7. Dehumanisation dehumanisasi
Duhumanisation yaitu kami vs mereka berpikir berdasarkan stereotipe yang benar Detert et.al, 2008. Proses dehumanisasi adalah komposisi yang sangat
penting yang terdapat pada perilaku tidak manusiawi. Pada dasarnya seseorang yang sudah hidup bersama dalam jangka waktu tertentu akan mudah berempati
terhadap kesedihan yang dialami rekannya karena mereka telah melalui berbagai pengalaman, baik itu menyenangkan ataupun tidak menyenangkan, sehingga
dehumanisasi akan sulit terjadi kecuali pelaku akan membenci dan mengutuk dirinya sendiri atas perbuatan buruknya tersebut. Hal ini dirasakan oleh korban
kekerasan Bandura, 1999. 8.
Attributin of blame atribusi menyalahkan Attributin of blame yaitu membebaskan diri dari tuduhan dengan menempatkan
kesalahan terhadap target perilaku kekerasan Detert et.al, 2008 serta menurut Bandura 1999, menimpakan kesalahan pada musuh atau lingkungan
merupakan salah satu cara untuk membebaskan diri dari tuduhan. Dalam proses ini biasanya orang menganggap dirinya sebagai korban yang dipaksa untuk
melakukan tindakan kekerasan. Dengan membenarkan perilaku tersebut tidak hanya membuat perilaku merusak itu dimaklumi bahkan pelaku dapat
menganggap dirinya tidak melakukan kesalahan sama sekali atau menganggap dirinya melakukan hal yang benar.
Dengan mengacu pada teori Bandura, Hymel, et.al., 2005 mengklasifikasikan kedelapan mekanisme moral disengagement tersebut menjadi empat klasifikasi,
yaitu: 1.
Cognitive restructuring, meliputi: pembenaran moral moral justification, penghalusan bahasa euphemistic labeling, dan perbandingan yang
menguntungkan advantageous comparisons. 2.
Minimizing agency, meliputi: pemindahan tanggung jawab displacement of responsibility dan penyebaran tanggung jawab diffusion of responsibility.
3. Distortion of negative consequences, meliputi: mengabaikan konsekuensi
distorting the consequences. 4.
Blamingdehumanizing the victim, meliputi: dehumanisasi dehumanization dan atribusi menyalahkan attribution of blame.
Peneliti berasumsi bahwa empat klasifikasi tersebut sangat efektif karena sudah mencakup semua mekanisme moral disengagement oleh karenanya dalam penelitian
ini peneliti menggunakan empat klasifikasi moral disengagement yang dikembangkan oleh Hymel, et.al., 2005 yang mengacu pada teori moral
diesengagement dari Bandura 1999 tersebut.
2.3.3 Pengukuran moral disengagement
Berdasarkan hasil membaca literatur tentang moral disengagement, peneliti menemukan beberapa instrumen untuk mengukur moral disengagement, yaitu:
1. Moral disengagement scale yang disusun McAlister, Bandura dan Owen 2006
yang terdiri dari 10 item. Item tersebut diukur dengan menggunakan lima poin skala Likert mulai dari sangat setuju +2, ragu-ragu 0, sampai sangat tidak
setuju -2. Nilai-nilai positif merupakan pernyataan yang sesuai dari berbagai mode moral disengagement, nilai-nilai negatif merupakan pernyataan yang tidak
sesuai. 2.
Moral disengagement scale yang disusun Gulandri 2012 yang terdiri 32 item yang mengukur moral justification, euphemistic labeling, advantageous
comparisons, displacement of responsibility, diffusion of responsibility, distortion of negative consequences, blaming dehumanizing the victim dan
attribution of blame. 3.
Moral disengagement scale yang disusun oleh Hymel et.al., 2005 yang terdiri dari 18 item yang mengukur empat kategori meliputi: cognitive restucturing,
minimazing agency,
distortion of
negative consequences
dan blamingdehumanizing the victim.
Pengukuran moral disengagement yang akan digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah menggunakan skala pengukuran yang diterjemahkan dan dimodifikasi dari
skala pengukuran moral disengagement yang disusun oleh Hymel et.al 2005. Karena alat ukur ini mencakup empat kategori meliputi: cognitive restucturing,
minimazing agency, distortion of negative consequences dan blamingdehumanizing
the victim yang telah mencakup kedelapan mekanisme moral disengagement yang dijelaskan oleh Bandura 1999.
2.4 Kerangka Berpikir
Agresivitas merupakan perilaku yang maladaptif yang sering muncul akhir-akhir ini di lingkungan masyarakat. Hal ini dapat kita lihat dari berita-berita media massa
yang menyorot banyaknya perilaku agresif yang muncul dan sulit ditangani, misalnya konflik antarsuku di suatu daerah dan tawuran yang terjadi saat pemilihan
kepala daerah. Berbagai bentuk agresivitas muncul dalam konflik pilkada tersebut. Sebagai contoh adanya unjuk rasa, bentrokan antar warga dan aparat keamanan,
bahkan pengrusakan kantor kepala desa yang terjadi di beberapa desa di Kabupaten Tangerang beberapa saat selepas dilaksanakannya pemilihan kepala daerah serentak.
Dalam hal ini terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi agresivitas, diantaranya religiusitas, moral disengagement dan jenis kelamin. Faktor pertama
yang mempengaruhi agresivitas adalah religiusitas. Gazi dan Faozah 2010 menjelaskan bahwa religiusitas merupakan bagian dari kehidupan sosial umat
manusia yang tidak bisa dilepaskan dari aspek kemasyarakatan. Religiusitas sosial mencerminkan tingkat interaksi seseorang dengan orang lain yang semazhab,
seagama atau berbeda agama. Kesalehan sosial seseorang akan tampak pada sikap atau penilainnya terhadap orang lain atau terhadap segala sesuatu yang bersifat
sosial.
Namun, salah satu implikasi dari interaksi sosial adalah terjadinya kesalahfahaman dan konflik antar pribadi atau antar kelompok. Konflik ini dapat
menimbulkan perilaku agresif seseorang. Religiusitas memiliki kontribusi dalam menentukan perilaku agresif. Menurut Fetzer 1999, dimensi religiusitas memiliki
korelasi dengan perilaku agresif. Dengan dimensi-dimensi religiusitas tersebut, individu dapat memiliki arah dalam menentukan perilakunya dalam keseharian
sehingga individu mampu berperilaku sesuai dengan tuntunan kitab suci dengan ajaran kasih sayangnya bukan untuk menyakiti individu lainnya. Kundarto 2012
dalam hasil penelitiannya menunjukkan bahwa religiusitas mempengaruhi perilaku agresif. Hasil penelitian Huesman, Dubow dan Boxer 2010 juga menyimpulkan
bahwa agresi mampu dipengaruhi pula oleh aspek religiusitas, baik berupa aktifitas keagamaan ataupun rutinitas harian keagamaan seperti berdoa. Sehingga dapat
diasumsikan bahwa semakin tinggi tingkat religiusitas seseorang maka semakin rendah tingkat agresivitas orang tersebut.
Faktor internal lain yang mempengaruhi agresivitas yaitu moral disengagement. Peregangan moral merupakan suatu proses sosiokognitif dimana
seseorang mampu melakukan perbuatan yang mengerikan terhadap orang lain. Menurut Bandura 1999 agensi moral merupakan manifestasi kemampuan untuk
melakukan perilaku yang tidak manusiawi dan kemampuan proaktif untuk melakukan perilaku manusiawi. Agensi moral berhubungan dengan teori self
sosiokognitif yang mencakup self-organizing, proactive, self-reflective dan