Deskripsi Nilai-nilai yang Terkandung dalam Novel Rumah Seribu

42 yang lain. Sebagai lauknya, masing-masing diberi sepotong tempe. Tak ada yang berani menambah atau meminta lebih karena takut ada yang tidak kebagian. Begitulah kehidupannya hingga dia beranjak dewasa.” hlm. 77-78 8. Nilai Perjuangan dalam Menuntut ilmu “Yuli bisa menyelesaikan pendidikan di PGA sambil bekerja. Namun, sampai sekarang Yuli tidak pernah tega menceritakan kepada orang tuanya bahwa dia pernah bersekolah sambil menjadi buruh. Yuli sengaja menyembunyikan banyak hal dari orang tuanya karena dia memang membutuhkan uang untuk sekolah. Tuntutan harus punya ilmu demi makan enak, kendati terdengar sederhana, namun membenam jelas dalam pikiran bawah sadar Yuli sehingga dia rela banting tulang menimba ilmu sambil mencari uang. Dia ingin membahagiakan kedua orang tuanya dengan kehidupan yang lebih layak di masa depan.” hlm. 79 8. Nilai Sigap Menghadapi Masalah “Aku nggak mau punya ibu tiri, jawabnya mengagetkan. Ibu tiri? Maksudnya apa? Setelah Yuli dan Badawi berdiskusi, mereka kemudian mengajak Syaqib berdialog. “Kenapa Dik Akib selalu bilang nggak pengen punya ibu tiri?” tanya Yuli lembut. Syakib lalu bercerita soal Angga, teman sekolahnya. “Temanku si Angga ibunya 43 meninggal, sekarang dia punya ibu tiri yang jahat, soalnya nggak pernah merhatiin Angga. Bajunya aja kotor, Ummi... terus sering nggak dikasih makan” katanya emosional. “loh, kamu tahu dari mana?” “Angga sering cerita sama aku. Ibu tirinya jahat Makanya aku nggak mau punya ibu tiri....” Badawi dan Yuli yang mendengar itu menarik napas panjang. Jelas sudah pokok persoalannya. Mereka harus cari cara untuk menenangkan jiwa Syaqib, supaya tidak punya pikiran buruk soal kelahiran adiknya ini dan ibu tiri. Yuli lalu berkonsultasi pada guru mengajinya, meminta nasihat terbaik bagaimana berbicara dengan Syaqib soal ini. “Pak Ustaz, bagaimana ya cara terbaik untuk menjelaskan ini pada Syaqib supaya dia nggak khawatir.” “Apa yang hendak ibu samp aikan padanya?” tatapan Yuli menerawang ke langit- langit, “Hmmm.. begini pak, karena saya juga nggak tahu umur saya, kalaupun saat melahirkan nanti saya wafat.. saya ridho Mas Badawi menikah lagi, tapi kalau anak-anak nggak suka ibu barunya nanti, kasihan juga...” “ya sudah.. ibu jelaskan saja pelan-pelan, insya Allah dia akan mengerti,” nasihatnya bijak. hlm. 121 9. Nilai Rendah Hati “Sambil memegang tangan bik Narsih Yuli terus mengajaknya bicara. Ajaib, beberapa saat kemudian, keluar air mata dari sudut- 44 sudut mata perempuan tua itu, mengalir dengan derasnya. Saat itu juga Yuli menangis lama sekali. Para suster melihat adegan itu merasa penasaran. Salah satunya bertanya kepada anaknya bik Narsih. “itu siapa? Anaknya juga?” “itu dunungan Emak, jawab Komar, salah satu anak bik Narsih. Suster itu terbelalak mendengarnya “Kenapa dunungan kok sampai kayak gitu?” hlm. 136 10. Nilai Empati “Mas, bagaimana kondisinya, ya?” tanya Yuli berkali- kali. “Sudahlah, kamu yang sabar ya,” Badawi menenangkan. “Tapi aku takut bibik kenapa- napa, Mas” Badawi menarik napas, “kita harus pasrah, Pung. Yang penting kan dokter sudah berusaha mengbati, gimana hasilnya kita serahkan kepada Allah.” “Ya Allah...” Yuli terisak, “Semoga bibik baik-baik saja...” Yuli sangat sedih. Teringat semua kebaikan dan pengorbanan bik Narsih selama ini. Terutama masa-masa dia dirawat di rumah sakit, semua anak-anaknya diurus dengan baik oleh pembantunya itu.” hlm. 135 11. Nilai Kemandirian “Andika