Persepsi masyarakat terhadap keberadaan Museum Misi Muntilan sebagai sarana pendidikan karakter

(1)

MUNTILAN SEBAGAI SARANA PENDIDIKAN KARAKTER SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Pendidikan Sejarah

Oleh

NUR ARDITA RAHMAWATI NIM: 131314047

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH

JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(2)

i

MUNTILAN SEBAGAI SARANA PENDIDIKAN KARAKTER SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Pendidikan Sejarah

Oleh

NUR ARDITA RAHMAWATI NIM: 131314047

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH

JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(3)

ii SKRIPSI

PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP KEBERADAAN MUSEUM MISI MUNTILAN SEBAGAI SARANA PENDIDIKAN KARAKTER

Oleh:

Nur Ardita Rahmawati 131314047

Telah disetujui oleh:

Pembimbing I

Dra. Theresia Sumini, M.Pd. Tanggal 18 Juli 2017

Pembimbing II


(4)

iii SKRIPSI

PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP KEBERADAAN MUSEUM MISI MUNTILAN SEBAGAI SARANA PENDIDIKAN KARAKTER

Dipersiapkan dan ditulis oleh:

Nur Ardita Rahmawati 131314047

Telah dipertahankan di depan Panitia Penguji pada tanggal 25 Juli 2017

dan dinyatakan telah memenuhi syarat

Susunan Panitia Penguji

Nama Lengkap Tanda Tangan

Ketua : Ignatius Bondan Suratno, S.Pd., M.Si. ……….

Sekretaris : Dra. Theresia Sumini, M.Pd. ……….

Anggota : Dra. Theresia Sumini, M.Pd. ……….

Anggota : Hendra Kurniawan, M.Pd. ……….

Anggota : Dr. Anton Haryono, M.Hum. ……….

Yogyakarta, 25 Juli 2017

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma

Dekan,

Rohandi, Ph.D.


(5)

iv

HALAMAN PERSEMBAHAN

Skripsi ini saya persembahkan untuk:

Mendiang nenek tercinta Rosa de Lima Maria Sumaryati

Orang terkasih yang memberikan banyak dukungan di awal perkuliahan Bapak dan Ibu tercinta

Bapak Junedi dan Ibu Victoria Runi


(6)

v MOTTO

Al heb ik een uitgesproken westerse opvoeding gehad, toch ben en blijf ik in de

allereeste plaat Javaan

(Walaupun saya telah mengenyam pendidikan Barat, namun pertama-tama saya adalah dan tetap orang Jawa)


(7)

vi

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya sebuah karya ilmiah.

Yogyakarta, 18 Juli 2017 Penulis,


(8)

vii

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma:

Nama : Nur Ardita Rahmawati

Nomor Mahasiswa : 131314047

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:

PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP KEBERADAAN MUSEUM MISI MUNTILAN SEBAGAI SARANA PENDIDIKAN KARAKTER

beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada perpustakaan Universitas Sanata Dharma untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk perangkat data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di internet atau media lain untuk kepentingan akademisi tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Yogyakarta Pada tanggal, 18 Juli 2017 Yang menyatakan


(9)

viii ABSTRAK

PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP KEBERADAAN MUSEUM MISI MUNTILAN SEBAGAI SARANA PENDIDIKAN KARAKTER

Nur Ardita Rahmawati Universitas Sanata Dharma

2017

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan: (1) sejarah berdirinya Museum Misi Muntilan, (2) kegiatan edukasi di Museum Misi Muntilan yang berkaitan dengan pendidikan karakter, (3) dan persepsi masyarakat terhadap keberadaan Museum Misi Muntilan sebagai sarana pendidikan karakter.

Jenis penelitian ini adalah kualitatif dengan metode studi kasus. Sumber data pada penelitian diperoleh dari lokasi penelitian, informan (pengelola, pengunjung Museum Misi Muntilan dan guru), koleksi benda museum dan dokumen museum mengenai data pengunjung. Pengambilan sampel menggunakan teknik purposive sampling dan snowball sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik observasi, wawancara, dan dokumentasi.

Hasil penelitian ini menunjukkan: (1) sejarah berdirinya Museum Misi Muntilan bermula dari peringatan Keuskupan Agung Semarang ke-50 dengan menyusun beberapa program salah satunya pembuatan museum. Museum didirikan di Muntilan karena alasan historis. Muntilan adalah tempat awal berkembangnya gereja Katolik di Jawa dengan Romo van Lith sebagai peletak dasarnya. (2) Kegiatan edukasi di Museum Misi Muntilan yang berkaitan dengan pendidikan karakter antara lain: pendampingan kepada masyarakat, pendampingan OMK dan PIA, Novena Misioner Malam Selasa Kliwon, dan kegiatan orientasi siswa baru sekolah di sekitar Muntilan. (3) Persepsi masyarakat terhadap keberadaan Museum Misi Muntilan sebagai sarana pendidikan karakter adalah positif. Hal ini ditunjukkan dengan pengelola memiliki pemahaman mendalam mengenai karakter yang ingin dikembangkan melalui kegiatan edukasi di museum, pengunjung memiliki kesan positif setelah berkunjung dan guru merasakan manfaat dengan adanya pendampingan yang dilakukan oleh tim edukasi kepada para siswa.


(10)

ix

ABSTRACT

SOCIETY’S PERCEPTION OF MUNTILAN MISSIONARY MUSEUM

EXISTANCE AS A MEDIUM FOR CHARACTER EDUCATION

Nur Ardita Rahmawati Sanata Dharma University

2017

This study aims to describe: (1) the history of Muntilan Missionary Museum, (2) the education activities in Muntilan Missionary Museum which have

relation with character education, (3) and the society’s perception of Muntilan

Missionary Museum as a medium for character education.

The type of the research is qualitative with case study methods. The data were obtained from the location of research, informants (museum organizers and visitors, and teachers), collections of the museum, and the document of visitors. Purposive sampling and snowball sampling were used in taking samples. Data were collected through observation, interviews, and documentation.

The results of this study shows: (1) the history of Muntilan Missionary

Museum started when The Semarang Bishop was celebrating 50th birthday with

arranged some programs. One of them is museum building. It was built in Muntilan for historical reasons. Muntilan was the beginning of Catholic Church in Java and Father van Lith as the pioneer. (2) Education activities in Muntilan Missionary Museum has a relation with character education such as society assistance, community assistance such as OMK and PIA, Missionary Novena on Tuesday Night, and orientation for new students from schools near Muntilan. (3)

The society’s perception of Muntilan Missionary Museum as a medium for

character education is positive. It was shown by the museum organizers who have comprehensive understanding about characters which are developed in museum, the visitors had impression after visiting, and teachers who got the benefits of assistance by organizers for their students.


(11)

x

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir dengan judul Persepsi Masyarakat Terhadap Keberadaan Museum Misi Muntilan sebagai Sarana Pendidikan Karakter. Penelitian ini disusun guna memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Sejarah.

Dalam proses penyusunan tugas akhir ini penulis menyadari akan keterlibatan dan bantuan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Rohandi, Ph.D., selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan dan Bapak Ignatius Bondan, S.Pd., M.Si., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Universitas Sanata Dharma yang telah memberikan izin penelitian kepada peneliti

2. Ibu Dra. Theresia Sumini, M.Pd., selaku Ketua Program Studi Pendidikan Sejarah Universitas Dharma sekaligus dosen pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan dan dukungan kepada peneliti dari awal penelitian sampai penyusunan laporan penelitian.

3. Bapak Hendra Kurniawan, M.Pd., selaku Wakil Ketua Program Studi Pendidikan Sejarah sekaligus dosen pembimbing yang dengan sabar membimbing dan memberi banyak masukan kepada peneliti.


(12)

xi

4. Bapak Sutarjo Adisusilo, M.Pd., selaku dosen pendamping akademik yang selalu memberikan motivasi kepada mahasiswa.

5. Seluruh dosen program studi Pendidikan Sejarah yang selalu memberikan dukungan kepada mahasiswa tingkat akhir dalam menyelesaikan tugas akhir. 6. Bapak Agus selaku sekretariat Program Studi Pendidikan Sejarah Universitas

Sanata Dharma Yogyakarta yang telah membantu memperlancar penelitian. 7. Romo Nugroho, Pr., selaku Direktur Museum Misi Muntilan yang telah

memberi izin untuk melakukan penelitian dan meluangkan waktu untuk wawancara.

8. Romo Bambang Sutrisno, Pr., selaku ketua tim pelaksana pembangunan Museum Misi Muntilan yang meluangkan waktu dan berbagi pengalaman selama menjadi pengelola Museum Misi Muntilan.

9. Bapak Ant. Tri Usada Sena dan Bapak Muji selaku tim edukasi dari Museum Misi Muntilan yang selalu memberikan bantuan dan meluangkan waktu untuk wawancara.

10.Seluruh staff Museum Misi Muntilan yang telah membantu peneliti dalam melakukan penelitian.

11.Bapak Robertus Baluk Nugroho, S.Pd., selaku Wakil Kepala Sekolah Bagian Kurikulum SMA Pangudi Luhur yang mengijinkan penulis melakukan penelitian dan Ibu Lucia Desy, S.Pd., selaku guru sejarah SMA Pangudi Luhur van Lith yang membantu peneliti mendapatkan informasi.

12.Bapak Joko selaku guru IPS SMP Kanisius Muntilan Lith yang membantu peneliti mendapatkan informasi.


(13)

xii

13.Kedua orang tua tercinta Bapak Junedi dan Ibu Victoria Runi yang selalu memberikan dukungan

14.Sahabat-sahabat angkatan 2013, yang saling mendukung dan memberikan semangat dalam menyelesaikan tugas akhir.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan tugas akhir ini masih terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun agar penelitian ini lebih baik. Semoga karya tulis ini dapat bermanfaat.

