Ciri-ciri Konsep Kiat Mengatasi Miskonsepsi

Pendapat dari kedua ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa konsep adalah sebuah ide abstrak yang dimiliki oleh seseorang berdasarkan pengalaman yang dialaminya. Setiap orang mempunyai konsep yang berbeda-beda, karena pengalaman yang dialami oleh setiap orang juga berbeda. Konsep merupakan sebuah abstrak yang sangat luas. Contohnya adalah konsep mahkluk hidup, yaitu seluruh golongan mahkluk yang hidup, tidak melihat ciri-ciri khusus seperti bentuk tubuh, jenis makanan, warna, dan lain sebagainya.

b. Jenis-jenis Konsep

Hamalik 1990: 200 mengelompokkan konsep menjadi tiga jenis, yaitu: 1 Konsep konjungtif berkaitan dengan nilai-nilai tertentu atau yang terpenting dari berbagai atribut disajikan bersama-sama. Konsep konjungtif menambahkan nilai-nilai dan atribut secara bersama-sama. 2 Konsep disjungtif adalah sesuatu yang dapat dirumuskan dalam sejumlah cara yang berbeda-beda. Antara atribut-stribut dan nilai-nilai dapat disubtitusikan satu dengan yang lainnya. 3 Konsep hubungan adalah suatu konsep yang mempunyai hubungan- hubungan khusus antara atribut-atribut.

c. Ciri-ciri Konsep

Konsep memiliki empat ciri-ciri, berikut ini adalah penjelasan mengenai keempat ciri tersebut menurut Hamalik 1990: 199. 1 Atribut konsep adalah suatu sifat yang membedakan antara konsep satu dengan konsep lainnya. Misalnya adalah konsep pesawat sederhana. Alat pemecah biji dan tang merupakan beberapa contoh pesawat sederhana, namun kedua alat tersebut berbeda berdasarkan atribut jenis golongan tuas. 2 Atribut nilai-nilai adalah variasi-variasi yang terdapat pada suatu atribut. Salah satu contohnya adalah atribut gaya mempunyai tiga nilai, yaitu gaya gesek, gaya gravitasi, dan gaya magnet. 3 Jumlah atribut yang terdapat pada setiap konsep selalu bermacam- macam. Semakin kompleks suatu konsep, akan semakin banyak jumlah atributnya dan semakin sulit untuk mempelajarinya. 4 Kedominanan atribut merujuk pada kenyataan bahwa beberapa atribut lebih dominan abvious dari pada yang lainnya. Konsep dominan memiliki atribut dominan, jika atributnya nyata maka lebih mudah menguasai konsep. Pengertian di atas menjelaskan bahwa konsep memiliki empat ciri-ciri, yaitu atribut konsep berkaitan dengan sifat yang membedakan setiap konsep, atribut nilai-nilai adalah variasi yang terdapat pada setiap konsep, jumlah atribut pada setiap konsep dan kedominanan atribut yang merujuk pada atribut yang nyata akan lebih menguasai konsep.

d. Pembentukan Konsep

Konsep terbentuk dari sesuatu yang kongkret dan dipengaruhi oleh latar belakang pengalamannya Mertodiharjo Mulyono, 1980: 14. Pengalaman yang diperoleh dapat membantu untuk menggolongkan konsep-konsep yang telah dimiliki. Mertodiharjo dan Mulyono menjelaskan lebih lanjut bahwa pembentukan konsep dan generalisasi sebaiknya berjalan secara induktif melalui penyajian fakta menjadi konsep dan dari konsep menjadi generalisasi.

2. Konsepsi

Konsepsi dapat diartikan sebagai pemahaman yang dimiliki oleh seorang murid terhadap suatu konsep Berg dalam Suryanto, 2002: 13. Misalnya adalah ketika sedang berada di dalam mobil dan disepanjang jalan terdapat banyak pepohonan. Ada beberapa anak yang beranggapan bahwa pohon yang menjauhi mobil, sehingga seolah-olah pohon tersebut dapat berjalan. Beberapa anak ada yang mempunyai konsepsi bahwa mobilah yang berjalan dan menjauhi pohon. Setiap orang memiliki konsepsi yang berbeda-beda Rustaman, 2012: 26. Sedangkan Budi 1992: 114-115 menjelaskan bahwa konsepsi adalah kemampuan untuk memahami konsep, baik yang diperoleh dari indera maupun dari kondisi lingkungan. Berdasarkan tiga pendapat mengenai konsepsi menurut para ahli, maka peneliti menyimpulkan bahwa konsepsi adalah kemampuan untuk memahami konsep, dimana setiap orang akan memiliki konsepsi yang berbeda-beda. Setiap orang dapat memiliki konsepsi yang berbeda-beda, karena setiap orang memiliki pemahaman awal yang berdasarkan pada pengalaman yang diperolehnya dan kondisi lingkungan yang berbeda-beda pula.