termotivasi setelah melihat Santi bisa membayari sendiri kegiatan PerSaMi yang diikutinya. Dia mulai menyisihkan uang jajannya untuk ditabung, hingga kemudian dia bisa ikut PerSaMi juga dari uang tabungannya. Senang sekali Andika 45 saat itu. Yuli bukannya tidak mau membiayai kegiatan PerSaMi, tapi dia ingin anak-anaknya belajar arti dan makna uang, bahwa untuk meraihnya diperlukan kerja keras dan kerja cerdas, kemudian hasilnya tidak untuk dihamburkan seenaknya.” hlm. 321 12. Nilai Sopan Santun “Mengurus sekian banyak bayi dan anak- anak di rumah, pastilah tak bisa mengandalkan tenaga sendiri. Badawi dan Yuli harus bekerja, demikian pula anak- anak mereka harus kuliah dan sekolah, sehingga harus ada yang membantu mengasuh mereka dengan baik. Yuli lebih suka menyebut mereka dengan istilah Khadimah, yang berarti orang terpercaya untuk membantu mengelola rumah tangga. Yuli tidak suka istilah pembantu karena istikh ini kurang enak didengardan mencegah anak-anak memperlakukan mereka secara semena- mena.” hlm. 377 13 Nilai Iba “Rasa iba semakin membuncah dalam hatinya. Asep memang kurang perhatian, maka wajar dia merawatnya sedemikian rupa. Hal itu berlangsung sekitar dua tahunan, sampai anak itu berumur kira-kira 3,5 tahun. Hubungannya dengan si bocah terputus setelah dia menikah dan diboyong Badawi ke Jayagiri, Lembang, untuk menempati rumah seorang teman yang 46 kosong. hlm. 85 14. Nilai Pendidikan “Dimas juga lelaki yang baik, saat Salsa berlari hendak menghambur dalam pelukannya, Dimas malah mengarahkannya untuk tidak melakukan itu, “Assalamu‟alaikum Salsa... kalau kamu sayang Kak Dimas, jangan memeluk ya, kalau memeluk sama kakak yang perempuan. Sama Kak Dimas, Salsa cukup bersalaman saja, oke, cantik?” biasanya Salsa akan tersenyum malu-malu dengan pipi merona merah. Pelan tapi pasti Dimas selalu mengajarkan perbedaan pria dan wanita. 15. Nilai Kerinduan “Namun begitu, Yuli sering kangen kepada Aisyah, apalgi setiap dia melihat pisang cavendis di supermarket, pisang impor yang selalu Yuli berikan kepada balita itu. “Ai”, ujarnya lirih sambil memegang sesisir pisang itu ketika dia belanja. Kendati sudah tidak tinggal bersamanya, Aisyah tetap memiliki bilik tersendiri di hati Yuli dan keluarganya .” hlm. 349. 16. Nilai tekad untuk lebih baik “Yah,Mi, Genduk cuman ingin satu hal dalam hidup ini, sebelum habis masa usia Genduk. Genduk hanya ingin ridha-Nya yang diwakili dengan ridha Ummi dan Ayah. Maka apapun akan Genduk lakukan, asalkan Ummi dan Ayah ridha. Kuliah di UI atau UGM akan Genduk upayakan, 47 walaupun dengan kapasitas Genduk yang nggak sepintar Mas Kiki, serajin Mas Akib, dan secerdas Salsa. Sekarang Genduk sedang berusaha menjadi sebuah kerang mutiara, agar hidup Genduk tak akan sia- sia. Doain Genduk Ayah, Ummi, semoga Genduk bisa berikan mahkota yang paling indah buat Ummi dan Ayah kelak di Jannah-Nya. Amin Ya Allah... karena Genduk sayang Ummi dan Ayah.... selalu.... Syida bertekad akan sekuat tenaga mewujudkan harapan orangtua kepada dirinya. Agar dia belajar yang rajin dan menguatkan fondasi agama, fondasi yang selalu ditekankan Badawi dan Yuli kepada semua anak mereka sejak kecil.” hlm. 366. 