Yogyakarta, 18 Juli 2017

Penulis

Nur Ardita Rahmawati (131314047)


(14)

xiii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ...iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

HALAMAN MOTTO ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... vii

ABSTRAK ...viii

ABSTRACT ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ...xiii

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR GAMBAR ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 4

C. Batasan Masalah ... 4

D. Tujuan Penelitian... 5

E. Manfaat Penelitian ... 5

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 6

A. Kajian Teori... 6

1. Konsep Persepsi ... 6

2. Konsep Museum ... 9

3. Konsep Masyarakat ... 15

4. Konsep Misi ... 17

5. Museum Misi Muntilan ... 25

6. Konsep Pendidikan Karakter... 27


(15)

xiv

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 35

A. Jenis Penelitian ... 35

B. Tempat Penelitian ... 36

C. Sumber Data ... 36

D. Teknik Pengumpulan Data ... 37

E. Instrumen Pengumpulan Data... 39

F. Pengambilan Sampel ... 40

G. Teknik Analisis Data ... 42

H. Validitas Data ... 44

I. Sistematika Penulisan ... 48

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 49

A. Deskripsi Latar ... 49

1. Visi dan Misi ... 50

2. Sarana Prasarana ... 52

B. Deskripsi Hasil Penelitian ... 53

1. Sejarah Museum Misi Muntilan ... 53

2. Kegiatan MMM berkaitan dengan Pendidikan Karakter ... 59

3. Persepsi Masyarakat Terhadap MMM ... 64

C. Pembahasan ... 77

1. Sejarah Museum Misi Muntilan ... 77

2. Kegiatan MMM berkaitan dengan Pendidikan Karakter ... 84

3. Persepsi Masyarakat Terhadap MMM ... 89

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 102

A. Kesimpulan ... 102

B. Saran ... 104

DAFTAR PUSTAKA ... 106


(16)

xv

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Jadwal Penelitian... 36 Tabel 2. Data Pengunjung Museum Misi Muntilan ... 50 Tabel 3. Daftar Ruang Pameran MMM PAM ... 53


(17)

xvi

DAFTAR GAMBAR

Gambar I. Kerangka Berpikir ... 34 Gambar II. Alur Analisis Data ... 44 Gambar III.Diagram Data Pengunjung MMM PAM ... 50


(18)

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Lembar Observasi Museum ... 110

Lampiran 2. Kisi-Kisi Pedoman Wawancara ... 111

Lampiran 3. Pedoman Wawancara ... 112

Lampiran 4. Catatan Lapangan Wawancara ... 115

Lampiran 5. Dokumentasi Wawancara ... 173

Lampiran 6. Lembar Pengamatan Dokumentasi ... 177

Lampiran 7. Dokumentasi Kesan Pengunjung ... 180

Lampiran 8. Silabus ... 185

Lampiran 9. RPP ... 202


(19)

1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

Museum merupakan sarana dalam pengembangan budaya dan peradaban manusia. Secara luas museum juga bergerak di sektor ekonomi, politik, dan sosial.1 Museum berguna sebagai sarana pembelajaran dan sarana pewarisan nilai-nilai dari kehidupan di masa lalu ke masa kini dan masa yang akan datang. Museum menyadarkan masyarakat akan pentingnya merawat dan melestarikan benda peninggalan di masa lalu.

Melihat pentingnya peninggalan benda dari masa lalu untuk dirawat dan dilestarikan maka tidak heran jika di negara kita banyak didirikan museum. Hampir setiap ibukota provinsi memiliki museum tingkat provinsi dan museum lokal. Museum lokal dimasukkan ke dalam jaringan sistem permuseuman dan diberikan bantuan untuk pemugaran gedung serta peningkatan usaha perawatan dan penyajian koleksinya.2 Baik museum tingkat nasional, provinsi, maupun tingkat lokal tetaplah kehadirannya memiliki arti penting dan fungsi tersendiri.

Salah satu museum lokal yang ada di Indonesia adalah Museum Misi Muntilan. Museum Misi Muntilan adalah museum yang terletak di Jalan Kartini 3, Muntilan, Jawa Tengah. Museum ini diresmikan pada tahun 2004. Koleksi yang ada ialah benda-benda yang berkaitan erat dengan kegiatan misi Katolik baik yang

1

Tjahjopurnomo, Sejarah Permuseuman di Indonesia (Jakarta:Direktorat Permuseuman, Direktorat Jenderal dan Purbakala, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, 2001) hlm. 88 2

Amir Sutaarga, Pedoman dan Penyelenggaraan dan Pengelolaan Museum (Jakarta :Departemen Pendidikan dan Kebudayaan) hlm. 4


(20)

ada di sekitar maupun di luar Muntilan. Meski sudah lama diresmikan keberadaan museum ini masih jarang diketahui masyarakat umum, bahkan umat Katolik sekalipun. Ada umat Katolik yang sudah mengetahui keberadaan museum tersebut tetapi belum pernah berkunjung. Ada juga yang memang sama sekali belum mengetahui keberadaan museum tersebut.

Keadaan seperti ini sangat disayangkan karena Museum Misi Muntilan memiliki koleksi yang lengkap dan bermanfaat bagi umat Katolik maupun non Katolik. Berangkat dari pengalaman penulis ketika melakukan Pengabdian Masyarakat di Museum Misi Muntilan, penulis melihat bahwa museum ini menghadirkan banyak tokoh inspiratif namun sebagian tokoh belum terlalu dikenal oleh masyarakat. Tokoh-tokoh tersebut memiliki peran penting baik bagi umat Katolik maupun umat non Katolik di masa lalu.

Setiap tokoh yang ditampilkan di Museum Misi Muntilan memiliki nilai karakter tersendiri yang dapat bermanfaat bagi masyarakat. Untuk membantu dalam menggali nilai-nilai karakter maka setiap ada yang berkunjung selalu diberi pendampingan dari pihak museum. Adanya penggalian nilai-nilai karakter pada koleksi museum melalui pendampingan ini berarti museum bisa dimanfaatkan sebagai sarana pendidikan karakter.

Pendidikan karakter menjadi suatu hal yang kini diperbincangkan. Pendidikan karakter memiliki tujuan untuk mengembangkan karakter bangsa. Adapun karakter bangsa yang dikembangkan pada kurikulum 2013 meliputi nilai-nilai: (1) religius, (2) jujur, (3) toleransi, (4) disiplin, (5) kerja keras, (6) kreatif,


(21)

(7) mandiri, (8) demokratis, (9) rasa ingin tahu, (10) semangat kebangsaan, (11) cinta tanah air, (12) menghargai prestasi, (13) bersahabat / komunikatif, (14) cinta damai, (15) gemar membaca, (16) peduli lingkungan, (17) peduli sosial, dan (18) tanggung jawab.3

Beberapa nilai karakter yang dikembangkan dalam Kurikulum 2013 rupanya bisa ditemui pada tokoh-tokoh yang ditampilkan di Museum Misi Muntilan. Nilai karakter tersebut misalnya: religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, mandiri, demokratis, semangat kebangsaan, cinta tanah air, bersahabat, cinta damai, peduli lingkungan dan sosial serta tanggung jawab. Hal ini juga sesuai dengan landasan museum Indonesia dengan 3 pilar utama, yakni 1) mencerdaskan kehidupan bangsa, 2) membentuk kepribadian (karakter) bangsa, dan 3) menanamkan konsep ketahanan nasional dan Wawasan Nusantara. Ketiga pilar tersebut merupakan landasan kegiatan operasional museum yang dibutuhkan di era globalisasi ini. Pada saat masyarakat mulai kehilangan orientasi akar budaya atau jati dirinya, maka museum dapat memberi inspirasi tentang hal-hal penting dari masa lalu yang harus diketahui untuk menuju ke masa depan.4

Agar hal tersebut dapat terjadi maka persepsi tentang museum sebagai tempat pameran benda masa lalu perlu diubah bahwa museum adalah tempat yang menyenangkan untuk belajar dan juga tempat untuk mengembangkan nilai karakter. Pengembangan nilai karakter akan terwujud apabila pengunjung merasa berkesan sehingga mendapatkan makna dan inspirasi baru setelah berkunjung.

3

Muchlas Samani dan Hariyanto, Konsep dan Model Pendidikan Karakter (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2013) hlm. 52

4


(22)

Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan di atas, peneliti tertarik melakukan penelitian dengan judul “Persepsi Masyarakat Terhadap Keberadaan Museum Misi Muntilan sebagai Sarana Pendidikan Karakter”. Harapannya dengan penelitian ini Museum Misi Muntilan menjadi museum yang lebih dikenal oleh masyarakat dan memberikan inspirasi bagi museum lain agar bisa menjadi sarana pendidikan karakter seperti yang dicanangkan oleh pemerintah.

B. RUMUSAN MASALAH

Melihat latar belakang di atas maka dapat dibuat rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana sejarah Museum Misi Muntilan?

2. Apa saja kegiatan Museum Misi Muntilan yang berkaitan dengan pendidikan karakter?

3. Bagaimana persepsi masyarakat terhadap keberadaan Museum Misi Muntilan sebagai sarana pendidikan karakter?

C. BATASAN MASALAH

Batasan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah sejarah Museum Misi Muntilan, dan kegiatan yang ada di dalamnya serta persepsi masyarakat terhadap keberadaan Museum Misi Muntilan sebagai sarana pendidikan karakter.


(23)

D. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan penelitian ini berdasarkan rumusan masalah di atas sebagai berikut: 1. Mendeskripsikan sejarah Museum Misi Muntilan.

2. Mendeskripsikan kegiatan yang berkaitan dengan pendidikan karakter di Museum Misi Muntilan.

3. Menjelaskan persepsi masyarakat terhadap keberadaan Museum Misi Muntilan sebagai sarana pendidikan karakter.

E. MANFAAT PENELITIAN

Manfaat yang didapat dari penelitian ini yaitu: 1. Bagi Museum Misi Muntilan

Menambah koleksi untuk perpustakaan museum dan bisa menjadi inspirasi untuk peneliti lain yang ingin mengadakan penelitian mengenai Museum Misi Muntilan.

2. Bagi Universitas Sanata Dharma

Menambah koleksi penelitian dan bisa dijadikan referensi khususnya prodi Pendidikan Sejarah dalam pengembangan perkuliahan sejarah gereja serta hal yang berkaitan dengan permuseuman.

3. Bagi Peneliti

Memberikan pengalaman baru dalam membuat karya tulis ilmiah dan mengembangkan wawasan peneliti mengenai misi, permuseuman, serta pendidikan karakter.


(24)

6 BAB II

KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Teori

1. Konsep Persepsi a. Pengertian Persepsi

Persepsi merupakan suatu proses yang didahului oleh penginderaan. Proses persepsi tidak dapat lepas dari penginderaan, dan proses penginderaan merupakan proses yang mendahului terjadinya persepsi. Stimulus yang mengenai individu itu kemudian diorganisasikan, diinterpretasikan, sehingga individu menyadari tentang apa yang ada di inderanya itu. Proses inilah yang dimaksud dengan persepsi. Jadi, stimulus diterima oleh alat indera, kemudian melalui proses persepsi sesuatu yang diindera tersebut menjadi sesuatu yang berarti setelah diorganisasikan dan diinterpretasikan.5

Dalam persepsi stimulus dapat datang dari luar diri individu, dan juga dapat datang dari dalam diri individu yang bersangkutan. Bila yang dipersepsi dirinya sendiri maka disebut persepsi diri (self-perception).6 Ketika melakukan persepsi pada diri sendiri orang dapat melihat bagaimana keadaan dirinya sendiri. Bila objek persepsi terletak di luar orang yang mempersepsi, maka objek persepsi dapat bermacam-bermacam, yaitu dapat berupa benda-benda, situasi, dan juga dapat berupa manusia. Bila objek persepsi berupa benda-benda disebut persepsi benda (things perception) atau juga disebut non-social perception, sedangkan bila objek persepsi berupa manusia atau orang disebut persepsi sosial atau social

5

Bimo Walgito, Psikologi Sosial: Suatu Pengantar (Yogyakarta: Andi, 2003) hlm. 53 6


