2. Batik dan Pembelajaran Batik
a. Batik
Batik menjadi warisan pusaka dunia yang berasal dari Indonesia. Penetapan ini telah dilakukan UNESCO pada 2 Oktober 2009 lalu, setelah itu 2
Oktober ditetapkan sebagai hari batik nasional Tempo, 5 April 2009. Melanjutkan penetapan batik Indonesia sebagai warisan pusaka dunia kemudian
beberapa pihak mengajukan Yogyakarta sebagai kota batik dunia, dan kemudian 18 oktober 2014 Yogyakarta ditetapkan sebagai kota batik dunia. Penetapan
sebagai kota batik ini didasarkan pada tujuh kriteria berikut ini: nilai historis, orisinalitas, upaya pelestarian melalui regenerasi, nilai ekonomi, ramah
lingkungan, mempunyai reputasi internasional, dan persebarannya Dikutip dari halaman Tempo, 30 September 2015.
Meskipun ditetapkan dalam waktu yang berbeda namun kedua gelar tersebut dipercaya sebagai upaya bangsa Indonesia dalam mempertahankan
kekayaan budaya bangsanya. Gelar tersebut diraih berkat “upaya yang dilakukan oleh berbagai pemangku kepentingan terkait dengan batik, baik pemerintah,
maupun para pengrajin, pakar, asosiasi pengusaha dan yayasanlembaga batik serta masyarakat luas dalam penyusunan dokumen nominasi” dikutip dari Antara
2 Oktober 2009. Batik diakui sebagai warisan budaya tak benda. Definisi warisan budaya
tak benda oleh Kemendikbud adalah: 1 Segala praktik, representasi, ekspresi, pengetahuan, keterampilan, alat-alat, benda, artefak, dan ruang budaya terkait, 2
Diakui berbagai kelompok dan komunitas, 3 Diturunkan dari generasi kegenerasi,
dan 4 Senantiasa diciptakan kembali oleh kelompok dan komunitas Kompas, 24 oktober 2014. Dari penjabara tersebut peneliti mengkaitkan hal tersebut dengan
pelaksanaan pembelajaran batik di sekolah. UNESCO menetapkan Indonesia sebagai negara asal batik namun pada
kenyataannya beberapa negara dibelahan dunia lainnya juga memiliki kebudayaan batik sejak zaman primitif. Sulianti Saroso, perwakilan Indonesia yang
memperjuangkan pengakuan UNESCO tentang negara asal batik mengatakan, “Batik Indonesia unggul karena proses, ritual dan motif yang khusus serta sulit
diduplikasi” Tempo, 5 April 2009. Untuk menanggapi hal tersebut dan menyambung pernyataan Sulianti
Saroso, Kasiyan 2010, 1-17 mengatakan batik menjadi identik dengan Indonesia bukan karena asal mula sejarahnya berasal dari Indonesia, tapi karena masyarakat
Indonesia berhasil membuat batik menjadi sesuatu yang khas dengan masyarakat Indonesia dan kekhasan itu diwariskan secara turun temurun.
Dalam hal menangapi warisan budaya ST Sunardi 2015: 7 mengungkapkan bahwa Setiap kelompok dan komunitas memiliki perbedaan
dalam menghayati warisan budaya, sehingga bentuk kegiatannyapun berbeda. Sejalan dengan pernyataan St Sunardi tersebut Bakti Utama 2016 mengatakan
bahwa nilai yang ada dalam warisan budaya tidak melekat pada objek melainkan diberikan oleh subjek sehingga selalu berubah-ubah sesuai dengan situasi dan
kondisi dimana warisan budaya tersebut berada. Bakti menambahkan bahwa warisan budaya merupakan praktik dan
pengalaman awalnya merupakan kegiatan sehari-hari yang kemudian mengalami
proses seleksi dan diistimewakan dengan memberikan status dan nilai kepadanya. Secara garis besar pembahasan batik identik dengan tiga hal yaitu identitas
masyarakat, kepercayaan spiritual masyarakat, dan struktur sosial masyarakat. Bakti menguraikan bahwa dalam hal identitas batik digunakan sebagai
identitas suatu masyarakat yang membedakan masyarakat satu dengan masyarakat lainnya misal Solo-Yogyakarta. Dalam hal kepercayaan spiritual batik dibuat
dengan dan untuk kebutuhan spiritual sedangkan kaitanya dengan struktir sosial batik juga pernah digunakan sebagai pembeda kelas pada struktur masyarakat.
Berdasarkan pemaparan Bakti diatas peneliti berasumsi bahwa beberapa catatan diatas dapat menjelaskan alasan mengapa hingga saat ini begitu banyak
jenis batik, bahkan batik klasik yang dipercaya memiliki pakempun ternyata pakem tersebut tetap bergantung dimana batik tersebut hidup dan berkembang.
b. Pembelajaran Batik