ulang gerak-gerik. Telah diketahui bahwa kata ulang itu berbentuk dasar gerak setelah dibandingkan dengan bentuk-
bentuk, misalnya menggerakkan, digerakkan, penggerakkan, bergerak, dan pergerakan. Di samping bentuk dasarnya diulang,
yaitu gerak, fonem a pada bentuk dasarnya diubah menjadi fonem i sehingga pengulangannya menjadi gerik.
Dalam bahasa Indonesia ada dua macam model pengulangan dengan perubahan fonem yaitu pengulangan fonem
vokal dan pengulangan fonem konsonan. Contoh pengulangan fonem vokal serba-serbi bentuk dasar: serba. Contoh
pengulangan dengan perubahan fonem konsonan lauk-pauk bentuk dasar: lauk.
8
b. Proses Pemajemukan atau Komposisi
Komposisi adalah hasil dan proses penggabungan morfem dasar dengan morfem dasar, baik yang bebas maupun yang terikat, sehingga
terbentuk sebuah konstruksi yang memiliki identitas leksikal yang berbeda atau yang baru.
Alisjahbana berpendapat bahwa kata majemuk adalah sebuah kata yang memiliki makna baru yang bukan merupakan gabungan makna
unsur-unsurnya. Pendapat lain menjelaskan bahwa komposisi adalah kata majemuk kalau identitas leksikal komposisi itu sudah berubah dari
identitas leksikal unsur-unsurnya. Misalnya, bentuk lalu lintas mempunyai unsur lalu yang berkategori verba dan unsur lintas
berkategori verba. Namun komposisi lalu lintas bukan berkategori verba melainkan nomina.
9
Verhaar menyatakan suatu komposisi disebut kata majemuk apabila hubungan kedua unsurnya tidak bersifat sintaktis. Misalnya
komposisi matahari, bumiputera, daya juang adalah kata majemuk,
8
Muslich, op. cit., h. 52-55
9
Achmad HP dan Alek Abdullah, Linguistik Umum, Jakarta: Erlangga, 2013, h. 65-67
sebab matahari tidak dapat dikatakan matanya hari berbeda dengan mata ibu. Menurut Kridalaksana, kata majemuk haruslah tetap berstatus
kata, kata majemuk harus dibedakan dari idiom. Bentuk seperti orang tua,
dalam arti ‘ayah ibu’, meja hijau dalam arti ‘pengadilan’ bukan kata majemuk karena tidak memenuhi persyaratan sebagai bentuk yang
berstatus kata.
10
Proses pemajemukan atau komposisi adalah peristiwa bergabungnya dua morfem dasar atau lebih secara padu dan
menimbulkan arti yang relatif baru.
11
Apabila dilihat dari hubungan unsur-unsur yang mendukungnya, bentuk majemuk dapat dibagi atas tiga jenis, yaitu:
1 Bentuk majemuk yang unsur pertama diterangkan D oleh
unsur kedua M. Contohnya:
Orang kecil = rakyat jelata
Meja hijau = pengadilan
2 Bentuk majemuk yang unsur pertama diterangkan D oleh
unsur kedua M. Pada umumnya berasal dari unsur serapan, terutama dari bahasa sansekerta. Misalnya perdana menteri,
bumiputra, bala tentara.
3 Bentuk majemuk yang unsur-unsurnya tidak saling
menerangkan, tetapi hanya merupakan rangkaian sejajar kopulatif. Apabila dilihat hubungan antarunsurnya, ada yang
setara, berlawanan, dan ada yang bersinonim. Misalnya kaki tangan, jual beli, pucat pasi.
12
c. Pemendekan
Pemendekan adalah proses penanggalan bagian-bagian leksem atau gabungan leksem sehingga menjadi sebuah bentuk singkat, tetapi
maknanya tetap sama dengan makna bentuk utuhnya.