(25)

perception. Persepsi sosial merupakan suatu proses seseorang untuk mengetahui, menginterpretasikan dan mengevaluasi orang lain yang dipersepsi, tentang sifat-sifatnya, kualitasnya dan keadaan yang lain yang ada dalam diri orang yang dipersepsi, sehingga terbentuk gambaran mengenai orang yang dipersepsi.7 Persepsi bersifat individual karena berkaitan dengan perasaan, kemampuan berpikir, dan pengalaman setiap individu yang tidak sama sehingga dalam mempersepsi stimulus hasilnya berbeda.8

b. Faktor-Faktor yang Berpengaruh pada Persepsi 1) Faktor Internal

Faktor internal yaitu keadaan individu yang berpengaruh pada individu dalam mengadakan persepsi. Keadaan individu tersebut bisa datang dari dua sumber antara lain sumber jasmani dan sumber psikologis. Bila jasmani terganggu maka akan berpengaruh pada hasil persepsinya sedangkan sumber psikologis yang akan berpengaruh pada hasil persepsi adalah pengalaman, persepsi, perasaan, kemampuan berpikir, kerangka acuan dan motivasi.9 Keadaan individu ditentukan oleh sifat struktural dari individu, sifat temporer dari individu, dan aktivitas yang sedang berjalan pada individu. Sifat struktural adalah sifat permanen dari individu misalnya ada individu yang suka memperhatikan keadaan sekitarnya tetapi ada juga yang acuh tak acuh sedangkan sifat temporer individu berkaitan dengan suasana hati individu.10

7

Ibid, hlm. 56 8

Bimo Walgito, Pengantar Psikologi Umum, (Yogyakarta: Andi, 2005) hlm. 100 9

Ibid, hlm. 55 10


(26)

2) Faktor Eksternal

Faktor eksternal yang berpengaruh pada persepsi antara lain stimulus dan lingkungan di mana persepsi itu berlangsung. Kejelasan stimulus akan banyak berpengaruh dalam persepsi. Pada umumnya stimulus yang kuat lebih menguntungkan dibandingkan stimulus yang lemah.11 Bila stimulus itu berwujud benda-benda bukan manusia, maka ketepatan persepsi lebih terletak pada individu yang mengadakan persepsi, karena benda-benda yang dipersepsi tersebut tidak ada usaha untuk mempengaruhi yang mempersepsi. Sedangkan lingkungan yang menjadi latar belakang stimulus berpengaruh pula pada persepsi terutama jika objek persepsi adalah manusia. Objek yang sama dengan situasi sosial yang berbeda dapat menghasilkan persepsi yang berbeda.12

c. Aplikasi Teori Persepsi dalam Kehidupan

Pembahasan ini menggambarkan bagaimana suatu hasil kontak / hubungan / interaksi mempengaruhi tingkah laku dan cara (jalan) pikiran seseorang, seperti:13

1) Impression Formation, yaitu: proses dimana informasi tentang orang lain

diubah menjadi pengetahuan atau pemikiran yang relatif menetap tentang orang tersebut.

2) Attribution, yaitu: proses dimana manusia menjelaskan dan

menginterpretasikan kejadian yang ditemuinya.

3) Social Influence, yaitu: proses dimana seseorang hadir dan berusaha

mempengaruhi sikap atau persepsi orang lain.

11

Bimo Walgito, op. cit, hlm. 127 12

Bimo Walgito, op. cit, hlm. 55 13

Irbandi Rukminto Adi, Psikologi, Pekerjaan Sosial dan Ilmu Kesejahteraan Sosial, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 1994), hlm. 114


(27)

4) Social Relationship, yaitu: persepsi sosial yang banyak dipengaruhi oleh kedekatan seseorang dengan orang lain.

2. Konsep Museum a. Pengertian Museum

Kata museum berasal dari bahasa Yunani, muze yang berarti kumpulan sembilan dewi perlambang ilmu dan kesenian.14 Dalam KBBI, museum adalah gedung yang digunakan sebagai tempat untuk pameran tetap benda-benda yang patut mendapat perhatian umum, seperti peninggalan sejarah, seni, dan ilmu; tempat penyimpanan kuno. Museum adalah lembaga yang bersifat tetap, tidak mencari keuntungan, melayani masyarakat dan perkembangannya, terbuka untuk umum, yang mengumpulkan, merawat dan memamerkan benda-benda bukti material manusia dan lingkungannya. Museum bertujuan untuk kegiatan yang berkaitan dengan penelitian, pendidikan dan hiburan.15

Museum merupakan sarana dalam pengembangan budaya dan peradaban manusia. Museum juga bergerak dalam sektor ekonomi, politik, sosial, dan lain-lain. Di samping itu, museum merupakan wahana yang memiliki peran strategis terhadap penguatan jati diri masyarakat. Para ahli kebudayaan meletakkan museum sebagai bagian dari pranata sosial dan sebagai media edukasi untuk memberikan gambaran tentang perkembangan alam dan budaya manusia kepada publik.16 Museum sebagai media komunikasi memiliki lima metode penyampaian

14

Amir Sutaarga, op. cit, hlm. 7 15

Tjahjopurnomo, op. cit. hlm. 6

16


(28)

seperti: pameran (baik semi permanen maupun sementara), acara, kegiatan edukatif, pengenalan dan ceramah, dan penerbitan.17

Penyelenggara museum dapat merupakan badan pemerintah dan dapat pula badan swasta dalam bentuk perkumpulan atau yayasan yang di atur kedudukan, tugas dan kewajibannya oleh undang-undang.18 Menyelenggarakan museum diperlukan banyak biaya. Hal ini terkait dengan fungsi museum itu sendiri sebagai tempat penyimpanan benda-benda purbakala, tempat pameran, dan dasar pengelolaan museum itu bersifat ilmiah untuk tujuan edukatif dan kultural.19

b. Jenis Museum

Pada tahun 1971 Direktorat Permuseuman mengelompokkan museum berdasarkan jenis koleksi. Berdasarkan jenis koleksi maka ada tiga jenis museum, antara lain: Museum Umum, Museum Khusus dan Museum Lokal. Namun pada tahun 1975, pembagian jenis museum tersebut diubah menjadi Museum Umum, Museum Khusus dan Museum Pendidikan. Pada tahun 1980 pembagian itu semakin sederhana menjadi Museum Umum dan Museum Khusus. Museum umum adalah musum yang memiliki berbagai macam jenis koleksi sedangkan museum khusus adalah museum yang hanya memiliki satu jenis koleksi, misalnya Museum Batik.20 Direktorat Permuseuman mengelompokkan lagi museum berdasarkan tingkat kedudukan. Pengelompokan museum menjadi Museum

17

Schouten, Pengantar Didaktik Museum (terj.) (Jakarta: Proyek Pembinaan Permuseuman Jakarta, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1992) hlm. 2 18

Amir Sutaarga, op. cit, hlm. 24 19

Loc. cit.

20


(29)

Tingkat Nasional (awalnya Museum Umum dan Khusus), Museum Tingkat Regional (provinsi), dan Museum Tingkat Lokal (Kodya / Kabupaten).21

Museum Tingkat Nasional adalah museum dengan kumpulan koleksi yang berkaitan dengan bukti material manusia atau lingkungan dan bernilai nasional contohnya: Museum Nasional yang terletak di Jakarta. Museum Tingkat Regional (provinsi) adalah museum yang koleksinya berkaitan dengan lingkungan provinsi, contoh: Museum Keraton Yogyakarta. Museum Tingkat Lokal adalah museum dengan koleksi benda yang bercorak atau bernilai lokal berasal dari kabupaten dimana museum itu berada, contoh: Museum Gerabah. Museum ini termasuk jenis museum tingkat lokal karena terletak di Bantul yang merupakan salah satu kabupaten yang ada di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.22 Berdasarkan Rencana Peraturan Pemerintah museum dibagi menjadi 4 jenis yaitu:

1) Museum umum

Museum umum adalah museum yang koleksinya terdiri dari kumpulan bukti material manusia dan atau lingkungannya yang berkaitan dengan berbagai cabang seni, disiplin ilmu dan teknologi, contoh dari museum umum yang ada di Indonesia adalah Museum Indonesia di TMII.23

2) Museum sejarah

Museum sejarah adalah museum yang mencakup hal-hal tentang sejarah yang berkaitan dengan masa kini dan masa depan. Koleksi yang dimiliki museum sejarah sangat beragam seperti: dokumen, artefak, benda bersejarah, dan lain-lain.

21

Tjahjopurnomo, loc. cit

22

Mohammad Zakaria, Pengertian, Fungsi, dan Jenis-jenis Museum (http://belajaritutiadaakhir.blogspot.co.id/2011/08/museum-di-indonesia.html), diakses tanggal 17 April 2017

23


(30)

Contoh dari museum sejarah di Indonesia adalah Museum Fatahillah, Museum Misi Muntilan, Museum Benteng Vredeburg, dan lain sebagainya.24

3) Museum seni

Museum seni adalah sebuah ruangan untuk pameran benda seni, mulai dari seni visual yaitu di antaranya lukisan, gambar, dan patung. Museum ini disebut juga galeri seni. Contoh dari museum seni adalah Museum Affandi dan Museum Wayang yang terletak di Yogyakarta.25

4) Museum Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

Museum ilmu pengetahuan dan teknologi adalah museum yang menampilkan berbagai ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang. Contoh museum yang bertemakan ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia adalah Museum Pusat Peragaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang berada di TMII.26

c. Fungsi Museum

Museum memiliki 4 fungsi, antara lain27: 1) Fungsi edukatif dan akademis

Museum berfungsi sebagai wahana pendidikan, sarana membagi pengetahuan (baik baru maupun lama) dan juga tempat melakukan studi atau penelitian. Museum dituntut tidak hanya sebagai sarana pembelajaran publik, namun juga harus mampu menunjang perkembangan ilmu pengetahuan seperti halnya pusat studi maupun pusat kajian universitas. Museum juga menjadi tempat di mana para peneliti khususnya sejarawan maupun mahasiswa mendapatkan

24

Museum, (https://id.wikipedia.org/wiki/Museum ) diakses tanggal 17 April 2017 25

Loc.cit

26

Iqbal, Museum Pusat Peragaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, (http://museumppiptek.blogspot.co.id/ ) diakses tanggal 17 April 2017

27


(31)

sumber sejarah berupa dokumen, foto, dan lain sebagainya. Hampir semua museum yang didirikan memiliki fungsi edukatif dan akademis bagi masyarakat. 2) Fungsi sosio kultural

Museum menjadi media “pengingat” peristiwa yang di alami manusia. Museum menjadi sarana pameran dari hasil kebudayaan atau benda-benda peninggalan di masa lalu agar tidak hilang atau dilupakan oleh masyarakat. Museum yang memiliki fungsi sosio kultural misalnya Museum Purbakala Sangiran yang terletak di Kabupaten Sragen. Museum ini menyimpan berbagai benda peninggalan yang digunakan oleh manusia purba. Artinya museum menjadi media pengingat bagi manusia zaman sekarang mengenai kehidupan manusia zaman pra-sejarah beserta benda-benda peninggalannya.

3) Fungsi rekreasi dan ekonomi

Museum dapat digunakan sebagai tempat rekreasi yang memberikan inspirasi kepada masyarakat umum. Salah satu contoh museum yang berfungsi sebagai tempat rekreasi dan ekonomi adalah De Mata Trick Eye Museum. Museum ini terletak di Yogyakarta. Koleksi yang ada berupa gambar-gambar tiga dimensi seperti gambar pemandangan dan berbagai ilustrasi dengan ukuran besar. Koleksi tersebut digunakan pengunjung untuk berfoto.

