c.  Purwanto  dalam  tulisannya  “Revitalisasi  Niai  Pendidikan  Seni  Batik”selain mengungkapkan  motif  zaman  dahulu  yang  sarat  simbol  juga  digunakan  oleh
orang-orang  khusus  dan  kebutuhan  khusus  contohnya  motif  parang  barong yang  hanya  boleh  dikenakan  Raja  dan  itupun  hanya  digunakan  saat  upacara
kebesaran. Materi  disajikan  bersamaan  dengan  ilustrasi  berupa  sepasang  pria  dan
wanita  yang  dibuat  dengan  memakai  pakaian  Jawa  dengan  motif  batik  gurdo. Menurut beberapa sumber termasuk yang ditulis kembali oleh Bakti Utama dalam
tulisannya “Batik setelah Pengakuan UNESCO: Pengelolaan Warisan Budaya dan Kecenderungan  Negara  Neoliberal”    dan  Adi  Kusrianto  dalam  bukunya  “Batik:
Filosofi,  Makna,  dan  Kegunaan”  pada  bagian  motif  larangan  dari  kraton  salah satunya  adalah  motif  sawat.  Berdasarkan  pengertian  yang  disampaikan  oleh  Sri
Soedewi Samsi sawat adalah nama lain dari Gurdo. Sehingga peneliti berasumsi bahwa  zaman  dahulu  motif  gurdo  merupakan  salah  satu  motif  istimewa  yang
khusus digunakan oleh orang-orang istimewa pula, meskipun sebenarnya sumber terkait rincian motif gurdo yang dimaksud belum peneliti peroleh.
2. Halaman 2
Bagian  ini  merupakan  point  kedua  dari  bagian  pendahuluan.  Kalimat pertama  dirangkum  dari  pernyataan  Suwarno  Wisetrotemo,  Sudarso  SP,  dan
penulis  lainnya  yang  mengisi  bunga  rampai  “Seni  Lukis  Batik  Indonesia”.  Buku ini menyajikan tulisan yang berkisah tentang penciptaan karya batik lukis, alasan
penciptaannya, teknik dan sebagainya termasuk alasan batik tradisi ditinggalkan.
Gambar 14. Isi Buku: Pendahuluan
Kalimat  kedua  diperoleh  dalam  pernyataan  Sewan  Susanto  dalam  buku “Seni  Kerajinan  Batik  Indonesia”  dan  buku  “Seni  dan  Teknologi  Kerajinan
Batik”,  katalog  Batik  Indonesia  terbitan  Balai  Kerajinan  dan  Batik  tahun  2011, serta tulisan lain yang sudah tidak dapat peneliti telusuri dengan alasan ingatan.
Paragraf    terakhir  dalam  bagian  ini  diperoleh  dalam  pernyataan  Sewan Susanto  dalam  kedua  buku  yag  telah  disebutkan  pada  paragraf  sebelumnya.
Bagian  ini  dibahas  pada  bagian  bahan  pembuat,  dan  teknik  pembuatan  batik dalam buku yang telah disampaikan tersebut.
Penyajian  pada  halaman  ini  menggunakan  ilustrasi  yang  salah satunyayaitu  gambar  mencanting  diperoleh  dari  buku  Sewan  Susanto  “Seni  dan
Teknologi Kerajinan Batik” pada bagian pembuatan batik dengan teknik tulis dan gambar  mengemplong  diperoleh  dari  laman
www.tjokrosuharto.com khususnya
pada  laman http:www.tjokrosuharto.comidcontent19--perlengkapan-proses-
batik-canting yang  membahas  perlengkapan,  proses,  dan  segala  sesuatu  yang
berkaitan dengan batik yang lebih terlihat sebagai batik zaman dahulu.
3. Halaman 3
Halaman ini masih lanjutan dari halaman sebelumnya namun point yang berbeda.  Pernyataan  yang  ada  pada  paragraf  pertama  diperoleh  dari  beberapa
sumber baik dinyatakan secara spesifik seperti yang disampaikan Puwanto seperti yang  telah  disampaikan  pada  pembahasan  halaman  1  dan  pernyataan  Hajar
Pamadhi  dalam  tulisannya  “Batik  sebagai  Media  Pendidikan:  Analisis  wacana Mitologi  dalam  Motif  Semen”,  dan  pernyataan  Bakti  Utama  dalam  tulisannya
“Batik  setelah  Pengakuan  UNESCO:  Pengelolaan  Warisan  Budaya  dan Kecenderungan Negara Neoliberal”.
Bakti  mengutip  beberapa  pendapat  yang  mengemukakan  penggunaan motif  sesuai  dengan  fungsinya  kemudian  Bakti  menarik  kesimpulan  yang  antara
lain:  batik  merupakan  representasi  dari  suatu  identitas  kolektif,  batik  terkait  erat dengan  konteks  religi  masyarakat  setempat  dimana  batik  itu  berkembang,  dan
batik juga terkait dengan struktur politis suatu komunitas. Paragraf  dua  merupakan  pernyataan  yang  didasari  pernyataan  Biranul
Anas  yang  juga  sudah  dibahas  pada  halaman-halaman  sebelumnya  yang menganggap bahwa kebesaran batik masa lalu memang dapat menjadi keunggulan
Gambar 15. Isi Buku: Pendahuluan
namun  juga  kelemahan  karena  tuntutan  masa  kini  yang  seringkali  tidak  sejalan atau  bahkan  berlawanan  dengan  stigma  tersebut.  Secara  khusus  Anas  tidak
menyinggung  masalah  duplikasi  motif  namun  dalam  tulisannya  sempat menyinggung  bahwa  batik  cappun  menggunakan  proses  yang  lamban  sehingga
memerlukan proses lain yang lebih efisien seperti printing, namun tentu saja harus meninggalkan stigma batik yang mengekang berkembangya teknologi.
Printing mungkin saja bermacam makna namun melihat proses pembuatan batik  printing  manual  yang  disajikan  salah  satu  situs  produsen  batik  membuat
peneliti  memberikan  kesimpulan  bahwa  teknik  printing  manual  tersebut  dapat disamakan  dengan  teknik  sablon.  Maksud  dari  pernyataan  ini  adalah  produsen
batik membuat satu jenis film dalam istilah sablon kemudian menggunakannya berkali-kali  pada  lembaran  kain  yang  menjadi  objek  batik  printing.  Besarnya
bidang film yang dibuat membuat proses duplikasi motif menjadi lebih cepat.
Gambar 16. Proses Printing disadur dari batiklestariplupuh.blogspot.com
Paragraf  tiga merupakan pernyataan yang didasari pernyataan Hasanudin, Suwarno  Wisetrotomo,  Sudarso  Sp,  Biranul  Anas  dan  sebagainya  yang
mengungkapkan  bahwa  batik  tidak    lagi  dibuat  untuk  kepentingan  tradisi  namun untuk kepentingan yang lebih beragam dan disesuaikan dengan kebutuhan terkini
yang salah satu contohnya kebutuhan fashion dan ekspresi berkesenian. Bagian ini disajikan  dengan  memberikan  ilustrasi  yang  menggambarkan  penggunaan  motif
batik tradisional dengan kebutuhan masa kini yang dikaitkan dengan fashion.
4. Halaman 4