Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

commit to user 1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah membawa perubahan di hampir semua aspek kehidupan manusia dimana berbagai permasalahan hanya dapat dipecahkan kecuali dengan upaya penguasaan dan peningkatan ilmu pengetahuan dan teknologi. Selain manfaat bagi kehidupan manusia di satu sisi perubahan tersebut juga telah membawa manusia ke dalam era persaingan global yang semakin ketat. Agar mampu berperan dalam persaingan global, maka sebagai bangsa kita perlu terus mengembangkan dan meningkatkan kualitas sumber daya manusianya. Permasalahan yang sedang dihadapi di dunia pendidikan di Indonesia adalah rendahnya mutu pendidikan pada setiap jenjang dan satuan pendidikan. Berbagai usaha telah dilakukan untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional. Berbicara mengenai kualitas sumber daya manusia, pendidikan memegang peran yang sangat penting dalam proses peningkatan kualitas sumber daya manusia. Peningkatan kualitas pendidikan merupakan suatu proses yang terintegrasi dengan proses peningkatan kualitas sumber daya manusia itu sendiri. Menyadari pentingnya proses peningkatan kualitas sumber daya manusia, maka berbagai upaya yang dilakukan pemerintah untuk meningkatkan kualitas mutu pendidikan, namun upaya tersebut belum menunjukkan hasil yang menggembirakan, bahkan masih banyak kegagalan dalam implementasinya di lapangan. Kegagalan demi kegagalan antara lain disebabkan oleh masalah manajemen yang kurang tepat, penempatan tenaga yang tidak sesuai dengan bidang keahlian, dan penanganan masalah bukan oleh ahlinya, sehingga tujuan pendidikan nasional untuk mencerdaskan kehidupan bangsa melalui peningkatan mutu pada setiap jenis dan jenjang pendidikan belum dapat diwujudkan. Selain itu sedikitnya ada tiga faktor yang dapat menjelaskan mengapa upaya perbaikan mutu pendidikan selama ini tidak mengalami peningkatan secara commit to user 2 merata. Faktor pertama, kebijakan dan penyelenggaraaan pendidikan nasional menggunakan pendekatan education production fungtion atau input – output analysis yang tidak dilaksanakan secara konsekuen. Pendekatan ini melihat bahwa lembaga pendidikan berfungsi sebagai pusat produksi yang apabila dipenuhi semua input berupa masukan yang diperlukan dalam kegiatan produksi tersebut, maka lembaga ini akan menghasilkan ouput berupa keluaran yang dikehendaki. Pendekatan ini menganggap bahwa apabila input pendidikan seperti pelatihan guru, pengadaan buku dan alat pelajaran, dan perbaikan sarana serta prasarana pendidikan lainnya dipenuhi, maka mutu pendidikan berupa keluaran output secara otomatis akan terjadi. Dalam kenyataannya, mutu pendidikan yang diharapkan tidak terjadi, di karenakan selama ini dalam menerapkan pendekatan education product function terlalu memusatkan pada masukan pendidikan dan kurang memperhatikan proses pendidikan. Padahal, proses pendidikan sangat menentukan output pendidikan. Faktor kedua, penyelenggaraan pendidikan nasional dilakukan secara birokratik – sentralistik, sehingga menempatkan sekolah sebagai penyelenggara pendidikan sangat tergantung pada keputusan birokrasi yang mempunyai jalur yang sangat panjang dan kadang – kadang kebijakan yang dikeluarkan tidak sesuai dengan kondisi sekolah setempat. Dengan demikian, sekolah kehilangan kemandirian, motivasi dan inisiatif untuk mengembangkan dan memajukan lembaganya termasuk peningkatan mutu pendidikan sebagai salah satu tujuan pendidikan pendidikan nasional. Faktor ketiga, peranserta masyarakat, khususnya orang tua siswa dalam penyelenggaraan pendidikan selama ini sangat minim. Partisipasi masyarakat selama ini pada umumnya lebih banyak bersifat dukungan input yaitu berupa dana pendidikan, bukan pada proses pendidikan pengambilan putusan, monitoring, evaluasi, dan akuntabilitas. Berkaitan dengan