introspeksi spervisor sendiri dalam memperbaiki kegiatan pengajaran learning dalam konteks konstruktivisme.
11. Evaluator
Sebagai evaluator, guru agama dituntut untuk menjadi seorang evaluator yang baik dan jujur, dengan memberikan penilaian atau justifikasi terhadap hasil
konstruksi pengetahuan siswa yang menyentuh aspek ekstrinsik dan intrinsik. Penilaian terhadap aspek intrinsik lebih menyentuh pada aspek kepribadian anak
didik, yakni aspek nilai values. Berdasarkan hal ini, guru harus bisa memberikan penilaian dalam dimensi yang luas. Penilaian terhadap kepribadian anak didik
tentu lebih diutamakan dari pada penilaian terhadap jawaban anak didik ketika diberi tes. Anak didik yang berprestasi baik, belum tentu memiliki kepribadian
religiusitas yang baik. Jadi, penilaian itu pada hakikatnya diarahkan pada perubahan kepribadian anak didik agar menjadi manusia susila yang cakap sesuai
dengan materi-materi agama yang diajarkan.
85
Dan hal inilah yang semestinya terjadi dalam pendekatan konstruktivisme pada pembelajaran pendidikan agama
Islam. Sebagai evaluator, guru agama tidak hanya menilai produk hasil
pengajaan, tetapi juga menilai proses jalannya pengajaran. Dari kedua kegiatan ini akan mendapatkan umpan balik feedback tentang pelaksanaan interaksi
edukatif yang telah dilakukan. Selain hal-hal tersebut diatas, juga terdapat peran guru yang harus disadari
dan dimengerti oleh para guru dan calon guru yang berkaitan dengan tugas- tugasnya sebagai pendidik, pelatih, teladan, peneliti, kulminator, administrator,
dan psikolog. Penjabarannya adalah sebagai berikut:
1. Guru agama sebagai pendidik
Guru agama adalah pendidik, yang menjadi tokoh, panutan, dan identifikasi bagi para peserta didik dan lingkungannya. Oleh karena itu, guru
85
Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan Anak..., h. 46
harus memiliki standar kualitas pribadi tertentu, yang mencakup tanggungjawab, wibawa, mandiri, dan disiplin.
86
2. Guru agama sebagai pelatih
Proses pendidikan dan pembelajaran memerlukan latihan keterampilan, baik intelaktual maupun motorik, sehingga menuntut guru agama untuk bertindak
sebagai pelatih dalam setiap materi agama yang diajarkan. Hal ini lebih ditekankan lagi dalam kurikulum 2004 yang berbasis kompetensi, karena tanpa
latihan seorang peserta didik tidak akan mampu menunjukkan penguasaan kompetensi dasar, dan tidak akan mahir dalam berbagai keterampilan yang
dikembangkan sesuai dengan materi standar. Oleh karena itu, guru agama harus berperan sebagai pelatih, yang bertugas melatih peserta didik dalam
pembentukkan kompetensi dasar pendidikan agama Islam.
87
3. Guru agama sebagai teladan
Guru agama merupakan model dan teladan bagi para perserta didik dan semua orang yang menganggap dia sebagai guru. Guru agama yang baik adalah
yang menyadari kesenjangan antara apa yang diinginkan dengan apa yang ada pada dirinya, kemudian ia menyadari kesalahan ketika memang bersalah dan
bertentangan dengan ketentuan agama. Kesalahan perlu diikuti dengan sikap merasa dan berusaha tidak mengulanginya.
88
Dengan demikian, guru agama dapat dijadikan sebagai landasan moralitas siswa dan masyarakat dalam menjalani
kehidupannya sehari-hari.
4. Guru agama sebagai peneliti
Pembelajaran merupakan seni, yang dalam pelaksanaannya memerlukan penyesuaian-penyesuaian dengan lingkungan. Untuk itu diperlukan berbagai
penelitian, yang melibatkan guru. Oleh karena itu guru adalah seorang pencari atau peneliti. Dia tidak tahu dan dia tahu bahwa dia tidak tahu, oleh karena itu ia
sendiri merupakan subyek pembelajaran. Dengan kesadaran bahwa ia tidak mengetahui sesuatu, maka ia berusaha mencarinya melalui kegiatan penelitian.
86
E. Mulyasa, Menjadi Guru Profesional: Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan
, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2005, h. 37
87
E. Mulyasa, Menjadi Guru ..., h. 42
88
E. Mulyasa, Menjadi Guru ..., h. 48
Usaha mencari sesuatu itu adalah mencari kebenaran, seperti seorang ahli filsafat yang senantiasa mencari, menemukan, dan mengemukakan kebenaran.
89
Dalam konteks pembelajaran dalam perspektif konstruktivisme, guru agama hendaknya
meneliti tentang bagaimana siswa mengkonstruksi pengetahuan agama yang disediakan. Sehingga guru agama dapat menemukan cara yang lebih efisien bagi
siswa dalam melakukan konstruksi pengetahuan agama.
5. Guru agama sebagai kulminator