilai masing-masing sebesar 0,687, 0,488 dan 0,471.
Nilai keterkaitan output langsung ke belakang sektor kelapa sawit tahun 1999 adalah sebesar 0,083. Ini mengindikasikan jika terjadi peningkatan permintaan
akhir sebesar satu juta rupiah, maka sektor kelapa sawit akan secara langsung meningkatkan permintaan terhadap inputnya sendiri maupun terhadap sektor
lainnya sebesar 0,083 juta rupiah. Nilai keterkaitan output langsung ke belakang pada tahun 2007 mengalami
sedikit perubahan pada peringkat ketiga, karena peringkat ketiga terbesar nilai keterkaitan ke belakang langsung adalah sektor industri lainnya dengan nilai
sebesar 0,464. Nilai keterkaitan output langsung ke belakang sektor kelapa sawit adalah sebesar 0,460. Hal ini mengindikasikan bahwa jika terjadi peningkatan
permintaan akhir sebesar satu juta rupiah, maka sektor kelapa sawit akan secara langsung meningkatkan permintaan terhadap inputnya sendiri maupun terhadap
sektor lainnya sebesar 0,460 juta rupiah. Perubahan terbesar pada nilai keterkaitan langsung ke belakang adalah pada sektor kelapa sawit dengan nilai sebesar 0,377.
Pada tahun 1999 nilai keterkaitan output langsung dan tidak langsung ke belakang untuk peringkat tiga besar adalah sektor industri makanan dan minuman
serta tembakau, sektor bangunan dan sektor industri lainnya dengan nilai masing- masing sebesar 1,807, 1,681 dan 1,580. Sektor kelapa sawit pada tahun 1999
berada pada urutan ketiga diantara tanaman pertanian dan perkebunan lainnya dengan nilai keterkaitan langsung dan tidak langsung ke belakang sebesar 1,100
yang berarti jika terjadi peningkatan permintaan akhir sebesar satu juta rupiah, maka sektor kelapa sawit akan secara langsung maupun tidak langsung
meningkatkan permintaan terhadap inputnya sendiri maupun terhadap sektor lainnya sebesar 1,100 juta rupiah.
Berbeda dengan tahun 2007, keterkaitan output langsung dan tidak langsung ke belakang sektor kelapa sawit menempati peringkat pertama dalam
perekonomian Provinsi Sumatera Barat dengan nilai sebesar 1,697 yang berarti jika terjadi peningkatan permintaan akhir sebesar satu juta rupiah, maka sektor
kelapa sawit akan secara langsung maupun tidak langsung akan meningkatkan permintaan terhadap inputnya sendiri maupun terhadap sektor lainnya sebesar
1,697 juta rupiah. Kemudian peringkat kedua dan ketiga oleh sektor bangunan dan sektor listrik, gas dan air bersih dengan nilai masing-masing sebesar 1,689 dan
1,651. Perubahan nilai keterkaitan ke belakang langsung maupun langsung dan tidak langsung terbesar dalam perekonomian Sumatera Barat adalah sektor kelapa
sawit dengan nilai masing-masing sebesar 0,377 dan 0,597. Semakin besarnya nilai keterkaitan output ke belakang suatu sektor,
mengindikasikan bahwa sektor tersebut masih bergantung pada output yang dihasilkan oleh sektor-sektor yang berasal dari Provinsi Sumatera Barat.
Sedangkan apabila nilai keterkaitan output ke belakang semakin kecil, maka ketergantungan terhadap output yang berasal dari luar Provinsi Sumatera Barat
semakin besar. Dengan demikian, jika dilihat secara keseluruhan selama periode tahun 1999 dan 2007 untuk sektor kelapa sawit, nilai keterkaitan output langsung
ke belakang yang dimiliki lebih besar dibandingkan nilai keterkaitan langsung ke depannya. Hal tersebut mengindikasikan bahwa sektor kelapa sawit di Provinsi
Sumatera Barat lebih mampu mendorong sektor hulunya dibandingkan dengan sektor hilirnya.
Produksi kelapa sawit mampu mendorong industri hulu, seperti industri pupuk dan pestisida dan industri alat serta mesin perkebunan agrootomotif yang
berperan dalam peningkatan produktivitas dan dan sumber inovasi teknologi. Selain itu, produksi kelapa sawit juga dapat mendorong industri hilirnya, seperti
industri makanan dan minuman serta tembakau, industri barang karet dan plastik, industri pemintalan melalui serat alam natural fiber, industri pakan untuk ternak
serta pengangkutan dan komunikasi. Industri hilir kelapa sawit yang saat ini sedang berkembang dan menjadi
arahan untuk pengembangan komoditi industri di Provinsi Sumatera Barat adalah industri minyak kelapa sawit Crude Palm Oil CPO. Industri minyak sawit di
Provinsi Sumatera Barat berdasarkan Direktori Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit tahun 2009 berjumlah 67 pabrik pengolahan kelapa sawit yang tersebar di
beberapa kabupaten, diantaranya Kabupaten Agam, Kabupaten Dharmasraya, Kabupaten 50 Kota, Kabupaten Pasaman Barat, Kabupaten Pesisir Selatan,
Kabupaten Sijunjung dan Kabupaten Solok Selatan.
5.3. Analisis Pengganda