Kadar lemak AOAC 2005 Simpulan

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Sifat Fisikokimia Umbi Walur 4.1.1 Analisis proksimat Walur merupakan salah satu jenis tanaman umbi-umbian yang termasuk ke dalam keluarga Amorphophallus yang belum banyak dieksplorasi. Hal ini dikarenakan tanaman ini masih dianggap sebagai tanaman pengganggu atau hama sehingga sedikit sekali penelitian mengenai tanaman ini. Salah satu analisis yang paling penting adalah analisis proksimat. Hasil analisis proksimat umbi walur menunjukkan bahwa umbi walur memiliki kadar air sebesar 74,46, kadar lemak sebesar 14,41, kadar protein 6,42, kadar abu 4,89, kadar karbohidrat sebesar 74,28 dan kadar amilosa sebesar 22,4. Hasil analisis proksimat ini tidak berbeda jauh dengan hasil analisis proksimat umbi suweg oleh Das et al. 2009 seperti yang tertera pada Tabel 1. Tabel 1. Hasil analisis proksimat dari umbi walur dan data proksimat dari umbi suweg. No. Komposisi kimia Walur Suweg a 1. Kadar air bb 74,46 78,7 2. Kadar lemak bk 14,41 0,47 3. Kadar protein bk 6,42 5,63 4. Kadar abu bk 4,89 7,51 5. Kadar karbohidrat bk 74,28 86,38 6. Kadar amilosa bk 22,4 18,3 a Das et al. 2009 Umbi suweg merupakan kerabat terdekat dari umbi walur yang masih satu spesies tapi berbeda varietas, dimana umbi suweg ini sudah dimanfaatkan secara meluas oleh masyarakat untuk dikonsumsi. Pada Tabel 1 terlihat bahwa kadar karbohidrat pada umbi walur lebih rendah dibandingkan dengan umbi suweg, namun hasil tersebut masih mengindikasikan bahwa umbi walur memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai sumber bahan pangan alternatif.

4.1.2 Bentuk, ukuran dan sifat birefrigence granula pati umbi walur

Gambar 7a menunjukkan sifat birefringence dari pati, yaitu sifat granula pati yang dapat merefleksikan cahaya terpolarisasi sehingga dibawah mikroskop terpolarisasi membentuk bidang berwarna biru dan kuning. Warna biru dan kuning pada permukaan granula pati disebabkan oleh adanya perbedaan indeks refraktif dalam granula pati. Indeks refraktif tersebut dipengaruhi oleh struktur molekular amilosa dalam pati French 1984. a b Gambar 7. Bentuk granula pati umbi walur a Mikroskop polarisasi ; b Scanning Electron Microscop Berdasarkan hasil Scanning Electron Microscop SEM pada Gambar 7b diketahui bahwa ukuran granula pati umbi walur adalah berkisar antara 10 hingga 22 μm. Hasil ini sangat berbeda dengan granula pati pada umbi suweg dan terigu, dimana ukuran granula pati pada umbi suweg sebesar 5 µm Richana dan Titi 2004 dan ukuran granula pati pada terigu sebesar 10 – 35 µm Fennema 1996. Perbedaan bentuk dan ukuran granula dari setiap jenis pati disebabkan oleh molekul penyusunnya, yaitu amilosa dan amilopektin. Menurut Hoover 2001 g ranula pati biasanya memiliki ukuran mulai dari 1 μm hingga 100 μm dan biasanya bentuk granula pati berbeda-beda tergantung dari sumber patinya. Namun, biasanya granula pati berbentuk oval, dengan adanya lingkaran, sperikal, bersudut banyak ataupun irregular. Berdasarkan Gambar 7b, dapat diketahui bahwa granula pati umbi walur berbentuk oval bersudut banyak polygonal. 10 µm 21,48 µm 4.2 Reduksi Oksalat 4.2.1 Pengaruh berbagai jenis pelarut terhadap kandungan oksalat Proses reduksi oksalat dilakukan dengan tahapan pemanasan selama 3 jam dan diikuti proses perendaman irisan umbi walur dalam berbagai jenis pelarut, yaitu air, NaCl 0,7 N, NaOH 0,2 N dan HCl 0,2 N. Proses pemanasan selama 3 jam dan konsentrasi pelarut tersebut dipilih berdasarkan hasil penelitian Mayasari 2010. Proses pemanasan selama 3 jam bertujuan untuk merusak kristal kalsium oksalat secara mekanis sehingga proses pelarutan kalsium oksalat menjadi lebih mudah Mayasari 2010. Menurut Savage dan Martenson 2010, proses perebusan pada umbi talas hanya mampu mengurangi kandungan oksalat total sebanyak 50. Pengaruh perlakuan perendaman irisan umbi walur dengan perlakuan pemanasan pada suhu 45 o C selama 3 jam dan perendaman pada berbagai jenis pelarut selama 30 menit terhadap total oksalat ppm disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Pengaruh perlakuan perendaman irisan umbi walur dengan perlakuan pemanasan pada suhu 45 o C selama 3 jam dan perendaman pada berbagai jenis pelarut selama 30 menit terhadap total oksalat ppm. Pelarut Total Oksalat ppm Penurunan Segar tanpa perlakuan 38237,99 - Air 8301,30 78,29 HCl 0,2 N 1642,51 95,70 NaOH 0,2 N 8509,40 77,75 NaCl 1,7 N 7349,49 80,78 Seperti yang terlihat pada Tabel 2, umbi walur segar memiliki total oksalat sekitar 38.237,99 ppm. Hasil ini jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan kandungan oksalat dalam umbi talas Colocasia esculenta L. Schoot yang memiliki kandungan total oksalat sebesar 6.940 ppm Savage dan Martenson 2010. Tanaman Colocasia esculenta merupakan jenis tanaman talas-talasan yang paling utama digunakan sebagai bahan makanan pokok terutama di daerah Asia Pasifik Catherwood et al. 2007. Semua jenis pelarut yang digunakan dapat menurunkan kandungan oksalat dalam umbi walur dengan persen penurunan 21.48 μm tertinggi yaitu sebesar 95,70 pada pelarut HCl 0,2 N dan persen penurunan terendah sebesar 77,75 pada pelarut NaOH 0,2 N. Persentase penurunan oksalat pada umbi walur yang direndam dengan menggunakan air dan NaCl berturut-turut sebesar 78,29 dan 80,78 . Hasil analisis ragam dengan selang kepercayaan 95 menunjukkan bahwa jenis pelarut pada proses penurunan kandungan oksalat berpengaruh nyata terhadap total oksalat yang dihasilkan. Berdasarkan hasil uji lanjut Duncan didapatkan bahwa total oksalat yang dihasilkan pada perendaman dengan HCl 0,2 N berbeda nyata dengan jenis pelarut lain pada selang kepercayaan 95 . Noonan dan Savage 1999 menyatakan bahwa tipe oksalat yang tidak larut air, hanya dapat dilarutkan oleh asam dan tidak larut oleh garam dan basa, sementara oksalat yang larut air dapat dengan mudah dilarutkan di dalam air. Berdasarkan pada Tabel 2, diketahui bahwa pelarut basa memiliki persen penurunan sebesar 77,75 . Nilai ini masih berada dibawah persen penurunan oksalat dengan pelarut air, yaitu sebesar 78,29 . Hasil penelitian yang dilaporkan Noonan dan Savage 1999 menyatakan bahwa pelarut basa tidak dapat melarutkan kalsium oksalat. Reaksi kimia antara kalsium oksalat dengan pelarut NaOH, NaCl, HCl. COO 2 Ca + 2 NaOH COONa 2 + CaOH 2 COO 2 Ca + 2 NaCL COONa 2 + CaCl 2 COO 2 Ca + 2 HCl COOH 2 + CaCl 2 Mekanisme reaksi yang mungkin terjadi antara NaOH dan kalsium oksalat adalah membentuk garam Na 2 C 2 O 4 yang larut dalam air dan juga membentuk endapan kalsium hidroksida yang bersifat larut dalam air sebanyak 2 gL Cotton dan Wilkinson 1989. Namun, hal tersebut tidak dapat terjadi karena proses perendaman umbi walur dalam pelarut NaOH dilakukan tanpa adanya panas, sedangkan senyawa kalsium hidroksida membutuhkan banyak panas dalam proses pembentukannya. Seperti pembentukan kalsium hidroksida dari oksidanya CaO dan air yang prosesnya membutuhkan banyak panas Arsyad 2001. Hasil uji lanjut Duncan diketahui bahwa pelarut air dan NaCl menunjukkan total oksalat yang tidak berbeda nyata. Hal ini mengindikasikan bahwa pelarut netral kurang efektif dalam melarutkan kalsium oksalat. Apabila dilihat dari mekanisme reaksi yang mungkin terjadi antara kalsium oksalat dan NaCl, maka akan terjadi suatu reaksi penggaraman menghasilkan CaCl 2 dan Na 2 C 2 O 4 . Berdasarkan mekanisme reaksi tersebut, seharusnya proses perendaman umbi walur dengan pelarut NaCl akan menghasilkan total oksalat yang lebih rendah. Namun hal tersebut tidak terjadi pada penelitian ini, hal ini kemungkinan disebabkan garam natrium oksalat yang dihasilkan dari reaksi tersebut belum seluruhnya larut dalam air. Garam natrium oksalat memiliki nilai kelarutan dalam air yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan asam oksalat, yaitu sebesar 37gL pada suhu 20 o C Cotton dan Wilkinson 1989, sehingga lebih sulit untuk dilarutkan di dalam air pada suhu ruang. Histogram pengaruh pemanasan selama 3 jam dan perendaman dalam beberapa jenis pelarut terhadap kandungan total oksalat ppm disajikan pada Gambar 8. Gambar 8. Histogram pengaruh pemanasan selama 3 jam dan perendaman dalam beberapa jenis pelarut terhadap kandungan total oksalat ppm. Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa pelarut HCl menghasilkan total oksalat yang lebih rendah dibandingkan dengan pelarut air. Hasil ini mengindikasikan bahwa pelarut HCl dapat melarutkan kalsium oksalat. Reaksi antara asam klorida dan kalsium oksalat akan membentuk asam oksalat yang larut dalam air dan endapan kalsium klorida. Asam oksalat yang dihasilkan dari reaksi antara HCl dan kalsium oksalat memiliki nilai kelarutan sebesar 90 gL pada suhu 20 o C Cotton dan Wilkinson 1989 yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelarutan garam natrium oksalat. Hal ini diduga yang menyebabkan perendaman 38.238 8.301 1.643 8.509 7.349 5000 10000 15000 20000 25000 30000 35000 40000 45000 Segar Air HCl 0,2 N NaOH 0,2 N NaCl 1,7 N To tal Oksal at p p m Jenis Pelarut dalam pelarut HCl menghasilkan total oksalat dengan persen penurunan yang paling tinggi dibandingkan dengan pelarut lainnya. Pada Gambar 8, dapat dilihat bahwa umbi hasil pemanasan selama 3 jam dan perendaman HCl 0,2 N selama 30 menit menghasilkan persen penurunan yang paling tinggi dengan sisa oksalat sebesar 1642,51 ppm. Oleh karena itu, pelarut HCl 0,2 N dijadikan sebagai pelarut terpilih dalam proses reduksi total oksalat dari umbi walur. Namun demikian, perlu dilakukan pengujian selanjutnya untuk mencari waktu optimum perendaman dalam larutan HCl 0,2 N.

