Holoselulosa dan Selulosa Bambu Andong

9 bambu, lokasi geografis, iklim, dan keadaan tanah. Bambu andong yang digunakan dalam penelitian ini memiliki kandungan holoselulosa sebesar 62.12 dan selulosa sebesar 42.62 Tabel 2.1. Tabel 2.1 Komponen kimia bambu andong No Komponen Nilai 1 Holoselulosa 62.12 2 Selulosa 42.62 3 Hemiselulosa 19.50 4 Lignin 30.96 5 Kelarutan ekstraktif dalam alkohol benzena 3.26 6 Kelarutan ekstraktif dalam air dingin 3.42 7 Kelarutan ekstraktif dalam air panas 6.40 8 Kelarutan ekstraktif dalam NaOH 1 14.27 9 Abu 3.24 Kadar holoselulosa bambu andong ini lebih rendah bila dibandingkan dengan jenis-jenis bambu lain yang berkisar antara 71.63 - 84.52, sementara kadar selulosanya berada dalam kisaran nilai jenis-jenis bambu yang telah diteliti terdahulu, yaitu 33.81 – 51.58 Tabel 2.2. Namun demikian, kadar selulosa bambu andong yang diteliti ini masih sejalan dengan pernyataan Fengel dan Wegener 1995 yang menyatakan bahwa kandungan selulosa pada bambu sekitar 40 – 50. Gugus-gugus fungsional yang terdapat dalam rantai selulosa adalah gugus-gugus hidroksil. Tiga dari padanya terikat pada setiap unit glukosa. Permukaan rantai-rantai selulosa dapat dikatakan penuh dengan gugus-gugus OH. Gugus-gugus OH tersebut tidak hanya menentukan struktur supramolekul tetapi juga menentukan sifat fisis dan kimia selulosa. Menurut Achmadi 1990, selulosa merupakan molekul gula linier berantai panjang, yang menyebabkan dinding sel bersifat higroskopisatau hidrfilik. Gugus hidroksil pada molekul selulosa dan hemiselulosa bertanggung jawab atas afinitas air ini dan tingginya potensi membentuk ikatan hidrogen. Penataan molekul polisakarida di dalam dinding sel, terutama selulosa, juga memperlihatkan efek menonjol pada sifat fisis dan mekanis setiap jenis kayu bahan berlignoselulosa lain akan memepertahankan kadar air kesetimbangan dengan lingkungannya, melalui penyerapan atau pelepasan air. Jika kayu menyerap air, dinding sel mengembang sampai dinding sel jenuh air. Kadar air dalam keadaan ini dinamakan titik jenuh serat. Sebaliknya, lepasnya air di bawah titik jenuh serat karena difusi atau evaporasi, menyebabkan kayu bahan berlignoselulosa lain mengerut. Kadar air dalam sel kayu juga nyata mempengaruhi sifat mekanis kayu bahan berlignoselulosa lain. Achmadi 1990, mengemukakan bahwa kayu terdegradasi secara hayati karena organisme mengenal polimer polisakarida dalam dinding sel, dan memiliki enzim khusus yang mampu menghidrolisis polimir ini menjadi unit yang dapat dicerna. Degradasi selulosa yang berbobot molekul tinggi itu melemahkan kayu sebab selulosa adalah bahan utama yang menyebabkan 10 kekuatan kayu. Kekuatan kayu lenyap apabila polimer selulosa terdegradasi melalui reaksi oksidasi, hidrolisis, dan dehidrasi. Jenis reaksi yang sama juga berlangsung jika ada asam atau basa. Selanjutnya dinyatakan bahwa dimensi kayu berubah jika kadar airnya berubah, sebab polimer dinding sel mengandung gugus hidroksil dan gugus mengandung oksigen lainnya yang bersifat menarik air melalui ikatan hidrogen. Air ini mengembangkan dinding sel, dan kayu memuai sampai dinding jenuh dengan air. Air yang terdapat setelah titik jenuh serat tercapai berada dalam struktur rongga void structure dan tidak mengakibatkan pengembangan lebih lanjut. Proses ini bersifat dapat balik, kayu menyusut jika melepaskan air dari dinding selnya. Tabel 2.2 Komponen kimia utama beberapa jenis bambu No Jenis bambu Komponen kimia Sumber Holo- selulosa Hemi- selulosa Selu- losa Lignin 1 G. pseudoarundinacea 79.59 28.08 51.51 21.63 1 2 G. apus 80.18 31.24 48.94 27.91 1 3 D. asper 79.43 31.57 47.86 28.44 1 4 D. asper 73.63 28.69 44.94 27.37 2 5 S. brachycladum 71.96 27.66 44.30 26.18 2 6 S. lima 72.77 27.12 45.65 26.05 2 7 P. pubescens 65.87 21.20 44.46 22.77 3 8 G. scortechinii 74.63 27.76 46.87 32.55 4 9 G. levis 84.52 50.71 33.81 26.50 4 10 G. brang 79.70 28.12 51.58 24.83 4 12 G. wrayi 84.53 46.87 37.66 30.84 4 Sumber : 1 Suryana 2012; 2 Manuhuwa 2008; 3 Li et al 2007; 4 Razak et al. 2013 Bambu merupakan bahan berlignoselulosa seperti kayu, berkenaan dengan kandungan hemiselulosa dan selulosanya, maka fenomena seperti pada kayu kemungkinan akan terjadi pula pada bambu, sifat higroskopis atau hidrofilik dan stabilitas dimensi bambu andong, implikasinya akan tergambar pada sifat fisis dan mekanisnya, sejalan dengan tinggi-rendahnya kadar polisakarida holoselulosa dan selulosa dalam bambu tersebut, baik pada bagian buku maupun ruas.

