Nilai Keharmonisan Pembahasan hasil Penelitian

82 mencontohkan, soal menabung misalnya. Andika termotivasi dari salah satu saudara asuhnya, Santi. Suatu saat Santi minta izin kepada Yuli untuk ikut PerSaMi di sekolah dan bayarnya dengan uang tabungannya. Mendengar itu Andika berkata, “Ummi... aku nggak punya tabungan?” “Lho, kamu kan dikasih uang jajan sama kayak Santi. Dari sana bisa kamu tabung sebagian. Selama ini uangny a kamu pake jajan semua, ya?” Andika tidak menjawab. Yuli menarik napas panjang, sebenarnya dia sedikit kesal kenapa anak ini apa-apa harus dikasih tahu dan diajari, tidak seperti anak-anak yang lain, mereka lebih menurut dan pengertian. Namun, mengingat latar belakang Andika, Yuli segera maklum lagi. “Ya sudah, sekarang kamu bisa mulai menabung”. “Iya, Ummi.” Andika termotivasi setelah melihat Santi bisa membayari sendiri kegiatan PerSaMi yang diikutinya. Dia mulai menyisihkan uanh jajannya untuk ditabung, hingga kemudian dia bisa ikut PerSaMi juga dari uang tabungannya. Senang sekali Andika saat itu.” hlm. 31

c. Metode Pengajaran Nilai dengan al-

qur’an Dalam pendidikan Islam, terutama pendidikan agama Islam sebagai suatu bidang studi, kisah sebagai metode pendidikan amat penting. Dikatakan amat penting, alasannya adalah karena kisah Qur‟ani dapat menyentuh hati manusia karena kisah itu menampilkan tokoh dalam konteksnya yang menyeluruh. Karena tokoh cerita ditampilkan dalam konteks yang menyeluruh. 75 “Buat Syida, perilaku orangtuanya itu mengaplikasikan apa yang berada dalam al- Qur‟an, khususnya surat al-Ma‟un ayat 1- 3, “Tahukah kamu orang yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. ” Sebagai pemeluk islam taat dan telah dibiasakan menetapkan nilai-nilai agama sejak kecil, Syida justru senang ikut terlibat mengurus dan bermain dengan adik- adik asuhnya itu. Beban terkadang ada, saat dia ingin sendirian di kamar, tahu-tahu ada adiknya yang mengajaknya bermain. Kalau sudah begini, Syida biasanya beristighfar dan meminta kekuatan pada Allah untuk bisa mengendalikan egonya. Syakib atau yang akrab dipanggil Akib bahkan memiliki slogan Save The Children. Peliharalah anak-anak terlantar dari pada mereka berkeliaran tidak karuan di jalanan dan berpotensi melakukan tindak kriminal atau merusak diri mereka sendiri.” hlm. 363- 364 75 Ibid., h. 140 83 “Sejak anak-anaknya dalam kandungan, Yuli dan Badawi sering mengaji dengan suara yang terdengar jelas, supaya calon bayi mereka bisa mendengarnya, tak lupa menjaga sikap dan perilaku, termasuk perkataan yang terlontar, semua harus diperhatikan. Mengucapkan kata-kata yang sopan, lembut, dan agamis. Ini mereka lakukan agar anak-anak sejak dini menjadi pribadi yang taat kepada al- Qur‟an dan Sunnah Rasul. Ketika anak-anak mulai bisa mendengar dan membaca, Badawi dan Yuli memperkenalkan ayat-ayat al- Qur‟an dan artinya dengan lebih intens lagi. Badawi telah membuat rencana pendidikan agama, baik untuk anak kandung maupun asuh. Pada usia 3-5 tahun, mereka menghafal ayat-ayat pendek dan belajar shalat. Lalu pada usia 5-6 tahun anak-anak menghafal surat-surat yang pendek dan dimasukkan dalam sekolah yang minimal memiliki program menghafal al- Qur‟an. Untuk konsep pendidikan ini Badawi dan Yuli mempelajarinya dari surat Luqman ayat 13-19. Di dalam al- Qur‟an itu disebutkan bahwa Luqman mendidik anaknya. Artinya, sebagai pemimpin keluarga, dia mempunyai tugas mendidik istri dan anaknya. Namun, Yuli selalu melihat bahwa istri adalah “tenaga ahli” juga. hlm. 368-370

d. Metode Pengajaran Nilai dengan Keteladanan

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa “keteladanan” dasar katanya “teladan” yaitu: “perbuatan atau barang dsb, yang patut ditiru dan dicontoh.” Oleh karena itu “keteladanan” adalah hal-hal yang patut ditiru atau dicontoh. Dalam bahasa Arab “keteladanan” diungkapkan dengan kata “uswah” dan “qudwah”. Kata “uswah” terbentuk dari huruf-huruf: hamzah, as-sin, dan al- waw. Secara etimologi setiap kata bahasa Arab yang terbentuk dari ketiga huruf tersebut memiliki persamaan arti yaitu “pengobaran dan perbaikan”. Terkesan lebih luas pengertian yang diberikan oleh Al- Ashfahani, bahwa menurut beliau “al-uswah” dan “al-qudwah” berarti “suatu keadaan ketika seorang manusia mengikuti manusia