Analisis Rata-rata Pendapatan Usaha Garam Rakyat

4 Pengaruh Air Pengaturan aliran dan tebal air di tempat peminihan satu ke peminihan berikutnya berkaitan erat dengan faktor-faktor lainnya, seperti arah kecepatan angin, dan kelembaban udara. 5 Cara Pemungutan Garam Terdiri atas jadwal pemungutan, umur kristalisasi garam, dan jadwal pengerjaan tanah meja pengerasan dan pengeringan. Selain faktor alam dan teknik produksi garam, alat-alat produksi garam juga menjadi hal penting dalam usaha garam rakyat. Alat-alat yang digunakan dalam proses produksi garam adalah : 1 Kincir angin, 2 Pompa air, 3 Baumeter Alat untuk mengukur tingkat salinitas keasinan air laut, 4 Slender Alat untuk meratakan lahan garam, 5 Sorkot Alat untuk menarik Kristal garam saat melakukan pemungutan garam, 6 Pencacah Alat untuk meracak garam agar tidak padat, dan 7 Sedong Alat untuk mengeruk garam dan memasukkannya ke dalam karung. 33 VI HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1 Klasifikasi Petani Garam Berdasarkan Kepemilikan Lahan Petani garam di Desa Padelegan, Kecamatan Pademawu, Kabupaten Pamekasan terbagi menjadi dua kelompok utama berdasarkan kepemilikan lahan. Dua kelompok petani tersebut adalah 1 petani lahan milik sendiri dan 2 petani bukan lahan milik sendiri. Petani bukan lahan milik sendiri juga terbagi menjadi dua kelompok, yakni a petani dengan lahan sewa dan 2 petani dengan lahan bagi hasil. 1 Petani Lahan Milik Sendiri Kelompok petani lahan milik sendiri, selanjutnya disebut sebagai petani lahan MS, adalah petani yang memiliki lahan garam secara utuh. Artinya, hak kepemilikan atas lahan garam tersebut adalah seutuhnya milik petani yang bersangkutan. Rata-rata hak kepemilikan lahan tersebut diperoleh dari pembelian atau warisan. Petani kelompok ini adalah petani yang memiliki lahan garam sendiri dan mengolah atau menggarap lahan tambaknya sendiri. Petani ini cenderung memiliki modal pertanian yang cukup dan cenderung tidak memiliki hubungan yang mengikat dirinya dengan pedagang pengumpul atau tengkulak. Jumlah petani lahan MS yang menjadi responden berjumlah sembilan orang. 2 Petani Lahan Bukan Milik Sendiri Kelompok petani yang kedua adalah petani lahan bukan milik sendiri, selanjutnya disebut petani lahan BMS. Kelompok ini juga terbagi menjadi dua, yakni petani dengan lahan sewa dan petani dengan lahan bagi hasil. Jumlah petani lahan BMS yang menjadi responden berjumlah 61 orang. a Petani dengan Lahan Sewa Petani dengan lahan sewa, selanjutnya disebut petani SW, adalah petani yang hak kepemilikan atas lahan garam tersebut hanya bersifat sementara. Petani kelompok ini menyewa lahan tambak garam dengan biaya sendiri ataupun melakukan peminjaman untuk dapat menyewa tambak garam. Penyewaan dilakukan dalam jangka waktu tertentu. Hak kepemilikan atas lahan garam berakhir jika waktu tempo telah sampai. Sistem pemasaran atau penjualan hasil produksi dari petani ini masih beragam. Namun, cnderung tidak ada hubungan yang mengikat antara petani ini dengan pedagang pengumpul atau tengkulak maupun dengan pihak atau lembaga yang menyewakan tambak garam. Jumlah petani SW berjumlah sepuluh orang. b Petani dengan Lahan Bagi Hasil Petani dengan lahan bagi hasil, selanjutnya disebut petani BH, adalah petani yang tidak memiliki lahan garam cenderung hanya sebagai penggarap seaja. Dia menggarap tambak garam milik orang tertentu biasanya adalah seorang tengkulak. Petani kelompok ini biasanya memiliki hubungan yang erat dengan tengkulak yang tidak lain adalah pemilik lahan yang digarap. Hasil produksi juga cenderung dipasarkan atau dijual kepada tengkulak. Pada umumnya, petani kelompok ini merupakan petani pendatang dari luar Desa Padelegan dan pada umumnya berasal dari Kecamatan Kalianget, Kabupaten Sumenep. Jumlah responden dari kelompok ini berjumlah 51 orang.