akuntabilitas, sekolah tidak mempunyai beban untuk mempertanggungjawabkan hasil pelaksanaaan pendidikan kepada masyarakat, khususnya orangtua siswa, sebagai salah satu unsur utama yang berkepentingan dengan pendidikan stakeholder. commit to user 3 Diskusi tersebut memberikan pemahaman kepada kita bahwa pembangunan pendidikan bukan hanya terfokus pada penyediaan faktor masukan pendidikan tetapi juga harus lebih memperhatikan faktor proses pendidikan. masukan pendidikan merupakan hal yang mutlak harus ada dalam batas - batas tertentu tetapi tidak menjadi jaminan dapat secara otomatis meningkatkan mutu pendidikan school resources are necessary but not sufficient condition to improve student achievement. Disamping itu mengingat sekolah sebagai unit pelaksana pendidikan formal terdepan dengan berbagai keragaman potensi anak didik yang memerlukan layanan pendidikan yang beragam, kondisi lingkungan yang berbeda satu dengan lainnya, maka sekolah harus dinamis dan kreatif dalam melaksanakan perannya untuk mengupayakan peningkatan kualitasmutu pendidikan. Hal ini akan dapat dilaksanakan jika sekolah dengan berbagai keragamannya itu, diberikan kepercayaan untuk mengatur dan mengurus dirinya sendiri sesuai dengan kondisi lingkungan dan kebutuhan anak didiknya. Walaupun demikian, agar mutu tetap terjaga dan agar proses peningkatan mutu tetap terkontrol, maka harus ada standar yang diatur dan disepakati secara Nasional Benchmarking, untuk dijadikan indikator evaluasi keberhasilan peningkatan mutu pendidikan. Pemikiran ini telah mendorong munculnya pendekatan baru, yakni pengelolaan peningkatan mutu pendidikan di masa mendatang harus berbasis sekolah sebagai institusi paling depan dalam kegiatan pendidikan. Pendekatan ini, kemudian dikenal dengan Manajemen Peningkatan Mutu Pendidikan Berbasis Sekolah atau istilah yang dipakai sekarang adalah Manejemen Berbasis Sekolah School Based Management. Melihat kondisi tersebut, maka untuk merealisasikan Undang – undang Nomor 22 dan 25 tahun 2000 tentang otonomi daerah, yang secara langsung berpengarung terhadap kegiatan perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pendidikan, maka perlu dilakukan manajemen yang tepat dan pengembangan sumber daya manusia sesuai dengan kebutuhan lapangan. Hal tersebut sejalan dengan Undang – Undang Sistem Pendidikan Nasional tahun 2003 UU Sisdiknas, yang menuntut penataan manajemen dalam berbagai jalur dan jenjang pendidikan yang sebelumnya wewenang pusat, maka wewenangnya bergeser pada commit to user 4 sekolah dibawah koordinasi dan pengawasan pemerintah daerah Kota dan Kabupaten. Perubahan manajemen pendidikan dari manajemen berbasis pusat sentralistik menuju manajemen berbasis sekolah desentralistik pada dasarnya akan memberikan otonomi lebih besar kepada kepala sekolah untuk menyelenggarakan atau mengatur rumah tangganya sendiri serta diberi kewenangan untuk membuat keputusan tingkat sekolah, sehingga kemandiriannya, sekolah lebih berdaya dalam mengembangkan program – programnya yang lebih sesuai dengan kebutuhan dan potensi yang dimilikinya. Pada konsep MBS, sekolah dituntut untuk ikut terlibat secara aktif dan dinamis dalam rangka proses peningkatan mutu pendidikan yaitu secara mandiri, menggali, mengalokasikan, menentukan prioritas – prioritas, mengendalikan, dan mempertanggungjawabkan pemberdayaan sumber – sumber, baik kepada masyarakat maupun pemerintah. Sekolah diberi kebebasan dan kekuasaan yang besar disertai seperangkat tanggung jawab, sehingga dalam pelaksanaan MBS, pendekatan sentralistik masih diperlukan, terutama untuk menentukan kurikulum pendidikan nasional dan menetapkan anggaran agar dapat dicapai kesamaan dan pemerataan standar pendidikan di seluruh wilayah tanah air. Dalam konsep MBS, sekolah harus mampu menterjemahkan dan menangkap esensi kebijakan mikro pendidikan serta memahami