Pemanfaatan Modal Sosial dan Kekuasan Dalam Strategi Pemenangan Kepala Desa (Studi Deskriptif : di Desa Bahapal Raya, Kecamatan Raya, Kabupaten Simalungun)

(1)

PEMANFAATAN MODAL SOSIAL DAN KEKUASAAN

DALAM STRATEGI PEMENANGAN KEPALA DESA

(Studi Deskriptif : di Desa Bahapal Raya, Kecamatan Raya, Kabupaten

Simalungun)

OLEH :

100901029

WENSDY TINDAON

DEPARTEMEN SOSIOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2015


(2)

KATA PENGANTAR

Dengan segala kerendahan hati saya mengucapkan puji dan syukur saya kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena kasih dan perlindungannya yang begitu besar dan mulia sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul ”PEMANFAATAN MODAL SOSIAL DAN KEKUASAN DALAM STRATEGI PEMENANGAN KEPALA DESA” dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar sarjana sosiologi pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.

Skripsi ini juga saya persembahkan khusus buat orang tua saya di kampong yaitu bapak Toga Sitindaon dan mamak Elina Raya Saragih Garingging yang dari semenjak kecil sampai saya dalam bangku perkuliahan tidak pernah berhenti dan selalu sabar dalam mendukung saya sehingga bisa menyelesaikan studi saya di perkuliahan. Harapan mereka dan cinta mereka pada saya menjadi motivasi bagi saya dalam menjalani kehidupa saya.

Tidak lupa juga saya persembahkan skripsi ini pada saudara-saudaraiku, Westryan Sitindaon, Entry Welny Sitindaon dan Resky Memory Sitindaon yang selalu mendukung dan membantu saya dalam banyak hal. Semoga ini menjadi pencapaian yang patut ditiru oleh saudara-saudari saya sehingga lebih baik kedepannya dalam mengharumkan nama keluarga.

Rasa terimakasih juga saya ucapkan pada keluarga besar saya oppung yang sudah almarhum yang banyak memberi nasehat pada saya, tulang, tongah, inang godang dan sepupu saya semuanya dalam mendukung dan membantu penulis. Saya juga ucapkan terimakasih kepada Kepala Desa Bahapal Raya yang banyak membantu dan mengakomodasi penelitian saya di lapangan sehingga bisa berjalan secara lancar.

Rasa terimakasih yang sebesar-besarnya saya berikan kepada dosen pembimbing saya bapak Prof.Dr. Badaruddin, M.Si yang telah banyak memberikan kontribusi berupa saran, masukan, kritisi dan nasihat sehingga penyelesaian skripsi saya jadi lebih dari harapan saya. Skripsi ini tidak akan dapat penulis rampungkan tanpa bantuan dari berbagai pihak. Sadar akan hal ini maka pada kesempatan ini penulis juga ingin menyampaikan terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:


(3)

1. Penulis mengucapkan terima kasih kepada rektor Universitas Sumatera Utara. 2. Bapak Prof. Dr. Badaruddin.M. Si selaku Dekan FISIP USU sekaligus

pembimbing penulis.

3. Ibu Dra. Rosmiani, MA selaku sekretaris jurusan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik USU dan selaku dosen wali penulis dalam masa perkuliahan. 4. Ibu Dra. Lina Sudarwati, M.Si sebagai Kepala Jurusan Departemen Sosiologi

yang juga banyak memberik bantuan dan masukan pada penulis.

5. Bapak Drs. Junjungan SBP Simanjuntak, M.Si yang menjadi penguji pada saat ujian proposal skripsi saya sehingga masukan beliau menjadi penulisan skripsi saya lebih baik.

6. Seluruh Dosen pada Departemen Sosiologi yang banyak memberikan ilmu dan pengalaman-pengalaman kepada penulis.

7. Seluruh Dosen dan Staf Pegawai di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik yang banyak memberikan bantuan dan dukungan pada penulis.

8. Kak Ade selaku Sekretaris Dekan Prof. Dr. Badaruddin, M.Si yang banyak membantu menyerahkan proposal maupun skripsi saya kepada bapak Dekan sehingga saya bisa bimbingan pada bapak Dekan.

9. Seluruh teman-teman Sosiologi stambuk 2010 yang dalam masa studi banyak dukungan, doa dan pengalaman bersama yang menjadi motivasi bagi penulis. 10.Terimakasih juga kepada teman-teman satu kost yang telah banyak memberi

dukungan, nasihat dan motivasi sehingga penulis jadi termotivasi untuk cepat menyelesaikan skripsi.

11.Bang Evdi sebagai abang senioran di kampong maupun di kostan petuah beliau menjadi salah satu dorongan bagi penulis dalam menyelesakan skripsi. 12.Terimakasih juga penulis ucapkan pada informan dan masyarakat desa

Bahapal Raya yang telah membantu memberikan data-data yang dibutuhkan untuk menyelesaikan skripsi ini.

Kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini, semoga Tuhan Yang Maha Esa yang membalas semua kebaikan sehingga akan menerima berkat yang melimpah. Di akhir kata saya tutup dengan kata terima kasih.


(4)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR i

ABSTRAK ii

DAFTAR ISI iv

DAFTAR GAMBAR vii

BAB I PENDAHULUAN 1

1.1 LATAR BELAKANG 1

1.2 PERUMUSAN MASALAH 13

1.3 TUJUAN PENELITIAN 13

1.4 MANFAAT PENELITIAN 14

BAB II KAJIAN PUSTAKA 15

2.1 RELATIVITAS KEKUASAAN DAN STRATEGI

MODAL SOSIAL 15

2.2 HABITUS 16

2.3 PENGERTIAN MODAL SOSIAL 20

2.4 RANAH (FIELD) SEBAGAI ARENA PERTARUNGAN

DAN PERJUANGAN 27

2.5 RANAH DAN MODAL 28

2.6 KEKUASAAN 31

2.7 DEMOKRASI 33

2.8 KETERKAITAN HABITUS, MODAL SOSIAL DAN

KEKUASAAN 35

2.9 DEFENISI KONSEP 37

BAB III METODE PENELITIAN 40

3.1 JENIS PENELITIAN 40

3.2 LOKASI PENELITIAN 41

3.3 UNIT ANALISIS DAN INFORMAN 41

3.3.1 UNIT ANALISIS 41

3.3.2 INFORMAN 42

3.4 TEHNIK PENGUMPULAN DATA 43


(5)

3.5 INTERPRETASI DATA 45

3.6 JADWAL KEGIATAN 45

3.7 KETERBATASAN PENELITIAN 46

BAB IV DESKRIPSI WILAYAH DAN INTREPETASI DATA

PENELITIAN 47

4.1 DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN 47

4.1.1 KEADAAN GEOGRAFIS KECAMATAN RAYA 47

4.1.2 KEADAAN GEOGRAFIS DESA 49

4.1.2.1 BATAS WILAYAH 49

4.1.3 PEMERINTAHAN DESA 50

4.1.3.1 STRUKTUR PEMERINTAHAN DESA 50 4.1.3.2 FUNGSI JABATAN PEMERINTAHAN

DESA 51

4.1.3.3 HAK DAN KEWAJIBAN DESA 53 4.1.3.4 HAK DAN KEWAJIBAN

MASYARAKAT DESA 53

4.1.4 SARANA DAN PRASARANA DESA 55

4.1.4.1 SARANA KESEHATAN 55 4.1.4.2 SARANA PENDIDIKAN 55 4.1.4.3 SARANA TRANSPORTASI 55

4.1.4.4 SARANA LISTRIK 56

4.1.4.5 SARANA SUMBER AIR MINUM 56

4.2 PROFIL INFORMAN 56

4.3 CALON KEPALA DESA DAN MODAL SOSIAL

YANG DI MILIKINYA 79

4.3.1 TRUST (KEPERCAYAAN) 82

4.3.1.1 PROSES MENDAPATKAN TRUST 82 4.3.2 PROSES MENDAPATKAN KEPERCAYAAN

DARI ELIT POLITIK DESA 89

4.3.3 JARINGAN SOSIAL AKTOR DALAM

MENDAPATKAN SUARA MASYARAKAT 97


(6)

4.5 STRATEGI PEMENANGAN AKTOR DALAM

RANAH POLITIK 114

4.6 PERTARUNGAN AKTOR DALAM ARENA POLITIK 121 4.6.1 PERTARUNGAN MODAL SOSIAL AKTOR

DALAM ARENA 124

4.6.2 PERTARUNGAN MODAL BUDAYA AKTOR

DALAM ARENA 131

4.6.3 PERTARUNGAN MODAL EKONOMI

AKTOR DALAM ARENA 138

4.7 CALON KEPALA DESA DAN KEKUASAAN

YANG DIMILIKINYA 147

4.7.1 SUMBER LEGITIMASI AKTOR 156

4.8 PENDEKATAN AKTOR TERHADAP TOKOH

DESA 169

4.9 DEMOKRASI SEBAGAI KEBEBASAN MEMILIH 176

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 182

5.1 KESIMPULAN 182

5.2 SARAN 184

DAFTAR PUSTAKA 186


(7)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Tabel 3.1 JADWAL PENELITIAN 45

Tabel 4.1 TENTANG ORGANISASI PEMERINTAHAN DESA 50 Tabel 4.2 TENTANG TRUST (KEPERCAYAAN) YANG DIMILIKI

AKTOR OLEH MASYARAKAT DESA 88

Tabel 4.3 TENTANG KEPERCAYAAN KEPADA ELIT DESA 96

Tabel 4.4 JARINGAN SOSIAL AKTOR 103

Tabel 4.5 TENTANG PEMBENTUKAN HABITUS AKTOR 113


(8)

ABSTRAK

Dalam dunia politik banyak modal yang harus dimiliki oleh seorang aktor agar bisa bertarung dalam arena politik. Modal tidak hanya berupa harta dan uang saja yang selama ini banyak digunakan oleh politisi (aktor) dalam memobilisasi massa pendukung pada saat pemilihan. Sekarang sudah banyak aktor politik yang menyadari bahwa ada modal lain yang memiliki potensi dalam mendapatkan dukungan dari massa pendukung. Modal itu di kenal dengan modal sosial yang mengandung tiga unsur penting seperti: kepercayaan, hubungan timbal balik dan nilai yang di anut bersama. Ketiga unsur ini akan bisa tergabung dalam diri aktor apabila aktor sering berinterakasi dan terlibat langsung dengan pergaulan di dalam masyarakat.

Aktor yang selalu terlibat dalam berinteraksi dengan masyarakat lama-kelamaan akan membentuk jaringan sosial bagi aktor. Jaringan ini nantinya yang menjadi salah satu wadah mengumpulkan dukungan masyarakat pada diri aktor sehingga menjadi alat pertarungan dalam arena politik. Proses terbentuknya jaringan ini dilalui dengan proses yang cukup lama sampai ada kepercayaan dari masyarakat desa pada diri aktor berkat sumbangan dan saling keterikatan antara diri aktor dan masyarakat desa. Keterikatan ini yang menjadikan ada rasa kemudahan bagi aktor dalam mempengaruhi masyarakat desa untuk rela mendukung aktor dalam pemilihan karena pengaruhnya yang di akui oleh masyarakat desa.

Modal sosial yang sudah dimiliki aktor dalam arena politik akan bisa mempengaruhi masyarakat desa melalui kekuasaan yang dimilikinya. Kekuasaan bisa berasal dari modal sosial, harta dan keberpihakan para elit politik pada diri


(9)

aktor. Proses negosiasi politik yang dilakukan oleh aktor menjadi salah satu cara mendapatkan dukungan elit politik dan menambah serta mempertegas kekuasaan aktor dalam arena politik. Dominasi aktor politik yang memiliki modal sosial serta kekuasaan yang kuat karena mendapat legitimasi langsung dari elit politik menjadikan aktor itu bisa mendominasi aktor lain dan dapat mengendalikan jalannya pertarungan di arena politik. Hal ini menjadi bahan pertarungan untuk mendapat modal sosial, jaringan sosial, kekuasaan serta keberpihakan elit politik pada setiap aktor dengan berbagai penerapan strategi yang sudah direncanakan oleh para aktor politik.


(10)

ABSTRAK

Dalam dunia politik banyak modal yang harus dimiliki oleh seorang aktor agar bisa bertarung dalam arena politik. Modal tidak hanya berupa harta dan uang saja yang selama ini banyak digunakan oleh politisi (aktor) dalam memobilisasi massa pendukung pada saat pemilihan. Sekarang sudah banyak aktor politik yang menyadari bahwa ada modal lain yang memiliki potensi dalam mendapatkan dukungan dari massa pendukung. Modal itu di kenal dengan modal sosial yang mengandung tiga unsur penting seperti: kepercayaan, hubungan timbal balik dan nilai yang di anut bersama. Ketiga unsur ini akan bisa tergabung dalam diri aktor apabila aktor sering berinterakasi dan terlibat langsung dengan pergaulan di dalam masyarakat.