3. Miskonsepsi a. Pengertian Miskonsepsi

Miskonsepsi adalah suatu konsep yang tidak sesuai dengan pengertian ilmiah atau pengertian yang diterima oleh para pakar dalam bidangnya Suparno, 2005: 4. Fowler dalam Suparno, 2005: 5 juga menjelaskan hal yang sama bahwa miskonsepsi adalah pengertian yang tidak akurat akan konsep, penggunaan konsep yang salah, kekacauan konsep-konsep yang berbeda, dan hubungan hierarkis konsep-konsep yang tidak benar. Suparno lebih menjelaskan bahwa bentuk dari miskonsepsi dapat berupa konsep awal, kesalahan hubungan yang tidak benar antara konsep-konsep, dan gagasan intuitif. Konsep awal biasanya didapatkan sewaktu siswa berada di jenjang pendidikan sekolah dasar, sekolah menengah, dan dari pengalaman serta melalui pengamatan di masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Seorang siswa mampu menggunakan konsep ganda. Mereka akan menggunakan konsep ilmiah ketika berada di sekolah dan akan menggunakan konsep sehari- hari ketika berada di masyarakat. Miskonsepsi yang terjadi dalam diri siswa, terkadang sulit untuk diperbaiki dan dihilangkan selama dalam pendidikan sekolah dasar. Hal ini disebabkan karena meskipun menggunakan konsep yang tidak cocok dengan konsep ilmiah, mereka dapat menjelaskan beberapa persoalan yang sedang mereka alami dalam hidup mereka. Salah satu contoh miskonsepsi yang dialami oleh seorang siswa adalah pernyataan tentang matahari mengelilingi bumi. Seorang anak mampu menjelaskannya dalam kehidupan sehari-hari, karena matahari terbit dari Timur dan tenggelam di Barat. Hal itu menunjukkan bahwa mataharilah yang bergerak terhadap bumi. Menggunakan konsep tersebut seorang anak dapat membuat jam waktu berdasarkan gerak matahari terbit, bergerak, dan tenggelam. Oleh karena itu, miskonsepsi sulit untuk dihilangkan. Berdasarkan dua pengertian tentang miskonsepsi di atas, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa miskonsepsi adalah penggunaan konsep yang salah, karena kekacauan konsep yang dialami dalam kehidupan sehari-hari dimana konsep tersebut tidak sesuai dengan konsep ilmiah.

b. Penyebab Terjadinya Miskonsepsi

Miskonsepsi dapat terjadi diseluruh bidang sains, seperti biologi, kimia, fisika, dan astronomi Suparno, 2005: 9. Sub bidang fisika yang sering terjadi miskonsepsi, yaitu mekanika, termodinamika, optika, bunyi dan gelombang, listrik dan magnet, dan fisika modern. Suparno 2005: 29 menyebutkan bahwa penyebab miskonsepsi dipengaruhi oleh lima faktor, yaitu siswa, guru, buku teks, konteks, dan metode mengajar.