4) Fungsi politik

Dalam misi politik kebudayaan, museum diperlukan untuk melegitimasi atau mengklaim hal-hal yang simpang siur dan terlupakan. Sebab narasi besar tentang identitas biasanya berada di wilayah abu-abu, dialektis, oleh karena itu identitas perlu dibentuk dalam wacana yang tegas dan dikukuhkan melalui display


(32)

dan aktivitas di museum. Contoh museum yang memiliki fungsi politik adalah Monumen Yogya Kembali. Museum ini menyimpan koleksi yang berkaitan dengan Serangan Umum 1 Maret. Selain itu juga ada Museum Benteng Vredeburg yang menyajikan diorama tentang berbagai peristiwa politik di Indonesia mulai peritiwa sebelum Proklamasi Kemerdekaan sampai dengan masa Orde Baru. Museum ini juga memiliki koleksi berupa patung, foto, dan lukisan.

d. Permasalahan dan Potensi Permuseuman di Indonesia 1) Permasalahan

Permasalahan permuseuman di Indonesia dibagi menjadi dua faktor, yakni:

a) Faktor internal

Faktor internal yang muncul dalam permasalahan permuseuman di Indonesia di antaranya adalah pemahaman tenaga museum. Pemahaman tenaga museum maksudnya pemahaman yang dimiliki tenaga museum terhadap fungsi kelembagaan, perangkat kebijakan dan hukum yang belum mengikuti perubahan eksternal mekanisme penyelenggaraan dan pengelolaan yang masih lemah. Selain itu permasalahan laina adalah penanganan koleksi yang belum maksimal (mulai dari pengadaan dan penghapusan), kurangnya pembiayaan untuk pengembangan museum, dan belum maksimalnya peran kehumasan.28

b) Faktor eksternal

Faktor eksternal masalah permuseuman di Indonesia di antaranya adalah perubahan paradigma museum sebagai ruang ekslusif menjadi ruang publik, perubahan metode penyajian yang pada mulanya taksonomik dan kronologis

28


(33)

menjadi tematik. Di samping itu penyelenggaraan dan pengelolaan museum belum selaras dengan perkembangan teknologi informasi dan ilmu pengetahuan.29

2) Potensi

Meskipun berbagai permasalahan muncul, di sisi lain museum juga memiliki berbagai potensi diantaranya30:

a) Museum menjadi tempat pelestarian, lembaga pendidikan nonformal, sumber data penelitian dan bagian dari industri budaya.

b) Meningkatnya minat untuk mendirikan museum dari pemerintah hingga komunitas maupun swasta.

c) Terbentuknya asosiasi permuseuman; berkembangnya program tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility) yang membantu mempopulerkan museum.

d) Beberapa perguruan tinggi mengembangkan studi museum (Universitas Indonesia, Universitas Padjajaran, dan Universitas Gajah Mada); dan adanya dukungan dari komunitas yang aktif membuat program-program permuseuman untuk publik.

3. Konsep Masyarakat

Kata masyarakat berasal dari bahasa Arab “syaraka” yang berarti ikut serta, berpartisipasi atau “musyaraka” yang berarti saling bergaul.31 Menurut KBBI masyarakat adalah sejumlah manusia dalam arti seluas-luasnya dan terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka anggap sama. Masyarakat merupakan

29

Ibid. hal 55 30

Tjahjopurnomo, loc.it

31


(34)

sekumpulan manusia yang memiliki budaya sendiri dan bertempat tinggal di daerah tertentu dan anggotanya memiliki pengalaman hidup yang sama berdasarkan nilai-nilai yang dipedomani.32 Masyarakat yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pengelola, pengunjung dan guru sekitar Museum Misi Muntilan. Pada umumnya pengunjung dibagi menjadi 3 kategori yaitu33:

a. Pengunjung pelaku studi

Pengunjung pelaku studi ialah mereka yang menguasai bidang studi tertentu yang berkaitan dengan koleksi museum untuk menambah pemahamannya dan melaksanakan tugas atau pekerjaan tertentu. Pengunjung pelaku studi memanfaatkan perpustakaan yang ada di museum. Pengunjung jenis ini juga melakukan penggalian informasi melalui kurator atau orang yang paham mengenai benda koleksi di museum tersebut. Contoh dari pengunjung pelaku studi adalah siswa, mahasiswa yang melakukan penelitian atau mengerjakan tugas, maupun peneliti atau sejarawan.

b. Pengunjung bertujuan tertentu

Pengunjung bertujuan tertentu adalah pengunjung yang datang ke museum karena bertepatan dengan acara pameran maupun acara tertentu yang diselenggarakan oleh pihak museum. Contoh dari pengunjung bertujuan tertentu adalah kelompok masyarakat dari salah satu pondok pesantren Gunung Pring di Muntilan yang datang ke Museum Misi Muntilan dalam rangka menghadiri acara berbuka puasa bersama pada tahun 2016.

32

Ibid, hlm. 39 33


(35)

c. Pengunjung pelaku rekreasi

Pengunjung pelaku rekreasi ialah pengunjung yang datang ke museum untuk berekreasi tanpa ada maksud tertentu atau memberikan perhatian khusus terhadap koleksi atau cerita yang ada.

4. Konsep Misi a. Pengertian Misi

Kata misi adalah istilah Bahasa Indonesia untuk kata Latin missio yang berarti perutusan.34 Istilah misi tidak hanya dipakai dalam lingkup keagamaan tetapi juga di dunia profan seperti misi diplomatis, misi politis, misi ilmu pengetahuan, misi kebudayaan, misi dalam dunia kemiliteran. Semuanya berarti pelimpahan tugas dan tanggung jawab. Di dalam Gereja istilah misi digunakan baik untuk menunjuk kegiatan yang lebih luas dan umum, yakni menyangkut semua kegiatan Gerejawi, maupun untuk karya khusus pewartaan dan penyebaran iman Kristen kepada orang-orang (dan bangsa-bangsa) yang belum pernah mendengar tentang Injil, yakni kepada orang-orang yang beragama lain atau yang tidak beragama.35

Secara lebih teologis, kata misi dimaknai sebagai berikut: a) penyebaran iman, b) penyebarluasan Kerajaan Allah, c) pentobatan kaum kafir, d) pembentukan Gereja-Gereja baru. Semua arti ini menjadi biasa sejak kira-kira berdirinya Serikat Yesus pada abad ke 16. Sebelumnya dalam teologi missio berbicara mengenai Allah Tritunggal, mengenai perutusan Putera dan Roh oleh

34

Edmund Woga, Dasar-Dasar Misiologi (Yogyakarta: Kanisius, 2006) hlm. 13 35


(36)

Allah Bapa. Dalam arti penyebarluasan iman di antara bangsa-bangsa, kata misi mulai dipakai sejak abad ekspansi kultural, politis dan ekonomis Eropa ke seluruh dunia. Oleh karena itu, istilah misi dalam arti seperti digambarkan di atas erat berhubungan dengan ekspansi Eropa itu dan sekarang ini turut memikul kesalahan yang terkandung di dalam ekspansi penuh kekerasan itu.36

Istilah misi dengan arti penyebaran iman baru mulai digunakan pada pertengahan kedua abad 16.37 Sebelumnya Gereja menggunakan istilah lain untuk menunjuk kegiatan pewartaan Injil, penyebaran iman Kristen, pembangunan jemaat baru, seperti penyebaran iman (propagation fidei), pentobatan orang-orang kafir (conversion gentilium), pewartaan Injil ke seluruh dunia (praedicatio

apostolica), pemeliharaan agama Kristen (procuration salutis apud barbarous

gentes), penananaman baru agama Kristen (novella christanitatis plantation),

penyebaran Kerajaan Kristus (propagation regni Christi), perluasan Gereja

(dilatation ecclesiae), penanaman Gereja (plantation ecclesiae). Istilah misi baru

digunakan secara umum abad ke-17.38

b. Perlunya Misi

Konsili menentukan dasar-dasar teologis sekaligus berfungsi sebagai motivasi yang senantiasa menggerakkan Gereja untuk menjalankan misi. Karya misi merupakan pelaksanaan diri Gereja yang dalam keseluruhan karya

36

George Kirchberger, Misi Gereja Dewasa Ini (Maumere: Lembaga Pembentukan Berlanjut Arnold Jansen:, 1999) hlm. 8-9

37

Edmund Woga, op. cit, hlm. 16 38


(37)

keselamatan Allah berperan sebagai sakramen.39 Mengenai perlunya misi diuraikan di bawah ini:

1) Motivasi Teologis: Misi demi Kemuliaan Allah

Pemahaman mengenai misi itu ada dan perlu demi kemuliaan Allah merupakan hasil pemikiran teologis yakni perutusan berasal dari Allah dan kembali ke Allah. Perlunya misi berhubungan langsung dengan rencana penyelamatan Allah sejak penciptaan. Misi adalah cara Allah melaksanakan rencana penyelamatan-Nya yang universal. Misi diperlukan untuk memanggil segala bangsa untuk datang kepada Allah supaya Allah dimuliakan dan seluruh ciptaan disatukan.40

2) Motivasi Kristologis: Kristuslah Satu-Satunya Pengantara

Perutusan Kristus-Putra Allah yang menjadi manusia dijelaskan dalam AG 3 (Dokumen Konsili Vatikan II: Ad Gentes, dekrit tentang Kegiatan Misioner Gereja) adalah sebagai cara yang baru dan definitif kedatangan Allah ke tengah-tengah sejarah bangsa manusia.41 Peranan yang definitif ini menunjukkan keunikan Kristus bahwa Kristus adalah pengantara antara Allah dengan manusia. 3) Motivasi Eklesiologis: Gereja adalah Tubuh Kristus

Gereja dan Kristus tidak dapat dipisahkan karena adanya hubungan yang eksplisit. Gereja adalah tubuh mistik Kristus dan Kepala Tubuh adalah Kristus. Hubungan ini terjalin karena iman Gereja kepada Kristus ditandai dengan pembaptisan dan keanggotaan di dalam tubuh. Iman, pembaptisan dan

39

Ibid, hlm. 207 40

Ibid, hlm. 207-208 41


(38)

keanggotaan dalam Gereja menjadi persyaratan dalam menuju keselamatan.42 Dalam karya misionernya Gereja mengusahakan “perambatan iman” proses mengusahakan anggota Gereja bukan sekedar soal menambah jumlah penganut agama Kristen, tetapi terutama merupakan sesuatu yang prinsipiil dalam keseluruhan karya penyelamatan Allah, dimana Gereja menjadi sakramen-Nya. Iman akan Yesus Kristus menjadi usaha yang pertama dalam karya misi ditandai dengan pembaptisan sebagai pintu masuk ke dalam Gereja.43