Aktor yang selalu terlibat dalam berinteraksi dengan masyarakat lama-kelamaan akan membentuk jaringan sosial bagi aktor. Jaringan ini nantinya yang menjadi salah satu wadah mengumpulkan dukungan masyarakat pada diri aktor sehingga menjadi alat pertarungan dalam arena politik. Proses terbentuknya jaringan ini dilalui dengan proses yang cukup lama sampai ada kepercayaan dari masyarakat desa pada diri aktor berkat sumbangan dan saling keterikatan antara diri aktor dan masyarakat desa. Keterikatan ini yang menjadikan ada rasa kemudahan bagi aktor dalam mempengaruhi masyarakat desa untuk rela mendukung aktor dalam pemilihan karena pengaruhnya yang di akui oleh masyarakat desa.

Modal sosial yang sudah dimiliki aktor dalam arena politik akan bisa mempengaruhi masyarakat desa melalui kekuasaan yang dimilikinya. Kekuasaan bisa berasal dari modal sosial, harta dan keberpihakan para elit politik pada diri


(11)

aktor. Proses negosiasi politik yang dilakukan oleh aktor menjadi salah satu cara mendapatkan dukungan elit politik dan menambah serta mempertegas kekuasaan aktor dalam arena politik. Dominasi aktor politik yang memiliki modal sosial serta kekuasaan yang kuat karena mendapat legitimasi langsung dari elit politik menjadikan aktor itu bisa mendominasi aktor lain dan dapat mengendalikan jalannya pertarungan di arena politik. Hal ini menjadi bahan pertarungan untuk mendapat modal sosial, jaringan sosial, kekuasaan serta keberpihakan elit politik pada setiap aktor dengan berbagai penerapan strategi yang sudah direncanakan oleh para aktor politik.


(12)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Negara Indonesia yang lahir pada 17 Agustus 1945 adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik. Dalam penyelenggaraan pemerintahannya daerah Indonesia terdiri atas beberapa daerah/ wilayah propinsi dan setiap daerah terdiri atas beberapa Kabupaten/Kota yang terdapat satuan pemerintahan terendah yang disebut Desa dan Kelurahan. Desa dan Kelurahan adalah dua satuan pemerintahan terendah dengan status berbeda. Desa adalah satuan pemerintahan yang diberi hak otonomi adat sehingga merupakan badan hukum sedangkan Kelurahan adalah satuan pemerintah administrasi yang hanya merupakan perpanjangan tangan dari pemerintahan kabupaten atau kota. Jadi, Kelurahan bukan badan hukum melainkan hanya sebagai tempat beroperasinya pelayanan pemerintahan dari pemerintah Kabupaten/Kota di wilayah Kelurahan setempat. Sedangkan desa adalah wilayah dengan batas-batas tertentu sebagai satuan masyarakat hukum (adat) yang berhak mengatur dan mengurus urusan masyarkat setempat berdasarkan asal-usulnya (Nurcholis, 2011: 4-5).

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dan peraturan pelaksanaanya maka, desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal dan hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sitem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Terkait dengan pemerintahan desanya maka


(13)

penyelenggaraan urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem pemerintahan NKRI atau Pemerintah Desa adalah Kepala Desa dibantu Perangkat Desa sebagai unsur penyelenggara Pemerintah Desa.

Dengan adanya paham Indonesia yang menganut paham desentralisasi kekuasaan maka secara langsung desa memiliki otonomi tersendiri sehingga berhak mengatur dan memenuhi kebutuhannya sendiri dengan kebjakan yang telah ditetapkan oleh Kepala Desa (Pangulu) dan BPD (Badan Perwakilan Desa). Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Penyelengaraan Desa dan Peraturan Pelaksanaanya yang menjadikan pedoman umum pengaturan mengenai desa menekankan pada prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah.

Dalam pelaksanaanya untuk menentukan posisi sebagai Kepala Desa maka selalu dilakukan pemilihan Kepala Desa yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 dalam pasal 31 ayat 1 dan 2 maka pemilihan Kepala Desa dilaksanakan secara serentak di seluruh wilayah Kabupaten/Kota. Kemudian Pemerintahan daerah Kabupaten dan Kota menetapkan kebijakan pelaksanaan pemilihan Kepala Desa secara serentak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Setelah dilakukannya pemilihan Kepala Desa maka dibentuk juga Badan Perwakilan Desa (BPD), dimana Pemerintah Desa terdiri atas: Sekretariat Desa, Pelaksana Kewilayahan dan Pelaksana Teknis sedangkan Badan Perwakilan Desa (BPD) adalah wakil penduduk yang dipilih dari dan oleh penduduk desa yang mempunyai fungsi mengayomi adat–istiadat, membuat peraturan desa dan


(14)

mengawasi penyelenggaraan pemerintah desa. Untuk itu BPD dan Kepala Desa menetapkan Peraturan Desa (PERDES).

Menurut UU NO 6 tahun 2014 Kepala Desa dipilih secara langsung oleh dan penduduk desa warga Negara Republik Indonesia yang memenuhi persyaratan dengan masa jabatan 6 tahun terhitung sejak pelantikan. Kepala Desa dapat menjabat paling banyak 3 kali masa jabatan secara berturut-turut atau tidak berturut-turut. Khusus mengenai pemilihan kepala desa dalam Undang-Undang ini diatur agar dilaksanakan secara serentak di seluruh wilayah Kabupaten/Kota dengan maksud menghindari hal negatif dalam pelaksanaanya.

Melihat adanya kewenangan penuh yang dimiliki oleh Kepala Desa dengan pemerintahannya maka banyak masyarakat yang berminat dalam memenangkan pemilihan Kepala Desa sehingga elit politik di pedesaan berusaha menyebarkan pengaruhnya di kehidupan masyarakat desa pada saat pemilihan Kepala Desa. Secara lebih pasti mereka akan bisa bersaing dengan kompetitor lain yang juga bermaksud untuk meraih kursi Kepala Desa, maka dari itu elit politik di pedesaan menggunakan modal sosial sebagai dasar dalam strategi pemenangan Kepala Desa dan didukung seberapa kuat pengaruh kekuasaan mereka di desa tersebut.

Desa Bahapal Raya merupakan salah satu desa yang berada di wilayah Kabupaten Simalungun tepatnya di Kecamatan Raya, desa ini berjarak 4 km dari ibukota Simalungun. Desa ini terdiri dari 2.015 jiwa penduduk yang mata pencaharian mereka 90% adalah petani, Desa ini juga terdiri dari empat Nagori (Dusun) dengan Suku yang mendiami daerah ini didominasi Suku Simalungun dan Suku Batak (Kantor Kepala Desa Bahapal Raya 2014).


(15)

Desa dalam hal ini sudah menjadi arena sosial yang menjadi ajang untuk mencuri hati warga desa sehingga nantinya bisa memenangkan calon Kepala Desa di pemilihan. Arena menurut Bourdieu dalam Halim (2004: 124) suatu arena sosial yang di dalamnya perjuangan atau manuver terjadi untuk memperebutkan sumber atau pertaruhan dan akses terbatas. Arena didefinisikan sebagai taruhan yang dipertaruhkan-benda kultural (gaya hidup), perumahan, kemajuan intelektual (pendidikan), pekerjaan, tanah, kekuasaan (politik), kelas sosial, prestise atau lainnya dan mungkin berada pada tingkatan yang berbeda dangan spesifikasi dan derajat kekonkretan. Setiap arena, karena isinya, memiliki logika berbeda dan struktur keharusan dan relevansi yang diterima sebagaimana adanya yang merupakan produk dan produsen habitus yang bersifat spesifik dan menyesuaikan diri dengan arenanya.

Arena pertarungan politik menurut Sjaf: dkk, 2012: 174) dibutuhkan aktor dalam menjalankan strategi pemenangan Kepala Desa ini. Aktor yang dimaksud dalam penelitian ini adalah elit desa. Di arena politik desa, aktor lebih mendominasi dibandingkan dengan massa (terdominasi) dengan mereproduksi identitas etnik untuk kepentingan politik desa. Mendominasinya golongan elit dan terdominasinya golongan massa tersebut, disebabkan arena politik desa merupakan tempat terdapatnya hierarki ganda yang berada pada posisi dikotomis antar golongan massa. Adapun hierarki yang dimaksud, sebagai berikut: ukuran kesuksesan aktor dinilai berdasarkan jumlah jabatan (kekuasaan) yang dimiliki dan kekayaan yang dipunyai. Penghargaan pada diri seseorang (aktor), linear dengan kekuasaan (jabatan) dan kekayaan yang dimiliki dalam diri aktor. Dari uraian di atas posisi aktor di arena ekonomi politik lokal mampu mendorong terwujudnya mobilisasi pendukung.


(16)

Arena politik dalam tingkat desa dalam hal ini menjadi realitas dimana terjadi pertarungan antar aktor untuk memperebutkan sumber-sumber modal yang dapat diakumulasikan untuk bisa memiliki kekuasaan politik. Pertarungan dalam hal ini diambil dari konsep Pierre Bourdieu dalam Sjaf (2012:172) yang merujuk kepada konsep arena, menurutnya arena dalam hal ini adalah ranah perjuangan, dimana para aktor berjuang meningkatkan posisi nyata para aktor. Dalam pertarungan dalam arena para aktor menerapkan berbagai strategi tetapi pilihan strategi yang dimiliki setiap aktor dibatasi realitas yang terbatas. Arena menjadi tempat distribusi modal yang akan diperebutkan oleh aktor dengan menerapkan strategi yang telah disusun oleh masing-masing aktor.

Identitas aktor bisa dilihat dalam habitus yang melekat pada diri aktor dan tercermin dari hasil konstruksi terkait pengalaman aktor memaknai realitas yang dihadapinya sehingga membentuk identitas diri aktor (habitus). Terkait dengan aktor yang juga sebelum mencalonkan diri sebagai calon Kepala Desa maka aktor juga tentunya telah sejak lama membentuk dan membangun citra diri yang baik tentang dirinya di masyarakat. Hal inilah yang dapat melanggengkan wacana yang dominan kekuasaan simbolik oleh aktor sehingga yang berdampak terhadap semakin kokohnya legitimasi dan kekuasaan aktor di dalam masyarakat. Setelah legitimasi dan kekuasaan yang terbentuk tadi memiliki fondasi yang kuat dalam posisinya dalam pertarungan politik maka aktor mengharapkan posisi strategis dan berada pada posisi yang tidak didominasi lagi sehingga bisa melakukan mobilisasi yang menekan posisi aktor lain kedalam keadaan yang terjepit. Aktor yang telah memiliki posisi strategis akan terus berusaha mempertahankan posisinya dengan menguatkan pada pengakumulasian modal yang dimilikinya.


(17)

Struktur pembentukan identitas diri aktor dalam arena politik menjadikan hubungan yang bertentangan antara aktor yang lebih kuat dan aktor yang berada dibawahnya sehingga membentuk identitas bersama dan melekat dalam diri aktor, yang dilandasi oleh banyaknya mobilisasi ataupun wacana yang dituangkan aktor dalam pertarungan dengan aktor lain dalam arena politik tersebut. Namun seiring berjalannya waktu ketika terjadi pengalaman baru dalam diri aktor. Sebagai misalnya apabila kepentingan aktor untuk memperbesar atau memperluas kekuasaan yang dimilikinya dalam konteks arena politik semakin kecil, maka aktor akan berusaha melakukan pembentukan ulang identitas diri agar dapat mempengaruhi masyarakat agar memenangkan pertarungan yang dilakukanya di arena politik desa (Sjaf, 2012: 176-177).

Arena yang menjadi ranah pertarungan aktor untuk mendapatkan legitimasi ataupun posisi strategis yang bisa membantunya memenangkan pertarungan harus diikuti oleh modal yang diperebutkan oleh aktor yang bertarung. Modal dalam hal ini sifatnya variatif tetapi yang lebih harus bisa ditonjolkan oleh aktor adalah modal sosial. Modal ini walaupun sering agak terabaikan karena ada praduga bahwa yang menentukan kemenangan seorang aktor dalam pertarungan politik lebih kepada modal ekonomi dan finansial. Modal ini memang tidak bisa dipungkiri vital kaitannya dalam hal memobilisasi massa pendukung tetapi bagaimana kalau ada beberapa aktor yang sama-sama kuat dalam modal ekonomi maka modal apa yang harus diandalkan? Tentu modal yang harus mereka andalkan adalah modal sosial karena modal ini adalah modal potensial yang ada di masyarakat hanya bagaimana cara aktor untuk mencari dan mendapatkannya saja.