2.3.1.1 Lignin, Zat Ekstraktif dan Kadar Abu Bambu Andong

Komponen kimia utama lainnya yang terdapat dalam bambu adalah lignin, yaitu molekul polifenol yang strukturnya tiga dimensi dan bercabang banyak, strukturnya kompleks dan bobot molekulnya tinggi. Menurut Achmadi 1990, lignin hanya memiliki sedikit gugus hidroksil bebas, oleh karena itu tidak higroskopis, lignin dapat dikatakan hidrofobik menolak air. Komponen lignin dapat terdegradasi oleh fotokimia disebabkan oleh cahaya UV dan menyebabkan perubahan warna yang khas. Lignin bertindak sebagai perekat dalam kayu bahan berlignoselulosa lain, 11 memegangi serat-serat selulosa menjadi satu, dan menyebabkan kayu bahan berlignoseluosa lain menjadi keras dan kaku sehingga mampu menahan tekanan mekanis yang besar. Bambu andong yang digunakan dalam penelitian ini memiliki kandungan lignin sebesar 30.96 Tabel 2.1, relatif lebih tinggi dibanding kandungan lignin dari jenis bambu hasil penelitian terdahulu yang berkisar antara 21.63 – 32.55 Tabel 2.2, demikian pula bila dibandingkan dengan pendapat Liese 1985 yang menyatakan bahwa jenis-jenis bambu Indonesia memiliki kandungan lignin 19.8 – 26.6. Tingginya kadar lignin dalam bambu andong akan menyebabkan bambu andong ini memiliki sifat kekerasan dan kekakuan yang relatif besar dibanding jenis-jenis bambu lainnya. Selain komponen utama, sejumlah tanaman berkayu mengandung senyawa- senyawa minor yang dapat diekstraksi dengan menggunakan pelarut polar yang dapat larut dalam air dingin dan non polar yang dapat larut dalam campuran alkohol-benzena danatau air panas. Kandungan dan komposisi ekstraktif berubah- ubah di antara berbagai jenis kayu, demikian pula dalam bambu. Zat ekstraktif ini terdapat dalam berbagai bentuk terutama senyawa-senyawa tak jenuh, seperti: lemak, lilinparafin, asam lemak terdegradasi dan resin. Ruhendi et al. 2007 menyatakan bahwa ekstraktif memiliki pengaruh yang besar dalam menurunkan higroskopisitas dan permeabilitas serta meningkatkan keawetan kayu. Ekstraktif mempunyai pengaruh yang besar dalam perekatan kayu, yaitu mempengaruhi pH, kontaminasi dan penetrasi. Ekstraktif akan menjadi masalah yang serius dalam perekatan bila terdapat dalam jumlah yang berlebihan. Ekstraktif dapat menghalangi pembasahan atau bertindak sebagai penghalang terhadap penetrasi perekat. Berdasarkan uraian tersebut maka ekstraktif juga memberikan pengaruh yang sama terhadap perekatan bambu. Oleh karena itu kandungan ekstraktif dalam bilah bambu sebagai elemen penyusun papan bambu komposit perlu diketahui agar diperoleh kualitas hasil rekatan yang baik. Bambu andong yang diteliti memiliki kadar zat ekstraktif larut alkohol-benzena 3.26, ekstraktif larut air dingin 3.42, ekstraktif larut air panas 6.40, ekstraktif larut dalam NaOH 1 sebanyak 14.27, dan kadar abu 3.24 Tabel 2.1. Hasil tersebut, kecuali kadar zat ekstraktif yang larut dalam NaOH 1, seluruhnya dalam kisaran data yang diperoleh Liese 1985 yang mengemukakan bahwa jenis-jenis bambu Indonesia memiliki kandungan ekstraktif larut alkohol-benzena 0.9-10.8, ekstraktif larut air panas 5.3-11.8, ekstraktif larut dalam NaOH 1 22.2- 29.8, dan kadar abu 0.8 – 3.8. Sementara Manuhua 2008 mengemukakan bahwa Dendrocalamus asper memiliki kandungan ekstraktif larut alkohol benzen 4.10, ekstraktif larut air dingin 3.59, ekstraktif larut air panas 5.92, Schizostachyum brachycladum memiliki kandungan ekstraktif larut alkohol-benzena 3.43, ekstraktif larut air dingin 3.46, ekstraktif larut air panas 5.88, serta Schizostachyum lima memiliki kandungan ekstraktif larut alcohol-benzena 3.49, ekstraktif larut air dingin 3.59, ekstraktif larut air panas 5.70. Hasil penelitian Razak et al. 2013 menunjukkan bahwa kadar ekstraktif dan abu pada Gigantochloa brang berturut- turut adalah 8.30 dan 1.26, Gigantochloa levis 9.23 dan 1.30, Gigantochloa scortechinii 8.00 dan 2.84, Gigantochloa wrayi 8.62 dan 0.88. Di samping