1. Siswa

Miskonsepsi dalam bidang Fisika banyak terjadi pada diri siswa. Miskonsepsi yang berasal dari diri siswa dikelompokkan menjadi delapan hal, yaitu prakonsepsi atau konsep awal siswa, pemikiran asosiatif, pemikiran humanistik, reasoning yang tidak lengkap atau salah, intuisi yang salah, tahap perkembangan siswa, kemampuan siswa, dan minat belajar siswa Suparno 2005: 34. Pertama, prakonsepsi atau konsep awal sudah dimiliki siswa sebelum mereka mengikuti pelajaran formal di bawah bimbingan guru. Konsep awal yang dimiliki siswa sering mengandung miskonsepsi. Hal ini dikarenakan prakonsepsi ini diperoleh dari orang tua, teman, sekolah awal, dan pengalaman di lingkungan siswa. Salah satu contohnya adalah matahari mengelilingi bumi. Konsep ini diperoleh siswa dari pengalaman sehari-hari. Prakonsepsi yang dimiliki siswa menunjukkan bahwa pikiran siswa selalu aktif berkembang untuk memahami sesuatu. Miskonsepsi pada diri siswa akan bertambah banyak, jika yang mempengaruhi pembentukan konsep pada siswa tersebut juga mempunyai banyak miskonsepsi, seperti orang tua, tetangga, teman, dan lain-lain Suparno, 2005: 35. Kedua, pemikiran asosiatif siswa. Marshall Gilmour dalam Suparno, 2005 menjelaskan bahwa pengertian berbeda dari kata-kata antara siswa dan guru dapat menimbulkan miskonsepsi. Kata dan istilah yang digunakan guru ketika pembelajaran di kelas, akan diasosiasikan lain oleh siswa. Hal ini dikarenakan kata dan istilah itu mempunyai arti yang lain. Ketiga, pemikiran humanistik. Gilbert, Watts Osborne dalam Suparno, 2005 menjelaskan bahwa siswa lebih sering memandang sebuah benda dari sudut pandang manusiawi. Benda-benda dan situasi dipikirkan dalam term pengalaman orang dan secara manusiawi. Contoh miskonsepsi tentang gaya adalah siswa menganggap bahwa jika ada seseorang yang duduk di atas sepeda, namun tidak menggenjot sepeda tersebut maka seseorang tersebut tidak melakukan gaya. Keempat, adalah reasoning yang tidak lengkap. Comins dalam Suparno, 2005 menjelaskan bahwa miskonsepsi juga dapat disebabkan oleh reasoning atau penalaran siswa yang tidak lengkap atau salah. Penalaran yang dilakukan siswa tidak lengkap, karena data atau informasi yang didapatkan oleh siswa tidak lengkap. Selain itu reasoning yang salah juga dipengaruhi karena pengambilan kesimpulan yang tidak tepat, karena logika yang digunakan juga salah. Kelima, adalah intuisi yang salah juga dapat menyebabkan miskonsepsi. Intuisi adalah suatu perasaan dalam diri seseorang, yang secara spontan mengungkapkan sikap atau gagasannya tentang sesuatu sebelum secara obyektif dan rasional diteliti Suparno, 2005: 38. Suparno juga menjelaskan bahwa pemikiran atau pengertian intuitif itu berasal dari pengamatan akan benda atau kejadian yang terus-menerus, akhirnya secara spontan, jika siswa dihadapkan pada persoalan Fisika siswa langsung teringat akan pengertian spontan tersebut. Hal inilah yang juga dapat menyebabkan miskonsepsi. Contohnya adalah siswa telah mempunyai pengertian spontan bahwa benda padat bila dimasukkan ke air akan tenggelam, kemudian jika mereka dihadapkan pada persoalan apakah gabus jika dimasukkan ke air akan tenggelam, mereka pasti akan menjawab „ya‟. Keenam, adalah tahap perkembangan kognitif siswa. Secara umum siswa SD masih berada pada tahap perkembangan kognitif pada tahap operasional konkret. Proses berpikir seorang siswa berawal dari hal konkret ke abstrak. Siswa yang berada pada tahap konkret masih terbatas untuk mengkonstruksi pengetahuan mereka, terlebih pengetahuan abstrak. Mereka masih memiliki keterbatasan untuk menggeneralisasi, mengabstraksi, dan berpikir sistematis logis. Sehingga tidak jarang konsep yang mereka pelajari tidak lengkap atau bahkan salah konsep. Ketujuh, adalah kemampuan siswa. Kemampuan siswa juga mempunyai pengaruh pada miskonsepsi siswa. Suparno 2005: 40 menjelaskan bahwa siswa yang tingkat intelegensi matematis-logisnya kurang tinggi, akan mempengaruhi tingkat pemahaman tentang konsep Fisika terlebih hal yang abstrak. Sedangkan siswa yang IQ-nya rendah juga mudah melakukan miskonsepsi. Hal ini dikarenakan mereka sulit mengkonstruksi pengetahuan Fisika, mereka tidak dapat mengkonstruksi secara lengkap dan utuh. Mayoritas dari mereka tidak menangkap konsep yang benar dan merasa bahwa itulah konsep yang benar, maka terjadi miskonsepsi Suparno, 2005: 41. Kedelapan, adalah minat belajar. Mayotitas siswa yang mempunyai ketertarikan dalam bidang Fisika, cenderung mempunyai miskonsepsi lebih rendah bila dibandingkan dengan siswa yang tidak berminat dalam bidang Fisika Suparno, 2005: 41. Suparno menjelaskan bahwa siswa yang tidak berminat dalam Fisika lebih cenderung kurang memperhatikan penjelasan guru mengenai pengertian Fisika yang baru. Ketika mereka salah menangkap suatu bahan, sering kali mereka tidak berminat untuk mencari mana yang benar dan mengubah konsep yang salah. Akibat dari menumpuk kesalahan itulah yang menyebabkan terjadinya miskonsepsi.