(18)

Pierre Bourdieu dalam Damsar (2011: 209) mendefinisikan modal sebagai sumberdaya aktual dan potensial yang dimiliki oleh seseorang berasal dari jaringan sosial yang terlembaga serta berlangsung terus menerus dalam bentuk pengakuan dan perkenalan timbal balik (dengan kata lain, keanggotaan dalam kelompok sosial) yang memberikan kepada anggotanya berbagai bentuk dukungan kolektif. Dukungan ini terbentuk karena masyarakat sudah merasa menjadi bagian dari aktor yang didukung dan kepercayaan yang diberikan oleh massa pendukung inilah yang harus dijaga oleh aktor sehingga pada saat pemilihan Kepala Desa maka, dukungan tersebut bisa memenangkannya dalam pemilihan.

Gagasan Bourdieu dalam Anwartina (2013: 2) mengklasifikasikan modal sosial menjadi empat bagian yaitu: modal ekonomi (economic capital), modal budaya (cultural capital), modal sosial (social capital) dan modal simbolik (symbolic capital). Keempat modal ini menjadi bagian penting dalam melegitimasi kepemilikan kekuasaan. Modal sosial pada dasarnya terbentuk dari sebuah solidaritas sosial sebagai usaha-usaha individu untuk berkelompok. Solidaritas tersebut lebih mengacu pada perbedaan-perbedaan individu dengan keahliannya masing-masing yang terkait sebagai suatu kelompok sosial karena masing-masing individu memerlukan kemampuan individu lainnya, biasanya terdapat pembagian kerja. Dalam penelitian ini modal sosial berkaitan dengan bangunan relasi dan kepercayaan kepada warga desa. Termasuk didalamnya sejauh mana pasangan calon itu mampu menyakinkan para pemilih (warga Desa) bahwa mereka itu memiliki kompetensi untuk memimpin desa itu. Kepercayaan (trust) dalam hal ini yang harus benar-benar dimanfaatkan sehingga nantinya bisa mengerakkan massa pendukung agar bisa memilih aktor (calon Kepala Desa) dalam pemilihan Kepala Desa nantinya. masyarakat desa yang


(19)

percaya pada diri aktor itulah yang menjadi modal besar yang dapat mengubah persepsi diri masyarakat tentang aktor yang dalam hal ini memberikan dukungan yang lebih banyak pada aktor dan nantinya juga akan memperluas pengaruh (power)

dalam kehidupan masyarakat desa.

Dalam sebuah pertarungan politik, modal politik merupakan salah satu modal yang harus dimiliki oleh para kontestan untuk maju bertarung dalam sebuah pemilihan Kepala Desa. Untuk maju menjadi calon Kepala Desa dibutuhkan modal politik, karena dengan adanya modal politik, maka calon Kepala Desa tersebut dapat membangun relasi dengan pendukungnya karena ada wadah dalam menjalin hubungan tersebut. Relasi ini meliputi hubungan jaringan dengan seluruh komponen dari lembaga tradisional di desa sampai pada lembaga yang terstruktur di pedesaan serta kelompok elit yang ada di desa tersebut.

Dalam pemilihan Kepala Desa ini, jelas membutuhkan biaya yang besar, modal yang besar itu tidak hanya dipakai untuk membiayai pelaksanaan kampanye tetapi juga untuk membangun relasi dengan pendukungnya, termasuk didalamnya adalah memobilisasi dukungan pada saat menjelang dan berlangsung proses pemilihan Kepala Desa. Strategi yang digunakan oleh setiap calon Kepala Desa harus benar-benar efektif sehingga biaya dan relasi yang dibangun dengan pendukungnya tidak sia-sia begitu saja.

Pertarungan untuk merebut sebuah kekuasaan dalam sebuah ruang sosial (social space), modal ekonomi merupakan salah satu modalitas yang harus dimiliki oleh individu atau kelompok tertentu untuk mendapatkan kekuasaan yang ada. Artinya, membedah peran modal ekonomi, menurut Bourdieu dalam (Anwartina: 4) mengklasifikaskan modal ekonomi dalam berbagai hal seperti: alat-alat dan produksi


(20)

(mesin, tanah, buruh), materi (pendapatan benda-benda yang dimiliki) dan uang yang dengan mudah digunakan untuk segala tujuan serta diwariskan dari satu generasi ke generasi selanjutnya.

Modal sosial dapat menggunakan simbol-simbol budaya sebagai petunjuk-petunjuk pembagian yang sekaligus memberi tanda dan membentuk posisi mereka dalam struktur sosial. Dalam hal ini modal simbolik juga berupa akumulasi prestasi, penghargaan, harga diri, kehormatan, wibawa, termasuk gelar akademis. Gaya hidup masyarakat desa membuat gaya sarat akan simbol-simbol tertentu yang tentunya memiliki makna yang dimengerti oleh mereka sendiri. Proses seseorang mencari gaya hidup membuat seseorang menghasrati gaya hidup tertentu, kepemilikan tertentu, komunitas pergaulan tertentu dimana pola hidup seseorang di dunia diekspresikan dalam aktifitasnya.

Dalam setiap pertarungan politik yang terjadi dalam kaitannya dengan kekuasaan yang dimiliki oleh aktor dalam hal ini calon Kepala Desa maka penting adanya melihat mereka dalam memanfaatkan bentuk-bentuk kekuasaan yang ada dalam masyarakat. Dengan memanfaatkan kekuasaan tersebut maka akan lebih mudah untuk membantu masyarakat untuk memberikan persepsi bahwa aktor bisa dijadikan pemimpin yang tepat untuk Desa tersebut. Bentuk kekuasaan tersebut ada dua dan inilah yang harusnya bisa menjadikan aktor untuk lebih cepat menggerakkan massa pendukung untuk memilihnya nanti dalam pemilihan Kepala Desa.

Ada beberapa bentuk kekuasaan yang sering terlihat dalam setiap pertarungan kursi Kepala Desa. Kekuasaan itu menurut Halim (2014: 55-56) adalah kekuasaan yang terlihat (visible power) dan kekuasaan tak terlihat (invisible power). Dalam bentuk kekuasaan yang terlihat (visible power) maka terlihat pertarungan


(21)

kepentingan di ruang-ruang publik. Para elit desa, tokoh adat, tokoh agama dan lembaga kecil yang ada di desa merupakan contoh bentuk kekuasaan dalam kehidupan desa. Lembaga-lembaga inilah yang banyak merumuskan kebijakan di pedesaan. Lembaga, aktor, dan kepentingan (interest) merupakan unit penyusun bentuk kekuasaan yang terlihat. Dengan kata lain visible power menjadikan perwakilan kekuasaan yang terlihat dalam bentuk pertarungan aktor kekuasaan di elit desa. Para calon dengan seluruh modal sosial, kekuasaan dan strategi pemenangan yang telah dirumuskan bersama timnya saling bertarung merebut simpati dan dukungan massa. Pada saat yang sama, massa bergerak dan menjatuhkan pilihan masing-masing calon karena berada di bawah kendali pengaruh dan keinginan para calon sendiri. Kemampuan menggerakkan massa adalah bentuk kekuasaan yang terlihat, yang dimiliki oleh para calon, yang ditunjukkan di ruang publik.

Selain adanya kekuasaan yang terlihat maka ada juga kekuasaan yang tak terlihat, dan melalui ideologi, penguasa bisa mengelabui dan menguasai kesadaran masyarakat sehingga mereka terbuai dan terkendali tanpa disadari. Ideologi dan nilai-nilai yang secara halus membius dan merasuki kesadaran masyarakat, merupakan kekuasaan yang tak terlihat (invisible power). Di pedesaan, biasanya, ideologi yang berbasis agama dan adat sangatlah menguasai. Dalam praktik invisible power di pedesaan, keterlibatan para aktor dan elit desa adalah suatu keharusan pihak yang menonjol dalam kekuasaan ini, biasanya adalah elit agama, tokoh adat dan aktor dalam organisasi desa. Alasanya, nilai-nilai agama dan tradisi lokal masyarakat masih menjadi faktor kuat untuk mengelabui masyarakat desa, tentu saja, praktik

invisible power lebih berbasis pada penguasaan dan ideologis, karena ia terkait dengan perilaku pemilih sebagai salah satu cara masuk merebut hati rakyat. Ketika


(22)

masyarakat desa dibius dengan kata-kata yang ideologis, mengandung penafsiran-penafsiran keagamaan dan tampak mendukung nilai-nilai tradisi, maka tujuan-tujuan yang murni politik jadi tenggelam, diabaikan publik dan tidak muncul kepermukaan (Halim, 2014: 67-68).

Pada saat peneliti melakukan pra-observasi di Desa Bahapal Raya, peneliti melihat sekilas tentang strategi yang diterapkan oleh Kepala Desa sehingga memenangkan beliau dalam pemilihan Kepala Desa dalam penuturannya beliau mengatakan:

Dalam membangun citra yang baik tentang saya di dalam masyarakat maka saya cenderung aktif dalam banyak kegiatan sosial yang sering dilakukan di Desa ini sehingga saya dianggap sosok panutan yang pantas dijadikan warga desa untuk dijadikan sebagai Kepala Desa di Bahapal Raya ini. Karakter yang jelas sering saya tonjolkan sebagai Kepala Desa adalah terlihat dari seringnya saya selalu mengutamakan kepentingan bersama sebagai contoh yang bisa terlihat adalah apabila ada musibah karena bencana, perampokan, kemalangan ataupun kejadian yang dapat merugikan warga desa maka sebisa mungkin Kepala Desa dan aparatur Desa yang menjadi menggalang bantuan sehingga mereka yang terkena musibah berkurang bebannya. Hal ini juga lah yang yang menjadikan saya bisa menang dalam pemilihan Kepala Desa dua periode berturut-berturut. Tetapi saya juga menjalin hubungan yang baik dengan elit desa sehingga menjadikan dukungan terhadap saya lebih mudah terhimpun. Dukungan elit desa yang yang saya himpu itu berasal dari tokoh adat (Raja Parhata), tokoh agama (Porhanger/Pemimpin Gereja), tokoh pendidikan (Guru), kaum muda-mudi (Karang Taruna) dan bahkan calon Kepala


(23)

Desa yang kalah. Inilah yang menjadi dasar saya dalam memenangkan saya dalam pemilihan Kepala Desa di Bahapal Raya.

Melihat pemanfaatan modal sosial yang digunakan oleh Kepala Desa menjadikan kita bisa melihat bahwa hubungan yang baik yang dibangun sejak lama sehingga ada hubungan timbal balik yang menimbulkan kepercayaan warga desa kepada Kepala Desa yang terpilih. Modal sosial dalam diri Kepala Desa ini merupakan sumber daya sosial seperti jaringan, kepercayaan, nilai dan moral serta kekuatan yang menggerakkan atau memobilisasi bentuk dukungan terhadap Kepala Desa sehingga seorang calon Kepala Desa itu bisa terpilih dalam sebagai Kepala Desa.

Sumber daya sosial sebagai aspek statis dari kapital sosial harus kita pahami sebagai dalam arti bahwa sumberdaya sosial seperti jaringan, kepercayaan, nilai dan norma merupakan kapital yang diperlukan dalam suatu struktur hubungan sosial, investasi ini bisa terjadi jika aktor memiliki sumberdaya ini sehingga seorang Kepala Desa sebagai aktor dalam pemenangan pemilihan tersebut bisa bertahan (survive) dan konsisten dalam eksistensinya dalam pemilihan tersebut.

1.2 Perumusan Masalah

Perumusan masalah pada hakikatnya merupakan perumusan pertanyaan yang jawabannya akan dicari penelitian. Dalam penelitian ini, dengan pemaparan dalam latar belakang peneliti ingin mengarahkan masalah yang akan dicari sehingga lebih bisa melihat fokus penelitian yang akan dilakukan.

Berdasarkan latar belakang diatas, maka yang menjadi perumusan masalah dalam penelitian ini yaitu adalah:


(24)

1. Bagaimana cara calon Kepala Desa memanfaatkan modal sosial dan kekuasaannya dalam strategi pemenangan Calon Kepala Desa?

1.3 Tujuan Penelitian

Pertarungan politik yang terjadi di arena politik desa menjadi hal yang ingin dilihat peneliti dalam penelitian ini. Penerapan strategi dan penggunaan kekuasaan oleh setiap aktor menjadi objek penelitian sekaligus cara aktor menarik dukungan masyarakat desa dalam pemilihan Kepala Desa. peneliti dalam hal ini membuat beberapa pokok yang menjadi tujuan penelitian ini yaitu:

1. Untuk mengetahui bagaimana bagaimana cara Kepala Desa dalam membangun modal sosial sehingga bisa menang dalam pemilihan Kepala Desa di Desa Bahapal Raya, Kecamatan Raya, Kabupaten Simalungun.