4) Motivasi Antropologis: Keselamatan Integral Manusia

Allah menciptakan manusia sebagai pribadi yang utuh; begitu pula dengan keselamatan yang direncanakan-Nya bagi manusia bukan hanya keselamatan jiwa tetapi keselamatan seluruh manusia (badan-jiwa, jasmani-rohani) atau keselamatan yang integral.44 Keselamatan integral merupakan nilai-nilai manuasiawi eksistensial yang dialami selama manusia hidup, yakni nilai-nilai yang menjamin kehidupan manusia dan membuat manusia menjadi lebih manusiawi dalam segala segi dan dimensi hidupnya.45 Gereja sebagai sarana keselamatan mengemban tugas untuk menunjukkan keselamatan integral itu. Karya misi tidak hanya diarahkan pada keselamatan jiwa manusia, tetapi harus membuat keberadaan manusia menjadi eksistensi yang terarah kepada kesempurnaan.46

42

Ibid, hlm. 211 43

Ibid, hlm. 212 44

Ibid, 214 45

Loc.cit

46


(39)

5) Motivasi Eskatologis: Kepenuhan Keselamatan

Eskatologis adalah pemahaman ajaran tentang akhir dunia dan hidup yang lebih sempurna setelah kehidupan di dunia ini.47 Misi Gereja dalam fenomena eskatologis berperan terhadap perjalanan seluruh umat manusia menuju tujuan akhir hidupnya. Misi menjadi ajakan kepada manusia untuk berziarah menuju kepada Allah.48 Allah yang sejak awal datang kepada manusia tetap menyertai manusia untuk mencapai tujuan akhirnya yaitu Allah sendiri. Misi berarti membawa unsur-unsur penting keselamatan akhir ke dalam kehidupan dunia masa kini.49 Misi bukan hanya persiapan untuk tujuan akhir, tetapi peristiwa dari akhirat itu sendiri, justru karena daya ilahi pengudusan senantiasa menyertai Gereja. Allah yang menjadi tujuan telah menyertai Gereja dan misinya sampai pada akhir jaman.50 Karya misi merupakan partisipasi pada karya penyelamatan Allah yang bertujuan untuk mengusahakan agar benih-benih keselamatan dalam setiap ciptaan diperkembangkan dan diarahkan secara utuh kepada kesempurnaan akhir zaman.51

c. Awal Misi di Indonesia

Selama masa pemerintahan VOC tidak ada kebebasan beragama di Indonesia. Kebebasan itu baru ada sebagai akibat bergemanya cita-cita revolusi Perancis: kebebasan, kesamaan dan persaudaraan, yaitu pada masa Gubernur Jenderal Daendels (1808-1811). Mulai tahun 1808 berdatanganlah imam-imam ke Indonesia untuk memulai karya misionernya. Meskipun perkembangan umatnya

47

Ibid, 216 48

Ibid, hlm. 221 49

Ibid, hlm. 219 50

Loc. cit

51


(40)

sangat lambat, Paus menetapkan berdirinya Vikariat Apostolik Batavia pada tanggal 20 September 1842.52

Setengah pertama dari abad 19, karya kerasulan hampir terbatas karena kemiskinan dari para missionaris dan adanya larangan dari pemerintah yang berwenang. Misi Indonesia berawal di Kalimantan. Pastor Sanders mengunjungi Kalimantan (Dutch Borneo) tahun 1851, tetapi misi pertama didirikan oleh Jesuit tahun 1883. Tahun 1853, seorang misionaris memilih untuk tinggal di Bangka dimana ada pekerja Katolik di pertambangan timah. Tahun berikutnya, ada misionaris datang ke Sumatera. Namun, di pulau tersebut belum ada misi yang terorganisir sebelum Jesuit didirikan tahun 1888. Misi di Sulawesi prosesnya hampir sama. Misi mulai di Manado tahun 1885, Kepulauan Kei tahun 1888, dan Makasar tahun 1891 dengan masing-masing satu imam.53

Peningkatan misi di Hindia Belanda terjadi antara tahun 1871-1890. Berbagai kegiatan misi meluas seiring dengan meningkatnya para imam Yesuit dan kedatangan suster dan bruder yang lebih banyak. Tahun 1890 jumlah imam di Hindia Belanda ada 45 orang. Peningkatan ini tidak hanya menghasilkan misi-misi baru di luar Jawa, tetapi juga melahirkan sebuah strategi di pulau utama itu sendiri.54

d. Karya Misi di Muntilan

Pada tahun 1892 sudah ada karya Misioner Katolik di Magelang. Karya ini dilakukan oleh Pastor Hebrans dan Pastor F. Voogels SJ. Mereka secara rutin

52

Tim KAS, Garis-Garis Besar Sejarah Gereja Katolikdi Keuskupan Agung Semarang, (Semarang: KAS, 1992) hlm. 15

53

Bernard De Vaulux, History of the Missions (London: Burn and oates, 1969) hlm. 187-188 54

Karel Steenbrink, Orang-Orang Katolik di Indonesia 1808-1942 (jilid 1), (Maumere: Ledalero, hlm. 2006), hlm. 359


(41)

berkunjung di beberapa desa di Muntilan. Hasil karya Pastor Voogels ini adalah dibaptisnya 135 orang di Muntilan pada bulan Desember 1895.55 Namun, ada beberapa kendala dalam melakukan karya misioner di Muntilan seperti: kurangnya koordinasi dan kondisi umat yang menyedihkan, jarak yang harus ditempuh, mentalitas umat, dan penyelewengan yang dilakukan oleh oknum yang mencari keuntungan sendiri. Untuk memperbaiki kondisi tersebut dikirimlah tenaga baru, yaitu Petrus Hoevenaars dan Fransiskus van Lith.56

Petrus Hoevenaars dan Fransiskus van Lith tiba di Batavia tanggal 4 Oktober 1896. Keduanya mulai mempelajari bahasa Jawa di Semarang karena akan berkarya di Jawa.57 Sejak bulan Maret 1897 Pastors Hoevenaars ditempatkan di Yogyakarta.58 Pada tanggal 27 Mei 1899 Hoevenaars dipindahkan ke Mendut yang merupakan stasi misi baru.59 Sedangkan Fransiskus van Lith menjalankan karyanya di Muntilan. Tanggal 21 Oktober 1897 Pastor van Lith memperoleh izin pemerintah untuk membuka sebuah pos misi di Muntilan, stasi misi permanen pertama.60

Pastor van Lith berhasil menemukan celah yang bisa dimasuki dalam mengembangkan karya misi yaitu jalur pendidikan.61 Pada tahun 1904, dibukalah sekolah pendidikan guru di Muntilan. Sekolah ini merupakan kelanjutan dari kursus pelatihan untuk para katekis di Semarang. Hal ini menjadi suatu permulaan

55

J. Soenarjo, Muntilan: Awal Misi Katolik di Jawa. Kenangan 100 tahun Paroki Santo Antonius Muntilan 1894-1994, (Muntilan, 1994) hlm. 12

56

J. Soenarjo, loc. cit

57

Karel Steenbrink, op. cit, hlm. 367 58

Tim KAS, op. cit, hlm. 15 59

Karel Steenbrink, op. cit, hlm. 371 60

Karel Steenbrink, op. cit, hlm. 375 61


(42)

yang baik untuk pembelajaran yang lebih umum bagi para guru sekolah dasar.62 Sekolah ini mendapat sambutan baik dari masyarakat sehingga dalam perjalanannya sekolah yang didirikan oleh Pastor van Lith semakin berkembang.63

Pada tahun 1907 mulai dibuka sekolah/sekolah desa yang menjadi sebuah permulaan adanya pendidikan massal mengikuti cara Barat di seluruh wilayah Hindia Belanda. Para alumni dari sekolah Muntilan memiliki peluang kerja yang amat besar. Beberapa kelompok siswa melanjutkan studi mereka untuk menjadi imam.64 Pada tahun 1912, Pastor van Lith membentuk yayasan yang bernama

Xaverius College dibantu oleh para Bruder FIC.65 Tahun 1913 pendidikan rendah

ditutup digantikan dengan sekolah berbahasa Belanda dan Bahasa Jawa dijadikan mata pelajaran tambahan.66 Selain menaruh perhatian ke bidang pendidikan, Pastor van Lith juga menaruh perhatian di bidang kesehatan. Pada tahun 1902, rumah sakit sederhana didirikan di Muntilan.67 Karya Pastor van Lith dan para pastor, bruder dan suster yang membantu dan meneruskannya (Pastor van Lith wafat pada tahun 1926) di Muntilan ternyata berkumandang ke wilayah lain, bahkan sampai luar kabupaten Magelang.

Hubungan baik yang dibina oleh Pastor van Lith dan hasil karyanya di berbagai bidang ini ternyata menghasilkan benih-benih baru bagi umat Kristus. Hasil penuaian pertama dari benih ini terjadi di wilayah Yogyakarta, tepatnya di desa Kalibawang dimana pada bulan Desember 1903 secara massal sebanyak 171

62

Kareel Steenbrink, op. cit, hlm. 384 63

J. Soenarjo, op. cit, hlm. 14 64

Kareel Steenbrink, loc. cit

65

J. Soenarjo, Muntilan, op. cit,hlm. 14 66

Kareel Steenbrink, Orang-Orang Katolik di Indonesia Jilid 2, (Maumere: Ledalero, 2006) hlm. 635

67


(43)

orang dipermandikan dengan air Sendang Sono.68 Pada akhir masa kolonial rupanya yang diharapkan oleh Pastor van Lith menjadi kenyataan. Muntilan telah menjadi pusat kaderisasi dan penggemblengan bagi Gereja Kristus. Muntilan dengan karya misinya tidak hanya dikenal dan berguna bagi Gereja tetapi juga bagi bangsa Indonesia.69

5. Museum Misi Muntilan Pusat Animasi Misioner (MMM PAM)

Museum Misi Muntilan Pusat Animasi Misioner (MMM PAM) adalah museum khusus yang menekankan pengembangan nilai-nilai karya misi Keuskupun Agung Semarang rintisan van Lith, S. J. MMM PAM menjadi bagian karya pastoral KAS yang merupakan konsorsium Keuskupan Agung Semarang, Serikat Yesus Provinsi Indonesia, dan Konggregasi Bruder FIC Provinsi Indonesia. MMM PAM memiliki peran dalam menumbuhkembangkan Gereja Lokal karena menjadi pemersatu dari jaringan gerakan-gerakan misioner.70

Pemilihan nama MMM PAM diharapkan agar museum menjadi museum yang hidup bukan hanya sekedar tempat memajang koleksi benda-benda kuno atau bersejarah. MMM PAM adalah museum yang sungguh merawat dan mempresentasikan aneka koleksi peninggalan misi dengan sungguh-sunguh. MMM PAM berharap aneka koleksi bisa membawa umat sampai pada anamnesis.

