Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN
Berdasarkan studi literatur, peneliti menyimpulkan beberapa faktor yang mempengaruhi agresivitas, seperti: tipe kepribadian, religiusitas Kundarto, 2012,
self-esteem, kecerdasan emosi, konformitas Fajri, 2013, kontrol diri Hasanah, 2014, terjadinya moral disengagement, tekanan teman sebaya Hymel, Henderson
Bonanno, 2005 dan lain sebagainya. Hasil penelitian Hymel, et.al., 2005 menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku agresif pada remaja
diantaranya: moral disengagement peregangan moral, poor home environments lingkungan rumah yang buruk, ineffective parenting and school practices pola
asuh dan kebiasaan yang tidak efektif di sekolah, peer pressure or exposure to violent media tekanan teman sebaya atau keterbukaan media. Hasil penelitian
Hardy, Walker, Rackham dan Olsen 2012 menemukan adanya hubungan antara religious commitment dan agresi dan empati dengan moral identity sebagai mediator.
Dari beberapa faktor yang sudah disebutkan sebelumnya, peneliti hanya menentukan beberapa faktor yang mempengaruhi agresivitas, yaitu: religiusitas dan
moral disengagement yang merupakan faktor internal yang mempengaruhi agresivitas seseorang. Religiusitas merupakan salah satu faktor yang mengacu pada
faktor sosio-kultural dalam perilaku agresif. Faktor ini dijadikan sebagai faktor internal bagaimana perilaku agresif tersebut terjadi pada seseorang dan untuk
mengukur sejauh mana nilai-nilai agama terinternalisasi dalam dirinya dan bagaimana implikasi hal tersebut terhadap perilaku agresif yang dilakukan secara
umum.
Penelitian Mufidha 2008 tentang hubungan religiusitas dengan perilaku agresif remaja pada siswa Madrasah Tsanawiyah Persiapan Negeri Batu Malang,
menunjukkan hasil perhitungan skor religius dan perilaku agresif sebesar -0,418 dengan taraf signifikansi 5. Hasil tersebut menunjukkan ada hubungan yang
negatif antara variabel religiusitas x dengan perilaku agresif y, artinya semakin tinggi tingkat religiusitas maka semakin rendah tingkat agresivitas pada siswa remaja
MTs Persiapan Negeri Batu, sebaliknya semakin rendah tingkat religiusitas maka semakin tinggi tingkat agresivitas. Penelitian Kundarto 2012 mengenai pengaruh
kepribadian dan religiusitas terhadap perilaku agresi ibu kepada anak, hasilnya menunjukkan bahwa terdapat pengaruh signifikan religiusitas terhadap perilaku
agresif ibu kepada anak. Shaw, Quezada dan Zarate 2011 meneliti tentang bagaimana kekerasan
yang diprediksi dari adanya pengaruh religiusitas dan keteguhan moral moral certainty. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa pada tingkat keteguhan moral
yang lebih tinggi, religiusitas memiliki peranan yang lebih besar pada munculnya bentuk kekerasan yang dilakukan. Namun kekurangan pada penelitian ini adalah
religiusitas yang diukur hanya pada religious identity. Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan mengenai pengaruh religiusitas
terhadap agresivitas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang serupa. Perbedaan dengan penelitian terdahulu adalah sampel yang digunakan. Jika
penelitian yang dilakukan oleh Mufidha 2008 dengan sampel remaja dan Kundarto
2011 dengan sampel para ibu, maka dalam penelitian ini, sampel yang digunakan adalah masyarakat umum yang berusia 20-50 tahun. Selain itu penulis juga
mengukur religiusitas yang bersifat multidimensional sehingga diharapkan dapat mengukur religiusitas, baik dari segi ekstrinsik yang berupa ritualkegiatan
keagamaan serta segi intrinsiknya, yang tergabung dalam dimensi religiusitas seperti general religiosity coping religious; social religiosity forgiveness; Tuhan sebagai
penentuhakim god as judge; rasa berterima kasih thankfulness; perasaan tidak dendam unvengefulness dan keterlibatan Tuhan dalam aktifitas keseharian involve
god Kendler, Liu, Gardner, McCullough, Larson, Prescott, 2003. Aspek lain yang dapat mempengaruhi agresivitas adalah moral
disengagement. Menurut Bandura dalam Hymel et.al, 2005 moral disengagement sebagai suatu proses sosiokognitif di mana rata-rata orang mampu melakukan
perbuatan yang mengerikan terhadap orang lain. Mekanisme yang terjadi dalam proses moral disengagement menurut Hymel, et.al., 2005 meliputi: cognitive
restructuring restrukturasi kognitif, minimizing agency agensi yang diminimalisir, distortion of negative consequences menghilangkan konsekuensi negatif dan
blamingdehumanizing the victim menyalahkan atau merendahkan korban. Hasil dari penelitian Rohmah 2013 yang telah dilakukan pada siswa SMPN
1 Sepatan membuktikan bahwa ada pengaruh yang signifikan pola asuh, self-esteem, moral disengagement dan demografi terhadap kecenderungan bullying. Dari hasil
penelitian tersebut menunjukan bahwa variabel cognitive restructuring memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap bullying artinya semakin tinggi cognitive restructuring maka semakin tinggi pula kecenderungan bullying.
Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Hymel, et.al., 2005 yang menunjukkan bahwa anak yang melakukan bullying memiliki moral disengagement
yang sangat tinggi. Hal ini didukung juga oleh hasil penelitian Paciello, Fida, Tramontano, Lupinetti, dan Caprara 2008 yang mengemukakan bahwa remaja yang
mempertahankan tingkat yang lebih tinggi dari moral disengagement lebih cenderung menunjukkan tindakan agresif dan kekerasan. Namun, sampel dalam
penelitian Paciello, et.al., 2008 berusia 14-20 tahun sedangkan sampel dalam penelitian ini adalah orang dewasa yang berusia 20-50 tahun.