2. Untuk mengetahui bagaimana cara penerapan strategi modal sosial dalam memenangkan pemilihan Kepala Desa di Desa Bahapal Raya, Kecamatan Raya, Kabupaten Simalungun.

1.4 Manfaat Penelitian

1. Manfaat teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan serta ilmu pengetahuan mengenai arena pertarungan politik dalam tingkat pemerintahan terendah yang juga bisa sedikit merepresentasikan gambaran pertarungan politik dalam tingkat Daerah maupun Nasional sehingga bisa menambah wawasan bagi orang yang membacanya dan bermanfaat bagi mahasiswa sosiologi dan ilmu sosial lainnya yang melakukan penelitian yang sama. Penelitian ini juga diharapkan dapat


(25)

menjadi acuan dan memperkaya kajian ilmu sosiologi politik karena erat kaitannya dengan kekuasaan dan polemik pertarungan yang dilakukan oleh aktor (calon Kepala Desa).

2. Manfaat praktis

Penelitian ini di harapkan memberikan manfaat bagi peneliti berupa fakta-fakta temuan dilapangan dalam meningkatkan daya kritis dan analisis sehingga memperoleh pengetahuan tambahan dari penelitian tersebut dan diharapkan menjadi acuan penunjang bagi pihak-pihak yang memiliki kompetensi dalam bidang ini.


(26)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Relativitas Kekuasaan dan Strategi Modal Sosial

Perkembangan teori sosiologi melalui proses yang panjang sehingga sampai pada tahap postmodern. Dalam tahap ini postmodern menurut Argyo (2010: 9) menjadi berlandaskan relativistik, irrasioanal dan nihilistik. Berkaitan dengan landasan teori yang sering digunakan dalam teori postmodern maka erat kecenderungannya pada konsep teori relativistik. Teori ini lebih melihat bahwa tak ada sesuatu yang benar-benar sempurna atau ideal untuk semua hal tetapi perlu ada pandangan bahwa melihat segala hal itu dengan teori relativistik. Makna yang terkandung dalam teori ini adalah banyak dinamika yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat, baik itu kehidupan sosial, ekonomi maupun politik dan kesemuanya itu tidak boleh diterjemahkan secara universal tetapi lebih kepada konsep relativitas.

Seperti halnya kehidupan berpolitik baik dalam skala yang sangat kecil sekalipun yaitu perebutan kursi Kepala Desa maka perlu ada pandangan relativitas sehingga penafsiran akan makna yang terkandung dalam pertarungan politik tersebut tidak ambigu. Seperti halnya kekuasaan dan modal sosial yang bisa dimanfaatkan aktor terlihat akan kerelativitasannya karena aktor tidak akan pandang bulu untuk berpihak pada elit desa manapun asalkan pada saat pemilihan Kepala Desa nanti bisa dimenangkannya. Hal inilah tentunya yang akan membantu kita untuk melihat bahwa kerelativitasan itu memang akan selalu ada dalam masyarakat dan memiliki sumbangan penting juga.


(27)

Pertarungan yang dilakukan oleh setiap aktor dalam setiap ranah politik tentunya relevan dengan kekuasaan yang harus dimiliki oleh aktor karena kemapanan ekonomi ataupun memiliki nama besar keluarga. Semuanya itu akan dipadukan dengan modal sosial yang diperebutkan aktor sehingga perlu konsep relativitas yang akan membantu meraih sumber terbatas itu. Pergerakan setiap aktor yang lentur karena tidak lagi berdiri pada posisi tunggal melainkan bisa cepat beradapatasi dalam menghadapi berbagai situasi yang bisa saja terjadi dalam dinamika politik. Proses pengaruh mempengaruhi lawan politik maupun massa pendukung juga menjadikan si aktor dipaksa untuk selalu responsif karena caranya bertindak, berperilaku maupun membuat keputusan politik akan membantunya nanti dalam memenangkan pertarungan politik dengan aktor lain sebagai kompetitornya.

2.2 Habitus

Habitus erat kaitannya dengan peran yang dimainkan aktor didalam memainkan perannya dalam arena pertarungan di pemilihan Kepala Desa. Berbicara tentang habitus lebih kepada perilaku, persepsi, merasakan, melakukan dan berpikir yang terinternalisasi dalam diri aktor saat aktif melakukan pergerakan untuk merebut hati ataupun otoritas dari massa pendukungnya. Konsep ini sebenarnya berasal dari pemikiran filsafat, bukan merupakan konsep murni dari Pierre Bourdieu. Dalam bahasa latinnya, habitus berarti kebiasaan (habitual), penampilan diri (appearance) atau bisa juga lebih kepada cara pembawaan yang terkait dengan bahasa tubuh yang sering dilakukan. Bourdieu membuat defenisi tentang habitus ini cenderung kepada interaksi yang dilakukan manusia dengan habitus yang melekat pada dirinya karena dipengaruhi oleh kebiasaan yang dilakukan secara berulang-ulang dan terinternalisasi


(28)

terhadap dirinya sehingga habitus bukan lagi perilaku/sikap yang berada diluar diri aktor tetapi merupakan keniscayaan untuk tidak bisa dipisahkan, saling mempengaruhi, dan melebur pada diri aktor.

Istilah habitus merujuk kepada satu bentuk mental dan kognitif yang mana dengan struktur ini manusia dapat berhubungan dengan dunia sosialnya, dengan kata lain habitus wujud hasil daripada kedudukan tetap aktor didalam dinia sosial dalam waktu yang lama. Menurut Bourdieu dalam Hussain (2013: 3) orientasi untuk tingkah laku dan struktur persepsi ini yang memastikan keintelektualan aktor dalam dunia sosial adalah sama, aktor ini merasakan dan berhadapan dengan pengalaman yang tidak sama dalam wujud dan aspek berhadapan dengan kenyataan yang dihadapi dalam dunia sosial. Bourdieu juga melihat aspek kemampuan sebagai hasil dari unsur modal budaya dan simbolik karena secara terus menerus diwenangkan melalui saling keterkaitan aspek struktur dan individu aktor. Istilah habitus ini sering digunakan dalam menerangkan norma-norma sosial atau sikap yang diarahkan oleh norma pembentuknya. Proses pembentukan habitus dalam diri aktor dilakukan secara terus menerus oleh tindakan, berpikir, mempersepsi dunia sosialnya yang nantinya akan memimpinya dalam menghadapi arena pertarungan yang selalu dihadapinya.

Bagus Takwin menjelaskan dalam Fashri (2014: 98) masih terkait dengan defenisi habitus yang diatas bahwa Bourdieu mengatakan habitus sebagai alat kelengkapan dan postur dari posisi tubuh (body language), dan kualitas yang dimiliki dalam diri aktor menjadi sifat yang menetap dalam diri dan tak terpisah lag, bahkan keterkaitan antara peranan. Melalui habitus maka bourdieu mencoba mengkaji kehidupan sosial sehari-hari aktor dengan prinsip keteraturan sikap yang dimiliki oleh aktor. Habitus inilah yang dapat menghubungkan pola tekad dalam diri aktor


(29)

dan tekad yang membentuk perilaku yang melekat pada diri individu. Cara kerja habitus inilah nantinya yang dapat melakukan bagaimana aktor bertindak dan berpikir dalam mengahadapi ranah pertarungan perebutan kursi Kepala Desa. proses internalisasi yang terjadi dalam pembentukan habitus dipahami sebagai pembentuk dunia sosial yang dibatinkan melalui mekanisme dunia sosial.

Habitus selalu dikaitkan dengan struktur mental atau kemampuan yang dimiliki oleh aktor dalam interaksinya dengan dunia sosial yang dihadapinya. Aktor akan dibekali dengan serangkaian kerangka yang terinternalisasi yang aktor gunakan dalam mempersepsi memahami, mengapresiasi, dan mengevaluasi dalam mengahadapi arena politik di desa. Habitus juga hasil dari pembentukan internalisasi dunia sosial yang selalu dihadapinya karena aktor menempati posisinya dalam waktu yang panjang sehingga perilaku tersebut melekat dalam dirinya.

Kleden dan Binawan dalam Adib (2012: 97) membuat tujuh elemen penting tentang habitus ini yakni:

1. Produk sejarah, sebagai perangkat pengalaman yang bertahan lama dan diperoleh melalui latihan berulang kali

2. Lahir dari kondisi sosial tertentu dan karena menjadi susunan yang dibentuk terlebih dahulu oleh kondisi sosial dimana habitus itu dihasilkan

3. Pengalaman yang dibentuk ini sekaligus berfungsi sebagai kerangka yang melahirkan dan memberi bentuk kepada persepsi, representasi, dan tindakan seseorang dan karena itu menjadi unsur pembentuknya.

4. Habitus menjadi fleksibel karena walaupun lahir dalam kondisi sosial tertentu tapi bisa diadaptasikan kepada kondisi sosial yang lain.


(30)

5. Habitus bersifat pra-sadar karena ia bukan merupakan hasil dari cerminan dan pertimbangan rasional. Lebih kepada spontanitas yang tidak disadari dan tidak dikehendaki dengan sengaja tetapi bukan juga suatu gerakan suatu gerakan mekanistis yang tanpa latar belakang sejarah.

6. Bersifat teratur dan berpola, tetapi bukan merupakan ketundukan kepada peraturan-peraturan tertentu.

7. Habitus dapat terarah kepada tujuan dan hasil tindakan tertentu tetapi tanpa ada maksud secara sadar mencapai hasil-hasil tersebut dan juga tanpa penguasaan kepandaian yang bersifat khusus untuk mencapainya.

Cara kerja habitus yang dapat membimbing aktor untuk mengenali, menilai, meraskan dan apresiasi yang ditunjukkan oleh dunia sosial karena menjadi cerminan bagi massa pendukung aktor. Sebagai kerangka klasifikatif, habitus dapat dapat menghasilkan perbedaan yang kontras gaya hidup dan praktik-praktik kehidupan dalam kehidupan diri aktor. Kerangka kerja habitus ini diperoleh berdasarkan pengalaman aktor dalam kaitannya berinteraksi dengan masyarakat ataupun lawan politiknya dalam perebutan kursi Kepala Desa. Pengalaman yang dirasakan aktor diandaikan sebagai sikap, kecenderungan mempersepsi, merasakan, berpikir yang kesemuanya itu sudah terinternalisasi dalam diri aktor berkat pengalaman objektif ataupun subjektif yang dirasakannya.

Pengalaman dalam diri aktor sehingga tercipta habitus juga menjadikannya sesuatu yang fleksibel dalam kaitannya dengan arena yang dihadapinya sehingga terdapat pergerakan yang dapat membantu aktor untuk terus bisa beradapatasi. Dalam hal ini di beberapa kejadian dalam kehidupan bermasyarakat yang kaitanya masih pada diri aktor, maka sering terlihat secara gamblang kalau aktor dapat


(31)

mengubah habitusnya dalam merespon sesuai dengan arena yang dihadapinya. Peran habitus yang juga dapat memberikan kelenturan dalam menyusun strategi pada diri aktor karena dengan situasi yang tak terduga dan berubah dengan cepat maka dituntut selalu bergerak mengubah strategi berdasarkan pengalaman yang dihadapi oleh aktor. Habitus ini juga nantinya akan mamberikan keleluasaan bagi aktor untuk melakukan kombinasi secara bebas dan mandiri sehingga berujung pada harapan dalam setiap diri aktor untuk menang dalam pemilihan Kepala Desa.

2.3 Pengertian Modal Sosial

Dalam banyak persepsi oleh masyarakat awam sering mengaitkan konsep modal hanya dalam batasan yang relatif kecil saja sehingga kurang mengindahkan konteks yang lebih luas akan defenisi modal karena dalam persepsi masyarakat awam sudah terbangun kalau modal itu hanya berupa harta, uang ataupun barang-barang yang dianggap berharga. Dalam kaitannya dengan penelitian ini maka perlu ada perluasan pengertian tentang konsep modal yang akan dibahas dalam penelitian ini. Penjelasan yang akan diuraikan nantinya diharapkan akan memberikan cakrawala baru bahwa ada beberapa modal lain yang juga dapat menentukan aktor untuk bisa merebut kursi Kepala Desa.