kondisi lingkungannya kelebihan dan kekurangan untuk selanjutnya melalui proses perencanaan, sekolah harus memformulasikannya kedalam kebijakan mikro dalam bentuk program – program prioritas yang harus dilaksanakan dan dievaluasi oleh sekolah yang bersangkutan sesuai dengan visi dan misinya masing – masing. Dalam pengimplementasiannya, sekolah memiliki tanggung jawab untuk mengelola dirinya berkaitan dengan permasalahan administrasi, keuangan, dan fungsi setiap personel sekolah di dalam kerangka arah dan kebijakan yang telah dirumuskan oleh pemerintah. Dengan demikian terdapat beberapa fungsi yang didesentralisasikan dimana terdapat pergeseran atau pengalihan kewenangan dari Dinas Diknas ke tingkat sekolah. Manajemen berbasis sekolah merupakan alternatif baru dalam manajemen pendidikan yang lebih menekankan pada kemandirian dalam commit to user 5 memenuhi segala kebutuhan serta kemandirian dalam mengambil keputusan secara pertisipatif dengan melibatkan orang tua siswa. Model ini akan menyerahkan fungsi kontrol yang berada pada pemerintah kepada masyarakat melalui komite sekolah, serta fungsi monitor tetap pada pemerintah. Hal ini memungkinkan adanya kejasama yang erat antara staf sekolah, kepala sekolah, guru, personel lain dan masyarakat dalam upaya pemerataan, efisiensi, efektifitas, dan peningkatan kualitas, serta produktifitas pendidikan. Proses pengambilan keputusan melibatkan seluruh warga sekolah sesuai dengan peraturan perundang – undangan pendidikan nasional yang berlaku. Sekolah yang dikelola dengan MBS akan memerlukan dukungan dan partisipasi dari orang tua siswa dan masyarakat. Dukungan yang diperlukan tidak hanya dalam bentuk bantuan keuangan, akan tetapi melalui komite sekolah dan dewan pendidikan ikut merumuskan program – program yang akan dilaksanakan sekaligus mengontrol kegiatan tersebut guna meningkatkan mutu sekolah. Bersama – sama dengan orang tua dan masyarakat, sekolah harus berbuat keputusan, mengatur segala prioritas ke dalam program – program sekolah. Kepala sekolah harus tampil sebagai koordinator dari sejumlah orang yang mewakili berbagai kelompok yang berbeda dalam masyarakat sehingga tercipta komunikasi terbuka dan pengambilan keputusan bersama dari masing – masing pemegang peran dalam merumuskan suatu kebijakan. SMK N 2 Surakarta merupakan salah satu SMK di Surakarta yang menerapkan konsep manajemen berbasis sekolah MBS. SMK N 2 Surakarta tergolong SMK favorit di Surakarta. Dengan MBS diharapkan dapat meningkatkan mutu pendidikan melalui kemandirian dan inisiatif sekolah dalam mengelola dan memberdayakan sumber daya yang tersedia serta meningkatkan kepedulian warga dan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan melalui pengambilan keputusan bersama. Implementasi MBS di SMK N 2 Surakarta nampaknya cenderung masih mengalami beberapa kendala di lapangan. Persoalan yang muncul adalah kesiapan personil - personil sekolah yang nampaknya belum sepenuhnya memiliki kesiapan untuk melaksanakan inovasi pembaharuan yang akan mengubah pola dan sistem commit to user 6 manajemen sekolah tersebut. Selain itu peran serta orang tua murid yang cenderung belum sepenuhnya berperan aktif untuk ikut dalam perumusan program sekolah. Implementasi MBS menuntut dukungan tenaga kerja yang terampil dan berkualitas agar dapat membangkitkan motivasi kerja yang lebih produktif untuk meningkatkan mutu pendidikan. Kebijakan dan program - program sekolah yang seharusnya dirumuskan melalui komunikasi terbuka dan pengambilan keputusan bersama nampaknya cenderung masih diwarnai oleh pola kebiasaan lama. Berdasarkan permasalahan yang di paparkan di atas, disini peneliti tertarik untuk mencoba meneliti tentang Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah MBS Dalam Upaya Peningkatakan Mutu Sekolah di SMK Negeri 2 Surakarta Tahun 20082009.

B. Identifikasi Masalah