6.2 Karakteristik Petani Garam Berdasarkan Kepemilikan Lahan

Karakteristik responden yang dibahas dalam penelitian ini adalah usia petani, tingkat pendidikan, luas lahan, dan pengalaman bertani. Karakteristik dari petani lahan MS dan petani lahan BMS dijelaskan dalam Tabel 6.1. 1. Usia Karakteristik yang pertama adalah usia. Karakteristik usia dikelompokkan menjadi tiga kelompok. Selanjutnya, petani lahan MS dan petani lahan BMS dikelompokkan berdasarkan usia masing-masing responden. Tabel 6.1 menyajikan informasi mengenai karakteristik usia petani. Sebesar 66,67 petani lahan MS berada dalam usia kisaran 40 hingga 60 tahun. Petani dalam kelompok tersebut berjumlah enam orang. Kelompok usia kurang dari 40 tahun memiliki jumlah reponden sejumlah satu orang atau sebesar 11,11 . Kesimpulan yang diperoleh adalah petani lahan milik sendiri masih berada dalam usia produktif. Tabel 6.1 juga menyebutkan bahwa pada petani SW sejumlah delapan orang atau sebesar 80,00 berada pada usia kisaran 40 hingga 60 tahun. Sedangkan pada petani BH, sejumlah 36 orang atau sebesar 70,59 juga berada pada usia kisaran 40 hingga 50 tahun. Hal ini menyimpulkan bahwa petani lahan BMS berada pada usia produktif. Selain itu, tabel di atas juga memberikan informasi bahwa hanya satu orang pada petani SW yang berada dalam kelompok usia kurang dari 40 tahun. Sedangkan pada petani BH, jumlah petani yang berumur kurang dari 40 tahun berjumlah enam orang atau sebesar 11,75 . Hal ini semakin memperjelas bahwa petani lahan BMS benar-benar berada dalam usia produktif untuk melakukan kegiatan bertani garam. 2. Tingkat Pendidikan Karakteristik yang kedua adalah tingkat pendidikan petani. Karakteristik ini didasarkan pada jenjang pendidikan terakhir yang dimiliki oleh petani. Karakteristik tingkat pendidikan terbagi menjadi lima. Petani lahan MS dikelompokkan berdasarkan kelompok-kelompok tersebut seperti tertera dalam Tabel 6.1. Tabel 6.1 memberikan informasi bahwa sebesar 44,44 atau sejumlah empat orang petani lahan MS telah menamatkan jenjang pendidikan SMA. Sebesar 11,11 petani lahan MS adalah lulusan D3 atau berjumlah satu orang saja dari total sembilan responden. Kesimpulan yang dapat diambil dari informasi di atas bahwa pendidikan cukup menyebar di kalangan petani lahan MS dan mereka telah menuntaskan pendidikan wajib dasar. Tabel 6.1 memberikan informasi bahwa sejumlah lima orang petani SW atau sebesar 50 telah menamatkan jenjang pendidikan hingga tingkat SMA. Sejumlah 24 orang petani BH atau sebesar 47,04 telah menamatkan jenjang pendidikannya hingga tingkat SMP. Sejumlah satu orang petani SW yang mampu menamatkan jenjang pendidikannya hingga D3 dan Sarjana. Sedangkan pada petani BH, terdapat tiga orang petani mampu menamatkan jenjang pendidikannya hingga tingkat D3 dan Sarjana. Dengan demikian, kesimpulan yang diambil adalah petani lahan BMS pada umumnya memiliki tingkat pendidikan terakhir SMP atau SMA. Secara keseluruhan, petani lahan BMS telah menamatkan pendidikan wajib dasar. 36