Modal yang dibutuhkan oleh aktor untuk bertarungan dalam setiap arena yang bukan hanya modal berupa uang atau benda berharga saja tetapi ada modal lain yang perlu dieksplorasi karena modal inilah yang juga menjadi faktor penentu untuk mendapat kekuasaan dan kemenangan dalam pemilihan Kapala Desa. modal yang saya maksudkan disini adalah modal sosial. Konsep modal sosial ini pertama sekali dicetuskan oleh Pierre Bourdieu, teori modal ini erat kaitannya dengan persoalan


(32)

kekuasaan. Bourdieu membangun teorinya melalui masalah dominasi yang hanya dimiliki oleh elit politik saja. Dalam kaitannya dengan dunia politik, dominasi yang hanya dimiliki segelintir orang saja menjadikan modal ini sangat terbatas. Kepemilikan modal ini juga sering tergantung pada situasi arena dan sumber modal dan strategi perilaku aktor karena pemetaan hubungan kekuasaan didasarkan atas modal yang dimiliki oleh aktor dan akumulasi dari beberapa modal.

Konsep modal sosial dapat dikatakan lahir lahir sebagai kritik terhadap pendekatan individu secara otonom. Modal sosial dapat diterapkan untuk berbagai arena yang dihadapi oleh tiap aktor. Luas jangkauan konsep yang dikembangkan tentang modal sosial bervariasi menurut para ahli. Menurut Putnam dalam Syahyuti (2008, 2-3) yang memandang modal sosial sebagai perangkat hubungan horizontal antar individu. Perhatian yang vertikal disampaikan Coleman yang mendefinisikan modal sosial sebagai pluralitas dari perbedaan entitas dengan dua elemen umum, elemen ini terdiri dari beberapa aspek pembentuk kehidupan sosial dan elemen ini termasuk tindakan dari aktor dengan pribadinya atau keterkaitan dengan organisasi yang dinaungi oleh aktor.

Istilah kapital lebih dikenal dalam kegitan ekonomi, pengertian ini membawa jangkauan dalam pemaknaan modal sosial. Modal sosial berperan dalam cara kerja pembagian sumberdaya yang bisa didapatkan oleh aktor. Dalam hal ini, modal sosial menjadi dasar bagi aktor yang bekerjasama untuk suatu tujuan dalam meraih keinginannya. Modal sosial terbentuk dari ratusan sampai ribuan interaksi antar orang setiap hari. Ia tidak berlokasi pada diri pribadi aktor atau struktur sosial tapi pada lingkungan dan kehidupan manusia sehari-hari. Modal sosial merupakan fenomena yang tumbuh dari bawah yang berasal dari orang-orang yang membentuk


(33)

hubungan sosial dan jaringan yang didasarkan atas prinsip kepercayaan, resiprositas, dan nilai yang dianut bersama. Karena itu kepercayaan tidak bisa diciptakan oleh aktor saja, namun sangat tergantung kepada kapasitas masyarakat untuk membentuk jaringan terhadap aktor.

Banyak batasan perbedaan antar ahli tentang modal sosial, beberapa penulis menekankan pentingnya trust, sebagian jaringan dan norma yang dianut bersama. Namun ada yang menekankan ketiganya sekaligus seperti Putnam. Pengertian trust

dalam bahasa sederhananya interaksi yang didasari perasaan yakin bahwa orang lain akan memberi tanggapan sebagaimana diharapkan dan akan saling mendukung. Hal iti menjadikan timbul perasaan aman oleh aktor ketika berinteraksi dengan orang lain. Dalam hal trust, kehidupan politik sangat tergantung kepada ikatan moral kepercayaan sosial yang memperlancar hubungan aktor dan masyarakat dan menjadikan aktor untuk kreatif dalam pertarungan politik.

Menurut Putnam dalam Yuliarmi (2012: 10), bahwa modal sosial mengacu pada ciri organisasi sosial, seperti jaringan, norma dan keprcayaan yang memfasilitasi koordinasi dan kinerja agar saling terhubung dan menguntungkan sehingga dapat memudahkan akses aktor. Putnam melihat modal sosial mengacu pada barang publik berbeda pengaruhnya dengan kinerja politik pada level kolektif. Dia menekankan bahwa partisipasi masyarakat akan membantu aktor dalam menghasilkan kepercayaan dan keterikatan antara aktor dan massa pendukungnya.

Dalam menjalankan modal sosial dengan baik menuntut partisipasi dalam jaringan, kepercayaan, resiprositas, nilai bersama, dan sikap masyarakat yang aktif terhadap aktor. Modal sosial hanya akan tercipta bila ada sikap resiprositas yang tinggi. Artinya, interaksi bukan hanya semata-mata keuntungan bagi aktor saja tetapi


(34)

sebagai keuntungan yang didapatkan aktor untuk waktu yang sangat lama. Suatu kebaikan yang saat ini dipercaya akan dibalas pada waktu yang tak terduga nanti dalam bentuk yang lain. Ada delapan elemen yang berbeda yang harus ada untuk mewujudkan modal sosial yaitu partisipasi pada komunikasi lokal, proaktif dalam konteks sosial, perasan percaya dan aman, hubungan ketetanggaan, hubungan kekeluargaan dan pertemanan, toleransi terhadap perbedaan, berkembang nilai kehidupan, dan adanya ikatan pekerjaan.

Modal menurut Bourdieu dalam halim (2014: 108-111) mendefinisikan secara kompleks dan mencakup hal-hal yang material (yang dapat memiliki nilai simbolik) maupun atribut-atribut yang tak tersentuh namun memiliki signifikasi secara budaya misalnya prestise, status, dan otoritas (yang dirujuk pada modal simbolik), serta modal budaya yang didefinisikan sebagai selera budaya dan pola-pola konsumsi. Fungsi modal bagi Bourdieu adalah sebagai hubungan sosial dengan kaitannya dalam sistem pertukaran dan menjadikannya sebagai sesuatu yang langka, yang layak dicari dalam bentuk sosial tertentu. Modal-modal tadi yang telah disebutkan dapat saling dipertukarkan sehingga bisa terakumulasi dan menjadikan aktor lebih leluasa dalam bertindak ataupun bergerak untuk melakukan manuver ataupun mempengaruhi massa pendukungnya.

Mengakumulasi semua berbagai modal yang digunakan dalam kaitannya dengan kekuasaan akan membuat pengklasifikasian tentang modal itu sendiri seperti: modal ekonomi, modal kultural, dan modal simbolik. Modal-modal inilah nantinya akan dikombinasikan yang membantu pelegitimasian kekuasaan. Dimulai dengan modal ekonomi yang dengan mudahnya digunakan dalam mendapatkan modal lainnya. Jenis modal kedua adalah modal budaya yaitu, keseluruhan kualifikasi yang


(35)

dimiliki oleh aktor yang dimilikinya melalui pendidikan formal maupun informal dalam keluarga inti seperti kemampuan menampilkan diri depan publik, pengetahuan dan keahlian tertentu, gelar sarjana. Beralih kepada modal ketiga yaitu modal simbolik yang lebih kepada makna dari simbol-simbol tertentu seperti : jabatan, mobil mewah, kantor, gelar, status tinggi, dan keluarga ternama. Hal inilah yang harus dimiliki oleh setiap aktor yang akan maju kedalam kancah arena pertarungan politik.

Modal yang telah disebutkan diatas akan membantu aktor dalam membentuk bangunan modal sosialnya. Modal sosial yang selalu terkait dengan nilai-nilai dari suatu jaringan (network) yang mengikat orang-orang tertentu (yang biasanya memiliki kesamaan tertentu seperti: kesamaan pekerjaan, kesamaan tempat tinggal, suku, agama dll), serta bersifat menjembatani antar orang-orang yang berbeda sehingga memudahkan aktor mengintegrasi semua unsur yang berbeda tersebut. Unsur lain yang terkandung dalam modal sosial adalah hubungan timbal balik (reciprocity) karena adanya interaksi langsung oleh aktor dengan masyarakat maka menjadikan ada keterikatan dalam diri masing-masing. Banyak potensi yang terkandung dalam modal sosial termasuk potensi kelompok, dan pola hubungan antar individu dalam suatu kelompok dan antar kelompok dengan ruang perhatian pada jaringan, norma, nilai, dan kepercayaan kepada aktor agar bisa mendapatkan dukungan yang lebih lagi dalam pemilihan Kepala Desa. Manfaat yang sangat signifikan dalam modal sosial yaitu cara kerja modal sosial yang dapat membangun jaringan masyarkat sehingga unsur-unsur yang sebelumnya terpisah bisa disatukan dengan adanya jaringan sosial sehingga tujuan aktor untuk mendapatkan kursi Kepala Desa bisa tercapai.


(36)

Hasbullah dalam Inayah (2012: 44) mengetengahkan enam unsur pokok dalam modal sosial berdasarkan berbagai pengertian modal sosial yang telah ada, yaitu:

1. Participation in network, kemampuan aktor untuk melibatkan diri dalam suatu jaringan hubungan sosial, melalui berbagai variasi hubungan yang saling berdampingan dan dilakukan atas dasar prinsip kesukarelaan, kesamaan, kebebasan dan keadaban.

2. Reciprocity, kecenderungan saling tukar kebaikan antara aktor dan masyarakat dalam suatu kelompok kehidupan sosial. Pola pertukaran terjadi di dalam suatu kombinasi jangka panjang dan jangka pendek dengan nuansa altrusime tanpa mengaharapkan imbalan.

3. Trust, suatu bentuk keinginan untuk mengambil resiko dalam hubungan-hubungan sosialnya yang didasari oleh perasaan yakin bahwa yang lain akan melakukan sesuatu seperti yang diharapkan dan akan senantiasa bertindak dalam suatu pola tindakan yang saling mendukung.

4. Social norms, sekumpulan aturan yang diharapkan dipatuhi dan diikuti oleh masyarakat dalam suatu entitas sosial tertentu. Aturan-aturan ini biasanya terinstitusionalisasi, tidak tertulis tapi dipahami sebagai penentu pola tingkah laku baik dalam lingkup hubungan sosial sehingga ada sangsi sosial bagi yang melanggar.

5. Values, sesuatu ide yang telah turun-temurun dianggap benar dan penting oleh anggota masyarakat.


(37)

6. Proactive action, keinginan yang kuat dari anggota kelompok untuk tidak saja berpartisipasi tetapi senantiasa mencari jalan bagi keterlibatan anggota kelompok dalam suatu kegiatan masyarakat.

Terdapat juga dimensi-dimensi modal sosial seperti yang dikatakan Bain dan Hicks dalam Hasibuan dan Wahono (2004: 9-11) bahwa modal sosial sebagai kerangka konseptual untuk mengembangkan alat ukur tingkat keberadaan aktor dalam arena pertarungan politik. Konsep odal mencakup dua dimensi kognitif dan dimensi struktural.

1. Dimensi kognitif

Dimensi ini berkaitan dengan nilai-nilai, sikap dan keyakinan yang mempengaruhi kepercayaan masyarakat terhadap aktor tersebut dan resiprositas yang dapat mengarahkan kepada hubungan baik antara aktor dan masyarakat agar tercapainya tujuan aktor dalam meraih kursi Kepala Desa. setiap masyarakat maupun aktor tentu memiliki perbedaan dimensi kognitif karean ada aktor yang akan nilai-nilai budaya sebagai modal sosialnya sehingga tercipta hubungan-hubungan dinamis baik antara aktor maupun masyarakat pendukungnya. Sementara mungkin bagi aktor lain yang juga ikut dalam perebutan kursi kepala desa lebih menekankan dimensi kognitifnya kepada nilai-nilai solidaritas dan kerjasama dalam membangun hubungan dengan massa pendukungnnya.

2. Dimensi struktural

Dimensi struktural yang dimaksudkan dalam modal sosial ini berupa susunan, ruang lingkup organisasi dan lembaga masyarakat pada desa tersebut yang dapat mewadahi dan mendorong terjadinya hubungan dan kegiatan yang dilakukan


(38)

secara bersama-sama sehingga lebih meningkatkan solidaritas antara aktor dan massa pendukungnnya.

2.4 Ranah (Field) Sebagai Arena Pertarungan dan Perjuangan

Selain habitus, perkakas teoritik Bourdieu lainnya yang tak kalah penting yaitu ranah (arena, field). Disatu sisi, habitus mendasari terbentuknya ranah, sementara di pihak lain, ranah menjadi lokus bagi kinerja habitus. Berbeda halnya dengan habitus, ranah berada terpisah dari kesadaran individu yang secara objektif berperan menata hubungan individu-individu. Ranah bukanlah interaksi intersubjektif antar individu, melainkan hubungan yang terstruktur dan secara tak sadar mengatur posisi individu, kelompok atau lembaga dalam tatanan masyarakat yang terbentuk sacara spontan.