Anamnesis yaitu penghadiran kembali karya misi dari masa silam ke masa kini

68

Ibid, hlm. 17 69

J. Soenarjo, op. cit, hlm. 14 70

Tim MMM PAM, Pedoman Museum Misi Muntilan Pusat Animasi Misioner, (Muntilan: Museum Misi Muntilan, 2009) hlm. 5


(44)

yang digunakan untuk membantu umat dalam menghadapi zaman dengan hati yang dikobarkan oleh peristiwa iman para leluhur.71

Dalam penyelenggaraannya MMM PAM memiliki 3 bidang karya permuseuman72, yakni:

a. Bidang koleksi

Bidang koleksi adalah bagian dari karya permuseuman yang mencari, mengumpulkan, menafsirkan nilai-nilai missioner peninggalan misi, dan menata koleksi.73 Penyajian koleksi kepada publik bukanlah suatu kegiatan yang bebas dari penilaian yang tunduk pada persyaratan keahlian dan pemberian bentuk yang baik dan estetis. Namun, kegiatan itu merangkum segala hal yang berkaitan dengan cara museum menyampaikan informasi kepada pengunjung.74

b. Bidang preparasi konservasi

Bidang preparasi konservasi adalah bagian dari karya permuseuman yang bertugas mengelola dan memelihara gedung museum serta mengusahakan pengembangan gedung dan sarana prasarana demi tercapai tujuan MMM PAM.75 c. Bidang edukasi

Bidang edukasi adalah bidang karya yang bertugas menghidupkan semangat MMM PAM dengan merumuskan dan mengembangkan konsep. Bidang edukasi secara konkret terwujud dalam pendampingan pengunjung.76

71

R. Sani Wibowo, SJ., “Membangun Museum yang Hidup” Rohani, No. 11, Tahun ke-60, November 2013, hlm. 5

72

Tim MMM PAM, op. cit, hlm. v 73

R. Sani Wibowo, SJ., op. cit, hlm. 5 74

Schouten, op. cit, hlm. 23 75

R. Sani Wibowo, loc. cit

76


(45)

6. Konsep Pendidikan Karakter a. Definisi Pendidikan

Dalam Bahasa Indonesia, pendidikan, berasal dari kata „didik‟, diartikan sebagai proses perubahan pikiran dan perasaan, perilaku secara keseluruhan baik terhadap individu maupun kelompok. Dalam pengertian luas pendidikan juga melibatkan lingkungan sosial, struktur sosial, institusi sosial. Pada tujuan terakhirlah, sebagai cita-cita yang berkaitan dengan dimensi masyarakat secara keseluruhan, masyarakat damai dan sejahtera, di dalam individu, kelompok, bangsa, dan negara, atas dasar keberhasilannya dalam meningkatkan pendidikan, terjadi sikap saling menghargai, saling menghormati, bahkan saling mengkritik dalam arti positif.77

Sementara itu, Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 mendefinisikan pendidikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran sehingga peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan, masyarakat, bangsa dan negara.78

Pendidikan sejatinya merupakan hak dasar bagi setiap individu. Pendidikan adalah sarana penumbuhan dan pengembangan dimensi-dimensi kemanusiaan menuju terwujudnya kehidupan yang memposisikan pada derajat kemanusiaan yang hakiki. Pendidikan bukanlah tempat membentuk manusia yang

77

Nyoman Kutha Ratna, Peranan Karya Sastra, Seni, dan Budaya dalam Pendidikan Karakter (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014) hlm. 74

78

Made Pidarta, Landasan Kependidikan: Stimulus Ilmu Pendidikan Bercorak Indonesia (Jakarta: Rhineka Cipta, 2013) hlm. 11


(46)

hanya mementingkan aspek kecerdasan (kognitif), seperti yang selama ini tampak dalam kebanyakan realitas pendidikan di Indonesia ataupun sebagai sarana melestarikan hegemoni atau penindasan terhadap kaum lemah oleh individu ataupun kelompok yang dominan dan hegemonik. Pendidikan adalah upaya mencapai kemerdekaan, pembebasan, dan kesetaraan bagi setiap individu maupun kelompok yang terlibat dalam pendidikan, terutama bagi peserta didik.79

b. Definisi Karakter

Watak atau karakter berasal dari kata Yunani “charassein”, yang berarti barang atau alat untuk menggores, yang kemudian hari dipahami sebagai stempel / cap. Jadi, watak itu sebuah stempel atau cap, sifat-sifat yang melekat pada seseorang. Watak sebagai sifat seseorang dapat dibentuk, artinya watak seseorang dapat berubah, kendati watak mengandung unsur bawaan (potensi internal), yang setiap orang dapat berbeda. Namun, watak amat dipengaruhi oleh faktor eksternal, yaitu keluarga, sekolah, masyarakat, lingkungan pergaulan dan lain-lain.80 Karakter menjadi identitas, menjadi ciri, menjadi sifat yang tetap, yang mengatasi pengalaman kontingen yang selalu berubah.

Karakter dimaknai sebagai cara berpikir dan berperilaku yang khas tiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Secara universal berbagai karakter dirumuskan sebagai nilai hidup bersama berdasarkan atas pilar: kedamaian (peace), menghargai (respect), kerjasama (cooperation), kebebasan (freedom), kebahagiaan (happiness), kejujuran (honesty), kerendahan hati (humility), kasih sayang (love),

79

Mukhrizal Arif, dkk, Pendidikan Posmodernisme (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2014), hlm. 247 80

Sutarjo Adisusilo, Pembelajaran Nilai-Karakter: Konstruktivisme dan VCT Sebagai Inovasi Pendekatan Pembelajaran Afektif (Depok: RajaGrafindo Persada, 2014) hlm. 76-77


(47)

tanggungjawab (responsibility), kesederhanaan (simplicity), toleransi (tolerance), dan persatuan (unity).81

Jadi, karakter adalah seperangkat nilai yang telah menjadi kebiasaan hidup sehingga menjadi sifat tetap dalam diri seseorang, misalnya kerja keras, pantang menyerah, jujur, sederhana, dan lain-lain. Adanya karakter itulah kualitas seorang pribadi diukur.82 Karakter seseorang dipengaruhi oleh lingkungan sekitar (lingkungan sosial budaya dan lingkungan fisik). Karakter menjadi akar atau dasar dari semua tindakan baik tindakan baik maupun jahat.

c. Definisi Pendidikan Karakter

Dalam pengertian yang sederhana, pendidikan karakter adalah hal positif yang dilakukan oleh guru dan berpengaruh kepada karakter siswa yang diajarnya. Pendidikan karakter adalah upaya sadar dan sungguh-sungguh dari seorang guru untuk mengajarkan nilai-nilai kepada siswanya.83 Pendidikan karakter menurut Scerenko seperti yang dikutip oleh Muchlas Samani dan Hariyanto, dapat dimaknai sebagai upaya yang dikembangkan, didorong dan diberdayakan melalui keteladanan, kajian (sejarah, dan biografi tokoh bijak dan pemikir besar), serta praktik emulasi (usaha yang maksimal untuk mewujudkan makna dari apa-apa yang diamati dan dipelajari).84

Pengertian pendidikan karakter secara luas adalah melindungi diri sendiri, membentuk kepribadian mandiri yang didasarkan atas keyakinan tertentu, baik yang bersifat individu maupun kelompok, dan dengan sendirinya bangsa dan

81

Muchlas Samani dan Hariyanto, Konsep dan Model Pendidikan Karakter (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2013) hlm. 43

82

Sutarjo Adisusilo, op. cit, hlm. 78 83

Muchlas Samani dan Hariyanto, loc.it. 84


(48)

negara. Pendidikan karakter bagi bangsa Indonesia harus sesuai dengan jiwa dan semangat Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.85 Pendidikan karakter menjadi sarana pengembangan kemampuan yang bersinambungan dalam diri manusia untuk mengadakan internalisasi nilai. Menurut Plato seperti yang dikutip oleh Doni Koesoema, pendidikan karakter merupakan sebuah kinerja dari sebuah sistem pembinaan dan pembentukan untuk menciptakan sosok pribadi pemimpin yang akan membawa masyarakat pada suatu kebaikan dan keadilan.86

d. Tujuan Pendidikan Karakter

Tujuan utama pendidikan karakter adalah menumbuhkan seorang individu menjadi pribadi yang memiliki integritas moral sekaligus mampu mengusahakan sebuah ruang lingkup kehidupan yang menghayati integritas moralnya dalam tatanan kehidupan masyarakat. Ruang lingkup pendidikan karakter tidak hanya individual tetapi juga melibatkan lingkungan sosial. Pendidikan karakter bertujuan sebagai acuan bagi kehidupan pribadi maupun kehidupan bersama.87

Pusat Kurikulum Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan Nasional menyatakan bahwa tujuan pendidikan karakter adalah membentuk bangsa yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, bermoral, bertoleran, bergotong royong, berjiwa patriotik, berkembang dinamis, berorientasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang semuanya dijiwai oleh iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan Pancasila.88 Pendidikan karakter akan memperluas wawasan para pelajar tentang nilai-nilai moral sehingga mereka

85

Nyoman Kutha Ratna, op. cit, hlm. 132 86

Doni Koesoema A, Pendidikan Karakter Strategi Mendidik Anak di Zaman Global, (Jakarta: Gramedia, 2010) hlm. 104-112

87

Muchlas Samani dan Hariyanto, op. cit, hlm. 52 88


(49)

semakin mampu dalam mengambil keputusan yang dapat dipertanggungjawabkan secara moral.89

e. Fungsi Pendidikan Karakter

Fungsi pendidikan karakter telah dirumuskan oleh Pusat Kurikulum, sebagai berikut:90

1) Mengembangkan potensi dasar agar berhati baik, berpikiran baik, dan berperilaku baik. Pendidikan karakter berfungsi membentuk manusia cerdas yang berbudi, membaangun semangat dan tekad dengan pikiran yang positif dan sikap optimis, serta dengan rasa persaudaraan, persatuan dan kebersamaan yang tinggi.91

2) Memperkuat dan membangun perilaku bangsa yang multikultur. Pendidikan karakter menyadarkan bahwa pluralitas suku, bahasa, agama justru memberikan kekayaan milik bersama yang harus dipelihara dan dikembangkan.92

3) Meningkatkan peradaban bangsa yang kompetitif dalam pergaulan dunia. Pendidikan karakter mengajarkan manusia terbiasa disiplin dan kerja keras. Karakter disiplin dan kerja keras mampu menjadikan peradaban bangsa sebagai bangsa yang memiliki daya saing di dalam pergaulan dunia.

f. Pendidikan Karakter dalam Kehidupan Sehari-hari

Pendidikan karakter bisa diselenggarakan dalam bentuk formal seperti yang dilakukan dalam dunia pendidikan dan juga bisa diselenggarakan secara non

89

Dony Koesoema, op. cit, hlm. 116 90

Muchlas Samani dan Hariyanto, op. cit, hlm.52 91

Syamsul Kurniawan, Pendidikan Karakter, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2013), hlm. 104 92

Muhammad Yaumi, Pendidikan Karakter: Landasan, Pilar dan implemantasi, (Jakarta: Kencana, 2014), hlm. 81


(50)

formal. Tanpa disadari pendidikan karakter di tengah masyarakat justru lebih banyak dilakukan karena sejak lahir hingga dewasa manusia selalu berhubungan dengan masyarakat. Pada dasarnya karakterisasi terbentuk sepanjang hayat sehingga pendidikan karakter adalah keseluruhan hidup itu sendiri.93

Masyarakat menjadi laboratorium bagi pendidikan karakter. Pendidikan karakter akan menemukan verifikasi nilainya secara nyata (konkret) ketika pembelajaran akan norma dan perilaku yang membentuk individu itu semakin lama menjadi sistem nilai bersama yang mampu menjaga stabilitas masyarakat.94 Masyarakat dimaknai sebagai tempat di mana pada akhirnya pendidikan karakter itu hadir. Pendidikan karakter juga sebagai sarana pedagogis bagi masyarakat luar sehingga dapat menumbuhkan perilaku dan tata nilai yang bermakna dalam kehidupan bermasyarakat. Hasil yang baik dari pendidikan karakter bukan hanya dilihat dari peserta didik saja tetapi juga masyarakat yang bergerak bersama.95

B. Kerangka Berpikir

Museum didirikan sebagai tempat untuk menyimpan benda-benda bersejarah sekaligus sebagai sarana pewarisan nilai-nilai dari generasi terdahulu kepada generasi berikutnya. Pewarisan nilai-nilai di museum bisa dilakukan dengan menyampaikan cerita di balik koleksi yang ada. Misalnya saja melalui kegiatan pendampingan kepada masyarakat yang berkunjung ke museum.