10
Abdul Chaer, Linguistik Umum, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2012, h. 188
11
Muslich, op. cit., h. 57
12
Ibid, h. 62
Hasil proses pemendekan dibedakan atas penggalan, singkatan, dan akronim. Penggalan adalah kependekan berupa pengekalan satu atau dua
suku pertama dari bentuk yang dipendekkan. Misalnya, lab atau labor dari laboratorium, perpus dari perpustakaan. Yang dimaksud dengan
singkatan adalah hasil proses pemendekan, berupa: 1
Pengekalan huruf awal dan sebuah leksem, atau huruf-huruf awal dari gabungan leksem. Misalnya; l liter, R radius, H.
haji, kg kilogram, km kilometer, UI Universitas
Indonesia.
2 Pengekalan beberapa huruf dan sebuah leksem. Misalnya; hlm
halaman, dgn dengan, dan bhs bahasa.
3 Pengekalan huruf pertama dikombinasi dengan penggunaan
angka untuk pengganti huruf yang sama. Misalnya; P3 Partai
Persatuan Pembangunan, Lp2P laporan pajak-pajak pribadi.
4 Pengekalan dua, tiga, atau empat huruf pertama dan sebuah
leksem. Misalnya; As asisten, Ny. nyonya, Okt oktober.
5 Pengekalan huruf pertama dan huruf terakhir dan sebuah
leksem. Misalnya; Ir insinyur, Fa firma, Pa perwira.
Akronim adalah hasil pemendekan yang berupa kata atau dapat dilafalkan sebagai kata. Wujud pemendekannya dapat berupa
pengekalan huruf-huruf pertama, yang berupa pengekalan suku- suku kata dan gabungan leksem, atau bisa juga tidak beraturan.
Misalnya: ABRI Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, inpres instruksi presiden, wagub wakil gubernur.
13
d. Afiksasi
Afiksasi merujuk kepada suatu runtunan perubahan yang dilalui oleh bentuk dasar atau sebuah leksem sehingga leksem itu menjadi kata,
entah kata tunggal ataupun kata kompleks. Menurut Muslich, afiksasi merupakan peristiwa pembentukan kata dengan jalan membubuhkan
13
HP, op. cit., h. 68-69
afiks pada bentuk dasar.
14
Afiksasi juga merupakan penggabungan morfem bebas dengan morfem terikat. Akibat penggabungan itu fonem
yang langsung berurutan ada kalanya mengalami perubahan. Perubahan itu terjadi di daerah perbatasan kedua morfem yang bergabung. Fonem
pembuka dan penutup morfem menentukan wujud perubahan tersebut.
15
Ditinjau dari aspek konstruksi afiksasi bahasa Indonesia, terdapat
dua jenis afiksasi, yaitu:
a
Konstruksi Afiksasi Monoleksemis
Konstruksi afiksasi monoleksemis adalah peristiwa menempelnya sebuah afiks, misalnya prefiks kepada sebuah leksem untuk
menjadi kata.
Contoh: {MeN-}
+ {fasilitasi}
= {memfasilitasi}= ‘memberi
fasi litas’
{ MeN-} +
{bombardir}
= {memborbardir}= ‘diserbu’
b
Konstruksi Afiksasi Polileksemis
Konstruksi afiksasi polileksemis adalah peristiwa menempelnya sebuah afiks, misalnya prefiks kepada dua leksem yang
berkomposisi untuk menjadi kata. {ber-} +{komputer tablet}
= {berkomputertablet} =
‘mempunyai computer tablet {meN-}+{wipe data}
= {mewipedata} =
‘menghapus data’ Setiap leksem yang mengalami proses afiksasi dapat dilihat adanya
tiga perubahan, yaitu: 1 bentuk; 2 kelas kata; 3 makna.
16
1. Jenis-Jenis Afiksasi
Dalam bahasa Indonesia, beberapa ahli memiliki pendapat masing- masing mengenai jenis afiksasi. Berikut akan dijelaskan jenis afiksasi
14
Darsita Suparno, Morfologi Bahasa Indonesia, Ciputat: UIN Press, 2015, h. 37
15
Sudarno, Morfofonemik Bahasa Indonesia, Jakarta: Arikha Media Cipta, 1990, h. 87
16
Suparno, op. cit, h. 37-39