Bourdieu dalam Fashri (2014, 105-106) mendefinisikan ranah sebagai arena kekuatan yang didalamnya terdapat upaya perjuangan untuk memperebutkan sumber daya (modal) dan juga demi memperoleh akses tertentu yang dekat dengan hierarki kekuasaan. Ranah juga merupakan arena pertarungan dimana mereka yang menempatinya dapat mempertahankan atau mengubah wujud kekuasaan yang ada. Struktur ranahlah yang membimbing dan memberikan strategi bagi penghuni posisi, baik individu maupun kelompok, untuk melindungi atau meningkatkan posisi mereka dalam kaitanya dengan jenjang pencapaian sosial. Apa yang mereka lakukan berdasarkan pada tujuan yang paling menguntungkan bagi produk mereka sendiri. Strategi-strategi agen tersebut bergantung pada posisi-posisi mereka dalam ranah.

Konsep ranah tak bisa dilepaskan dari ruang sosial (social space) yang mengacu pada keseluruhan konsepsi tentang dunia sosial. Konsep ini memandang


(39)

realitas sosial sebagai suatu topologi (ruang). Artinya, pemahaman ruang sosial mencakup banyak ranah di dalamnya yang memiliki keterkaitan satu sama lain dan terdapat titik-titik kontak yang saling berhubungan. Dengan kata lain, setap ranah memiliki struktur dan kekuatan-kekuatan sendiri, serta ditempatkan dalam suatu ranah yang lebih besar yang juga memiliki kekuatan, strukturnya sendiri dan seterusnya.

2.5 Ranah dan Modal

Dalam sebuah wawancara dengan Cheelan Mahar, Bourdieu menjelaskan lebih lanjut kontruksi teoritiknya tentang ranah. Mari kita lihat uraian Bourdieu dalam Fashri (2014, 107-111) yaitu: “mengenai bagaimana tindakan (praktik) merupakan produk sari relasi antara habitus (yang merupakan produk sejarah) dan ranah, yang juga merupakan produk sejarah. Habitus dan ranah juga merupakan produk dari medan daya-daya yang ada dalam masyarakat. Dalam suatu ranah, terdapat suatu pertaruhan, kekuatan-kekuatan, dan orang yang memiliki modal besar dan orang yang tidak memiliki modal. Modal merupakan sebuah konsentrasi kekuatan, suatu kekuatan spesifik yang beroperasi di dalam ranah. Dalam ranah intelektual, anda harus memiliki sebuah modal istimewa dan spesifik yaitu otoritas, prestise dan sebagainya. Ini semua adalah hal-hal yang tidak dapat anda beli, tapi seringkali dianugerahkan oleh modal ekonomi dalam ranah-ranah tertentu. Ranah ini merupakan ranah kekuatan, tapi pada saat yang sama ia adalah ranah dimana orang-orang berjuang untuk mengubah struktur. Misalnya, ketika melihat ranah, mereka memiliki opini-opini dan berkata ‘ia terkenal tapi ia tidak pantas mendapatkan itu’. Demikianlah ranah kekuatan pada saat yang sama adalah ranah perjuangan”.


(40)

Konsep ranah mengandaikan hadirnya berbagai macam potensi yang dimiliki oleh individu maupun kelompok dalam posisinya masing-masing. Tidak saja sebagai arena kekuatan-kekuatan, ranah juga merupakan domain perjuangan demi memperebutkan posisinya masing-masing di dalamnya. Posisi-posisi tersebut ditentukan oleh alokasi modal atas para pelaku yang mendiami suatu ranah. Dari sinilah kita memandang bahwa hierarki dalam ruang sosial bergantung pada mekanisme distribusi dan diferensiasi modal, yaitu seberapa besar modal yang dimiliki (volume modal) dan struktur modal mereka.

Memahami konsep ranah berarti mengaitkannya dengan modal. Istilah modal digunakan oleh Bourdieu untuk memetakan hubungan-hubungan kekuasaan dalam masyarakat. Istilah modal memuat beberapa cirri penting, yaitu: (1) modal terakumulasi melalui investasi (2) modal bisa diberikan kepada yang lain melalui warisan (3) modal dapat member keuntungan sesuai dengan kesempatan yang dimiliki oleh pemiliknya untuk mengoperasikan penempatannya.

Merujuk Bourdieu, modal bisa digolongkan kedalam empat jenis yaitu:

pertama, modal ekonomi mencakup alat-alat produksi (mesin, buruh, tanah), materi (pendapatan dan benda-benda) dan uang yang dengan mudah digunakan untuk segala tujuan serta diwariskan dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Kedua, modal budaya adalah keseluruhan kualifikasi intelektual yang bisa diproduksi melalui pendidikan formal maupun warisan keluarga. Termasuk modal budaya antara lain kemampuan menampilkan diri di depan publik, pemilikan benda-benda budaya bernilai tinggi, pengetahuan dan keahlian tertentu dari hasil pendidikan, juga sertifikat (gelar kesarjanaan). Ketiga, modal modal sosial menujuk jaringan sosial yang dimiliki pelaku (individu atau kelompok) dalam hubungannya dengan pihak


(41)

lain yang memiliki kuasa. Dan keempat, segala bentuk prestise, status, otoritas, dan legitimasi yang terakumulasi sebagai bentuk modal simbolik.

Dari semua bentuk modal yang ada, modal ekonomi dan budayalah yang memiliki daya besar untuk menetukan jenjang hierarkis dalam masyarakat maju. Mereka yang memiliki keempat modal tadi dalam jumlah yang besar akan memperoleh kekuasaan yang besar pula dan menepati posisi hierarki tertinggi. Dengan demikian, modal harus ada dalam sebuah ranah agar ranah tersebut memiliki daya-daya yang memberikan arti. Hubungan habitus, ranah, dan modal bertaut secara langsung dan bertujuan menerangkan praktik sosial. Karakteristik modal dihubungkan dengan skema habitus sebagai pedoman tindakan dan klasifikasi dan ranah selaku tempat beroperasinya modal. Sedangkan ranah senantiasa dikitari oleh relasi kekuasaan objektif berdasarkan pada jenis-jenis modal yang digabungkan dengan habitus.

2.6 Kekuasaan

Kekuasaan adalah konsep abstrak tapi sangat berpengaruh dalam kehidupan kita. Moore dan Hendry dalam Thomas dan Waering (2007:18) mendefinisikan kekuasaan sebagai kekuatan dalam masyarakat yang membuat tindakan terjadi, sehingga dengan menelitinya kita bisa mengenali siapa yang mengendalikan apa dan demi kepentingan siapa. Salah satu cara memahami cara kerja dari kekuasaan dalam masyarakat adalah dengan melihat pada dunia politik. Kekuasaan (authority) merupakan suatu kondisi yang memunculkan dua pemhaman. Pertama pemahaman tentang orang yang memperoleh kekuasaan dan kedua pemahaman tentang orang yang dikuasai atau tunduk pada kekuasaan. Pemahaman kekuasaan (authority) secara


(42)

umum adalah berkenaan dengan pada sumber kekuasaan sebagai legitimasi atas kekuasaan itu pada satu sisi dan kemauan seseorang untuk tunduk pada kekuasaan yang maknanya adalah pembatasan dan menerima tekanan pada sisi lain.

Kekuasaan menurut Foucault dalam Mudhoffir (2013: 81) tidak dipahami dalam lingkup kepemilikan oleh suatu kelompok lembaga sebagai suatu mekanisme yang memastikan ketundukan masyarakat terhadap negara. Kekuasaan juga bukan mekanisme dominasi sebagai bentuk kekuasaan terhadap yang lain dalam hubungan yang mendominasi dengan didominasi atau yang powerful dan powerless. Kekuasaan bukan seperti halnya bentuk kedaulatan suatu negara atau lembaga hukum yang mengandaikan dominasi atau penguasaan secara eksternal terhadap individu dan kelompok.

Kekuasaan mesti dipahami sebagai bentuk hubungan kekuatan yang tidak tetap dalam ruang dimana kekuasaan itu beroperasi. Kekuatan itu, yang membentuk rantai hubungan yang justru memisahkan dari yang lain dari hubungan suatu kekuatan. Persoalan kekuasaan bukanlah persoalan pemilikan, dalam lingkup menguasai dan yang dikuasai. Kekuasaan itu tersebar, berada dimana-mana terdapat dalam setiap hubungan sosial. Hal ini bukan karena kekuasaan itu memiliki kemampuan menggabungkan segala sesuatu di bawah kondisi ketidaknampakannya, tetapi karena kekuasaan selalu dihasilkan dalam setiap kejadian dan setiap hubungan. Kekuasaan itu ada dimana-mana bukan karena ia merengkuh segala sesuatu melainkan karena ia bisa berasal dari manapun. Foucault menunjukkan ada empat proposisi mengenai apa yang dimaksud dengan kekuasaan, yakni:


(43)

1. Kekuasaan bukan sesuatu yang didapat, diraih, digunakan, atau dibagikan sebagai sesuatu yang dapat digenggam atau bahkan dapat juga punah tetapi kekuasaan dijalankan dari berbagai tempat dari hubungan yang terus bergerak.

2. Hubungan kekuasaan bukanlah hubungan susunan hierarki yang mengandaikan ada yang menguasai dan yang dikuasai.

3. Relasi kekuasaan itu bersifat intensional dan non-subjektif.

4. Dimana ada kekuasaan, disitu pula ada anti kekuasaan. Resistensi tidak berada diluar hubungan kekuasaan, setiap orang berada dalam kekuasaan, tidak ada satu jalan pun untuk keluar darinya.

Didalam kehidupan kita sehari-hari maka kekuasaan itu terdapat dalam berbagai lini kehidupan kita, baik dalam kehidupan bersama sebagai masyarakat ataupun sebagai individu. Keabsahan atas kekuasaan merupakan suatu legitimasi untuk melakukan tindakan yang dalam tataran objektif tidak demikian. Artinya tanpa adanya legitimasi kekuasaan,kekuasaan seseorang baik secara pribadi apalagi secara kelembagaan tidak akan dapat dilakasanakan. Legitiamasi ini begitu penting maknanya sebagai dasar dari kekuasaan. Hal demikian berlaku dalam semua kehidupan masyarakat tidak terkecuali aktor calon Kepala Desa mereka harus memiliki legitimasi yang diserahkan masyarakat kepada sosok pemimpin yang akan pilih sehingga calon Kepala Desa dapat mempengaruhi masyarakat agar bisa memilihNYA dalam pertarungan pilkades tersebut. Hal demikianlah yang mendasari terbentuknya kepercayaan dan legitimasi yang bisa memenangkan calon Kepala Desa.


(44)

Demokrasi pada awalnya dalam pemikiran orang yunani merupakan bentuk politik di mana rakyat sendiri memiliki dan menjalankan seluruh kekuasaan politik sehingga menjadikan suara rakyat adalah suara tuhan. Secara garis besar demokrasi sebagai sistem sosial politik modern yang paling baik dari sekian banyak sistem maupun ideologi yang ada sekarang ini. Menurut Mahfud MD dalam Riyanto (2010: 15) ada dua alasan dipilihnya demokrasi sebagai sistem bermasyarakat dan bernegara. Pertama, hampir semua Negara di dunia ini telah menjadikan demokrasi sebagai asas yang fundamental sehingga menjadi pegangan bagi setiap individu dalam kehidupannya bernegara. Kedua, demokrasi sebagai harapan kenegaraan secara intin yang telah memberikan arah bagi peranan masyarakat untuk menyelenggarakan Negara sebagai organisasi tertingginya.

Ruang lingkup demokrasi adalah kewarganegaraan, hal ini mencakup hak untuk mendapatkan perlakuan sama dengan orang lain berkenaan dengan pilihan-pilihan bersama dan kewajiban pihak yang berwenang melaksanakan pilihan-pilihan tersebut untuk bertanggung jawab serta membuka akses terhadap seluruh rakyat. Kebebasan dalam memilih inilah nantinya akan memberikan kelenturan bagi massa pendukung dalam memilih aktor yang benar-benar dianggap bisa memberikan pengaruh positip kepadanya karena para aktor yang bertarung dalam ranah politik desa ini tidak bisa melakukan pemaksaan agar memilihnya nanti di pemilihan Kepala Desa. ruang lingkup kebebasan memilih inilah yang harus dimanfaatkan oleh setiap aktor yang bertarung karena setiap aktor juga tidak bisa dihalangi oleh aktor lain untuk mendapatkan massa pendukungnya karena semua aktor memiliki hak dan kewajiban yang sama menurut konstitusi yang diakui di Negara ini.


(45)

Ada banyak defenisi tentang demokrasi yang banyak di artikan oleh banyak ahli politik, namun yang paling populer adalah defenisi demokrasi menurut Abraham Lincoln dalam Riyanto (2010: 19) bahwa demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Pertama perlu kita melihat defenisi demokrasi dari beberapa sisi. Pertama, sisi substansial (nilai hakiki), dimana kalau demokrasi hanya bisa tegak kalau ada suatu nilai-nilai atau budaya yang memungkinkan rakyat bisa memiliki kedaulatan dalam arti yang sesungguhnya. Misalnya adanya kebebasan, toleransi, pluralisme dan anti kekerasan. Kedua, sisi dimensi prosedural (aturan atau tata cara), dimana demokrasi hanya bisa tegak jika ada prosedural formal yang memungkinkan nilai dan budaya demokrasi ada dan berjalan.