3. Luas Lahan

Karakteristik petani garam yang ketiga adalah luas lahan garam yang dimiliki atau diolah oleh petani garam. Luas lahan dikelompokkan menjadi lima kelompok, selanjutnya petani lahan MS dikelompokkan berdasarkan kelompok- kelompok tersebut. Tabel 6.1 memberikan informasi bahwa sebesar 33,33 atau sejumlah tiga orang petani garam lahan MS memiliki luas lahan kisaran 0,0 hingga 1,0 Ha. Sebesar 11,11 atau sejumlah satu orang saja petani lahan MS yang memiliki luas lahan kisaran 2,1 hingga 3,0 Ha dan 4,0 Ha.. Kesimpulan yang dapat diambil dari tabel di atas adalah pada umumnya petani MS memiliki luas lahan garapan di bawah rata-rata luas lahan petani MS, yakni seluas 2,40 Ha per orang. Tabel di atas juga memberikan informasi bahwa sebesar 40,00 atau sejumlah empat orang petani SW memiliki luas lahan kisaran 1,1 hingga 2,0 Ha. Tidak satu orang pun petani SW yang memiliki luas lahan lebih dari 4,0 Ha. Kesimpulan yang dapat diambil adalah pada umumnya petani SW memiliki luas lahan garapan melebihi rata-rata luas lahan petani SW, yakni sebesar 2,21 Ha per orang. Sejumlah 48 orang atau sebesar 94,12 petani BH dinyatakan memiliki luas lahan garapan kisaran 0,0 hingga 1,0 Ha. Namun, tidak ada satu orang pun yang memiliki luas lahan garapan lebih dari 4,0 Ha. Kesimpulan yang diperoleh adalah pada umumnya, petani BH telah memiliki luas lahan garapan yang sama dengan rata-rata luas lahan garapan petani BH, yakni seluas 0,98 Ha per orang. 4. Pengalaman Bertani Karakteristik yang terakhir adalah pengalaman bertani. Hal ini berkaitan dengan berapa lama petani tersebut telah berkelut dalam dunia pergaraman. Pengalaman bertani juga mempengaruhi kemampuan skill dalam mengelola lahan dan memproduksi garam. Semakin tinggi pengalaman bertaninya, semakin tinggi pula kemampuan skill dalam mengelola lahan garam. Namun, semakin tinggi pengalaman bertani belum tentu memiliki skill yang tinggi pula dalam memproduksi garam. Informasi mengenai karakterisktik pengalaman bertani disampaikan dalam Tabel 6.1. Karakteristik pengalaman bertani terbagi menjadi empat kelompok. Kemudian petani dikelompokkan berdasarkan kelompok-kelompok tersebut. Tabel 6.1 memberikan informasi bahwa seluruh petani dalam kelompok ini memiliki pengalaman bertani yang cenderung menyebar. Hal ini dapat dilihat bahwa jumlah petani di setiap kategori adalah sama, yakni sejumlah 3 orang atau sebesar 33,33 . Artinya, petani lahan MS memiliki pengalaman bertani yang beragam. Tabel 6.1 berikut memberikan informasi bahwa sejumlah enam orang atau sebesar 60,00 petani SW memiliki pengalaman bertani kisaran 21 hingga 30 tahun. Sejumlah 24 orang atau sebesar 47,06 petani BH memiliki pengalaman bertani kisaran 11 hingga 20 tahun. Tidak ada petani SW yang memiliki pengalaman bertani kisaran 31 hingga 40 tahun. Petani BH memiliki jumlah responden pada kelompok pengalaman bertani kisaran 31 hingga 40 tahun, yakni berjumlah tiga orang atau sebesar 5,88 . 37