2. Guru atau Pengajar

Miskonsepsi yang terjadi pada siswa dapat pula terjadi karena miskonsepsi yang dibawa oleh guru. Arons Iona dalam suparno, 2005 menyebutkan bahwa beberapa guru Fisika tidak memahami konsep Fisika dengan baik, sehingga mereka mengajar dengan beberapa miskonsepsi. Suparno juga menjelaskan bahwa guru yang penguasaan bahan materinya tidak mendalam, sering dalam mengajar, bersikap sebagai ditaktor dan otoriter. Suparno mengatakan bahwa banyak siswa Indonesia yang enggan untuk menyampaikan miskonsepsinya kepada guru, karena mereka merasa takut untuk menyampaikannya. Banyak guru yang tidak memiliki kedekatan secara emosional kepada siswa, sehingga siswa enggan untuk menyampaikan miskonsepsinya. Selain itu guru juga disebabkan, karena guru kurang memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengungkapkan konsepnya. Beberapa hal di atas menjadi salah satu faktor yang memupuk lestarinya miskonsepsi yang terjadi pada siswa. 3 Buku Teks Miskonsepsi pada siswa juga dapat disebabkan oleh miskonsepsi yang terdapat pada buku teks atau buku yang berisi penjelasan materi mengenai mata pelajaran Fisika. Para peneliti menemukan bahwa beberapa miskonsepsi datang dari buku teks menurut Iona Renner dalam Suparno, 2005. Miskonsepsi pada buku teks disebabkan karena bahasa yang digunakan sulit untuk dipahami oleh siswa atau uraian penjelasan yang terkandung di dalamnya tidak benar. Selain itu pemilihan buku teks yang terlalu sulit bagi level siswa SD juga dapat menyebabkan miskonsepsi, karena siswa tidak bisa menangkap seluruh konsep secara utuh melainkan hanya mampu menangkap sebagian dari isi konsep tersebut. 4 Konteks Faktor selanjutnya yang mempengaruhi miskonsepsi siswa adalah Konteks. Konteks meliputi pengalaman, bahasa sehari-hari, teman lain, dan keyakinan serta ajaran agama. Pertama, adalah pengalaman. Sebelum siswa mendapatkan pendidikan secara formal dibawah bimbingan guru, siswa telah mendapatkan beberapa konsep yang berasal dari pengalaman dalam kehidupan sehari-hari. Stavy dalam Suparno, 2005 menjelaskan bahwa pengertian yang diperoleh siswa melalui pengalaman sifatnya hanya terbatas dan tidak dalam pengertian luas. Kedua, adalah bahasa sehari-hari. Beberapa miskonsepsi datang dari penggunaan bahasa sehari-hari yang memiliki arti lain dengan bahasa Fisika, Gilbert, Watts Osborne dalam Suparno, 2005. Konteks yang ketiga adalah teman lain atau teman sejawat. Ketika siswa sedang berdiskusi atau kerja kelompok tidak jarang jika didominasi oleh beberapa siswa saja. Bila siswa yang dominan itu memberikan sebuah pengertian yang mengandung miskonsepsi, maka teman lain juga akan terpengaruh dan bahkan dapt percaya dengan penjelasan yang dijelaskannya. Konteks yang keempat adalah keyakinan dan ajaran agama. Keyakinan dan ajaran agama juga dapat menyebabkan miskonsepsi. Pernyataan tersebut didukung oleh Commins dalam Suparno, 2005 yang meneliti miskonsepsi tentang Astronomi. Commins menjelaskan bahwa keyakinan atau ajaran agama yang diyakini secara kurang tepat sering membuat siswa tidak dapat menerima penjelasan ilmu pengetahuan. 5 Metode Mengajar Metode mengajar yang diterapkan oleh guru juga dapat menyebabkan miskonsepsi pada siswa. Guru yang hanya menekankan satu segi saja dari konsep bahan yang digeluti juga dapat memunculkan miskonsepsi pada diri siswa. Beberapa metode pembelajaran seperti metode ceramah, praktikum, demonstrasi, diskusi, dan penggunaan analogi juga dapat menyebabkan miskonsepsi pada siswa. Kebiasaan buruk yang ada pada guru juga dapat menyebabkan miskonsepsi pada siswa. Salah satu contohnya adalah kebiasaan guru yang terlambat atau terlalu lama memberikan hasil pekerjaan siswa yang sudah dikoreksi kepada siswa itu sendiri. Hal ini dapat menyebabkan miskonsepsi, karena siswa merasa benar akan jawabannya dikarenakan tidak adanya pembetulan. Berdasarkan paparan di atas, penulis menyimpulkan bahwa guru harus selalu kritis dalam memilih dan menggunakan metode pembelajaran. Selain itu guru harus selalu mengevaluasi metode pembelajaran yang telah diterapkannya, mengingat beberapa metode pembelajaran yang dinilai sudah bagus justru dapat menjadi salah satu penyebab miskonsepsi pada siswa.