4.2.2 Pengaruh lama perendaman terhadap kandungan oksalat umbi walur

Pengaruh lama perendaman dalam larutan HCl 0,2 N dilihat melalui pengujian pada 4 taraf waktu perendaman. Taraf waktu perendaman tersebut adalah 0, 30, 60 dan 90 menit. Pada tahapan ini, dilakukan juga proses perendaman dalam larutan natrium bikarbonat 1 selama 5 menit pada setiap perlakuan waktu perendaman. Proses perendaman dalam natrium bikarbonat 1 dilakukan berdasarkan rekomendasi Kurdi 2002 yang bertujuan untuk mencegah terjadinya peningkatan kandungan oksalat. Histogram pengaruh lama perendaman HCl 0,2 N terhadap kandungan oksalat umbi walur disajikan pada Gambar 9. Gambar 9. Histogram pengaruh lama perendaman HCl 0,2 N terhadap kandungan oksalat umbi walur. Berdasarkan hasil analisis ragam dengan selang kepercayaan 95, didapatkan bahwa lama perendaman berpengaruh nyata terhadap total oksalat 40.245 1.262 1.310 1.222 5000 10000 15000 20000 25000 30000 35000 40000 45000 30 60 90 To tal Oksal at p p m Lama perendaman menit pada sampel Lampiran 2. Namun, seperti yang terlihat pada Gambar 9, dimana perpanjangan waktu perendaman diatas 30 menit tidak memberikan pengaruh yang besar terhadap penurunan total oksalat. Hal ini didukung oleh hasil analisis uji lanjut Duncan yang menunjukkan bahwa lama perendaman lebih dari 30 menit tidak menunjukkan nilai total oksalat yang berbeda nyata. Oleh sebab itu, dipilihlah perendaman HCl 0,2 N selama 30 menit sebagai proses terbaik dalam menurunkan kandungan oksalat pada umbi walur. Berdasarkan Gambar 9 di atas, terlihat bahwa proses perendaman dengan menggunakan larutan HCl 0,2 N selama 30 menit menyisakan total oksalat sebesar 1262 ppm. Dengan jumlah tersebut, apabila diasumsikan konsumsi tepung walur per hari adalah sebesar konsumsi tepung terigu, yaitu sebesar 47,8 ghari Data BPS, maka jumlah total oksalat yang dikonsumsi per hari adalah sebesar 60 mg. Nila ini berada pada selang konsentrasi yang diizinkan untuk manusia normal, namun masih berada di atas jumlah oksalat per hari yang direkomendasikan untuk orang yang memiliki penyakit batu ginjal. Konsumsi oksalat per hari yang diizinkan di Inggris adalah sebesar 70 – 150 mg Noonan dan Savage 1999. Untuk pasien yang memiliki sakit ginjal, American Dietetic Association’s Nutrition Care Manual merekomendasikan agar mengkonsumsi oksalat kurang dari 40 – 50 mg per hari. Untuk lebih mendukung hasil analisis reduksi oksalat, dilakukan pula analisis secara kualitatif dengan melihat kristal oksalat menggunakan mikroskop polarisasi. Analisis menggunakan mikroskop polarisasi ini dilakukan dengan menggunakan perbesaran yang sama. Gambar 10 menunjukkan hasil mikroskop polarisasi kristal oksalat pada ekstrak umbi walur segar dan ekstrak umbi walur setelah perlakuan reduksi pemanasan 3 jam, perendaman dalam larutan HCl 0,2 N selama 30 menit dan perendaman dalam larutan natrium bikarbonat 1 selama 5 menit. Berdasarkan Gambar 10 tersebut dapat dilihat adanya perbedaan jumlah dan kerapatan kristal kalsium oksalat pada kedua sampel tersebut. Dimana, jumlah dan kerapatan kristal kalsium oksalat pada ekstrak umbi walur hasil reduksi jauh lebih sedikit dibanding ekstrak umbi walur segar. Gambar 10. Struktur kristal asam oksalat menggunakan mikroskop polarisasi, A. Walur segar; B. Walur yang direndam dalam HCl 4.3 Produksi dan Karakteristik FisikokimiaTepung Walur 4.3.1 Produksi tepung walur Proses produksi tepung dari umbi walur dimulai dengan pengupasan dan pencucian umbi walur segar. Kemudian dilakukan pengirisan umbi walur dengan ketebalan 3-5 mm menggunakan slicer. Umbi walur yang telah diiris tipis diberi perlakuan reduksi oksalat untuk menurunkan kandungan oksalat. Setelah proses reduksi oksalat ini selesai, diberi perlakuan perendaman dalam larutan Natrium metabisulfit. Perendaman dalam larutan Natrium metabisulfit ini bertujuan untuk melihat pengaruh Natrium metabislufit dalam mencegah terjadinya reaksi browning pencoklatan pada chips selama pengeringan. Perendaman dalam larutan Natrium metabisulfit dilakukan pada empat taraf konsentrasi yaitu 0, 500, 1000 dan 1500 ppm. Dari Gambar 11 di bawah ini, dapat dilihat warna chip setelah proses pengeringan. Pengeringan dilakukan dengan menggunakan oven pada suhu 60 o C selama 12-16 jam yang dilanjutkan dengan penepungan melalui penggilingan dan pengayakan dengan ayakan berukuran 100 mesh. Pada Gambar 11 dapat dilihat bahwa, adanya perlakuan perendaman dalam natrium metabisulfit dapat menurunkan tingkat pengcoklatan chips umbi walur selama proses pengeringan. Dimana, semakin tinggi konsentrasi natrium metabisulfit yang diberikan, warna chips umbi walur cenderung lebih putih. A D E F B A B a b c d Gambar 11. Chips kering dari umbi walur setelah pengeringan dengan perlakuan konsentrasi Na-metabisulfit : a kontrol 0 ppm; b 500 ppm; c 1000 ppm; d 1500 ppm. Dalam penelitian ini, rendemen tepung yang dimaksud adalah berat tepung yang dihasilkan umbi walur segar dengan ayakan 100 mesh dan dinyatakan dalam persen. Rata-rata rendemen tepung yang dihasilkan pada penelitian ini berkisar antara 13,74 – 14,69 . Sisa ayakan dalam proses penepungan chips walur ini berkisar antara 4,63 – 5,36 . Histogram rendemen tepung walur yang dihasilkan dari umbi walur segar pada setiap perlakuan dapat dilihat pada Gambar 12. Hasil analisis ragam pada selang kepercayaan 95 menunjukkan bahwa perlakuan dalam proses produksi tepung walur dari umbi walur segar tidak berpengaruh nyata terhadap rendemen tepung yang dihasilkan. Rendemen produk dari suatu pengolahan merupakan salah satu faktor yang memegang peranan penting dalam suatu proses industri dan pengolahan produk selanjutnya. Semakin tinggi nilai rendemen maka semakin besar output yang dihasilkan. Selain itu, nilai rendemen merupakan parameter yang penting untuk mengetahui nilai ekonomis suatu produk. Pada bahan pangan, semakin tinggi rendemennya maka semakin tinggi nilai ekonomis produk tersebut dan semakin rendah nilai rendemennya maka produk dinilai kurang ekonomis. Gambar 12. Histogram rendemen tepung yang dihasilkan dari umbu walur segar pada setiap perlakuan.

4.3.2 Derajat putih dan residu sulfit tepung walur

Derajat putih suatu bahan merupakan daya memantulkan cahaya dari bahan tersebut terhadap cahaya yang mengenai permukaannya. Variasi nilai derajat putih dipengaruhi oleh terjadinya reaksi-reaksi yang dapat menimbulkan warna coklat, diantaranya reaksi oksidasi, reaksi pencoklatan enzimatis, reaksi karamelisasi dan reaksi Maillard. Derajat putih dari tepung walur diukur dengan alat Kett Whitteness Meter. Hasil penelitian menunjukkan perbedaan antara keempat perlakuan dalam proses pengolahan tepung dengan adanya penambahan Natrium metabisulfit. Kisaran nilai derajat putih dari keempat perlakuan pada tepung walur adalah 56,5 - 70,85 . Nilai derajat putih tertinggi adalah 70,85 yang didapatkan oleh perlakuan perendaman Natrium metabisulfit 1500 ppm. Semakin kecil derajat putih tepung berarti warna tepung tersebut semakin gelap. Grafik nilai derajat putih tepung walur pada setiap perlakuan dapat dilihat pada Gambar 13. 13,84 14,69 14,35 13,74 2 4 6 8 10 12 14 16 Kontrol 500 ppm 1000 ppm 1500 ppm R e n d e m e n Konsentrasi Na-metabisulfit Gambar 13. Grafik nilai derajat putih berbanding dengan residu sulfit tepung walur pada setiap perlakuan. Hasil analisis keragaman terhadap nilai derajat putih tepung walur menunjukkan bahwa adanya perlakuan perendaman dalam larutan Natrium metabisulfit memberikan pengaruh yang berbeda nyata. Nilai derajat putih tertinggi pada tepung walur ini masih dibawah nilai derajat putih dari tepung terigu yang nilainya adalah 81,86 . Dari hasil analisis uji lanjut Duncan didapatkan bahwa nilai derajat putih tertinggi pada konsentrasi perendaman natrium metabisulfit 1500 ppm tidak berbeda nyata dengan nilai derajat putih pada konsentrasi perendaman 1000 ppm. Disamping itu, residu sulfit yang didapatkan pada penelitian ini berkisar antara 23,11 – 91,51 ppm. Residu sulfit tertinggi terdapat pada tepung yang mengalami perlakuan perendaman natrium metabisulfit 1500 ppm. Pada Gambar 13 dapat dilihat bahwa dengan semakin tingginya konsentrsi natrium metabisulfit maka residu sulfit yang terdapat pada tepung juga semakin tinggi. Hasil analisis sidik ragam pada selang kepercayaan 95 didapatkan bahwa perendaman chips umbi walur dalam larutang natrium metabisulfit pada konsentrasi yang berbeda memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap kadar residu sulfit. Menurut FDA, kadar sulfit yang diperbolehkan pada makanan maksimal adalah 200 ppm. Oleh karena itu, kadar residu sulfit yang didapatkan pada penelitian ini masih berada dibawah batasan maksimal yang direkomendasikan oleh FDA. 23,11 39,35 70,61 91,51 56,50 62,75 69,10 70,85 50 55 60 65 70 75 80 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 Kontrol 500 ppm 1000 ppm 1500 ppm D e rajat Pu tih R e si d u S u lfi t p p m Residu Sulfit Nilai Derajat Putih Konsentrasi Na-metabisulfit Keterkaitan antara derajat putih tepung walur dengan kadar residu sulfit pada tepung walur menjadi landasan dalam menentukan perlakuan terpilih pada proses produksi tepung walur. Dalam bidang pangan, semakin tinggi derajat putih suatu tepung maka tepung tersebut memiliki mutu yang lebih baik dari segi warna tepung. Konsentrasi natrium metabisulfit 1000 ppm dipilih sebagai perlakuan terpilih pada proses produksi tepung walur ini karena nilai derajat putih tepung walur pada konsentrasi ini tidak berbeda nyata dengan derajat putih pada konsentrasi 1500 ppm. Disamping itu, residu sulfit pada konsentrasi 1000 ppm lebih rendah dari residu sulfit pada konsentrasi 1500 ppm. Berdasarkan hasil uji lanjut Duncan didapatkan bahwa residu sulfit pada konsentrasi 1000 ppm ini berbeda nyata dengan residu sulfit pada konsentrasi 1500 ppm.

