29
dihitung oleh perusahaan sebesar 5 sampai 15 persen, dari Rp 5.780,41 menjadi Rp 5.757,19 diikuti penurunan biaya produksi dari Rp 13.122.668.550 menjadi Rp
10.463.401.277. Titik impasnya pun juga terpengaruh menjadi lebih kecil dari 1.386.970 kilogram menjadi sebesar 752.103 kilogram secara unit, sedang secara
rupiah berubah dari Rp 11.712.903.770 menjadi Rp 6.351.477.810. Ini juga diikuti dengan perubahan kemampuan perusahaan menghasilkan profit dari 9,53
persen menjadi 27,86 persen. Selain itu penelitian lain tentang profitabilitas juga pernah dilakukan oleh
Pratiwi 2003, yang meneliti tentang nilai tambah menggunakan metode Hayami dan profitabilitas menggunakan titik impas serta Marginal of Safety MOS dan
Marginal Income Ratio MIR pada agroindustri kripik tempe Perusahaan Ardani
Malang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kegiatan produksi kripik tempe pada perusahaan bersangkutan memiliki nilai tambah yang terus meningkat dari
tahun 1998 sampai dengan 2002, dengan peningkatan terbesar terjadi pada tahun 2000 yaitu 35,78 persen. Analisis titik impas pada Perusahaan Ardani
memperlihatkan keadaan yang fluktuaktif, dengan nilai terendah terjadi pada tahun 2000 sebesar 7,11 persen sedang pada tahun 2001 terjadi kenaikan sebesar
5,74 persen dan 2,02 persen pada tahun 2002.
2.3.2. Penelitian Mengenai Analisis Nilai Tambah
Puspitasari 2007 meneliti tentang keragaan usaha industri tahu skala kecil dan rumah tangga dengan mengambil studi kasus industri tahu skala kecil
dan rumah tangga di Kecamatan Mampang Prapatan. Penelititan ini menggunakan analisis biaya dan analisis nilai tambah metode Hayami, untuk melihat keragaan
objek studinya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa industri tahu, khususnya pengrajin tahu skala rumah tangga di Kecamatan Mampang Prapatan mengalami
penurunan pendapatan. Ini terlihat dari penurunan sebesar 6,87 persen pada penerimaan pengrajin
dari tahun 2005 sampai dengan 2006, yang juga sekaligus menurunkan keuntungan yang diperoleh sebesar 1,55 persen. Pada pengrajin tahu skala kecil
tidak terjadi penurunan kinerja, dimana dari tahun 2005 sampai dengan 2006 terdapat peningkatan pendapatan sebesar 7,77 persen dan keuntungan sebesar
30
41,75 persen. Dari analisis biaya, selama tahun 2005 sampai dengan 2006 terjadi kenaikan biaya tetap pada pengrajin tahu skala rumah tangga dan skala kecil
sebesar 17,04 persen dan 10,49 persen per papan untuk tahu putih, serta 24,71 persen dan 11,33 persen untuk tahu goreng.
Pada pengrajin tahu skala rumah tangga, nilai tambah dari tahu putih pada tahun 2005 dan 2006 masing-masing sebesar Rp 1.555,54 dan Rp 2.041,08,
sedangkan untuk tahu goreng sebesar Rp 1.584,22 dan Rp 2.179,55. Sedangkan untuk pengrajin tahu skala kecil nilai tambah dari tahu putih pada tahun 2005 dan
2006 masing-masing sebesar Rp 1.987,02 dan Rp 2.74,26, serta Rp 2.136,35 dan Rp 3.130,05 untuk tahu goreng. Selain itu jika dilihat dari besarnya balas jasa
yang diterima pengrajin terdapat penurunan sebesar 8,56 persen dan 8,61 persen dalam memproduksi tahu putih dan tahu goreng, sedangkan balas jasa yang
diterima oleh tenaga kerjanya mengalami peningkatan sebesar 41,71 persen dan 34,05 persen.
Sinaga 2008 melakukan penelitian tentang nilai tambah dan dampak kebijakan pemerintah terhadap industri tempe di Kabupaten Bogor menggunakan
metode Hayami dan analisis Policy Analysis Matrix. Hasil penelitian menunjukkan nilai faktor konversi industri tempe sebesar 1,6 dimana tiap satu
kilogram kedelai yang diolah menghasilkan 1,6 kilogram tempe, dengan nilai tambah yaitu Rp 2.198,91 per kilogram input kedelai dan rasio nilai tambah
sebesar 21,14 persen. Tenaga kerja memiliki nilai koefisien sebesar 0,02 yang menandakan bahwa untuk memproduksi satu kilogram kedelai menjadi tempe
membutuhkan 0,02 HOK Hari Orang Kerja. Berdasarkan analisis kebijakan pemerintah pada sisi output, industri tempe
di daerah penelitian memiliki Transper Output TO dan Koefisien Proteksi Output Nominal NPCO sebesar Rp -1.555,14 dan 0,8699 NPCO 1. Pada sisi
input memiliki Transfer Input TI sebesar Rp 180,25 dan Koefisien Proteksi Input Nominal NPCI sebesar 1,0765 dengan nilai transfer faktor sebesar Rp
261,91. Analisis Kebijakan input-output didekati menggunakan indikator Transfer Bersih TB, Koefisien Efektif Bersih EPC, Koefisien Keuntungan PC, dan
Rasio Subsidi Produsen SRP, dengan nilai masing-masing sebesar 0,8192; Rp - 1.997,30; 0,5247; dan -0,2540.