Selain itu, agresi baik fisik maupun psikologis dapat terukur melalui faktor demografi yang dapat berupa jenis kelamin. Di satu sisi, laki-laki lebih cenderung
untuk melakukan perilaku agresif dan menjadi target dari perilaku tersebut daripada perempuan. Namun di sisi lain, kadar perbedaan ini tampak bervariasi pada berbagai
situasi. Pertama, perbedaan gender dalam agresi menjadi lebih besar dengan tidak adanya provokasi daripada ketika ada provokasi. Dengan kata lain, laki-laki secara
signifikan lebih cenderung untuk melakukan perilaku agresif terhadap orang lain ketika orang lain tersebut tidak memprovokasi mereka dalam cara apapun daripada
perempuan Betancourt Miller dalam Baron, 2005. Kedua, temuan penelitian mengindikasikan bahwa laki-laki cenderung terlibat dalam berbagai bentuk perilaku
agresif langsung dibandingkan perempuan —tindakan yang ditujukan secara
langsung pada target dan secara jelas datang dari agresor misalnya, kekerasan fisik, mendorong, menampik, melempar sesuatu pada orang lain, berteriak dan mengejek.
Namun, perempuan daripada laki-laki lebih cenderung untuk terlibat dalam berbagai bentuk perilaku agresif tidak langsung
—tindakan ini termasuk menyebarkan rumor mengenai target, bergosip di belakang target, mengarang cerita sehingga target
mendapat masalah dan lain-lain Bjorkqvist, Osterman Hjelt-Back, dalam Baron, 2005.
Berdasarkan apa yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa perbedaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu adalah sampel yang digunakan yaitu
masyarakat umum yang berusia 20-50 tahun. Rentang usia ini termasuk masa dewasa dini dan dewasa madya. Masa dewasa dini merupakan masa pencaharian kemantapan
dan masa reproduktif yaitu suatu masa yang penuh dengan masalah dan ketegangan emosional, periode isolasi sosial, periode komitmen dan masa ketergantungan,
perubahan nilai-nilai, kreativitas dan penyesuaian pada pola hidup yang baru, sedangkan masa dewasa madya merupakan masa penyesuaian diri terhadap
perubahan fisik, penyesuaian diri terhadap perubahan minat, penyesuaian diri terhadap standar hidup keluarga dan penyesuaian dengan hal-hal yang berkaitan
dengan kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat Hurlock, 1996. Dari uraian dan berdasarkan fenomena yang sudah dipaparkan di atas,
membuat penulis memutuskan penting untuk meneliti tentang agresivitas yang dipengaruhi oleh religiusitas dan moral disengagement khususnya pada orang
dewasa. Maka dari itu, penulis tertarik mengambil tema yang berjudul
“Pengaruh Religiusitas dan
Moral Disengagement terhadap Agresivitas Masyarakat Desa Kampung Melayu Timur Kecamatan
Teluknaga, Tangerang”.
1.2 Pembatasan dan Perumusan Masalah 1.2.1 Pembatasan masalah
Masalah utama yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah pengaruh religiusitas dan moral disengagement terhadap perilaku agresif, maka penulis membatasi
masalah yang akan diteliti yaitu sebagai berikut: 1.
Agresivitas yang dimaksud dalam penelitian ini merujuk pada pengertian agresivitas menurut Buss dan Perry 1992 bahwa yang dimaksud agresivitas
adalah mengacu pada kecenderungan yang relatif tetap untuk menjadi agresif dalam berbagai situasi yang berbeda. Di mana agresi itu sebagai segala bentuk
perilaku yang dimaksudkan untuk menyakiti seseorang berupa agresi fisik, agresi verbal, kemarahan dan permusuhan.
2. Religiusitas yang dimaksud dalam penelitian ini adalah perwujudan individu
penganut agama yang menggambarkan bagaimana hubungan individu dengan Tuhannya dimensi religiusitas general religiosity, bagaimana individu dalam
membina hubungan dengan individu lain maupun sesama penganut agamanya dimensi religiusitas social religiosity, bagaimana individu melambangkan
Tuhannya yang mencerminkan kepercayaan dan keyakinannya terhadap
keterlibatan Tuhan dalam urusannya dimensi religiusitas involved God, bagaimana individu menggambarkan pendekatan kepedulian; rasa kasih
sayang; dan saling memaafkan terhadap sekitar dimensi religiusitas forgiveness, bagaimana individu menggambarkan kekuasaaan yang dimiliki
Tuhan dan mempersepsi bahwa Tuhan lah sebagai penentuhakim dimensi religiusitas God as judge, bagaimana individu menggambarkan perilaku yang
tidak menyimpan rasa dendam dimensi religiusitas unvengefulness dan bagaimana individu tersebut bersyukur dimensi religiusitas thankfulness
Kendler, et.al, 2003. 3.
Moral disengagement yang dimaksud dalam penelitian ini adalah ketidakmampuan seseorang dalam mengontrol perilaku yang dilakukan
sehingga memungkinkannya untuk melakukan perilaku yang tidak manusiawi berdasarkan empat klasifikasi, yaitu cognitive restructuring, minimizing
agency, distortion of negative consequence, dan blamingdehumanizing the victim Hymel et.al, 2005.
4. Populasi dalam penelitian ini adalah masyarakat yang berada di desa Kampung
Melayu kecamatan Teluknaga, Tangerang.