Museum Misi Muntilan merupakan museum yang selalu melakukan pendampingan terhadap masyarakat yang berkunjung. Pendampingan dilakukan

93

Nyoman Kutha Ratna, op. cit, hlm. 239 94

Dony Koesoema, op. cit, hlm. 187 95


(51)

agar masyarakat yang datang tidak hanya sekedar melihat koleksi saja. Pendampingan itu memudahkan masyarakat dalam menemukan nilai-nilai yang ada termasuk nilai karakter pada tokoh-tokoh yang ditampilkan di Museum Misi Muntilan. Cerita mengenai tokoh-tokoh yang ditampilkan di museum menjadi stimulus yang diterima oleh masyarakat melalui panca indera yang selanjutnya diolah menjadi persepsi. Tokoh-tokoh yang ditampilkan di Museum Misi Muntilan memiliki karakter yang dapat dijadikan teladan bagi umat yang beragama Katolik maupun yang bukan Katolik.

Selain menampilkan tokoh-tokoh berkarakter, Museum Misi Muntilan juga memiliki berbagai kegiatan positif. Kegiatan tersebut di antaranya adalah Novena Selasa Kliwonan, gelar budaya, dan buka puasa bersama dengan masyarakat dari pondok pesantren. Hal ini menunjukkan penghayatan terhadap nilai karakter khususnya dalam toleransi umat beragama dan menghargai kebudayaan pada masyarakat multikultur.

Tidak hanya pendampingan di museum saja, Museum Misi Muntilan juga melakukan pendampingan kepada PIA (Pendampingan Iman Anak) dan OMK (Orang Muda Katolik). Pendampingan dilakukan oleh tim edukasi Museum Misi Muntilan. Pendampingan ini biasanya dilakukan di museum maupun di luar museum misalnya di paroki-paroki. Melalui pendampingan ini berbagai karakter ditanamkan kepada anak-anak maupun remaja. Karakter yang ditanamkan dari pendampingan tersebut seperti toleransi (bukan hanya terhadap agama saja tetapi juga toleransi terhadap budaya), kemandirian, percaya diri, dan semangat persaudaraan di mana tidak ada perbedaan antara yang miskin dan kaya.


(52)

Adanya pendampingan terhadap masyarakat, PIA maupun OMK dan kegiatan-kegiatan positif yang dilakukan oleh pengelola museum tersebut diharapkan muncul persepsi masyarakat terhadap keberadaan Museum Misi Muntilan sebagai sarana pendidikan karakter.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat dibuat skema kerangka berpikir sebagai berikut:

Gambar I: Kerangka Berpikir MUSEUM MISI

MUNTILAN

KOLEKSI KEGIATAN

MASYARAKAT

PERSEPSI

PENDIDIKAN KARAKTER


(53)

35 BAB III

METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi objek yang tidak dimanipulasi oleh peneliti.96 Penelitian kualitatif adalah jenis penelitian yang menghasilkan temuan atau data yang tidak diperoleh dengan prosedur statistik. Penelitian ini menekankan penggunaan data nonstatistik dalam proses analisis data hingga dihasilkan temuan penelitian secara ilmiah.97 Penelitian kualitatif didefinisikan sebagai metode penelitian ilmu-ilmu sosial yang mengumpulkan dan menganalisis data berupa kata-kata (lisan maupun tulisan) dan perbuatan-perbuatan manusia dan peneliti tidak perlu menganalisis angka-angka sehingga data yang diperoleh tidak dikuantifikasikan.98

Menurut Bogdan dan Taylor dalam Andi Prastowo, penelitian kualitatif diartikan sebagai penelitian yang menghasilkan data deskriptif kualitatif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati serta diarahkan pada latar dan individu secara menyeluruh (holistik).99 Dalam penelitian ini mengunakan metode studi kasus. Studi kasus adalah salah satu jenis penelitian dari penelitian kualitatif. Penelitian studi kasus yaitu studi yang

96

Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, (Bandung: Alfabeta, 2014), hlm. 1-2 97

Rulam Ahmadi, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2014), hal 15 98

Afrizal, Metode Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Rajagrafindo, 2015) hlm.13 99

Andi Prastowo, Metode Penelitian Kualitatif dalam Perspektif Rancangan Penelitian, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2014) hlm. 22


(54)

mengeksplorasi suatu masalah dengan batasan terperinci dan pengambilan data mendalam serta menyertakan sumber informasi.100

B. Tempat dan Waktu Penelitian 1. Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Museum Misi Muntilan Pusat Animasi Misioner. Museum Misi Muntilan terletak di Jalan Kartini 3, Muntilan, Jawa Tengah.

2. Waktu Penelitian

Berikut ini merupakan penjabaran dari pelaksanaan penelitian di Museum Misi Muntilan:

Tabel. 1 Jadwal Penelitian

No. Kegiatan Bulan

Maret April Mei Juni Juli 1. Persiapan

2. Observasi

3. Pengambilan data 4. Pengolahan data 5. Penyusunan laporan

C. Sumber Data

Data pada penelitian kualitatif diperoleh secara verbal melalui wawancara atau dalam bentuk tertulis melalui analisis dokumen. Pada dasarnya data kualitatif itu terdiri atas kutipan atau jawaban dan deskripsi tentang situasi, peristiwa, dan interaksi.101 Peneliti menentukan sumber data yang digunakan pada penelitian ini yaitu lokasi penelitian, informan (pengelola dan pengunjung Museum Misi

100

Hamid Darmadi, Metode Penelitian Pendidikan dan Sosial, ( Bandung: Alfabeta, 2014) hlm 291

101


(55)

Muntilan, dan guru SMP Kanisius Muntilan dan SMA Pangudi Luhur van Lith), koleksi benda museum dan dokumen museum berupa notulen rapat Museum Misi Muntilan, dan buku kesan pengunjung dari tahun 2013 hingga tahun 2016.

D. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data adalah teknik yang digunakan peneliti untuk mendapatkan data yang standar.102 Teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu:

1. Observasi

Observasi adalah pengamatan dan pencatatan yang sistematis terhadap gejala-gejala yang diteliti.103 Observasi yang dilakukan peneliti adalah observasi partisipatif aktif. Observasi partisipatif aktif maksudnya peneliti ikut terlibat pada kegiatan yang dilakukan oleh narasumber agar data yang diperoleh lebih lengkap dan tajam.104 Jadi, ketika melakukan observasi pada penelitian ini peneliti ikut mendampingi pengunjung bersama dengan pengelola Museum Misi Muntilan. Peneliti melakukan pengamatan di Museum Misi Muntilan sesuai dengan pedoman atau instrumen observasi yang telah dibuat oleh peneliti.

2. Wawancara

Wawancara adalah tanya jawab secara lisan antara dua orang atau lebih secara langsung. Orang yang mewawancarai disebut interviewer sedangkan orang

102

Sugiyono, op. cit, hlm. 62 103

Husaini Usman dan Purnomo Setiady Akbar, Metodologi Penelitian Sosial (Edisi Kedua), (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), hlm. 52

104


(56)

yang diwawancarai disebut interviewee.105 Wawancara menjadi teknik pengumpulan data yang sering dilakukan dalam penelitian kualitatif.106 Ada berbagai jenis wawancara namun jenis wawancara yang dilakukan oleh peneliti adalah wawancara semi terstruktrur (semi structure interview). Wawancara semi terstruktur yaitu jenis wawancara yang termasuk kategori in-dept interview bertujuan untuk menemukan permasalahan lebih terbuka dengan mengajak narasumber atau informan ikut menyampaikan pendapatnya.107

Wawancara merupakan teknik pengumpulan data dalam penelitian mengenai pendapat, sikap ataupun persepsi. Kelebihan teknik wawancara adalah dapat mengumpulkan data yang lebih luas dan memunculkan sesuatu yang belum terpikirkan sebelumnya.108 Dalam penelitian ini peneliti melakukan wawancara kepada pengunjung, guru SMP Kanisius Muntilan dan guru SMA Pangudi Luhur van Lith, dan pengelola Museum Misi Muntilan.

3. Dokumentasi

Teknik pengumpulan data menggunakan dokumentasi ialah teknik pengambilan data yang diperoleh melalui dokumen-dokumen.109 Dokumen merupakan catatan peristiwa berupa tulisan, gambar maupun karya seseorang. Dokumentasi merupakan pelengkap dari penggunaan observasi dan wawancara.110 Dokumentasi dalam penelitian ini menggunakan data pengunjung, catatan dari

105

Husaini Usman dan Purnomo Setiady Akbar, op. cit, hlm. 55 106

Wina Sanjaya, Penelitian Pendidikan: Jenis, Metode dan Prosedur, (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2013) hlm. 263

107

Sugiyono, op. cit, hal 73 108

Wina Sanjaya, op. cit, hlm. 263 109

Husaini Usman dan Purnomo Setiady Akbar, op. cit, hlm. 69 110


(57)

rapat pleno MMM tahun 2015, buku pedoman Museum Misi Muntilan dan buku kesan pengunjung dari tahun 2013 hingga 2016.