17. Nilai Kompetisi “Salsa, Jundi, Azmi, Hasna, Husna, Zahra, para cikal bakal, sudah masuk ke sekolah dasar, tanpa dipaksa mereka minta untuk mulai menghafal surat-surat panjang, dengan terjemah per kata. An-Naba menjadi surat pertama yang dijadikan uji coba. Adi Fikri terkejut melihat respons anak-anak, dalam waktu sebentar mereka telah hafal ayat demi ayat tanpa beban, bahkan mereka saling berlomba, karena Adi Fikri sudah menyediakan hadiah bagi yang hafal.” hlm. 375-376 18 Nilai persahabatan “Nanti kamu menginap di rumah siapa?” tanya Badawi menjelang tiba di Yogya pada 48 Dibyo, temannya itu. “Nanti ada temen saya di sana,” jawab Dibyo. Badawi diam saja. “Kamu belum ada tempat singgah, ya?” terpaksa Badawi menggeleng. Dibyo tersenyum menenangkan dan mengajaknya sama-sama pergi ke tempat temannya di dekat Stasiun Lempuyangan. Ternyata temannya Dibyo baik hati, tidak keberatan Badawi dan Dibyo menetap di sana, paling tidak untuk sementara. Mungkin karena sama-sama dari Ponorogo, rasa persaudaraan terjalin begitu kokoh dan erat.” hlm. 100 19. Nilai percaya diri dan keberanian “Ajaibnya, walaupun suaranya tidak jelas, Saina adalah anak yang hafal Qur‟annya paling bagus. Rasa percaya dirinya pun paling tinggi. Pernah waktu ada acara bedah buku komik Qurani terbitan Mizan, yang Salsa, Husna, dan Azzam menjadi bagian dari komik itu, Saina berani tampil ke depan dan bicara meskipun ucapannya tidak jelas. Penampilannya mengundang decak kagum para pengunjung toko buku. Yuli pun mendapatkan ucapan selamat karena dianggap berhasil mendidik anak menjadi pribadi yang percaya diri dan berani.” hlm. 220 49

B. Deskripsi Metode Pengajaran Nilai yang Terkandung dalam Novel

Rumah Seribu Malaikat Metode adalah cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan. Metode pengajaran nilai berarti suatu cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan penanaman nilai-nilai guna mencapai tujuan yang ditentukan. Dalam novel rumah seribu malaikat metode pengajaran nilai yang digunakan adalah metode percakapan, metode perumpamaan, metode al- Qur‟an, dan metode keteladanan. Tabel 2 Deskripsi Metode Pengajaran Nilai yang Terkandung dalam Novel Rumah Seribu Malaikat No Deskripsi Metode Pengajaran Nilai Teks Dalam Novel Rumah Seribu Malaikat 1. Metode pengajaran nilai dengan percakapan “Memang penuh tantangan untuk merawat Andika ini. Badawi dan Yuli sampai membuat metode baru, dengan mengajaknya ke tempat-tempat yang belum pernah dikunjungi Andika. Misalnya menginap di hotel bagus, bersama Salsa juga. Biar dia merasakan suasana hotel dan merasa nyaman dengan keluarga Badawi sehingga tidak tertarik bepergian dengan orang lain. Selain itu, dengan sebanyak mungkin memperkenalkan Andika dengan dunia barunya, anak itu tidak lekat lagi dengan kekerasan. Yuli sengaja memancing andika, dengan bertanya jika dia bertemu lagi dengan teman-temannya yang suka 50 mengancam seperti dulu. “Ummi, nanti Andika mau lari saja.” “Betul, ya lari. Cari orang dewasa, satpam, atau polisi” Yuli mengingatkan. “Iya, Ummi.” Andika mengangguk. 2. Metode pengajaran nilai dengan keteladanan “Yuli dan Badawi tidak pernah memaksakan anak-anak mereka melakukan sesuatu, mereka hanya memberikan motivasi dan mencontohkan, soal menabung misalnya. Andika termotivasi dari salah satu saudara asuhnya, Santi. Suatu saat Santi minta izin kepada Yuli untuk ikut PerSaMi di sekolah dan bayarnya dengan uang tabungannya. Mendengar itu Andika berkata, “Ummi... aku nggak punya tabungan?” “Lho, kamu kan dikasih uang jajan sama kayak Santi. Dari sana bisa kamu tabung sebagian. Selama ini uangnya kamu pake jajan semua, ya?” Andika tidak menjawab. Yuli menarik napas panjang, sebenarnya dia sedikit kesal kenapa anak ini apa-apa harus dikasih tahu dan diajari, tidak seperti anak-anak yang lain, mereka lebih menurut dan