Universitas Sumatera Utara
2.1.4 Anak Berkelainan Perilaku Tunalaras
Pemberian sebutan tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa penderita mengalami problem intrapersonal dan atau interpersonal secara
ekstrem Hallahan Kauffman, 1991 sehingga mereka mengalami kesulitan dalam menyelaraskan perilakunya dengan norma umum yang
berlaku di masyrakat. Dokumen SLB bagian E tahun 1977, menjelaskan tunalaras adalah pertama, anak yang mengalami gangguan atau hambatan
emosi dan tingkah laku sehingga tidak atau kurang menyesuaikan diri dengan baik, baik terhadap lingkungan keluarga, sekolah, maupun
masyarakat; kedua, anak yang mempunyai kebiasaan melanggar norma umum yang berlaku di masyarakat; ketiga, anak yang melakukan
kejahatan Efendi, 2006:142-143. Sedangkan Kauffman 1977 mengemukakan batasan mengenai
anak-anak yang mengalami gangguan perilaku “sebagai anak yang secara nyata dan menahun merespon lingkungan tanpa ada kepuasan pribadi
namun masih dapat diajarkan perilaku-perilaku yang dapat diterima oleh masyarakat dan dapat memuaskan pribadinya. Anak tunalaras juga disebut
anak tunasosial karena tingkah laku anak ini menunjukkan penentangan terhadap norma-norma sosial masyarakat yang berwujud seperti mencuri,
mengganggu, dan menyakiti orang lain Somantri, 2006:139-140. Dengan kata lain tingkah lakunya menyusahkan orang lain.
Somantri menyebutkan bahwa anak tunalaras adalah anak yang mengalami hambatan emosi dan tingkah laku sehingga kurang dapat atau mengalami
kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan baik terhadap lingkungannya dan hal ini akan mengganggu situasi belajarnya. Oleh karenanya, mereka
tidak bisa dilayani layaknya seperti anak pada umunya.
Universitas Sumatera Utara
Secara garis besar, anak tunalaras dapat diklasifikasikan menjadi anak yang mengalami kesukaran dalam menyesuaikan diri dengan
lingkungan sosial, dan yang mengalami gangguan emosi. William M. Cruickshank 1975 mengemukakan anak yang mengalami hambatan
sosial diklasifikasikan ke dalam beberapa kategori, yaitu: 1.
The semi-socialize child Anak yang termasuk kelompok ini dapat mengadakan
hubungan sosial, tetapi terbatas pada lingkungan tertentu, misalnya: keluarga dan kelompoknya. Keadaan ini terjadi pada
anak yang dating dari lingkungan yang menganut norma-norma tersendiri, yang mana norma tersebut bertentangan dengan
norma yang berlaku di masyarakat. Di lingkungan sekolah, karena perilaku mereka sudah diarahkan oleh kelompoknya,
maka seringkali menunjukkan perilaku memberontak karena tidak mau terikat oleh peraturan di luar kelompoknya. Dengan
demikian anak selalu merasakan ada suatu masalah dengan lingkungan di luar kelompoknya.
2. Children arrested at a primitive level or socialization
Anak pada kelompok ini dalam perkembangan sosialnya berhenti pada level atau tingkatan yang rendah. Mereka adalah
anak yang tidak pernah mendapat bimbingan ke arah sikap sosial dan terlantar dari pendidikan, sehingga ia melakukan apa
saja yang dikehendakinya. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya perhatian dari orang tua, yang berakibat pada perilaku
anak kelompok ini cenderung dikuasai oleh dorongan nafsu saja. Meskipun demikian mereka masih dapat memberikan
respon pada perlakuan yang ramah. 3.
Children with minimum socialization capacity Anak kelompok ini tidak mempunyai kemampuan sama sekali
untuk belajar sikap-sikap sosial. Ini disebabkan oleh pembawaan atau kelainan atau anak tidak pernah mengenal
Universitas Sumatera Utara
hubungan kasih sayang sehingga anak pada golongan ini banyak bersikap apatis dan egois.
Demikian pula anak yang mengalami ganggguan emosi. Anak- anak ini mengalami kesulitan adalam menyesuaikan tingkah laku dengan
lingkungan sosialnya karena ada tekanan-tekanan dari dalam dirinya. Adapun anak yang mengalami gangguan emosi diklasifikasikan sebagai
berikut: 1.
Neurotic Behavior Perilaku Neurotik Anak pada kelompok ini masih bisa bergaul dengan orang
lain, akan tetapi mereka mempunyai permasalahan pribadi yang tidak mampu diselesaikannya. Mereka sering dan
mudah sekali dihinggapi perasaan sakit hati, perasaan marah, cemas dan agresif, serta rasa bersalah disamping
juga kadang-kadang mereka melakukan tindakan lain seperti yang dilakukan oleh anak unsocialized mencuri,
bermusuhan. Anak pada kelompok ini dapat dibantu dengan terapi seorang konselor. Keadaan neurotik ini
biasanya disebabkan oleh keadaan atau sikap keluarga yang menolak atau sebaliknya, terlalu memanjakan anak serta
pengaruh pendidikan yaitu karena kesalahan pengajaran atau juga adanya kesulitan belajar yang berat.
2. Children with Psychotic Processes
Anak pada kelompok ini mengalami gangguan yang paling berat sehingga memerlukan penanganan yang lebih khusus.
Mereka sudah menyimpang dari kehidupan yang nyata, sudah tidak memiliki kesadaran diri serta tidak memiliki
identitas diri. Adanya ketidaksadaran ini disebabkan oleh gangguan pada sistem syaraf sebagai akibat dari keracunan,
misalnya: minuman keras dan obat-obatan. Oleh karena itulah usaha penanggulangannya lebih sulit karena anak
tidak dapat berkomunikasi, sehingga layanan pendidikan
Universitas Sumatera Utara
harus disesuaikan dengan kemajuan terapi dan dilakukan pada setiap kesempatan yang memungkinkan.
Pada kelompok neurotik, anak mengalami gangguan yang sifatnya fungsional. Sedangkan pada kelompok psikotis disamping mengalami
gangguan fungsional, anak juga mengalami gangguan yang sifatnya organis. Oleh karena itu, anak-anak yang termasuk kelompok psikotis
kadang-kadang memerlukan perawatan medis Somantri, 2006:141-143. Patton 1991 mengklasifikasikan penyebab terjadinya
ketunalarasan menjadi dua, yaitu faktor penyebab bersifat internal dan faktor penyebab yang bersifat eksternal. Faktor penyebab yang bersifat
internal adalah faktor-faktor yang langsung berkaitan dengan kondisi individu itu sendiri, seperti keturunan, kondisi fisik, dan psikisnya.
Sedangkan faktor penyebab eksternal adalah faktor-faktor yang berasal dari luar individu terutama lingkungan, baik lingkungan keluarga,
masyarakat, dan sekolah Efendi, 2006:148-151. Lebih lanjut Patton menjelaskan bahwa ciri-ciri yang menonjol
pada kepribadian anak tunalaras, antara lain kurang percaya diri, menunjukkan sikap curiga terhadap orang lain, rendah diri, dan sebaliknya
menunjukkan sikap permusuhan terhadap lingkungan atau otorita, mengisolasi diri, kecemasan yang berlebihan, tidak memiliki ketenangan
jiwa, sering melakukan perkelahian atau bentrokan.
2.1.5 Remaja