4.3.3 Karakterisik kimia tepung walur

Kadar air tepung walur yang didapatkan dari hasil analisis proksimat sebesar 8,95 menunjukkan bahwa kadar air tepung walur ini masih berada pada kisaran kadar air yang baik menurut Moorthy 2002, yaitu berada pada kisaran kadar air 6-16 . Karakteristik tepung yang baik adalah tidak memiliki kadar air yang terlalu tinggi. Kadar air yang terlalu tinggi akan menyebabkan tepung menjadi lembab sehingga mudah ditumbuhi oleh mikroba. Hasil analisis proksimat tepung walur dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Hasil analisis kimia tepung walur. a Figoni 2003; b Gustiar 2009 Jenis Uji Hasil Analisis Tepung Walur Terigu Kadar Air bb 8,95 14,00 a Kadar Abu bk 2,36 0,58 a Kadar Lemak bk 0,57 1,16 a Kadar Protein bk 3,77 13,95 a Kadar Karbohidrat bk 88,35 82,56 a Serat Kasar bk 4,56 4,95 b Kadar abu tepung walur yang didapatkan pada penelitian ini lebih tinggi dari kadar abu tepung terigu. Kadar abu tepung walur yang didapatkan adalah sebesar 2,36. Menurut Figoni 2003, abu terdiri atas bahan-bahan organik dan garam-garam mineral. Tingginya kadar abu pada tepung walur tersebut menunjukkan bahwa tepung walur memiliki kandungan anorganik dan mineral yang tinggi bila dibandingkan dengan tepung terigu. Selain itu, kalsium oksalat yang terdapat pada umbi walur juga dapat menyebabkan tingginya kadar abu pada tepung walur karena kalsium yang terdapat pada kalsium oksalat dapat terdeteksi sebagai kalsium bebas. Kadar lemak tepung walur adalah sebesar 0,57 Tabel 3. Nilai kadar lemak pada tepung walur sedikit lebih tinggi dari kadar lemak tepung terigu. Apabila dibandingkan dengan umbi walur segar sebesar 14,41 Tabel 1, kadar lemak pada tepung walur ini tereduksi cukup besar. Rendahnya kadar lemak pada tepung walur ini disebabkan oleh adanya proses pengeringan dan proses penepungan pada tahapan produksi tepung walur tersebut. Kadar protein tepung walur yang didapatkan pada penelitian ini adalah sebesar 3,77 . Kadar protein pada tepung walur ini jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan kadar protein pada tepung terigu, yaitu sebesar 13,95 . Apabila dilihat dari kadar protein umbi walur segar, yaitu sebesar 6,42 Tabel 1, maka dapat dikatakan bahwa kadar protein pada tepung walur memang sudah rendah dari umbi walur segar itu sendiri. Selanjutnya, hasil analisis proksimat dari tepung walur didapatkan bahwa kadar karbohidrat dari tepung walur cukup tinggi yaitu sebesar 88,35 . Kadar karbohidrat pada tepung ini lebih tinggi dari kadar karbohidrat tepung terigu, yaitu 82,56. Selain itu, dari Tabel 3 juga dapat dilihat bahwa kadar serat kasar dari tepung walur cukup kecil yaitu sebesar 4,56 , dimana kadar serat kasar pada tepung walur ini tidak jauh berbeda dengan kadar serat kasar pada tepung terigu, yaitu sebesar 4,95 .

4.3.4 Total pati dan kandungan amilosa

Pada Tabel 4 dapat dilihat bahwa tepung walur memiliki total pati sebesar 59,70 . Nilai total pati dari tepung walur ini lebih rendah dibandingkan dengan kadar total pati pada tepung terigu, yaitu sebesar 71,00 . Nilai total pati pada tepung menunjukkan kandungan pati yang terdapat dalam tepung. Pati merupakan sumber utama karbohidrat dalam pangan. Dimana, pati ini merupakan bentuk penting polisakarida yang tersimpan dalam jaringan tanaman, berupa granula dalam kloroplas daun dan dalam amiloplas pada biji dan umbi Sajilata et al. 2006. Perbedaan kadar total pati pada berbagai jenis varietas tersebut kemungkinan disebabkan karena perbedaan sumber botani, varietas dan cara pengolahan yang digunakan. Tabel 4. Perbandingan data analisis kimia tepung walur dengan tepung terigu. Parameter Tepung Walur Tepung Terigu Total Pati bk 59,70 71,00 a Amilosa bk 23,40 27,20 b a Figoni 2003; b Zaidul et al. 2007 Kandungan amilosa dari tepung walur adalah 23,40. Kandungan amilosa pada tepung walur ini lebih rendah dari kandungan amilosa pada tepung terigu yang nilainya sebesar 27,20 . Menurut Noda et al. 2008, perbedaan kandungan amilosa pada berbagai jenis pati dapat dipengaruhi oleh perbedaan sumber botani, kondisi iklim, jenis tanah selama pertumbuhan dan waktu pemanenan. Molekul amilosa pada pati mempengaruhi sifat fungsionalnya, yaitu pada saat pembentukan gel pati.

4.3.5 Sifat fisik tepung walur

Hasil analisis sifat fisik tepung walur dapat dilihat pada Tabel 5. Nilai derajat putih dari tepung walur adalah sebesar 69,10, derajat putih pada tepung walur ini jauh lebih rendah dari nilai derajat putih pada terigu yang nilainya sebesar 81,86 . Perbedaan nilai derajat putih dari dua jenis tepung ini sangat dipengaruhi oleh sumber tepung. Tabel 5. Perbandingan sifat fisik tepung walur dengan tepung terigu. Parameter Tepung Walur Terigu Derajat Putih 69,10 81,86 Sudut Tumpukan derajat 69,82 54,27 Bulk density g100 ml 53,40 51,05 Pengukuran sudut tumpukan dilakukan dengan menggunakan Flodex Powder Flowability Test Instrumen. Semakin kecil sudut tumpukan dari tepung menunjukkan bahwa kemampuan daya alir akan semakin besar. Pengetahuan tentang sudut tumpukan diperlukan pada penyimpanan atau pengemasan tepung, yaitu untuk memperhitungkan sudut corong yang dipergunakan untuk mencurahkan tepung dari silo ke pengemasnya. Bulk density atau disebut juga densitas kamba merupakan sifat fisik bahan yang dipengaruhi oleh ukuran bahan dan air. Dalam volume yang sama, tepung yang memiliki densitas kamba yang lebih tinggi memiliki berat yang lebih tinggi dari tepung yang memiliki densitas kamba yang rendah. Pada Tabel 5, terlihat bahwa densitas kamba pada tepung walur tidak berbeda jauh dengan densitas kamba pada tepung terigu. Kemudian, nilai kerapatan tumbukan pada tepung walur dan tepung terigu secara berurutan adalah 53,40 g100ml dan 51,05 g100ml. Pengetahuan tentang densitas kamba berguna bagi keperluan penyimpanan dan transportasi. Semakin besar nilai densitas kamba suatu tepung maka semakin kecil ruangan penyimpanan atau pengemasan dan biaya transportasi.

4.3.6 Sifat fungsional tepung walur

Perbandingan sifat fungsional tepung walur dengan tepung terigu dapat dilihat pada Tabel 6. Kekuatan gel didefinisikan sebagai breaking force yaitu beban maksimum yang dibutuhkan untuk memecahkan matriks polimer pada daerah yang dibebani. Gel tepung atau pati merupakan sistem padat-cair yang memiliki jaringan yang saling berhubungan dimana fase cair terjebak di dalam fase padat. Molekul amilosa bebas dapat membentuk ikatan hidrogen tidak hanya dengan molekul amilosa lainnya tetapi juga dengan rantai cabang amilopektin dari granula yang mengembang sehingga menjadi bagian jaringan padat yang saling berhubungan. Oleh karena itu, keberadaan amilosa dalam fase ini menyebabkan gel menjadi kuat Collado dan Corke 1999. Pada penelitian ini, kekuatan gel dari tepung walur lebih besar dari kekuatan gel tepung terigu, yaitu berturut-turut sebesar 119,85 gf dan 46,20 gf Tabel 6. Tingginya nilai kekuatan gel pada suatu jenis tepung atau pati dipengaruhi oleh kandungan amilosa dan komponen ester monofosfat pada pati Noda 2006. Tabel 6. Perbandingan sifat fungsional tepung walur dengan tepung terigu. Parameter Tepung Walur Terigu Kekuatan Gel gf 119,85 46,20 Kemampuan pengembangan gg 16,29 12,75 a Kelarutan 10,90 8,63 a a Zaidul et al. 2007 Kemampuan pengembangan adalah rasio antara bobot basah sedimen gel terhadap bobot kering tepung. Ketika pati dipanaskan dengan adanya air, maka struktur kristalin pati akan mengalami gangguan karena putusnya ikatan hidrogen dan molekul air akan berikatan dengan ikatan hodrogen untuk mengekspos gugus hidroksil pada amilosa dan amilopektin. Hal ini akan mengakibatkan peningkatan dari kemampuan pengembangan dan kelarutan tepung atau pati. Interaksi ini dipengaruhi oleh rasio amilosaamilopektin dan juga oleh karakteristik dari amilosa dan amilopektinnya dalam hal bobot molekul, distribusi, derajat dan panjang rantai serta konformasinya. Tepung walur memiliki kemampuan pengembangan dan kelarutan yang lebih besar dari tepung terigu. Dimana, nilai kemampuan pengembangan tepung walur sebesar 16,29 gg dan kelarutannya sebesar 10,90. Nilai kemampuan pengembangan dan kelarutan dipengaruhi oleh kandungan amilosa dan ikatan kompleks antara lipid dan amilosa. Adanya kompleks antara lipid dan amilosa pada sampel dapat mencegah terjadinya pengembangan granula pati dengan cara menurunkan kemampuan hidrasi dari rantai amilosa Hoover et al. 2010. Berdasarkan hasil analisis proksimat Tabel 1, dapat dilihat bahwa kandungan lipid tepung walur lebih rendah bila dibandingkan dengan tepung terigu sehingga kemungkinan terbentuknya kompleks lipid-amilosa pada tepung walur lebih kecil dibandingkan pada tepung terigu. Oleh karena itu, kemampuan pengembangan dan kelarutan tepung tepung walur lebih besar dari tepung terigu.