31
Furqanti 2003 melakukan penelitian analisis nilai tambah terhadap pengolahan buah jeruk nipis. Hasil penelitiannya menyatakan bahwa pengolahan
tiap satu kilogram buah jeruk nipis pada tahun 2000 mendapatkan nilai tambah sebesar Rp 3.609,87 atau 29,82 persen dari nilai output dan pada tahun 2001
meningkat menjadi Rp 4.433,78 atau 33,54 persen dari nilai output. Sedangkan bagian untuk imbalan tenaga kerja pada tahun 2000 sebesar 22,51 persen atau
senilai Rp 812,46 dan pada tahun 2001 meningkat menjadi Rp 1.072,51 atau 24,19 persen dari nilai tambah yang diperoleh.
Asnawi 2003 meneliti tentang nilai tambah ubi kayu menjadi tepung tapioka, menyatakan untuk mengolah satu kilogram ubikayu membutuhkan tenaga
kerja per HOK sebesar Rp 13.000. Nilai tepung tapioka yang dihasilkan dari setiap kilogram ubikayu sebesar Rp 218,50 sedangkan nilai tambah pengolahan
ubikayu menjadi tepung tapioka adalah Rp 57,91 per kilogram. Rasio nilai tambah terhadap nilai produk yaitu 30,07 persen, yang menunjukkan setiap Rp 100
produk akan diperoleh nilai tambah sebesar Rp 30,07. Keuntungan yang didapat dari tepung tapioka adalah Rp 57,91 per kilogram bahan baku, sedang bagian
keuntungan dari nilai tambah sebesar 88,13 persen. Ini jauh lebih baik dibanding bagian keuntungan untuk tenaga kerja sebesar 11,87 persen, yang menandakan
keuntungan Rp 57,91 per kilogram bahan baku ubikayu hanya dinikmati pemilik dan pengelola Ittara sedangkan petani belum mendapatkan bagian.
Perbedaan antara penelitian yang dilakukan dengan penelitian-penelitian terdahulu terletak pada objek penelitian dan alat analisisnya. Walaupun terdapat
kesamaan alat analisis, namun objek yang dijadikan bahan kajian pada penelitian terdahulu adalah agroindustri kripik tempe. Sedang penelitian yang dilakukan
mengambil objek kajian pada salah satu usaha tahu dan tempe yang ada di Kota Bogor. Rincian singkat mengenai penelitian terdahulu dapat dilihat secara mudah
pada Tabel 7 berikut.
32
Tabel 7.
Rincian Singkat Penelitian Terdahulu
Nama Penulis
Tahun Judul Alat
Analisis
Dessy Furqanti
2003 Analisis Nilai Tambah dan
Kemampulabaan Usaha Pengolahan Buah Jeruk Nipis Citrus
aurantifolia swingel Metode Hayami
Robet Asnawi
2003 Analisis Fungsi Produksi Usaha
Tani Ubikayu dan Industri Tepung Tapioka Rakyat di Provinsi
Lampung Fungsi Produksi Cobb-
Douglass , Metode
Hayami Elok
Pratiwi 2003
Analisis Nilai tambah dan Profitabilitas Agroindustri Kripik
Tempe Titik Impas, MIR,
MOS, Metode Hayami Aprilia
Ritma Damayanti
2004 Analisis Perubahan Penetapan
Harga Pokok Produksi Teh Dalam Kaitannya dengan Titik Impas dan
Profitabilitas Perusahaan Metode Full Costing,
Titik Impas Tiya
Puspitasari 2007
Keragaan Usaha Industri Tahu Skala Kecil dan Rumah Tangga
Analisis Biaya, Metode Hayami
Merika Sondang
Sinaga 2008
Analisis Nilai Tambah dan Daya Saing serta Dampak Kebijakan
Pemerintah Terhadap Industri Tempe di Kabupaten Bogor
Metode Hayami, Policy Analysis Matrix
Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan terhada penelitian- penelitian terdahulu, terlihat bahwa suatu usaha apa pun itu memiliki profitabilitas
yang berbeda-bedar. Perbedaan profitabilitas antar usaha ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti skala dan struktur biaya usaha yang bersangkutan.
Semakin tinggi total biaya suatu usaha, semakin kecil kemampuan usaha dalam menghasilkan keuntungan atau laba. Begitu pula dengan nilai tambah suatu usaha,
ditentukan oleh beberapa faktor, seperti jenis usaha dan skala usaha. Semakin besar skala produksi suatu usaha, maka semakin besar nilai tambah dari usaha
yang bersangkutan.
33
III KERANGKA PEMIKIRAN
3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Konsep Biaya