Jelas sekali dalam pengertian demokrasi diatas dan berdasarkan sisi substansial dan prosedural maka jelas pemilihan Kepala Desa mengharuskan adanya kebebasan dalam memilih dan toleransi antar sesama massa pendukung maupun sesama aktor yang bertarung dalam ranah politik desa. Dalam sisi substansial demokrasi perlu adanya pembelajaran oleh setiap elit desa yang bertarung dalam pemilihan Kepala Desa agar tetap menjunjung nilai yang luhur yang telah lama dimiliki oleh Negara ini sehingga tidak ada lagi kecurangan maupun konflik setelah berahirnya pemilihan desa karena hal itu bisa menjadi contoh oleh bagi elit desa tingkat daerah maupun nasional. Begitu juga dengan sisi dimensi prosedural demokrasi maka akan bisa terinternalisasi dalam setiap indiviu aktor maupun massa pendukung kalau melihat lembaga resmi pemerintah menjalankan sistem demokrasi dengan adanya kebebasan bagi rakyat untuk berinspirasi dan aturan yang telah ditetapkan oleh konstitusi benar-benar berjalan semestinya oleh institusi resmi. Harapan dari masyarakat akan keindahan dari keikutsertaan dalam pesta politik


(46)

walaupun hanya dalam tingkat desa atau yang lebih besar benar-benar menjadi kegembiraan bersama yang pantas untuk dirayakan karena akan terpilih sosok pemimipin yang dinginkan rakyat.

2.8 Keterkaitan Habitus, Modal Sosial dan Kekuasaan

Aktor menjadi sosok sentral yang akan memainkan peranannya dalam ranah politiknya. Cara aktor bertindak, berperilaku dan berbicara akan merepresentasikan presentasi aktor akan sebagai sosok yang terlihat di masyarakat. Perlunya ada cara untuk menjaga sikap aktor dalam menghadapi segala situasi yang dapat terjadi dalam dinamika petarungan politik maka aktor harus membentuk habitusnya. Proses pembentukan habitus tersebut tentu harus melalui proses internalisasi nilai, cara bersikap, berbicara dan bertindak. Kemudian proses itu dilakukan secara terus menerus sehingga pada saat dilakukan maka akan terlihat alamiah dan tidak di buat-buat. Faktor pembentukan habitus ini tentu erat kaitannya dalam mendorong mengubah persepsi masyarakat bahwa aktor ini memang pantas dan layak untuk dipilih dalam pemilihan Kepala Desa nanti.

Pembentukan habitus yang sudah melekat dalam diri aktor akan membantunya dalam meraih modal sosial yang ada di masyarakat. Karena sikap aktor yang sudah sesuai dengan harapan dari masyarakat maka proses pelobian untuk merekrut elit desa sebagai jaringan sosial akan menjadikan akses bagi Kepala Desa menjadi lebih mudah. Tentu nantinya elit desa yang terdiri dari tokoh adat, agama dan aparatur desa dan lain-lain akan menjadikan aktor memiliki pengaruh yang lebih besar karena walaubagaimanapun sosok elit desa tadi merupakan faktor penting bagi masyarakat dalam memilih pilihannya dalam PILKADES nanti. Dalam modal sosial


(47)

juga terkandung tiga unsur yang membuat masyarakat lebih memilih aktor ini. Unsur yang terkandung dalam modal sosial itu adalah rasa percaya akan masyarakat terhadap aktor, hubungan timbal balik yang sering dilakukan antara aktor dan masyarakat desa serta nilai yang dijunjung tinggi oleh aktor masyarakat. Semua unsur tersebut dipadukan dan akan membentuk keselarasan antara aktor dan masyarakat desa pendukungnya.

Modal sosial yang sudah dikumpulkan oleh aktor tentu memudahkan mendapat akses legitimasi dari masyarakat karena melihat banyaknya tokoh masyarakat yang mendukung siaktor maka akan mempengaruhi pilihan masyarakat pada aktor. Modal uang, kekayaan, pendidikan tinggi serta nama naik keluarga aktor ikut memberikan sumbangan besar dalam mendapatkan kekuasaan bagi aktor untuk masyarakat desa. melalui kekayaan maka aktor akan mudah memobilisasi masyarakat pendukungnya dan pendidikan tinggi serta nama besar keluarga juga menjadikan sosok aktor akan disegani karena faktor tersebut menjadi hal yang dianggap masyarakat desa sebagai barang berharga. Setelah aktor mendapatkan legitimasi langsung dari masyarakat desa maka tentunya akan lebih mudah mendapatkan suara pada saat pemilihan kepala desa nanti.

Hubungan antara habitus, modal sosial, dan kekuasaan semua relevan dan saling bersinergi. Apabila ada salah satu dari ketiga hal ini hilang atau tidak dimiliki oleh aktor maka akan sulit bertarung dalam ranah politik desa. Perlu ada usaha yang keras yang dilakukan oleh aktor dan tim strategi pemenangannya agar bisa memenangkan aktor dalam PILKADES nanti. Perebutan sumber ini akan menjadi pertarungan abadi antar aktor dalam setiap adanya pemilihan kursi di pemerintahan walupun itu dalam tingkat desa, kabupaten, propinsi bahkan nasional. Hal itu tetap


(48)

yang menjadi faktor yang esensial dan penggabungan tiga unsur tadi akan lebih memudahkan aktor untuk menang dalam setiap pemilihan.

2.9 Defenisi Konsep

Defenisi konsep pada penelitian ilmiah digunakan agar mempermudah dan memfokuskan penelitian. Supaya tidak ada kesalahpahaman konsep yang digunakan, maka diberikan batasan-batasan makna dan arti konsep yang dipakai dalam penelitian ini. Pada penelitian ini yang menjadi konsep-konsep penelitian adalah: 1. Modal terdiri dari beberapa macam seperti modal budaya yang termasuk kedalam

ilmu pengetahuan/kemampuan yang dimiliki oleh aktor. Kemudian modal simbolik yang lebih kepada makna simbol seperti nama baik keluarga, prestise

dan nama besar keluarga. Berlanjut kepada kepada modal sosial yang menjadi prioritas dalam penelitian ini karena adanya kepercayaan masyarakat pada aktor dan mengedepankan jaringan sosial sebagai cara untuk meraih galangan dukungan dari masyarakat. Tentu modal sosial ini tidak seperti modal lain yang bisa dimiliki oleh individu tetapi modal ini berada dalam masyarakat dan hanya bisauntuk direbut karena bukan sesuatu yang bisa dimiliki selamanya.

2. Habitus sering dikaitkan dengan perilaku yang melekat pada diri aktor namun perlu dikaji lebih dalam bagaimana sebenarnya proses terbentuk habitus pada diri aktor. Habitus lebih kepada peran yang diharapakan oleh masyarakat terhadap diri aktor sehingga bagaimana aktor berpikir, merasakan berperilaku, bersikap harus menunjukkan kapasitas yang pantas untuk menjadi sosok Kepala Desa. kesemuanya tadi dilakukan secara berulang-ulang sehingga terinternalisasi dalam diri aktor dan menjadi melekat menjadi sifat alamiah dalam dirinya.


(49)

3. Ranah tempat terjadinya pertarungan maupun manuver yang sering dilakukan oleh aktor dalam perebutan kursi kekuasaan Kepala Desa maka sering adu kekuatan baik dalam mempengaruhi persepsi masyarakat pada setiap diri si aktor sehingga nantinya harapan mendapat dukungan dari masyarakat akan terwujud. Walaupun ranah/arena hanya dalam tingkat desa tetapi diperlukan strategi yang fleksibel agar bisa menghadapi setiap kemungkinan kondisi yang terjadi dalam arena sehingga perlu ada kemampuan dengan kualifikasi yang tinggi agar dapat bergerak dengan lebih leluasa dalam perebutan kursi Kepala Desa.

4. Kekuasaan (authority) memang menjadi faktor penting yang harus dimiliki oleh setiap aktor yang ingin bertarung dalam pemilihan Kepala Desa. kekuasaan yang dimiliki oleh aktor ini nantinya diharapkan akan bisa mempengaruhi persepsi dari masyarakat yang akan mendukungnya. Pada konteks kekuasaan tentunya merupakan aspek yang signifikan dalam meraih kursi Kepala Desa. Kekuasaan aktor terbentuk melalui proses pengakumulasian berbagai modal sehingga memudahkan dalam mobilisasi massa pendukung agar bisa memenangkan aktor dalam pemilihan Kepala Desa.

5. Demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Diharapkan hal ini mencakup hak untuk mendapatkan perlakuan sama dengan orang lain berkenaan dengan pilihan-pilihan bersama dan kewajiban pihak yang berwenang melaksanakan pilihan tersebut untuk bertanggung jawab serta membuka akses terhadap seluruh rakyat. Kebebasan dalam memilih inilah nantinya akan memberikan kelenturan bagi massa pendukung dalam memilih aktor yang benar-benar dianggap bisa memberikan pengaruh positip kepadanya


(50)

karena para aktor yang bertarung dalam ranah politik desa ini tidak bisa melakukan pemaksaan agar memilihnya nanti di pemilihan Kepala Desa.


(51)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Penelitian deskriptif menggambarkan atau melukiskan berupa gambar-gambar atau foto-foto yang didapat dari data lapangan atau peneliti menjelaskan dengan kata-kata keduanya dalam laporan penelitian dapat digunakan agar saling melengkapi. Penelitian deskriptif kualitatif diuraikan dengan kata-kata menurut pendapat responden, apa adanya sesuai dengan pertanyaan penelitiannya, kemudain dianalisis pula dengan kat-kata apa yang melatarbelakangi responden berperilaku (berpikir, berperasaan, dan bertindak. Minimal ada tiga hal yang digambarkan dalam penelitian kualitatif, yaitu karakteristik pelaku, kegiatan atau kejadian-kejadian yang terjadi selama penelitian dan keadaan lingkungan atau karakteristik tempat penelitian berlangsung (Akbar dan Usman, 2009: 129-130). Penelitian kualitatif lebih berdasarkan pada pada filsafat fenomenologis yang mengutamakan penghayatan (verstehen). Metode kualitatif berusaha memahami dan menafsirkan makna suatu peristiwa interaksi tingkah laku manusia dalam situasi tertentu menurut perspektif peneliti sendiri (Akbar dan Usman, 2009: 78).

Penelitian ini nantinya dapat menggambarkan bagaimana sebenarnya para aktor bertarung dalam perebutan modal dalam ranah politik desa. melalui penelitian ini juga bisa mengetahui lebih jauh lagi karena penelitian ini menggunakan metode kualitatif sehingga pencarian data akan lebih dalam dan bisa menafsirkan makna yang terkandung dalam setiap pertarungan aktor. Hal ini tentunya akan menambah


(52)

cakrawala baru akan pertarungan politik walaupun dalam lingkup yang kecil karena hanya dalam tingkat desa tetapi ini bisa saja menjadi wajah pertarungan politik dalam tingkat nasional.

3.2 Lokasi Penelitian

Tempat penelitian yang akan saya teliti adalah desa (Nagori) Bahapal Raya, Kecamatan Raya Kabupaten, Simalungun. Di Kecamatan Raya penduduknya di dominasi oleh Suku Simalungun sehingga tidak ada perbedaan yang kontras antara desa yang satu dengan yang lainnya tapi agar penelitian lebih terfokus maka peneliti memilih Desa Bahapal Raya sebagai tempat penelitian sehingga peneliti dapat lebih jelas melihat pemanfaatan modal sosial sebagai strategi pemenangan Kepala Desa. alasan lain saya memilih lokasi ini sebagai lokasi penelitian saya adalah karena sebelumnya banyak desa di Kecamatan raya yang dulunya secara administratif berupa desa tetapi sejak pergantian Bupati baru maka banyak desa berubah menjadi kelurahan sehingga untuk mendapatkan lokasi penelitian yang masih berupa desa jadi terbatas. Melalui pencarian oleh peneliti saat pra observasi maka Desa Bahapal Raya dijadikan lokasi penelitian.

3.3 Unit Analisis dan Informan 3.3.1 Unit Analisis

Unit analisis menurut Ritzer dalam Bungin (2008:52) yaitu, hal yang berkenaan dengan kontinium objektif-subjektif penelitian dalam melihat fenomena dalam kehidupan masyarakat. Dalam hal ini yang menjadi subjek penelitian adalah Kepala Desa dengan tim pemenangannya Kepala Desa dan yang menjadi objek


(53)

penelitian adalah masyarakat serta jaringan sosial mereka baik itu tokoh adat, tokoh agama, calon Kepala Desa yang kalah serta perangkat desa setempat.