4.3.7 Pasting properties tepung walur

Pasting properties merupakan sifat viskositas pasta dari pati yang tergelatinisasi. Proses gelatinisasi pati didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana granula pati mengalami pembengkakan yang luar biasa akibat adanya perlakuan termal yang bersifat irrevesible tidak dapat balik seperti kondisi semula. Pemanasan yang terus berlangsung akan menyebabkan granula pati pecah sehingga air yang terdapat dalam granula pati dan molekul pati yang larut air dengan mudah keluar dan masuk ke dalam sistem larutan. Amilosa atau molekul pati yang larut dalam air panas akan ikut keluar bersama air tersebut. Besarnya jumlah komponen amilosa yang keluar ini akan mempengaruhi viskositas pati. Kurva pasting properties dari tepung walur dan tepung terigu disajikan pada Gambar 14. Tabel 7. Perbandingan data profil gelatinisasi tepung walur dengan tepung terigu Parameter Viskositas RVA Tepung Walur Tepung Terigu Viskositas puncak 3213 1590 Breakdown BD 1271 690 Viskositas akhir 2662 1994 Setback SB 720 1094 Suhu awal gelatinisasi o C 82,45 71,50 Suhu awal gelatinisasi SG adalah suhu pada saat viskositas pertama kali naik karena terjadinya pembengkakan granula pati yang irreversible. Dari hasil uji amilograf menggunakan RVA didapatkan suhu awal gelatinisasi adalah 82,45 o C Tabel 7. Suhu gelatinisasi tepung walur ini lebih tinggi bila dibandingkan dengan suhu gelatinisasi tepung terigu, yaitu 71,50 o C. Suhu gelatinisasi merupakan suatu fenomena sifat fisik pati yang kompleks yang dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain ukuran granula pati, ukuran molekul amilosa dan amilopektin serta keadaan media pemanasan. Ukuran granula pati tepung walur dan tepung terigu telah diketahui sebelumnya, bahwa ukuran granula pati tepung walur adalah 22 µm dan ukuran granula pati tepung terigu adalah 35 µm. Berdasarkan data tersebut, mengindikasikan tepung walur memiliki suhu awal gelatinisasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan tepung terigu. Gambar 14. Perbandingan kurva pasting properties tepung walur a dan tepung terigu b yang dianalisis dengan menggunakan alat RVA Suhu dimana viskositas maksimum tercapai disebut suhu akhir gelatinisasi. Pada suhu ini granula pati telah kehilangan sifat birefringence-nya dan granula sudah tidak membentuk kristal lagi. Menurut Dowd et al. 1999, komponen yang menyebabkan sifat kristal dan birefringence adalah amilopektin. Berdasarkan Tabel 7, diketahui bahwa pati walur mempunyai nilai viskositas puncak sebesar 3213 RVU. Nilai viskostas ini lebih tinggi bila dibandingkan dengan tepung terigu yang memiliki nilai viskositas puncak sebesar 1590 RVU. Semakin tinggi viskositas maksimum berarti kemampuan pati dalam menyerap air semakin besar dan daya thickening-nya semakin besar. Menurut Jane et al. 1999, kadar amilosa, protein dan lemak berkorelasi negatif terhadap viskositas. Hal tersebut selaras dengan penelitian ini dimana viskositas tepung walur lebih tinggi bila dibandingkan dengan viskositas tepung walur. Seperti yang ditunjukkan pada Tabel 3, kandungan amilosa, protein, dan lemak tepung walur lebih rendah bila dibandingkan dengan tepung walur. Nilai breakdown menunjukkan kemampuan tepung atau pati dalam mempertahankan viskositasnya selama pemanasan. Viskositas breakdown adalah selisih antara viskositas puncak dan viskositas minimum selama proses pemanasan. Berdasarkan hasil analisis pada Tabel 7, didapatkan bahwa viskositas breakdown dari tepung walur adalah 1271 RVU. Viskositas breakdown dari tepung walur ini lebih tinggi bila dibandingkan dengan viskositas breakdown dari tepung terigu yang nilai sebesar 690 RVU. Viskositas breakdown yang tinggi menunjukkan tidak adanya ketahanan granula pati terhadap pemanasan dan pengadukan. Tingginya nilai breakdown ini disebabkan karena besarnya nilai kemampuan pengembangan dari tepung walur. Nilai breakdown yang besar selama pemasakan menunjukan bahwa granula pati yang telah membengkak secara keseluruhan memilki sifat yang rapuh. Selain itu, pengadukan yang kontinyu juga menyebabkab granula pati yang rapuh akan pecah sehingga viskositas turun secara tajam Pomeranz, 1991. Viskositas balik setback merupakan selisih antara viskositas pada akhir pendinginan 50 o C dengan viskositas pada akhir pemasakan pada suhu konstan 90 o C. Menurut Li dan Yeh 2001, semakin tinggi nilai setback berarti semakin tinggi pula kemampuan pati dalam beretrogradasi. Retrogradasi terjadi ketika molekul pati yang telah mengalami gelatinisasi membentuk struktur kristal kembali melalui interaksi hidrogen antar sesamanya. Akibatnya, molekul air yang semula terperangkap di dalam matriks gel pati akan keluar. Peristiwa keluarnya molekul air dikenal dengan nama sineresis. Berdasarkan hasil pengukuran pada Tabel 7, diperoleh nilai viskositas setback tepung walur sebesar 720 RVU. Viskositas setback tepung walur ini lebih rendah dibandingkan dengan viskostas setback tepung terigu yang nilainya sebesar 1094 RVU. Hal ini menunjukkan bahwa tepung walur lebih susah mengalami retrogadasi dibandingkan dengan tepung terigu. Nilai retrogradasi berbanding lurus dengan kadar amilosa. Hal ini selaras dengan kadar amilosa sampel, dimana kadar amilosa tepung walur lebih rendah dibandingkan dengan kadar amilosa tepung terigu Tabel 4.

4.4 Analisis Kelayakan Pendirian Industri Tepung Walur

Analisis kelayakan pendirian industri tepung walur berkaitan dengan aspek-aspek finansial yang terlingkup dalam pendirian industri tepung walur. Tujuan menganalisa aspek finansial adalah untuk menentukan rencana investasi melalui perhitungan biaya dan manfaat yang diharapkan, dengan membandingkan antara pengeluaran dan pendapatan. Dalam melakukan investasi diperlukan perhitungan kemungkinan keuntungan yang tinggi agar harapan untuk mendapatkan nilai lebih pada waktu mendatang dapat tercapai. Analisis finansial memerlukan beberapa penetapan asumsi yang disesuaikan dengan asumsi pada saat kajian dilakukan dan didasarkan pada hasil-hasil perhitungan yang telah dilakukan pada analisis aspek-aspek yang lain. Asumsi-asumsi pada analisis finansial industri tepung walur disajikan pada Tabel 8.

4.4.1 Sumber dana dan strukur pembiayaan

Pembiayaan investasi terdiri dari dua sumber dana yaitu dana dari pinjaman Bank dan modal sendiri. Untuk dana pinjaman bank berasal dari Bank Konvensional, yaitu kredit investasi yang diberikan untuk mendirikan usaha baru. Nilai suku bunga yang berlaku untuk pinjaman tersebut adalah 12 persen, sedangkan untuk Debt Equity Ratio DER atau porsi pendanaan yang berlaku adalah 65 persen dari pihak bank dan 35 persen dari pihak peminjam. Struktur pendanaan pada industri tepung walur dapat diihat pada Tabel 9. Tabel 9. Struktur pendanaan pada industri tepung walur. No Komponen Biaya 1 Biaya Total Investasi 904.688.000 2 Modal 316.640.800 3 Pinjaman dari Bank 588.047.200 4 Debt Equity Ratio 35:65 Pembayaran pinjaman sumber dana untuk investasi dilakukan selama 6 tahun, sedangkan untuk modal kerja dilakukan selama 4 tahun dengan tingkat suku bunga 12 persen. Pembayaran angsuran pinjaman pokok dan bunga dimulai pada tahun pertama.

4.4.2 Biaya investasi

Biaya investasi adalah biaya yang dibutuhkan pada saat akan mendirikan industri tepung walur. Biaya investasi terdiri atas biaya investasi tetap dan modal kerja. Biaya investasi tetap merupakan biaya yang diperlukan untuk keperluan pabrik, mulai dari biaya pra investasi, pembangunan pabrik, fasilitas penunjang, pembelian mesin-mesin, peralatan kantor dan transportasi. Tabel 8. Asumsi-asumsi pada analisis finansial industri tepung walur. No Asumsi 1 Umur proyek diasumsikan selam 10 tahun. 2 Nilai sisa bangunan pada masa akhir proyek bernilai 50 dari nilai awal, sedangkan nilai sisa tanah pada masa akhir proyek tetap. 3 Nilai sisa mesin 10 dari nilai awal, biaya pemeliharaan sebesar 0,5 dan biaya asuransi sebesar 0,5 dari harga awal. 4 Penentuan besar pajak penghasilan didasarkan pada Undang-undang Pajak No 17 tahun 2000, yaitu sebagai berikut:  Jika keuntungan 50.000.000 maka pajak = 10 x keuntungan  Jika 50.000.000 keuntungan 100.000.000 maka pajak = 10 x 50.000.000 + 15 x keuntungan – 50.000.000  Jika keuntungan 100.000.000 maka pajak = 10 x 50.000.000 + 15 x 50.000.000 + 30 x keuntungan – 100.000.000 5 Kapasitas produksi maksimum adalah 1 ton umbi walur perhari dengan 2 shif kerja setiap harinya dan 8 jam kerja tiap shiftnya. Hari aktif kerja dalam setahun adalah 300 hari. 6 Metoda penyusutan yang digunakan adalah meoda garis lurus Straight Line Basis. 7 Harga-harga yang yang digunakan dalam analisis finansial ini berdasarkan harga pada saat analisis finansial tahun 2011 dan selama tahun perencanaan yang dipengaruhi discount factor sebesar 12 persen di bank. 8 Debt Equity Ratio DER yang ditetapkan adalah 35 modal sendiri dan 65 modal yang dipinjam dari bank, besar angsuran tiap tahun seragam. 9 Modal kerja 65 berasal dari pinjaman bank dengan waktu pembayaran selama 4 tahun. Pembayaran kredit dimulai pada tahun pertama dengan pembayaran pokok sama setiap tahun. 10 Proyek dimulai pada tahun ke-0 dan produksi pertama berlangsung pada tahun ke-1. 11 Produksi tahun pertama ditetapkan sebesar 80 persen, tahun kedua 90 persen, dan tahun ke tiga sampai kesepuluh pabrik berproduksi dengan kapasitas maksimal. Biaya modal kerja adalah biaya operasi yang diperlukan untuk memproduksi tepung walur pada kali pertama. Perhitungan modal kerja tergantung pada kebijakan perusahaan yang pembeliaan atau penjualannya secara kredit tentu akan membutuhkan modal kerja yang berbeda dengan perusahaan yang melakukannya secara tunai. Modal kerja diperlukan untuk menjamin kegiatan pada awal produksi. Investasi tepung walur pada analisis ini adalah sebsar Rp. 904.688.000 seperti yang terinci pada Tabel 10. Tabel 10. Rincian komponen biaya investasi industri tepung walur No Komponen Biaya Biaya 1 Lahan 80.000.000 2 Bangunan dan biaya pembangunan 142.000.000 3 Mesin dan Fasilitas Penunjang 404.767.000 4 Aset tetap lainnya 14.800.000 5 Prainvestasi 150.000.000 6 Biaya Kontingensi 39.578.350 7 Modal kerja 73.542.650 Total 904.688.000

4.4.3 Biaya produksi

Biaya produksi adalah pengeluaran yang diperlukan agar kegiatan produksi dapat berjalan lancar dan menghasilkan produk sesuai dengan perencanaan. Komponen biaya yang termasuk dalam biaya produksi diataranya adalah biaya bahan baku, biaya bahan pengemas, biaya fasilitas penunjang, penyimpanan, perbaikan dan perawatan mesin dan bangunan, upah dan gaji pegawai, biaya pengeluaran administrasi, serta biaya pengeluaran penjualan. Rincian biaya tiap komponen biaya produksi pada kapasitas produksi 1 ton bahan baku per hari dapat dilihat pada Lampiran 6.

4.4.4 Proyeksi pendapatan

Pendapatan adalah jumlah pembayaran yang diterima perusahaan dari penjualan produk. Pendapatan dihitung dengan mengalihkan kuantitas produk yang dihasilkan dengan harga satuannya. Pada awal-awal proyek biasanya sarana produksi tidak dipacu untuk berproduksi secara maksimal, tetapi naik perlahan- lahan sehingga pendapatan pun akan naik perlahan-lahan pada tiap tahunnya. Produk tepung walur pada proyek ini direncanakan akan dijual pada tingkat harga Rp. 17.500 kg, dengan asumsi harga sepanjang umur proyek tetap, dan produksi maksimal sebesar 58 ton per tahun. Diperkirakan setiap tahunnya perusahan perusahaan tepung walur akan mendapatkan pendapatan kotor sebesar Rp. 1.015.000.000,-.

4.4.5 Proyeksi laba rugi

Laporan laba rugi adalah suatu laporan yang sistematis tentang penghasilan, biaya dan laba rugi yang diperoleh oleh suatu perusahaan selama periode tertentu. Laporan laba rugi mempunyai dua unsur yaitu pendapatan dan bebanbiaya. Proyeksi laba rugi diperlukan untuk mengetahui tingkat profitabilitas suatu usaha. Laba bersih yang didapatkan memiliki karakteristik laba operasi yang dikurangi dengan pembayaran pajak. Pajak dihitung berdasarkan Undang-undang No. 17 tahun 2000, untuk mendapatkan laba bersih dilakukan pengurangan pada laba atas pajak. Laporan laba rugi dapat dilihat pada Lampiran 9.

