Karya misi di Jawa dalam perkembangannya dipusatkan kepada pendidikan di Muntilan, karena akar segala kekurangan ialah bahwa para
misionaris kurang mahir dalam bahasa dan adat Jawa, maka segala tenaga dipusatkan kepada studi dan kontak kepada lapisan masyarakat di Muntilan dan
sekitarnya. Sampai sekitar tahun 1900 Muntilan terbuka bagi anak-anak pribumi yang ingin belajar dan sekolah karena mereka tidak diterima di sekolah-sekolah
Eropa yang mahal.
23
Orang-orang yang belajar ini kemudian sedikit demi sedikit ditanamkan cara hidup Kristus. Romo van Lith banyak menggunakan metode
bercerita sejarah untuk mengajak anak menelaah sejarah yang membuka prespektif ke masa depan.
Pada tahun 1902, Romo van Lith mendirikan tiga kelembagaan: perkumpulan pribumi untuk badan hukum urusan umat, rumah sakit, dan sekolah
dengan sistem asrama. Akan tetapi, menyadari situasi bangsa Jawa yang tertindas karena penjajahan Belanda dan gejolak kebangkitan nasional, Romo van Lith
memilih bidang pendidikan sebagai landasan karya misinya. Pendidikan yang diperjuangkan oleh Romo van Lith berbeda dengan pendidikan yang dibuat oleh
pemerintah Hindia Belanda. Pada masa itu pemerintah Nederland sedang melancarkan politik etis untuk membalas budi penderitaan orang pribumi dengan
tiga progam: irigasi, transmigrasi, dan edukasi.
24
Di dalam program edukasi, dibukalah sekolah-sekolah untuk orang pribumi agar dapat menjadi pegawai pemerintah Hindia Belanda. Contohnya
sekolah OSVIA yaitu sekolah pelatihan untuk para pejabat pribumi, calon-calon
23
Ibid. hlm. 29.
24
Tim Edukasi MMM PAM, Pendidikan Katolik Model van Lith, Muntilan : Yayasan Pustaka Nusatama, 2008, hlm. 34-35.
muridnya tidak lagi harus berasal dari kalangan elite bangsawan. Karena berhubungan dengan masalah pembiayaan, maka yang dapat bersekolah tentu
hanya kaum ningrat dan pengusaha kaya. Romo van Lith memang akan memperjuangkan agar anak, remaja dan kaum muda menjadi terdidik tanpa
memandang golongan miskin atau pun kaya. Tetapi lebih dari itu, karya pendidikan tidak terutama untuk mencetak calon-calon pegawai. Bagi Romo van
Lith karya pendidikan menjadi sarana untuk perwujudan iman. Istilah perwujudan iman berarti tekanan kepada pengalaman atau tindakan hidup yang cocok dengan
nilai-nilai iman kristiani. Muntilan makin berkembang dan amat mengesan kepada semua
masyarakat yang ingin belajar mengenai iman Katolik. Hal inilah yang kemudian menjadi pertimbangan Pastor van Lith untuk menyebarkan misi di tanah Jawa.
Karya misi ini dilakukan agar semua orang Jawa dapat mengerti mengenai ajaran agama Katolik dan karya Allah bagi umat manusia.
3. Museum Misi Muntilan
Museum Misi Muntilan merupakan museum khusus yang menekankan pada pengembangan nilai-nilai karya misi Keuskupan Agung Semarang KAS
rintisan Pater Frans van Lith, SJ., serta lembaga pastoral KAS yang merupakan konsursium Keuskupan Agung Semarang, Sarekat Yesus Provinsi Indonesia, dan
Konggregasi Bruder FIC Provinsi Indonesia. Museum Misi Muntilan sekaligus pemersatu dari jaringan gerakan-gerakan missioner untuk menumbuh
kembangkan Gereja lokal. Museum Misi Muntilan menyajikan koleksi atau PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
peristiwa masa lampau pada masa kini dan sekaligus menjadikan peristiwa sejarah sebagai dasar yang kokoh untuk membangun masa depan.
25
Peringatan 50 tahun Gereja Keuskupan Agung Semarang KAS pada tahun 1990 memiliki empat macam program: 1 pendataan; 2 musyawarah
pastoral; 3 penulisan sejarah; dan 4 pendirian museum. masing-masing program terlaksana dengan aneka dinamika. Dalam hal pendirian museum, sejak tahun
1992 sudah dirintis terjadinya suatu museum Gereja KAS dengan dilaksanakannya penataan benda-benda koleksi peninggalan karya misi
KAS.Tempat presentasi benda-benda koleksi ini berada di Wisma Uskup KAS, Jalan Pandanaran 13 Semarang. Namun ternyata keberadaan museum KAS di
Wisma Uskup kurang mendapatkan perhatian umat.
26
Rapat-rapat Dewan Konsultor KAS pada tanggal 3 Februari, 6 April, dan 1 Juni 1998 memutuskan untuk memindahkan Museum KAS dari Semarang ke
Muntilan. Kota Muntilan dipilih karena berbagai pertimbangan, di antaranya adalah pertimbangan historis. Di kota Muntilan inilah karya misi KAS
berkembang secara amat signifikan. Guna merealisasikan upaya pemindahan tempat museum KAS tersebut pada tanggal 13 Juni 1998 Romo F. Suryaprawata,
MSF Sekjen KAS dan Romo A. Gustawan, SJ., Ekonomi KAS mengundang delapan orang untuk membahas keberadaan Museum KAS. Kedelapan orang
inilah yang kemudian ditunjuk menjadi Panitia Museum Sejarah Gereja Keuskupan Agung Semarang.
27
25
Pedoman Museum Misi Muntilan, 2009, hlm. 5.
26
Ibid., hlm. i.
27
Ibid., hlm.i-ii.
Tim kerja dari kedua program ini kemudian mengadakan pertemuan- pertemuan tersendiri dan membangun jaringan karya dengan berbagai pihak
dalam rangka perkembangan karya museum KAS. Dinamika ini membawa ke pemahaman bahwa rencana permuseuman Muntilan tidak sekedar terbatas pada
gedung yang akan dibangun.
28
Dari satu sisi museum di Muntilan akan berhubungan dengan konteks sejarah karya misi KAS. Dari sisi lain basis fisik
karya museum di Muntilan adalah kawasan Muntilan sebagai situs karya misi. Tim kerja program pembangunan gedung bergerak dalam dua tahapan: 1
memproses pembangunan dan penggalian dana untuk gedung pastoran baru, yang sedianya akan diserahkan kepada Paroki Santo Antonius Muntilan; 2 merenovasi
gedung Pastoran Antonius Muntilan menjadi gedung museum. melalui proses penegasan bersama gedung yang dibangun pada tahap pertama diputuskan
menjadi gedung museum.
29
Sementara itu, tim kerja konteks sejarah menyiapkan diri dengan dua kegiatan: 1 belajar paradigma ilmu sejarah, dokumen Evangelii Nuntiandi, dan
tulisan Mgr. I. S uharyo “Refleksi Perjalanan dan Arah Ke Depan Keuskupan
Agung Semarang”, 2 membuat kegiatan-kegiatan pendalaman nilai-nilai missioner dari peninggalan karya misi KAS seperti mengisi momen Jumat
Pertama di Kerkof Muntilan dan rekoleksi. Program kerja panitia Museum Sejarah Gereja KAS, yang dijalankan melalui gerakan kedua tim kerja ini mendorong
munculnya Surat Keputusan Bersama SKB antara Uskup Agung Semarang,
28
Ibid., hlm. ii.
29
Ibid., hlm. iii.