c. Mendeteksi Adanya Miskonsepsi

Miskonsepsi dapat dideteksi melalui enam cara yang dikelompokkan sebagai berikut ini Suparno, 2005: 121.

1. Peta Konsep Concept Map

Peta konsep dapat digunakan untuk mendeteksi miskonsepsi Fisika yang dialami oleh siswa. Identifikasi miskonsepsi dengan menggunakan peta konsep dapat diimbangi dengan wawancara. Menggunakan peta konsep, siswa diminta untuk mengungkapkan gagasan pokok tentang konsep yang dianggap menggandung miskonsepsi dengan disusun secara hirarkis Suparno, 2005: 121. Miskonsepsi dapat dilihat dari proporsisi yang salah dan tidak ada hubungan yang lengkap antar konsep Novak Gowin dalam Suparno, 2005.

2. Tes Multiple Choice dengan Reasoning terbuka

Miskonsepsi yang terjadi pada siswa dapat diidentifikasi dengan menggunakan tes multiple choice pilihan ganda dengan reasoning alasan terbuka. Tipe tes ini mengharuskan siswa untuk menjawab soal pilihan ganda dan menuliskan alasan mengapa ia mempunyai jawaban seperti itu Amir dkk dalam Suparno, 2005. Berdasarkan jawaban dan alasan yang telah dituliskan siswa, maka peneliti dapat mengklasifikasikannya sehingga dapat diketahui miskonsepsi yang terjadi pada siswa.

3. Tes Esai Tertulis

Miskonsepsi dapat pula dideteksi dengan menggunakan tes esai tertulis, namun guru harus mempersiapkan tes esai terlebih dahulu. Untuk mengetahui lebih mendalami tentang miskonsepsi yang dialami oleh siswa pada setiap bidangnya, maka guru dapat melakukan wawancara.

4. Wawancara Diagnosis

Wawancara diagnosis dapat digunakan juga untuk mendeteksi miskonsepsi pada siswa. Wawancara adalah teknik pengumpulan data menggunakan bahasa lisan baik secara tatap muka maupun melalui saluran media tertentu Sukmadinata, 2008: 216. Guru dapat menggunakan teknik wawancara bebas maupun terstruktur. Untuk wawancara bebas, guru dapat bertanya dengan bebas dan siswa juga dapat menjawab sebebas mungkin. Sedangkan untuk wawancara terstruktur guru sudah menyiapkan garis besar daftar pertanyaan. Berdasarkan jawaban yang diberikan oleh siswa, maka guru dapat mendeteksi miskonsepsi yang dialami oleh siswa.

5. Diskusi dalam Kelas

Diskusi adalah metode pembelajaran dimana siswa dihadapkan pada suatu permasalahan dengan tujuan supaya siswa tersebut dapat memecahkan masalah tersebut Majid, 2013: 200. Melalui metode diskusi dalam kelas, miskonsepsi pada siswa dapat dilihat dari gagasan-gagasan yang diungkapkan oleh siswa. Saat menggunakan metode ini untuk mengetahui miskonsepsi pada siswa, guru atau peneliti berperan sebagai fasilitator yang dapat menumbuhkan keberanian dalam diri siswa untuk mengungkapkan seluruh gagasannya.