4.4.6 Titik impas Break Even Point

Analisa titik impas memberikan informasi mengenai hubungan antara biaya tetap dan biaya variabel. Perhitungan titik impas untuk industri tepung walur adalah sebagai berikut: BEP = Biaya tetap 1-Biaya Varibel Penerimaan BEP = Rp.325.951.000 1-370.650.000 1.015.000.000 BEP = Rp. 513.448.859

4.4.7 Analisis kelayakan investasi

Untuk menyetujui suatu usulan proyek investasi, perlu dikaji kelayakan proyek tersebut dari segi finansial. Kelayakan suatu proyek diukur dengan menggunakan kriteria-kriteria investasi. Perhitungan kriteria-kriteria investasi tersebut didasarkan pada net cash flow atau aliran kas bersih. Agar kriteria investasi dapat dihitung, maka perlu dilakukan penyusunan laporan laba rugi. Kriteria investasi yang digunakan antara lain adalah Net Present Value NPV, Internal Rate Return IRR, Net Benefit Cost Ratio Net BC, dan Pay Back Period PBP. Untuk menentukan layak atau tidaknya proyek tersebut didanai, maka diperlukan metode yang juga memperhitungkan perubahan nilai uang terhadap waktu atau faktor diskonto. Hal ini dikarenakan faktor diskonto merupakan suatu teknik, dan dengan teknik tersebut dapat menurunkan manfaat yang diperoleh pada masa mendatang dan arus biaya menjadi nilai biaya pada masa sekarang. Nilai kriteria investasi industri tepung walur disajikan pada Tabel 11. Tabel 11. Nilai kriteria investasi industri tepung walur. No Kriteria Nilai 1 Net Present Value Rp.000 249.895 2 Internal Rate of Return 20 3 Net BC Ratio 1,28 4 Pay Back Period tahun 6,1 Net Present Value NPV Nilai NPV yang diperoleh untuk proyek pendirian pabrik tepung walur adalah sebesar Rp. 249.895.000. Nilai tersebut menunjukkan hasil bersih net benefit yang akan diterima selama sepuluh tahun mendatang jika diukur dengan nilai sekarang. Nilai NPV pada pendirian pabrik tepung walur lebih besar dari nol, ini berarti bahwa proyek memperoleh peningkatan nilai uang, sehingga pabrik ini layak sesuai dengan perhitungan NPV. Internal Rate of Return IRR Untuk menentukan layak atau tidak layaknya proyek dilaksanakan maka sebagai patokan dasar pembanding adalah tingkat bunga yang berlaku di lembaga keuangan yang ada yaitu ditetapkan sebesar 12 persen. Jika nilai IRR lebih besar dibandingkan tingkat suku bunga bank, maka usaha dinyatakan layak. Nilai IRR pada industri tepung walur didapatkan sebesar 20 persen yang berarti bahwa pendirian pabrik tepung walur layak untuk dilaksanakan. Net BC Ratio Net Benefit Cost Ratio Net BC Ratio menunjukkan manfaat yang diberikan dari proyek ini untuk kepentingan umum dan bukan keuntungan finansial perusahaan. Nilai BC dihitung berdasarkan nilai arus kas yang telah diperhitungkan nilai perubahannya terhadap waktu. Nilai Net BC pada proyek pendirian pabrik tepung walur diperoleh sebesar 1,28 persen yang menunjukkan bahwa pendirian pabrik tepung walur ini layak untuk dilaksanakan, karena nilai Net BC besar dari 1. Pay Back Period PBP Berdasarkan hasil perhitungan, nilai PBP untuk proyek pendirian industri industri tepung walur adalah 6,1 tahun yang berarti untuk mengembalikan investasi awal pabrik dibutuhkan waktu 6 tahun 2 bulan setelah pabrik berproduksi. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa industri tepung walur layak untuk didirikan karena waktu pengembalian modal lebih cepat dibandingkan dengan umur proyek. Berdasarkan semua kriteria investasi yang telah dipaparkan maka dapat disimpulkan bahwa industri pengolahan tepung walur layak untuk direalisasikan. 4.5 Aplikasi Tepung Walur dalam Produk Pangan 4.5.1 Pengaruh substitusi tepung walur terhadap analisis organoleptik mie Parameter organoleptik yang diujikan pada produk mie dalam penelitian ini terdiri dari warna, kekenyalan, kelengketan, rasa, dan keseluruhan. Berdasarkan hasil analisis multivariate terhadap hasil uji kesukaan panelis Lampiran 17, menunjukkan bahwa persentase substitusi tepung walur mempengaruhi tingkat kesukaan terhadap warna, kekenyalan, kelengketan, rasa dan keseluruhan. Histogram pengaruh substitusi tepung walur terhadap nilai kesukaan mie disajikan pada Gambar 15. Gambar 15. Histogram pengaruh substitusi tepung walur terhadap nilai kesukaan mie. Warna merupakan kesan pertama yang diperoleh konsumen dari suatu produk pangan. Oleh karena itu, warna memegangang peranan yang penting dalam menentukan penerimaan konsumen terhadap produk tersebut. Menurut Meilgaard et al. 1999, warna merupakan salah satu atribut penampilan pada suatu produk yang sering kali menentukan tingkat penerimaan konsumen terhadap produk tersebut secara keseluruhan. Berdasarkan hasil pengujian organoleptik dapat diketahui bahwa tingkat kesukaan panelis terhadap atribut warna berkisar antara 3,76 – 6,12 atau agak tidak suka sampai suka. Pada Gambar 15 terlihat bahwa peningkatan konsentrasi tepung walur dalam pembuatan cookies menurunkan tingkat kesukaan terhadap warna cookies. Sampai konsentrasi tepung walur 20 masih didapatkan tingkat kesukaan pada warna mie diatas netral atau mendekati agak suka. Berdasarkan hasil analisis multivarite, diketahui bahwa perbedaan rasio tepung walur dan tepung terigu yang digunakan mempengaruhi tingkat kesukaan panelis tehadap warna mie. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa setiap perlakuan substitusi memberikan pengaruh yang berbeda nyata. Foto produk mie substitusi tepung walur 0 sampai 30 disajikan pada Gambar 16. Uji organoleptik kekenyalan bertujuan untuk mendapatkan tingkat kesukaan panelis terhadap kekenyalan produk mie yang dihasilkan dari setiap perlakuan. Berdasarkan hasil analisis multivariate, didapatkan bahwa perbedaan rasio tepung 1 2 3 4 5 6 7 Warna Kekenyalan Kelengketan Rasa Keseluruhan N il a i Rata -r a ta K e su ka a n Substitusi Tepung Walur 10 20 30 walur dan tepung terigu dalam pembuatan mie memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap kesukaan panelis pada atribut kekenyalan. Berdasarkan hasil pengujian organoleptik dapat diketahui bahwa tingkat kesukaan panelis terhadap atribut kekenyalan berkisar antara 4,28 – 5,76 atau netral sampai agak suka. Meskipun secara umum terlihat bahwa, peningkatan komposisi tepung walur menurunkan kesukaan panelis terhadap kekenyalan mie tetapi sampai komposisi tepung walur tertinggi 30 memiliki tingkat kesukaan panelis terhadap kekenyalan diatas netral atau menuju suka. a b c d Gambar 16. Foto produk mie substitusi tepung walur 0 a; 10 b; 20 c; 30 d Berdasarkan hasil pengujian organoleptik dapat diketahui bahwa tingkat kesukaan panelis terhadap atribut kelengketan berkisar antara 3,80 – 5,64 atau agak tidak suka sampai agak suka. Pada Gambar 15, secara umum terlihat bahwa peningkatan komposisi tepung walur menurunkan kesukaan konsumen terhadap atribut kelengketan dari produk mie. Sampai konsentrasi tepung walur 20 masih didapatkan tingkat kesukaan pada warna mie diatas netral atau mendekati agak suka. Berdasarkan hasil analisis multivariate didapatkan bahwa perbedaan rasio tepung walur dan tepung terigu yang digunakan untuk membuat mie memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap kesukaan panelis pada atribut kelengketan produk mie pada selang kepercayaan 95. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa substitusi tepung walur 10 tidak berbeda nyata dengan substitusi 20 terhadap atribut kelengketan. Rasa merupakan faktor yang menentukan tingkat kesukaan konsumen terhadap produk pangan. Atribut rasa meliputi asin, manis, asam, dan pahit. Sebagian dari atrtibut ini dapat terdeteksi dalam makan pada kadar yang sangat rendah. Rasa pada makanan sangat ditentukan oleh formulasi produk tersebut Fellow 2000. Rasa dinilai dengan adanya tanggapan ransangan kimiawi oleh lidah. Berdasarkan hasil pengujian organoleptik dapat diketahui bahwa tingkat kesukaan panelis terhadap atribut rasa berkisar antara 4,56 – 5,60 atau netral sampai agak suka. Pada Gambar 15, secara umum terlihat tingkat kesukaan panelis terhadap rasa mie ini menurun dengan semakin tinggi persentase substitusi tepung walur tetapi masih berada diatas netral atau menuju agak suka. Hasil analisis multivariate menunjukkan bahwa perbedaan rasio tepung walur dan tepung terigu berpengaruh nyata pada skor kesukaan panelis terhadap rasa mie. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa tingkat kesukaan panelis terhadap rasa pada persentase substitusi 10, 20 dan 30 tidak berbeda nyata. Parameter keseluruhan overall digunakan dalam uji hedonik untuk mengukur tingkat kesukaan panelis terhadap keseluruhan atribut yang ada pada produk. Hal ini dilakukan karena hasil pengujian terhadap atribut tertentu saja menunjukkan nilai yang berbeda-beda. Dengan pengujian keseluruhan diharapkan dapat diketahui rasio tepung walur dan tepung terigu yang terpilih oleh konsumen. Berdasarkan hasil pengujian organoleptik dapat diketahui bahwa tingkat kesukaan panelis terhadap atribut keseluruhan berkisar antara 4,32 – 5,8 atau netral sampai agak suka. Pada Gambar 15, terlihat bahwa tingkat kesukaan panelis terhadap parameter keseluruhan menurun dengan semakin tingginya persentase substitusi tepung walur. Hasil analisis multivariate menunjukkan bahwa perbedaan rasio tepung walur dan tepung terigu yang digunakan untuk membuat mie memberikan pengaruh yang berbeda nyata tehadap tingkat kesukaan panelis terhadap atribut keseluruhan.