3.3.2 Informan

Informan adalah orang yang diwawancarai, diminta informasi oleh pewawancara dan informan juga merupakan orang yang diperkirakan menguasai dan memahami data, informasi, ataupun fakta dari suatu objek penelitian (bungin, 2008: 108). Dalam penelitian ini yang menjadi informan penelitian adalah: Kepala Desa, tokoh adat, Gamot (kepala dusun), tokoh agama (Pendeta, Porhanger/pimpinan gereja, dan Ustad), tokoh pendidikan/guru, dan karang taruna.

1. Informan kunci adalah orang-orang yang karena pengetahuan yang luas dan dalam tentang komunitasnya (atau orang luar yang lama bekerja dengan suatu komunitas) dapat memberikan data yang berharga (Suyanto, 2011: 189). Informan kunci dalam penelitian ini adalah Kepala Desa, Sekretaris Desa, Aparatur Desa, tokoh agama, tokoh adat, Kepala Dusun (Gamot) serta calon Kepala desa yang kalah.

2. Informan biasa atau informan tambahan dalam penelitian ini adalah masyarakat yang tinggal di Desa Bahapal Raya yang benar-benar mengetahui mekanisme pemilihan Kepala Desa dan ada keterlibatan langsung pada pemilihan Kepala Desa.

3.4 Tehnik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini tehnik pengumpulan data ada dua bagian, yaitu data primer dan data sekunder.


(54)

3.4.1 Data Primer

Data primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari subjek penelitian dengan mengenakan alat pengambilan data langsung data subjek sebagai informasi yang dicari (Azwar, 2004:91). Adapun teknik yang digunakan adalah sebagai berikut: 1. Wawancara adalah sebuah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian

dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan informan atau orang yang diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman (guide) wawancara (Bungin, 2008: 108).

Dalam penelitian ini saya akan menggunakan wawancara terstruktur yaitu kegiatan wawancara terstruktur ini biasanya dilakukan oleh peneliti dengan cara terlebih dahulu mempersiapkan bahan pertanyaan yang akan diajukan dalam wawancaranya nanti. Terstruktur ini peneliti harus mampu untuk mengembangkan kemampuannya menggali informasi dari informan (Idrus, 2009: 107).

Aspek yang akan diwawancarai dalam penelitian ini berupa poin-poin penting yang membantu dalam pembuatan interview guide.

1. Pemanfaatan modal sosial oleh aktor (calon Kepala Desa) dalam menyusun strategi memenangkan pemilihan dengan mengakumulasikan berbagai macam modal dan terkhusus kepada modal sosial yang dapat membentuk jaringan dalam mengikat simpul yang berbeda sehingga terintegrasi dan kepercayaan akan masyarakat pada diri aktor dan nilai yang dianut bersama telah menimbulkan hubungan timbal balik yang akan meningkatkan solidaritas antara aktor dan massa pendukungnya.


(55)

2. Konsep habitus mejadi aspek yang akan menjadi salah satu pokok penelitian ini. Habitus terbentuk melalui bagaimana cara aktor dalam bersikap, berbicara, bertindak di depan publik sehingga proses itu dilakukan secara berulang-ulang dan lama kelamaan terinternalisasi dalam diri aktor dan tak terpisahkan lagi. 3. Arena sudah menjadi ajang perebutan setiap aktor yang ingin merebut kursi

Kepala Desa karena dengan adanya penguasaan terhadap arena pertarungan politik akan memudahkan akses untuk mendominasi aktor lain yang juga memiliki tujuan sama dengan dirirnya. Perebutan itu tentunya membutuhkan strategi dan modal yang diakumulasikan sehingga bisa memenangkan pertarungan.

4. Kekuasaan yang dimiliki oleh aktor diharapkan dapat mempengaruhi massa pendukungnya agar melakukan sesuai dengan keinginan aktor agar dapat terpilih sebagai Kepala Desa.

5. Demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Diharapkan hal ini mencakup hak untuk mendapatkan perlakuan sama dengan orang lain berkenaan dengan pilihan-pilihan bersama dan kewajiban pihak yang berwenang melaksanakan pilihan tersebut untuk bertanggung jawab serta membuka akses terhadap seluruh rakyat.

Data sekunder, yaitu data tangan kedua yang diperoleh melalui pihak lain, tidak langsung diperoleh peneliti dari objek penelitian (Azwar, 2005: 91). Pengumpulan data sekunder dalam penelitian ini dilakukan dengan cara studi kepustakaan, yaiutu dengan membuka, mencatat dan mengutip dari buku-buku, jurnal-jurnal, pendapat-pendapat para ahli/pakar, skripsi, melalui internet yang relevan untuk dijadikan sebagai refrensi penelitian yang tentunya berkaitan dengan judul skripsi ini.


(1)

memonitoring dalam penerapan nilai demokrasi itu karena kebebasan memilih menjadi suatu keharusan bagi Negara yang menganut sistem demokrasi.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Adib, Mohammad. 2012. Agen dan Struktur Dalam Pandangan Pierre Bourdieu. Dosen Departemen Antrologi FISIP UNAIR

Akbar, Husaini Usman. 2009. Metodologi Penelitian Sosial: Jakarta. PT.Bumi Aksara.

Amanda G. ni Made Ras. 2014. Pertarungan Aktor Politik di Media Cetak Dalam PEMILUKADA Bangli 2010. Program Doktor Program Studi Kajian Budaya Program Pascasarjana Universitas Udayana Denpasar.

Anwartina, Mimin. Kemenangan Anton-Sutiadji (AJI) Dalam Pemilihan Walikota (PILWALI) Kota Malang Tahun 2013

Argyao. 2010. Sketsa Historis Teori Sosiologi. Staf Universitas Negeri Semarang. Asshiddiqie, Jimly. 2005. Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi: Jakarta.

Konstitusi Press.

Azwar, Saifuddin. 2004. Metode Penelitian: Yogyakarta. Pustaka Belajar.

Bahari, Yohannes dan Nuraini Asriati. 2010. Pengendalian Sosial Berbasis Modal Sosial Lokal pada Masayarakat di Kalimantan Barat: Universitas Tanjungpura, Kalimantan Barat.

Bungin, Burhan. 2008. Penelitian Kulitatif: Jakarta. Kencana Prenada Media Group. Dharmawan, Arya H Dkk. 2009. Modal Sosial dan Ketahanan Pangan Rumah

Tangga Miskin di Kecamatan Tanah Sareal dan Kecamtan Timur, Kota Bogor: Bogor. Sodality: Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi dan Ekologi Manusia.


(3)

Giddens, Anthony. 2003. Teori Strukturisasi Untuk Analisis Sosial: Pasuruan. Futuh Printaka.

Guntur, Agus. 2010. Strategi Negosiasi (Strategic Negotiation). Sumber Daya Manusia Program Magister Management STEKPI.

Halim,Abd. 2014. Politik Lokal “pola, aktor, dan alur dramatikalnya”: Yogyakarta. LP2B.

Hasibuan, Irwansyah dan Wahono. 2004. Kekuatan Terabaikan Kajian Modal-Modal Sosial di Kutai Barat: Bogor. Lenting.

Hussain, Rusila Bee Mohammad. 2013. Habitus Menilai Transfomrasi Diri Dari Perspektif Sosiologi. Fakultas Sastera Sains Sosial Universitas Malaya. Idrus, Muhammad. 2009. Metode Penelitian Ilmu Sosial: Yogyakarta. PT. Gelora

Aksara Pratama.

Inayah. Peranan Modal Sosial Dalam Pembangunan. Staf Pengajar Pada Jurusan Administrasi Niaga Politehnik Negeri Semarang.

Jenkins, Richards. 2004. Membaca pikiran Pierre Bourdieu: Yogyakarta. Kreasi Wacana Yogyakarta.

Jumari. 2012. Peran Elit dan Basis Sosial Partai Demokrat Dalam PEMILUKADA Depok Tahun 2010. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Program Sosiologi, Universitas Indonesia.

Margaretha, Risma dan Sulistiowati Irianto. 2011. PIIL Pesengiri: Modal Budaya dan Strategi Identitas Uluh Lampung: Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Universitas Indonesia

Masik, Agustomi. Hubungan Modal Sosial dan perencanaan (Program Perencanaan Wilayah dan Kota: Institut Teknologi Bandung.


(4)

Mudhofir, Abdul Mughis. Teori Kekuasaan Michel Foulcault: Tantangan Bagi Sosiologi Politik. Jurusan sosiologi Universitas Negeri Jakarta.

Munandar, Arief. 2011. Antara Jemaah dan Partai Politik: Dinamika Habitus Kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Dalam Arena Politik Indonesia Pasca Pemilu 2004. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Program Pasca Sarjana Sosiologi.

Nurcholis, Hanif. 2011. Pertumbuhan dan Penyelengaraan Pemerintahan Desa: Jakarta. Erlangga.

Pantouw, Stella Maria Ignasia. 2012. Modalitas Dalam Kontestasi Politik (Studi Tentang Modalitas Dalam Kemenangan Pasangan Hanny Sondakh dan Maximilian Lomban Pada PEMILUKADA di Kota Bitung Sulawesi Utara Tahun 2010. Program Studi Magister Ilmu Politik, Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro Semarang.

Paramitha, Patricia Dhiana. 2011. Keterkaitan Antara Politik dan Kekuasaan Dalam Organisasi: Fakultas Ekonomi Jurusan Menajemen Universitas Pandanara Purwanto, Yedi. 2013. Masa Depan Partai Politik Islam Dalam Pertarungan Pemilu

2009: Jurnan Sosioteknologi

Riyanto, Achmad. Konsep Demokrasi di Indonesia Dalam Pemikiran Akbar Tanjung dan A. Muhaimin Iskandar. Fakultas Syari’ah Sunan Kalijaga Yogyakarta 2010.

Rozak, Abdul dan A. Ubaedillah. 2009. Pancasila, Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani: Jakarta. Prenada Media Group


(5)

Sakinah, Meita Dian. Strategi Komunikasi Tim Sukses Partai Politik Dalam Pemenangan Pemilu Legislatif (Studi Pada Tim Sukses DPC PKB Bengkalan-Madura Tahun 2009: Comunication Science.

Shan Waering dan Linda Thomas. 2007. Bahasa, Masyarakat dan Kekuasaan: Yogyakarta. Pustaka Belajar

Sjaf, Sofyan. Ruang Pertarungan dan Strategi Aktor di Arena Ekonomi Politik Lokal (The Space of Clash and Actor Strategy in Local Political Economic Arena). Pengajar Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat FEMA IPB.

Sjaf, Sofyan, dkk. 2012. Pembentukan Identitas Etnik di Arena Ekonomi Politik Lokal. Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Institut Pertanian Bogor.

Soeproto Y. Bintang. 2009. Jaringan Sosial Para Pelaku Sekto Ekonomian Informal. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia

Sukmana, Oman. 2009. Strategi Pemberdayaan Masyarakat Pedesaan Melalui Pengembangan Institusi dan Modal Sosial Lokal (Studi Pada Masyarakat Miskin Pedesaan di Wilayah Kecamatan Pujon, Kabupaten Malang: Staf Pengajar Jurusan Kesejateraan Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.

Suyanto, Bagong. 2011. Metode Penelitian Sosial Berbagai Alternatif Pendekatan: Jakarta. Kencana.

Syahyuti, Ni Nyoman. Peran Modal Sosial ( Social capital) Dalam Perdagangan Hasil Pertanian (The Role of Social Capital in Agricultural Trade). Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian.


(6)

Undang-Undang Desa Kelurahan dan Kecamatan: Yogyakarta. Pustaka Mahardika. Vivian, Yofi Irvan. 2014. Pembentukan Habitus Musikal Pada Komunitas Jazz Jogja

Pengisi Album Kompilasi. Program Pasca Sarjana Universitas Gadjahmada, Yogyakarta.

Wahidin, samsul . 2007. Bahasa, Masyarakat dan Kekuasaan Negara: Yogyakarta. Pustaka Belajar.

Wahid, Umaimah. 2012. Perempuan dan Kekuasaan Politik Dalam PEMILUKADA DKI Jakarta Tahun2012. Universitas Budi Luhur.

Yuliarmi, Ni Nyyoman. Peran Modal Sosial Dalam Pemberdayaan Industri Kerajinan di Provinsi Bali. Fakultas Ekonomi Universitas Udayana.

SUMBER LAIN

Data Kantor Kepala Desa Bahapal Raya. Data Kantor Camat Raya, Kecamatan Raya.