pengertian. Namun, mengingat latar belakang Andika, Yuli segera maklum lagi. “Ya sudah, sekarang kamu bisa mulai menabung”. “Iya, Ummi.” Andika termotivasi setelah melihat Santi bisa membayari sendiri 51 kegiatan PerSaMi yang diikutinya. Dia mulai menyisihkan uanh jajannya untuk ditabung, hingga kemudian dia bisa ikut PerSaMi juga dari uang tabungannya. Senang sekali Andika saat itu.” hlm. 31 3. Metode pengajaran nilai dengan al- Qur‟an “Buat Syida, perilaku orangtuanya itu mengaplikasikan apa yang berada dalam al- Qur‟an, khususnya surat al-Ma‟un ayat 1- 3, “Tahukah kamu orang yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. ” Sebagai pemeluk islam taat dan telah dibiasakan menetapkan nilai-nilai agama sejak kecil, Syida justru senang ikut terlibat mengurus dan bermain dengan adik-adik asuhnya itu. Beban terkadang ada, saat dia ingin sendirian di kamar, tahu-tahu ada adiknya yang mengajaknya bermain. Kalau sudah begini, Syida biasanya beristighfar dan meminta kekuatan pada Allah untuk bisa mengendalikan egonya. Syakib atau yang akrab dipanggil Akib bahkan memiliki slogan Save The Children. Peliharalah anak-anak terlantar dari pada mereka berkeliaran tidak karuan di jalanan dan berpotensi melakukan tindak kriminal atau merusak diri mereka sendiri.” hlm. 363-364 52 “Sejak anak-anaknya dalam kandungan, Yuli dan Badawi sering mengaji dengan suara yang terdengar jelas, supaya calon bayi mereka bisa mendengarnya, tak lupa menjaga sikap dan perilaku, termasuk perkataan yang terlontar, semua harus diperhatikan. Mengucapkan kata-kata yang sopan, lembut, dan agamis. Ini mereka lakukan agar anak- anak sejak dini menjadi pribadi yang taat kepada al- Qur‟an dan Sunnah Rasul. Ketika anak-anak mulai bisa mendengar dan membaca, Badawi dan Yuli memperkenalkan ayat-ayat al- Qur‟an dan artinya dengan lebih intens lagi. Badawi telah membuat rencana pendidikan agama, baik untuk anak kandung maupun asuh. Pada usia 3-5 tahun, mereka menghafal ayat-ayat pendek dan belajar shalat. Lalu pada usia 5-6 tahun anak-anak menghafal surat- surat yang pendek dan dimasukkan dalam sekolah yang minimal memiliki program menghafal al- Qur‟an. Untuk konsep pendidikan ini Badawi dan Yuli mempelajarinya dari surat Luqman ayat 13-19. Di dalam al- Qur‟an itu disebutkan bahwa Luqman mendidik anaknya. Artinya, sebagai pemimpin keluarga, dia mempunyai tugas mendidik istri dan anaknya. Namun, Yuli selalu melihat 53 bahwa istri adalah “tenaga ahli” juga. hlm. 368-370 4. Metode pengajaran nilai dengan keteladanan. “Pengenalan soal agama, bukan sebatas pada sholat dan mengaji. Dalam kegiatan sehari-hari, Yuli dan Badawi akan memasukkan nilai-nilai agama. Misalnya saat makan, Yuli akan mengajarkan kepada anak-anaknya untuk mengambil mak anan secukupnya. “Rasululah SAW. bilang, makanlah setelah lapar dan berhentilah sebelum kenyang,” begitu dia menjelaskan. Atau kalau ada yang bertanya alasan tidak boleh makan banyak, Yuli akan menjawab, “Rasulullah SAW. sudah memberikan panutan, dalam perut kita sebaiknya isilah 13-nya dengan makanan, 13 lagi dengan minuman, dan 13-nya lagi dengan udara, jadi kalian tetap bisa leluasa bergerak dan beraktivitas.” “Tapi kan aku masih lapar Ummi.... masakannya enak sih...” “Makanya berbagilah. Lagi pula kalau nggak habis kan mubazir, sayang. Mubazir itu temannya setan. Di luar sana masih banyak loh anak-anak yang nggak bisa makan, kalian beruntung setiap hari bisa makan tiga kali. Bersyukurlah dengan tidak menghamburkannya...” hlm. 371- 372