4.5.2 Pengaruh Substitusi

Tepung Walur terhadap Karakteristik Pemasakan Mie Analisis pemasakan terhadap mie tepung walur yang dilakukan dalam penelitian ini adalah kehilangan padatan selama pemasakan KPAP dan waktu optimum pemasakan. Pada saat pemasakan, sebagian padatan dari mie akan terpisah dari mie itu sendiri dan tersuspensi di dalam air pemasakan. Menurut Chen et al. 2003, secara kualitatif kejadian ini disebut dengan kehilangan padatan selama pemasakan KPAP. Rata – rata nilai KPAP yang didapatkan dari penelitian ini berkisar antara 5,7 – 8,0 . Nilai KPAP tertinggi didapatkan pada substitusi tepung walur 30 dan terendah pada substitusi tepung walur 0. Histogram pengaruh substitusi tepung walur terhadap nilai KPAP mie disajikan pada Gambar 17. Gambar 17. Histogram pengaruh substitusi tepung walur terhadap nilai KPAP mie. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa, persentase substitusi tepung walur pada pembuatan mie memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai KPAP mie yang dihasilkan. Berdasarkan hasil analisis uji lanjut Duncan, didapatkan bahwa setiap perlakuan memberikan pengaruh yang berbeda nyata 5,7 6,2 7,6 8,0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 20 30 K PA P Persentase Substitusi pada p0,05. Nilai KPAP berhubungan dengan adanya ikatan antara amilosa dengan protein Vignoux et al. 2005. Berdasarkan Gambar 17, terlihat bahwa nilai KPAP mie semakin tinggi dengan semakin tingginya persentase substitusi tepung walur pada pembuatan mie. Hal in disebabkan oleh nilai viskositas puncak Tabel 7 dan nilai kemampuan pengembangan tepung walur Tabel 6 yang lebih tinggi dari tepung terigu. Kim et al. 1996 menyatakan bahwa nilai kemampuan pengembangan dan viskositas puncak yang tinggi juga menyebabkan tingginya nilai KPAP. Hal ini terjadi karena kemampuan pengembangan yang semakin tinggi dari suatu jenis tepung atau pati dapat menyebabkan granula patinya menjadi lebih mudah pecah dan menyebabkan kebocoran amilosa. Selain itu, Rayes-Duarte et al. 1996 menyatakan bahwa semakin lemah ikatan amilosa-protein gluten, maka struktur keseluruhan mie akan melemah dan memudahkan materi padatan untuk larut selama pemasakan berlangsung. Apabila dibandingkan dengan hasil organoleptik, didapatkan bahwa pada substitusi tertinggi 30 dengan nilai KPAP 8 secara organoleptik masih dapat diterima dari segi kekenyalan, rasa dan keseluruhan. Waktu optimum pemasakan dilakukan hingga mie yang dianalisis tidak menunjukkan garis putih ketika ditekan dengan menggunakan kaca. Waktu optimum pemasakan merupakan waktu yang dibutuhkan mie untuk kembali mengabsorpsi air sehingga tekturnya menjadi kenyal dan elastis seperti sebelum dikeringkan. Berdasarkan hasil analisis waktu optimum pemasakan yang disajikan pada Gambar 18, didapatkan rata – rata waktu optimum pemasakan mie berkisar antara 4,10 – 5,30 menit. Waktu optimum pemasakan mie pada persentase subtitusi tepung walur 30, secara organoleptik masih dapat diterima dari segi kekenyalan, rasa dan keseluruhan. Gambar 18 memperlihatkan bahwa dengan semakin besarnya persentase substitusi tepung walur maka waktu optimum pemasakan mie akan semakin lama. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa persentase substitusi tepung walur dalam pembuatan mie memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap waktu optimum pemasakan mie. Berdasarkan hasil uji lanjut Duncan didapatkan bahwa setiap perlakuan memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada p0,05. Waktu optimum pemasakan dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu ketebalan untaian mie Huang dan Lai 2010 dan juga suhu gelatinisasi dari pati yang digunakan Yadav et al. 2011. Gambar 18. Histogram pengaruh substitusi tepung walur terhadap waktu optimum pemasakan mie.

4.5.3 Pengaruh substitusi tepung walur terhadap analisis tekstur mie

Analisis tekstur mie bertujuan untuk melihat karakteristik fisik dari mie tersebut. Dalam penelitian ini, karakteristik fisik mie yang dianalisis adalah kekerasan dan gaya tarik. Tekstur merupakan salah satu parameter yang mendukung mutu suatu produk mie. Kekerasan Analisis kekerasan pada mie diukur dengan menggunakan alat Texture Analyzer Brookfield Engineering TC3. Dengan uji tekstur ini dapat diketahui tingkat kekerasan mie pada setiap perlakuan. Tekstur yang dihasilkan pada mie sangat bergantung pada karakteristik fisik tepung yang digunakan. Karakteristik fisik tepung tersebut berupa kemampuan menyerap air, kekuatan gel dan profil gelatinisasi. Histogram nilai kekerasan produk mie pada setiap perlakuan dapat dilihat pada Gambar 19. Rata-rata nilai kekerasan produk mie yang dihasilkan berkisar antara 512,33 – 941,33 gf. Nilai kekerasan produk mie tertinggi dan terendah berturut- turut adalah pada perlakuan 0 dan 30 30 walur. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perbedaan rasio tepung walur dalam pembuatan mie 4,10 4,70 5,00 5,30 1 2 3 4 5 6 10 20 30 Waktu Op tim u m Pe m asakan m e n it Persentase Substitusi memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai kekerasan mie pada selang kepercayaan 95 . Dari hasil uji lanjut Duncan didapatkan bahwa setiap perlakuan substitusi tepung walur terhadap tepung terigu berbeda nyata pada p0,05. Secara umum dapat dilihat bahwa peningkatan rasio tepung walur akan menurunkan nilai kekerasan produk mie yang dihasilkan. Apabila dibandingkan dengan hasil organoleptik, didapatkan bahwa nilai kekerasan pada substitusi 30 sebesar 512 gf secara organoleptik masih dapat diterima dari segi kekenyalan rasa dan keseluruhan. Gambar 19. Histogram nilai kekerasan produk mie pada setiap perlakuan Kekerasan merupakan daya tahan bahan untuk pecah akibat gaya tekan yang diberikan. Semakin besar gaya yang dibutuhkan nilai puncak makin tinggi maka menandakan kekerasan semakin meningkat. Faktor utama yang menyebabkan penurunan kekerasan adalah nilai KPAP Vignoux et al. 2005. Semakin banyak padatan yang hilang selama pemasakan maka akan menyebabkan kekerasannya semakin menurun. Hal ini senada dengan data KPAP yang disajikan pada Gambar 16 yang menyatakan bahwa dengan semakin banyaknya substitusi tepung walur pada mie maka nilai KPAP-nya juga akan semakin besar. Menurut Shandu et al. 2010 mengatakan bahwa nilai kekerasan mie dipengaruhi oleh kemampuan pengembangan pati atau tepung penyusunnya. Tepung atau pati yang memiliki kemampuan pengembangan yang tinggi dapat menyebabkan penurunan 941,33 767,83 651,17 512,33 200 400 600 800 1000 1200 10 20 30 K e ke rasan gf Persentase Substitusi kekerasan dan elastisitas mie. Berdasarkan Tabel 6, dapat dilihat bahwa kemampuan pengembangan dari tepung walur lebih tinggi dari tepung terigu. Gaya Tarik Gaya tarik atau tensile strength menunjukkan kekuatan elastisitas suatu bahan. Semakin tinggi nilai gaya tarik mie menunjukkan semakin tinggi nilai elastisitas mie tersebut. Artinya diperlukan kekuatan yang cukup besar untuk membuat untaian mie putus pada saat dilakukan penarikan. Nilai gaya tarik menggambarkan kemampuan maksimal mie untuk menahan gaya tarikan dengan besaran tertentu. Analisis gaya tarik pada produk mie ini menggunakan alat Texture Analyzer Brookfield Engineering TC3. Rata-rata nilai gaya tarik produk mie pada setiap perlakuan berkisar antara 18,33 – 31,33 gf. Nilai gaya tarik produk mie tertinggi dan terendah berturut-turut dihasilkan oleh perlakuan 0 dan 30 . Histogram nilai gaya tarik produk mie pada setiap perlakuan dapat dilihat pada Gambar 20. Gambar 20. Histogram nilai gaya tarik produk mie pada setiap perlakuan Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perbedaan persentase substitusi tepung walur yang digunakan dalam pembuatan mie memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai elastisitas mie pada selang kepercayaan 95. Dari hasil analisis Duncan didapatkan bahwa setiap perlakuan berbeda nyata pada p0,05. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa peningkatan komposisi tepung walur dalam pembuatan mie menurunkan nilai elastisitas produk mie yang 31,33 27,83 22,33 18,33 5 10 15 20 25 30 35 10 20 30 Gaya Tar ik g f Persentase Substitusi dihasilkan. Namun, nilai gaya tarik mie pada persentase substitusi tertinggi 30 sebesar 18,33 gf secara organoleptik masih dapat diterima dari segi kekenyalan, rasa dan keseluruhan. Menurut Tan et al. 2009, nilai gaya tarik dipengaruhi oleh kemampuan pengembangan. Tepung atau pati yang memiliki kemampuan pengembangan yang tinggi akan memiliki nilai gaya tarik yang semakin kecil.

4.5.4 Pengaruh substitusi tepung walur terhadap analisis organoleptik cookies

Parameter organoleptik yang diujikan dalam penelitian ini terdiri dari warna, aroma, kerenyahan dan keseluruhan. Hasil analisis multivariate terhadap uji kesukaan cookies Lampiran 18 menunjukkan bahwa penambahan tepung walur pada cookies mempengaruhi tingkat kesukaan panelis terhadap semua parameter yang diujikan. Histogram pengaruh substitusi tepung walur terhadap kesukaan cookies disajikan pada Gambar 21. Gambar 21. Histogram pengaruh substitusi tepung walur terhadap nilai kesukaan cookies Warna cookies dipengaruhi oleh bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan cookies terutama oleh lemak, gula, tepung dan telur. Berdasarkan hasil uji organoleptik, skor rata-rata kesukaan panelis terhadap warna cookies berkisar antara 3,16 - 6,28 atau agak tidak suka sampai suka. Pada Gambar 21 dapat dilihat bahwa peningkatan konsentrasi tepung walur dalam pembuatan cookies menurunkan tingkat kesukaan terhadap warna cookies. Sampai konsentrasi tepung walur 50 masih didapatkan tingkat kesukaan pada warna cookies diatas netral 1 2 3 4 5 6 7 Warna Aroma Kerenyahan Keseluruhan N il ai R ata -r ata K e su kaan Substitusi Tepung Walur 25 50 75 100 atau mendekati agak suka. Hasil analisis multivariete, diketahui bahwa perbedaan rasio tepung walur dan tepung terigu yang digunakan berpengaruh nyata terhadap warna cookies walur. Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa substitusi 75 dan 100 tidak memberikan pengaruh yang berbeda terhadap parameter warna cookies. Foto produk cookies substitusi tepung walur 0 - 100 disajikan pada Gabar 22. a b c d e Gambar 22. Foto produk cookies substitusi tepung walur 0 a; 25 b; 50 c; 75 d; 100 e Setser 1995 menjelaskan aroma merupakan hasil ransangan kimia dari syaraf-syaraf olfaktori yang berada dibagian akhir dari rongga hidung. Aroma merupakan bau yang dicium karena sifatnya yang volatil. Aroma pada cookies dipengaruhi oleh beberapa bahan baku yang digunakan dalam pembuatan cookies antara lain adalah lemak, susu, telur, dan tepung. Skor rata-rata uji organoleptik kesukaan terhadap aroma berkisar antara 3,88 - 5,64 atau agak tidak suka sampai agak suka. Peningkatan konsentrasi tepung walur dalam cookies menurunkan tingkat kesukaan terhadap aroma Gambar 21. Pada konsentrasi tepung walur 75 masih didapatkan tingkat kesukaan pada aroma diatas netral. Berdasarkan hasil analisis multivariate, didapatkan bahwa perbedaan ratio tepung memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap tingkat kesukaan panelis pada aroma cookies. Kerenyahan menggambarkan karakteristik tektur dari cookies. Pada cookies, tekstur merupakan atribut produk yang cukup penting karena cookies biasanya dinilai dari teksturnya. Berdasarkan hasil uji organoleptik, skor rata-rata kesukaan panelis terhadap kerenyahan cookies berkisar antara 3,88 - 6,28. Pada Gambar 21 dapat dilihat bahwa tingkat kerenyahan cookies walur menurun dengan semakin tingginya konsentrasi tepung walur dalam pembuatan cookies. Pada konsentrasi tepung walur 50 , masih didapatkan tingkat kerenyahan cookies diatas netral. Hasil analisis multivariate menunjukkan bahwa perbedaan rasio tepung walur dengan tepung terigu yang digunakan pada pembuatan cookies berpengaruh nyata pada skor kesukaan panelis terhadap kerenyahan cookies walur. Berdasarkan hasil pengujian organoleptik dapat diketahui bahwa skor tingkat kesukaan panelis terhadap parameter keseluruhan berkisar antara 3,84 – 5,80 atau agak tidak suka sampai agak suka. Secara umum dapat dilihat bahwa peningkatan persentase substitusi tepung walur akan menurunkan tingkat kesukaan panelis terhadap parameter keseluruhan. Pada konsentrasi tepung walur 50, masih didapatkan tingkat kesukaan panelis diatas netral atau menuju agak suka. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perbedaan rasio tepung walur dan tepung terigu memberikan pengaruh yang berbeda nyata tehadap tingkat kesukaan panelis secara keseluruhan.