E. Instrumen Pengumpulan Data

Instrumen pengumpulan data adalah alat bantu yang dipilih dan digunakan oleh peneliti dalam kegiatan mengumpulkan data agar pengumpulan data menjadi lebih mudah dan sistematis.111 Instrumen pengumpulan data tergantung pada metode penelitian. Berikut ini instrumen pengumpulan data yang peneliti gunakan:

1. Instrumen Observasi

Instrumen observasi adalah alat yang berfungsi sebagai pedoman bagi

observer untuk mencatat hasil pengamatannya tentang hal-hal yang menjadi bahan

observasinya. Untuk mencatat hasil observasi, peneliti menggunakan lembar pengamatan berupa check list atau daftar cek. Check list adalah pedoman observasi yang berisikan daftar aspek yang diamati.112 Aspek yang diamati antara lain: lokasi museum, sarana-prasarana yang dimiliki museum dan ketenagakerjaan museum. (selengkapnya lihat lampiran)

2. Instrumen Wawancara

Instrumen wawancara adalah pedoman yang digunakan peneliti ketika melakukan wawancara. Instrumen wawancara ini digunakan peneliti sebagai alat untuk menggali informasi dari pengelola museum, pengunjung museum dan guru dari SMP Kanisius Muntilan dan SMA Pangudi Luhur van Lith. Instrumen

111

Suharsimi Arikunto, Manajemen Penelitian, (Jakarta: Rhineka Cipta, 2000), hlm. 101 112


(58)

wawancara kepada pengelola digunakan untuk menggali informasi tentang sejarah Museum Misi Muntilan, kegiatan edukasi yang berkaitan dengan pendidikan karakter, dan persepsi pengelola terhadap Museum Misi Muntilan sebagai pendidikan karakter. Instrumen wawancara kepada pengunjung digunakan untuk menggali informasi tentang pendapatnya mengenai koleksi museum dan persepsi terhadap museum sebagai sarana pendidikan. Instrumen yang digunakan kepada guru SMP Kanisius Muntilan dan SMA Pangudi luhur untuk menggali informasi tentang sarana pembelajaran dan sarana pendidikan karakter. (Selengkapnya lihat

lampiran)

3. Instrumen Dokumentasi

Instrumen dokumentasi dalam penelitian ini adalah dokumen-dokumen yang berupa data pengunjung, data kegiatan museum, foto, gambar dan koleksi-koleksi yang ada.

F. Pengambilan Sampel

Sampel yang dimaksud dalam penelitian ini bukanlah sampel statistik melainkan sampel teoritis.113 Sampel teoritis adalah sampel yang didasarkan pada konsep-konsep yang terbukti secara teoritik dengan teori yang sedang disusun.114 Dalam penelitian kualitatif sampel disebut dengan narasumber, partisipan, dan informan.115 Teknik pengambilan sampel ada dua macam, yaitu: Probability

Sampling dan Nonprobability Sampling. Probability Sampling adalah teknik

113

Ibid. hlm. 50 114

Anselm Strauss dan Juliet Corbin, Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif (terjemahan), (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2009) hlm. 196

115


(1)

3) Jelaskan yang dimaksud dengan Museum Misi Muntilan sebagai sarana pendidikan karakter!

Kunci Jawaban

1) Sejarah berdirinya Museum Misi Muntilan:

Museum Misi Muntilan berdiri sejak tahun 2002 dan diresmikan tanggal 12 Desember 2004 oleh Mgr. Ignatius Suharyo. Latar belakang berdirinya Museum Misi Muntilan bermula ketika Keuskupan Agung Semarang memperingati ulang tahun ke-50 dengan membuat berbagai program salah satunya pembuatan museum. Alasan museum diletakkan di Muntilan adalah terkait dengan alasan historis bahwa Muntilan adalah tempat awal mula berkembangnya Gereja Katolik di Jawad dan di sanalah Romo van Lith melakukan karya misinya. Benda-benda koleksi Museum Misi berasal dari Wisma KAS dan umat. Pada perkembangannya Museum Misi Muntilan disebut sebagai museum yang hidup karena museum ini tidak hanya memajangkan koleksi saja tetapi pengelolanya melakukan pendampingan kepada pengunjung. Tujuannya agar pengunjung mendapatkan makna dari kunjungan ke museum.

2) Kegiatan yang berkaitan dengan pendidikan karakter di Museum Misi Muntilan

Kegiatan yang berkaitan dengan pendidikan karakter di Museum Misi Muntilan adalah kegiatan edukasi. Kegiatan edukasi ini meliputi pendampingan kepada masyarakat, Novena Misioner Malam Selasa Kliwon, dan pendampingan Masa Orientasi Siswa SMA Pangudi Luhur van Lith. Kegiatan tersebut berkaitan dengan pendidikan karakter karena setiap kegiatan dikembangkan melalui keteladanan para tokoh misioner sebagai usaha untuk mewujudkan makna dari karakter tokoh misioner yang dipelajari melalui kegiatan edukasi. Kegiatan edukasi tersebut tidak harus dilaksanakan di museum sebab


(2)

yang paling diutamakan dalam kegiatan ini adalah penanaman nilai-nilainya.

3) Museum Misi Muntilan sebagai sarana pendidikan karakter

Museum Misi Muntilan sebagai sarana pendidikan karakter maksudnya adalah museum menjadi tempat dalam pengembangan karakter atau sebagai sarana dalam internalisasi nilai, khususnya karakter misioner. Museum Misi Muntilan tidak hanya memamerkan atau memajang benda peninggalan masa lalu saja tetapi juga membantu masyarakat menggali nilai atau makna dari koleksi tersebut. Museum Misi mampu mengolah benda-benda koleksi tersebut menjadi bermakna bagi setiap orang yang mengunjungi sehingga para pegunjung terkesan dengan apa yang dihadirkan oleh museum. Museum Misi Muntilan sebagai sarana pendidikan karakter ini sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh pemerintah dalam menciptakan generasi yang berkarakter. Museum selalu melakukan pendampingan di berbagai tempat dan tidak hanya terikat dengan koleksinya.

c. Psikomotorik

1) Teknik Penilaian : Penugasan 2) Bentuk Instrumen : Lembar Tugas 3) Instrumen

Buatlah artikel tentang pengaruh imperialisme dan kolonialisme Barat di Indonesia dalam bidang agama khususnya mengenai salah satu tokoh yang menginspirasi hidupmu yang ditampilkan di Museum Misi Muntilan!

No Peserta Didik Indikator Jumlah R eleva nsi P erumusa n Masa lah Isi P enutup Da fta r P ustaka

(1-4) (1-4) (1-15) (1-4) (1-3) 30 1.


(3)

Petunjuk Penskoran

Peserta didik memperoleh nilai:

Baik sekali: apabila memperoleh skor 26-30 Baik : apabila memperoleh skor 18-25 Cukup : apabila memperoleh skor 9-17 Kurang : apabila memperoleh skor 1-8 d. Pembelajaran Remidial dan Pengayaan

Pembelajaran remidial dilaksanakan segera setelah diadakan penilai bagi peserta didik yang mendapat nilai di bawah 75 dengan mengerjakan kembali soal uji kompetensi.

Pengayaan dilaksanakan peserta didik yang mendapatkan nilai di atas 75 dengan memberikan latihan soal.

Yogyakarta, 18 Juli 2017

Nur Ardita Rahmawati 131314047


(4)

Materi Pembelajaran

1. Sejarah Museum Misi Muntilan

Sejarah Museum Misi Muntilan Pusat Animasi Misioner (selanjutnya disingkat MMM PAM) bermula dari peringatan 50 tahun Gereja Keuskupan Agung Semarang (KAS) tahun 1990. Pada peringatan tersebut Gereja KAS menyusun beberapa program. Beberapa program yang disusun tersebut diarahkan untuk umat. Beberapa program tersebut antara lain: pendataan, musyawarah pastoral, penulisan sejarah dan pendirian museum. Pada tahun 1992 sebenarnya sudah dirintis sebuah museum Gereja KAS yang berada di Wisma Uskup KAS, Jalan Pandanaran 13, Semarang. Museum tersebut berisi benda-benda peninggalan yang berkaitan dengan sejarah Gereja KAS seperti peninggalan dari para missionaris, para pendiri konggregasi dan dokumen-dokumen penting yang berkaitan. Koleksinya pun cukup banyak. Namun, museum tersebut kurang memadai. Melalui rapat Dewan Konsultator KAS yang dilaksanakan tanggal 3 Februari, 6 April, dan 1 Juni 1998 memutuskan untuk memindah museum KAS dari Semarang ke Muntilan. Alasan Muntilan dipilih sebagai tempat untuk museum yang baru karena ada pertimbangan historis. Muntilan adalah tempat dimana Romo van Lith menjalankan karya misinya. Museum ini mulai difungsikan pada awal Januari 2002 dan berkantor di Jalan Kartini 3 Muntilan. pada tanggal 12 Desember 2004, museum diresmikan dan diberkati oleh Mgr. Ignatius Suharyo. Beliau menetapkan nama museum menjadi Museum Misi Muntilan Pusat Animasi Misioner (MMM PAM).

2. Kegiatan yang Berkaitan dengan Pendidikan Karakter

Kegiatan di bidang edukasi yang diselenggarakan oleh MMM berkaitan erat dengan pembentukan karakter. Kegiatan edukasi di MMM dapat menjadi sarana pendidikan karakter. Pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai upaya yang dikembangkan, didorong dan diberdayakan melalui keteladanan, kajian (sejarah, dan biografi para bijak dan pemikir besar), serta praktik emulasi (usaha yang maksimal untuk mewujudkan makna dari apa-apa yang diamati dan dipelajari). Sesuai dengan teori di atas bahwa pendidikan karakter di MMM dapat


(5)

dimaknai sebagai upaya yang dikembangkan melalui keteladanan para tokoh misioner sebagai usaha untuk mewujudkan makna dari karakter tokoh misioner yang dipelajari melalui kegiatan edukasi. Kegiatan edukasi yang sering diselenggarakan adalah pendampingan kepada masyarakat. Ada dua kategori pendampingan yang dilakukan, yakni pendampingan singkat dan pendampingan panjang. Selain itu, kegiatan edukasi yang berkaitan dengan pendidikan karakter adalah Novena Misioner Selasa Kliwonan yang sebelumnya bernama Novena Jumat Kliwonan. Novena Misioner Selasa Kliwonan yaitu pertemuan yang diselenggarakan 35 hari sekali. Kegiatan edukasi lain yang masih berkaitan dengan pendidikan karakter adalah orientasi sekolah yang dilakukan atas kerja sama antara sekolah yang ada di sekitar museum dengan MMM. Misalnya SMA Pangudi Luhur van Lith yang mengajak siswanya berkunjung ke museum untuk mengenal tokoh-tokoh terutama Romo van Lith.

3. Museum Misi Muntilan sebagai Sarana Pendidikan Karakter

Pendidikan karakter memiliki banyak fungsi seperti: (1) mengembangkan potensi dasar agar berhati baik, berpikiran baik, dan berperilaku baik; (2) memperkuat dan membangun perilaku bangsa yang multikultur; dan (3) meningkatkan peradaban bangsa yang kompetitif dalam pergaulan dunia. Fungsi pendidikan karakter pada teori di atas terwujud dalam kegiatan edukasi yang ada di MMM. Melalui pendampingan, masyarakat diajak untuk mengembangkan karakter sehingga bisa selalu berperilaku baik, dan membangun perilaku bangsa yang multikultur dengan mengenalkan tokoh-tokoh teladan yang berasal dari berbagai daerah, suku, bahkan dari luar negeri. Tujuan utama pendidikan karakter adalah menumbuhkan seorang individu menjadi pribadi yang memiliki integritas moral, bukan hanya sebagai individu, namun sekaligus mampu mengusahakan sebuah ruang lingkup kehidupan yang mengahayati integritas moralnya dalam tatanan kehidupan masyarakat. Maka ruang lingkup pendidikan karakter tidak hanya individual tetapi juga melibatkan lingkungan sosial seperti halnya di Museum Misi Muntilan.


(6)