6. Praktikum dengan Tanya Jawab

Praktikum adalah kegiatan pembelajaran dimana siswa membuktikan sebuah teori yang telah didapatkan mengenai suatu konsep dengan menggunakan percobaan. Selama kegiatan praktikum berlangsung guru memberikan beberapa pertanyaan kepada siswa. Guru atau peneliti dapat mengetahui miskonsepsi pada siswa dengan cara memperhatikan setiap uraian jawaban yang diungkapkan oleh siswa terhadap setiap soal.

d. Kiat Mengatasi Miskonsepsi

Suparno 2005: 55 menjelaskan bahwa secara garis besar untuk mengatasi masalah miskonsepsi adalah sebagai berikut ini. Pertama, mencari atau mengungkap miskonsepsi yang dilakukan siswa. Kedua, mencoba menemukan penyebab miskonsepsi tersebut. Ketiga, mencari perlakuan yang sesuai untuk mengatasi. Berdasarkan ketiga hal tersebut, hal yang paling penting untuk mengatasi miskonsepsi pada siswa adalah mencari penyebab miskonsepsi yang terjadi pada siswa tersebut. Untuk dapat mengetahui penyebab miskonsepsi pada siswa, guru harus memahami kerangka berpikir pada siswa. Melalui cara tersebut guru dapat mengetahui cara berpikir, cara menangkap, dan gagasan siswa, sehingga guru dapat mengetahui letak miskonsepsi yang dialami oleh siswa. Langkah pertama yang dapat dilakukan guru untuk memahami gagasan yang ada dalam diri siswa adalah sebagai berikut ini Suparno, 2005: 56. 1. Siswa dibebaskan mengungkapkan gagasan dan pemikirannya mengenai bahan yang sedang dibicarakan, Mestre Brouwer dalam Suparno, 2005. Hal ini dapat dilakukan secara lisan atau pun terlutis. 2. Guru dapat memberikan pertanyaan kepada siswa tentang konsep yang biasanya membuat siswa bingung dan siswa diminta untuk menjawabnya secara jujur. 3. Guru mengajak siswa untuk berdiskusi tentang bahan tertentu, yang biasanya mengandung miskonsepsi, dan guru membiarkan siswa berdiskusi dengan bebas. Guru dapat memantau dari jalannya diskusi mengenai konsep-konsep yang salah. Langkah kedua adalah langkah yang paling penting, yakni mencari penyebab miskonsepsi. Guru dapat menggali penyebab miskonsepsi yang terjadi pada siswa melalui wawancara yang dilakukan baik secara pribadi maupun klasikal. Selain itu guru juga dapat memberikan pertanyaan tertulis kepada siswa yang nantinya akan disatukan dengan miskonsepsi siswa. Langkah ketiga adalah mencari jalan untuk mengatasi miskonsepsi pada siswa. Pemilihan cara yang akan digunakan pada langkah terakhir ini sangat dipengaruhi oleh penyebab dan situasi siswa sendiri. Guru dapat mencari dan memilih metode atau strategi yang cocok untuk mengatasi miskonsepsi pada siswa. Berdasarkan uraian kiat-kiat mengatasi miskonsepsi di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa guru harus benar-benar mengetahui letak miskonsepsi yang dialami oleh siswa. Selain itu penting juga guru mengetahui penyebab utama seorang siswa mengalami miskonsepsi. Kedua hal tersebut berpengaruh terhadap pemilihan metode atau strategi untuk mengatasi miskonsepsi pada siswa, sehingga guru dapat memilih metode atau strategi secara tepat dan efisien. 6 Hakikat Pembelajaran IPA a. Pengertian IPA Ilmu Pengetahuan Alam IPA adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari alam beserta isinya. Sumanto dalam Putra, 2013: 41 menjelaskan bahwa IPA adalah salah satu cara untuk mencari tahu tentang alam secara sistematis untuk mendapatkan fakta-fakta dan konsep. IPA adalah salah satu cara atau metode untuk mengamati alam yang bersifat analisis, lengkap, cermat serta menghubungkan antara suatu fenomena dengan fenomena lain Nash dalam Samatowa, 2011: 3. Wisudawati 2014: 22 menjelaskan bahwa IPA adalah ilmu yang memiliki karakteristik khusus yaitu mempelajari fenomena-fenomena alam yang faktual baik berupa kenyataan maupun kejadian dan hubungan sebab akibat. Dari ketiga definisi di atas dapat disimpulkan bahwa IPA adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari gejala-gejala dan fenomena alam yang terjadi secara faktual melalui kegiatan mengamati secara sistematis untuk menemukan sebuah fakta dan pemahaman konsep.

b. IPA sebagai Produk