4.5.5 Pengaruh substitusi tepung walur terhadap kekerasan cookies yang

dihasilkan Cookies memiliki ciri utama berupa teksturnya yang renyah. Menurut Piazza dan Massi 1997, kerenyahan dipengaruhi oleh sejumlah air yang terikat pada matriks karbohidrat yang mempengaruhi pergerakan relatif dari daerah kristalin dan amorf. Kerenyahan cookies dipengaruhi oleh komposisi utama cookies, proses pemanggangan dan jenis kemasan. Kerenyahan merupakan kriteria mutu penting dari berbagai produk sereal. Kerenyahan produk pangan berkadar air rendah dipengaruhi oleh kandungan air dan akan hilang karena adanya plastisasi strtuktur fisik oleh suhu atau air. Pengujian kerenyahan pada penelitian ini menggunakan alat Texture Analyzer Brookfiel Engineering TC3. Histogram nilai kekerasan dari cookies walur dapat dilihat pada Gambar 23. Gambar 23. Histogram nilai kekerasan dari cookies walur Rata-rata nilai kekerasan dari cookies walur berkisar antara 523,00 – 2.306,67 gf. Nilai kekerasan tertingi dan terendah berturut-turut adalah pada cookies dengan komposisi walur 100 dan pada cookies dengan komposisi tepung walur 0 100 terigu. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perbedaan rasio tepung walur dan tepung terigu dalam pembuatan cookies berpengaruh nyata terhadap nilai kekerasan produk cookies pada selang kepercayaan 95 . Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa setiap perlakuan memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada p0,05. Secara umum dapat dilihat bahwa, peningkatan rasio tepung walur pada pembuatan cookies akan meningkatkan nilai kekerasan dari cookies yang dihasilkan. Apabila dibandingkan dengan hasil organoleptik, nilai kekerasan cookies pada persentase substitusi 50 sebesar 1.596 gf masih dapat diterima secara organoleptik. Nilai kekerasan cookies dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu kandungan lemak Zoulius et al. 2002, kemampuan lemak dalam menangkap udara pada saat pencampuran Kamel 1994 dan kemampuan pengembangan dari 523,00 1.331,33 1.596,00 2.060,17 2.306,67 500 1000 1500 2000 2500 25 50 75 100 K e ke rasan gf Persentase Substitusi pati tepung penyusunnya Singh et al. 2003. Dalam penleitian ini, kemampuan pengembangan dari pati atau tepung menjadi faktor yang mungkin menyebabkan perbedaan kekerasan dari cookies, sedangkan kandungan lemak pada setiap perlakuan adalah sama. Kemampuan pengembangan pati berfungsi untuk membentuk zona udara dengan volume tertentu, sehingga kemampuan pengembangan yang berbeda akan menghasilkan zona udara dengan volume yang berbeda-beda yang akan mempengaruhi kekerasan dari cookies yang dihasilkan. 5 SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Berdasarkan hasil analisis kimia, didapatkan bahwa umbi walur memiliki kandungan karbohidrat yang cukup tinggi yaitu 74,28, sehingga dapat dimanfaatkan sebagai sumber pangan alternatif sumber karbohidrat. Disamping itu, oksalat dalam umbi walur dapat direduksi melalui perendaman dalam air panas 45 o C selama 3 jam dan dilanjutkan dengan perendaman dalam larutan HCl 0,2 N selama 30 menit lalu perendaman dalam natrium bikarbonat 1 selama 5 menit serta diikuti dengan pencucian. Metode ini dapat menurunkan kandungan oksalat sebesar 95 dengan sisa oksalat sebesar 1261 ppm. Perendaman irisan umbi walur dalam Na-metabisulfit pada konsentrai 1000 ppm dalam produksi tepung walur memberikan nilai derajat putih sebesar 69,10 dengan residu sulfit sebesar 70,61 ppm. Dari hasil analisis sifat fisikokimia tepung walur didapatkan rendemen tepung walur sebesar 14,35, kadar karbohidrat 88,35, total pati 59,70, kandungan amilosa 23,40 dan kadar serat kasar 4,56, kemudian dari hasil analisis sifat fungsional tepung walur diperoleh kekuatan gel 119,85 gf, viskositas maksimum 3213 RVU, viskositas breakdown 1271 RVU dan viskositas setback 720 RVU. Analisis RVA menunjukkan bahwa tipe profil gelatinisasi pasting properties dari tepung walur adalah tipe A. Pada analisis kelayakan pendirian industri tepung walur, didapatkan nilai NPV 0, nilai IRR discount factor, nilai Net BC 1 dan nilai PBP umur proyek, sehingga dapat disimpulkan bahwa industri tepung walur layak untuk didirikan. Selanjutnya, berdasarkan hasil uji organoleptik didapatkan bahwa substitusi tepung walur sebesar 30 dalam tepung terigu pada pembuatan mie masih dapat diterima dan substitusi tepung walur dalam tepung terigu pada pembuatan cookies dapat diterima sampai 50.

5.2 Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang optimasi konsentrasi HCl dalam proses reduksi oksalat pada produksi tepung walur, karena sisa oksalat 1261 ppm hanya direkomendasikan untuk orang yang tidak memiliki penyakit ginjal. Selain itu, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang metode pengeringan chips walur untuk mendapatkan mutu derajat putih tepung yang lebih baik sehingga bisa memperbaiki mutu warna dari mie dan cookies. Perbaikan mutu derajat putih tepung walur bisa dicobakan dengan melakukan tahapan inaktivasi enzim melalui perendaman dalam Na-metabisulfit sebelum tahapan reduksi oksalat serta perlu juga dilakukan penelitian tentang formulasi dan metode pembuatan mie dan cookies yang lebih tepat dalam mengaplikasikan tepung walur pada produk tersebut. DAFTAR PUSTAKA AOAC [Association of Official Analytical Chemist]. 2005. Official Methods of Analytical of The Association of Official Analytical Chemist. Washington DC: AOAC. Apriyantono A, Fardiaz D, Puspitasari NL, Yasni S, Budiyanto S. 1989. Petunjuk Praktikum Analisis Pangan. PT IPB Press, Bogor. Arsyad MN. 2001. Kamus Kimia arti dan Penjelasan Ilmiah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Belitz HD, Grosch W. 1999. Food Chemistry. Berlin: Springer. Bradbury J, Nixon R. 1998. The activity of raphides from the edible aroids. Journal of Science food and agriculture 76: 608-616. [BSN] Badan Standarisasi Nasional. 1992. Cara Uji Gula SNI 01-2891-1992. Jakarta: BSN. Campbell LA, Ketelsen SM, Antenucci RN. 1999. Formulating oatmeal cookies with calorie-sparing ingredients. Food Technology 485: 98 –105. Catherwood DJ, Savage GP, Mason SM, Scheffer JJ. 2007. Oxalate content of cormels of japanese taro corns Colocasia esculente L. Schott and the effect of cooking. Journal of Food Composition and Analysis 20: 147 – 151 Chen Z, Schols HA, Voragen AGJ. 2003. Starch granule size strongly determines starch noodle processing and noodle quality. Journal of Food Science 685: 1584 –1589. Collado LS, Corke H. 1999. Heat-Moisture Treatment Effect on Sweetpotato Starches Differing in Amylose Content. Food Chem 653: 339-346 Cotton FA, Wilkinson G. 1989. Kimia Anorganik Dasar. Penerjemah: Sahati Suharto. Cet. 1 . Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia UI-Press. 1989 Das et al. 2009. Isolation and characterization of a heteropolysaccharide from the corn of Amorphophallus campanulatus. Carbohydrate Research 344: 2581 –2585. Dowd MK, Radosavljevic M, Jane J. 1999. Characterization of starch recovered from wet milled corn fiber. Cereal Chem 76 1: 3 – 5. Fardiaz D, Apriyantono A, Puspitasari NL, Sedarnawati dan Budianto S. 1989. Petunjuk Laboratorium Analisis Pangan. Bogor: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor. Faridah DN, Kusnandar F, Herawati D, Kusumaningrum HD, Wulandari N, Indrasti D. 2005. Penuntun Praktikum Analisis Pangan. Bogor: Fateta IPB. Fellow PJ. 2000. Food Processing Technology: Principle and Practice 2nd Ed. England: CRC Press. Fennema OR. 1996. Food hemistry 4 th ed. New York: Marcel Dekker. Figoni. 2003. Chapter five: Wheat Flour. 75033. 63-86. French D. 1984. Organization of starch granules. In R.L. Whistler, J.N. Bemmiler, E.F. Paschall eds Starch: Chemistry and Technology. New York: Academic Press Icn. Gustiar H. 2009. Sifat fisikokimia dan indeks glikemik produk cookies berbahan baku pati garut Maranta arundinacea L. termodifikasi [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Herawati D. 2010. Modifikasi Pati Sagu dengan Teknik Heat Moisture Treatment HMT dan Aplikasinya dalam Memperbaiki Kualitas Bihun [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Hoover R, Hughes T, Chung HJ, Liu Q. 2010. Composition, molecular structure, properties and modification of pulse starches: A review. Food Research International 43: 399 – 413. Hoover R. 2001. Composition, molecular structure, and physicochemical properties of tuber and root starches : a review. Carbohydrate polymer 253 – 267. Huang YC, Lai HM. 2010. Noodle quality affected by different cereal starches. Journal of Food Engineering 97: 135 – 143. Iwuoha IC, Klau FA. 1994. Calcium Oxalate dan Physico-chemical Properties of Cocoyam Colocasia esculenta and Xanthosoma sagittifolium Tuber Flours as Affected by Processing. J.Food Chem. 54:61-66. Jane. 1999. Effect of amylopectin brain chain length and amylose content on the gelatinization and pasting properties of starch. Cereal Chem. 76 5: 629 – 637. Judprasong et al. 2006. Total and soluble oxalate contents in Thai vegetables, cereal grains and legume seeds and their changes after cooking. Journal of Food Composition and Analysis 19: 340 –347. Juniawati. 2003. Optimasi Proses Pengolahan Mie Jagung Instan Berdasarkan Kajian Preferensi Konsumen [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Kamel BS. 1994. Creaming, emulsions, and emulsifiers. In Hamed Faridi Ed., The science of cookie and cracker production. New York: Chaman Hall. Khalil. 1999. Pengaruh Kandungan Air dan Ukuran Pertikel terhadap Perubahan Perilaku Fisik Bahan Pakan Lokal: Kerapatan Tumpukan, Kerapatan Pemadatan dan Berat Jenis. Jurnal Media Peternakan. 221:1-11. Kim YS, Wiesenborn DP, Lorenzen JH, Berglund P. 1996. Suitability of Edible Bean and Potato Starches for Starch Noodle. Cereal Chem 733: 302- 308. Klucinec JD, Thompsom DB. 1999. Amylose and amylopectin interact in retrogradation of dispersed high amylose starches. Cereal chem 76: 282 – 291. Kriswidarti T.1980. Suweg Amorphophallus campanulatus BI. J. kerabat bunga bangkai yang berpotensi sbagai sumber karbohidrat. Buletin Kebun Raya vol. 45: 171 – 174. Kurdi W. 2002. Reduksi kalsium oksalat pada talas Bogor Colocasia esculenta L Schott sebagai upaya meningkatkan mutu keripik talas [skripsi]. Bogor: Fakultas teknologi Pertanian, Insitut Pertanian Bogor. Kusnandar F. 2011. Kimia Pangan Komponen Makro. Jakarta: Dian Rakyat Lee W. 1999. Taro. Di dalam Heidegger A ed. 1999. Tropical Root Crps. Illionis: Southern Illionis University. Li JY, Yeh AI. 2001. Relationship between thermal, rheological characteristics and swelling power for various starches. Journal of Food Engineering. 50: 141-148. Lingga P. 1986. Bertanam ubi-ubian. PT Penebar Swadaya Mattjik AA, Sumertajaya IM. 2006. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab. Bogor: IPB PRESS. Mayasari N. 2010. Pengaruh penambahan larutan asam dan garam sebagai upaya reduksi oksalat pada tepung talas Colocasia esculente L. Schott [skripsi]. Bogor: Departemen Teknologi Industri Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Meilgaar M, Civille GV, Carr BT. 1999. Sensory Evaluation Techniques 3 rd Ed. Boca Raton: CRC Press. Moorthy SN. 2002. Physicochemical and functional properties of tropical tuber starches: A review. StarchStarke 54: 559 -592. Nakata PA. 2003. Advances in our understanding of calcium oxalate crystal formation and function in plants _ Plant Science 164 2003 901-909 Noonan S Savage G. P. 1999. Oxalate content of food and its effect on humans. Asia Pacific journal of Clinical Nutrition 81: 64-74. Noda. 2006. Effect of potato starch characteristics on textural properties of Korean-style cold noodle from wheat flour and potato starch blends. Food Sci. Technol. Res. 4. 12: 278-283. Noda et al. 2008. Factors affecting the digestibility of raw and gelanized potato starches. Food Chemistry 110: 465 - 470 . Noonan SC, Savage GP. 1999. Oxalate content of foods and its effect on human. Asia Pacific J. Clin Nutr 8 1 : 64-74. Nur M. 1986. Tanaman Talas Colocasia dan beberapa Genus yang lain. Jakarta: Kementerian Pertanian. Ochtsuki T. 1968. Studies on reverse carbohydrate of flour Amorphophallus spesies with special refference to mannan. Botanical Magazine Tokyo 8: 119-129. Paull RE, Tang CS, Gross K, Uruu G. 1999. The nature of the taro acridity factor. Postharverst Biology and Technology 16: 71 – 78. Piazza L, Massi P. 1997. Development of crispiness in cooking during baking in an industrial oven. Cereal Chemistry. 742: 135-140 Pomeranz Y. 1991. Functional Properties of Food Components. California: Academic Press Inc., San Diego Rayes-Duarte P, Mock CM, Satterlee LD. 1996. Quality of spaghetti containing buckwheat, amaranth, and lupin flours. Cereal Chemistry 73: 381 – 387. Richana N, Titi CS. 2004. Karakterisasi sifat fisikokimia tepung umbi dan tepung pati dari umbi ganyong, suweg, ubikelapa dan gembili. J.Pascapanen 1. 1: 29-37. Sadhu, Maninder, Mukesh. 2010. Studies on noodle quality of potato and rice starches and their blends in relation to their physicochemical, pasting and gel texture properties. Food Science an Technology 2010; 43 : 1289 – 1293. Sajilata MG, Singhal RS, Kulkarni PR. 2006. Resistant starch-a review. Comprehensive Reviews in Food Science and Food Safty. Vol. 5: 1-17. Savage GP, Martensson L. 2010. Comparison of the estimates of the oxalate content of taro leaves and corms and a selection of Indian vegetables following hot water, hot acid and in vitro extraction methods. Journal of Food Composition and Analysis 23: 113 – 117. Savage GP, Vanhanen L, Mason SL, Ross AB. 2000. Effect of cooking on the soluble and insoluble oxalate content of some New Zealand foods. J. Food Comp. Anal. 13: 201 – 206. Schumm W. 1978. Chemistry. New York: Interscience Publisher Inc. Scoch TJ, Maywald EC. 1968. Preparation and Properties of Various Legume Starches. Cereal Chemistry 45: 546-573. Setser CS. 1995. Sensory Evaluation. Didalam: Kramel dan Stauffer. Advances in Baking Technology. Glasgow: Blakie Academic and Proffesional. Singh, Narpinder, Sharmab. 2003. Physicochemical, rheological and cookie making properties of corn and potato flours. Food Chemistry 83: 387 – 393. Tan HZ, Li ZG dan Tan B. 2009. Starch noodles: History, classification, materials, processing, structure, nutririon, quality evaluating and improving. Food Research International 42: 551-576. Vignaux N et al. 2005. Quality of spaghetti made from full and partial waxy durum wheat. Cereal Chem 82:93 – 100. Webb MA. 1999. Cell mediated chrystallization of calcium oxalate in plants. Plant cell 11:751-761. Yadav BJ, Ritika BY, Mahesh K. 2011. Suitability of pigeon pea and rice starches and their blends for noodle making. Food Science and Technology 44: 1415 – 1421. Zaidul et al. 2007. Correlation between the compositional and pasting properties of various potato starches. Food Chemistry 105: 164 – 172. Zoulias EI, Oreopoulou V, Tzia C. 2002. Textural properties of low-fat cookies containing carbohydrate- or protein-based fat replacers. Journal of Food Engineering 55: 337 –342. LAMPIRAN Lampiran 1. Rekapitulasi data, analisis ragam dan uji lanjut wilayah berganda Duncan dari jenis pelarut pada proses reduksi oksalat. a. Rekapitulasi data Jenis Pelarut Ulangan Total Oksalat ppm Rerata ± SD Segar 1 40058,84 38237,99 ± 2079,74 2 38683,56 3 35971,58 Air 1 8570,94 8301,3 ± 307,82 2 8367,05 3 7965,92 HCl 1 1457,85 1642,51 ± 164,87 2 1694,75 3 1774,94 NaOH 1 8773,05 8509,40 ± 318,42 2 8155,64 3 8599,53 NaCl 1 7288,03 7349,49 ± 194,29 2 7567,08 3 7193,36 b. Hasil analisis ragam dan uji lanjut ANOVA Sum of Squares df Mean Square F Sig. Between Groups 2.520E9 4 6.300E8 686.761 .000 Within Groups 9172804.117 10 917280.412 Total 2.529E9 14 Uji lanjut Duncan Sampel N Subset for alpha = 0.05 1 2 3 HCl 0,2 N 3 1.642511E3 NaCl 1,7 N 3 7.349487E3 Air 3 8.301302E3 NaOH 0,2 N 3 8.509405E3 Segar 3 3.823799E4 Sig. 1.000 .187 1.000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Lampiran 2. Rekapitulasi data, analisis ragam dan uji lanjut wilayah berganda Duncan dari lama perendaman pada proses reduksi oksalat. a. Rekapitulasi data Lama Perendaman menit Ulangan Total Oksalat ppm Rerata ± SD 1 40768,06 40245,39 ± 2054,01 2 37980,54 3 41987,57 30 1 1498,76 1261,87 ± 263,41 2 1308,64 3 978,21 60 1 1523,09 1310,31 ± 278,58 2 994,98 3 1412,86 90 1 986,76 1222,20 ± 253,63 2 1189,08 3 1490,76 b. Hasil analisis ragam dan uji lanjut ANOVA Sum of Squares df Mean Square F Sig. Between Groups 3.419E9 3 1.140E9 1.029E3 .000 Within Groups 8860548.245 8 1107568.531 Total 3.428E9 11 Uji lanjut Duncan Sampel N Subset for alpha = 0.05 1 2 90 3 1.222199E3 30 3 1.261874E3 60 3 1.310310E3 3 4.024539E4 Sig. .924 1.000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Lampiran 3. Rekapitulasi data, analisis ragam dan uji lanjut wilayah berganda Duncan dari rendemen tepung pada produksi tepung walur a. Rekapitulasi data Konsentrasi Natrium metabisulfit Ulangan Rendemen 100 mesh Rerata ± SD Kontrol 1 14,55 13,84 ± 1,00 2 13,13 500 ppm 1 14,90 14,69 ± 0,29 2 14,48 1000 ppm 1 14,07 1435 ± 0,39 2 14,62 1500 ppm 1 14,10 1374 ± 0,50 2 13,38 b. Hasil analisis ragam dan uji lanjut ANOVA Sum of Squares df Mean Square F Sig. Between Groups 1.188 3 .396 1.051 .462 Within Groups 1.507 4 .377 Total 2.694 7 Uji lanjut Duncan Sampel N Subset for alpha = 0.05 1 1500 ppm 2 13.7400 kontrol 2 13.8400 1000 ppm 2 14.3450 500 ppm 2 14.6900 Sig. .202 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Lampiran 4. Rekapitulasi data, analisis ragam dan uji lanjut wilayah berganda Duncan dari derajat putih tepung walur. a. Rekapitulasi data Konsentrasi Natrium metabisulfit Ulangan Nilai derajat putih Rerata ± SD Kontrol 1 56,70 56,50 ± 0,28 2 56,30 500 ppm 1 63,10 62,75 ± 0,49 2 62,40 1000 ppm 1 69,40 7010 ± 0,99 2 70,80 1500 ppm 1 70,20 70,85 ± 0,92 2 71,50 b. Hasil analisis ragam dan uji lanjut ANOVA Sum of Squares df Mean Square F Sig. Between Groups 275.070 3 91.690 170.586 .000 Within Groups 2.150 4 .537 Total 277.220 7 Uji lanjut Duncan Sampel N Subset for alpha = 0.05 1 2 3 Kontrol 2 56.500 500 ppm 2 62.750 1000 ppm 2 70.100 1500 ppm 2 70.850 Sig. 1.000 1.000 .364 Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

Dokumen yang terkait

Isolation and identification of indigenous microorganisms and its application in fermented corn and characterization of physicochemical properties of the flour

1 21 271

Penurunan Kadar Oksalat Umbi Walur (Amorphophallus campanulatus var. Sylvestris) dan Karakterisasi serta Aplikasi Pati Walur pada Cookies dan Mie

5 25 248

Reduksi Oksalat pada Umbi Walur (Amorphophallus campanulatus var. Sylvestris) dan Aplikasi Pati Walur pada Cookies dan Mie

0 4 8

Modifikasi Pati Walur (Amorphophallus campanulatus var. Sylvestris) dengan Heat Moisture Treatment (HMT) serta Karakteristisasi Sifat Fisiko- Kimia dan Sifat Fungsionalnya

2 19 158

Effect of Spontaneous Fermentation On the Physical and Chemical Characteristics of Sorghum Flour (Sorghum bicolor L. Moench) and Its Application In Cookies.

0 4 186

Characterizations of Walur Flour (Amorphophallus campanulatus var sylvetris) and Its Application in Noodle and Cookies

3 6 132

Effect of Spontaneous Fermentation On the Physical and Chemical Characteristics of Sorghum Flour and Its Application In Cookies

0 6 101

KUALITAS FISIKOKIMIA NAGET AYAM YANG MENGGUNAKAN FILER TEPUNG SUWEG (Amorphophallus campanulatus B1). - Physicochemical Quality Of Chicken Nugget Using Suweg (Amorphophallus Campanulatus B1) Flour As Filler.

0 4 9

KNO3 Application Affect Growth and Production of Amorphophallus muelleri Blume

0 1 7

Study of Manufacturing and Mechanical Characteristic of Biodegradable Plastics Made From Suweg (Amorphophallus campanulatus)

0 0 6