Syarat Dilaksanakannya Hukuman Zina :

Namun jumhur ulama mengatakan bahwa seorang kafir yang berzina dihukum hudud. d. Perbuatan itu dilakukan dalam keadaan tidak terpaksa. Jumhur ulama sepakat bahwa seorang yang berzina karena terpaksa, maka tidak dapat dijatuhi hukuman hudud. Sedangkan Imam Ahmad mengatakan harus dihukum hudud. Namun Sehingga yang dizinai secara paksa atau diperkosa tidak dihukum. e. Perbuatan itu dilakukan dengan seorang manusia bukan dengan hewan. Bila dilakukan dengan hewan, maka pelakuknya dihukum dengan ta`zir bukan dengan hudud. Sedangkan hukum hewan yang disetubuhi itu tetap halal dan dagingnya boleh dimakan. Namun Al-Hanabilah menyatakan bahwa bila perbuatan itu disaksikan oleh minimal 2 orang, maka hewan itu dibunuh, pelakunya diwajibkan membayar harga hewan itu tapi dagingnya tidak halal dimakan. f. Pasangan itu baik laki-laki atau wanita adalah mereka yang sudah masuk kategori bisa melakukan hubungan seksual. Bila laki-laki bersetubuh dengan wanita di bawah umur, tidak dihukum hudud. Begitu juga bila seorang wanita dewasa bersetubuh dengan anak kecil yang belum baligh. g. Perbuatan itu tidak mengandung syubhat. Seperti bila seorang menyangka wanita yang disetubuhinya adalah istrinya tapi ternyata bukan. Ini adalah pendapat jumhur ulama. Dan karena syubhatnya itu, maka Imam Abu Hanifah dan Abu Yusuf mengatakan tetap harus dihukum hudud. h. Pelakunya adlaah orang yang mengerti dan tahu bahwa ancaman hukuman zina adalah hudud yaitu rajam atau cambuk seratus kali dan diasingkan selama setahun. Sehingga bila pelakunya mengaku bahwa dia tidak tahu ancaman hukuman zina, maka para ulama berbeda pendapat. i. Wanita yang dizinai bukanlah seorang kafir harbi. j. Wanita yang dizinai adalah seorang wanita yang masih hidup atau bernyawa. Sedangkan menyetubuhi mayat memiliki hukum tersendiri.

28. Jenis Zina dan hukumannya

a. Jenis Zina Para ulama membagi pelaku zina menjadi dua macam, yaitu : - Pelaku zina yang belum pernah menikah sebelumnya secara syar`i. Pelakunya disebut ghairu muhshan . - Pelaku zina yang sudah pernah menikah sebelumnya secara syar`i. Pelakunya disebut muhshan. b. Hukuman buat pezina : Hukuman buat pezina terbagi dua macam sesuai dengan pelakunya, apakah muhshan atau ghairu muhshan.  Hukuman zina ghairu muhshan Hukuman zina ghairu muhshan adalah jalad atau cambuk dan diasingkan selama setahun. Dalilnya adalah firman Allah SWT : “Wanita dan laki-laki yang berzina maka cambuklah masing-masing mereka seratus kali. Selebihnya yaitu tentang mengasingkan mereka selama setahun, para ulama sedikit berbeda pandangan :  Al-Hanafiyah berpendapat bahwa seorang muhshan cukup dicambuk 100 kali saja tanpa harus diasingkan selama setahun. Dalil yang mereka gunakan adalah zahir ayat yang secara terang hanya menyebutkan hanya cambuk saja tanpa menyebutkan pengasingan. Dan bila ditambah dengan cambuk, maka menjadi penambahan atas nash dan penambahan itu menjadi nasakh. Jadi masalah mengasingkan bagi Al-Hanafiyah bukan termasuk hudud, tetapi dikembalikan kepada hakim sebagai bentuk hukuman ta`zir. Bila hakim memandang ada mashlahatnya maka bisa dilakukan dan bila tidak maka tidak perlu dilakukan.  Asy-Syafi`iyah dan Al-Hanabilah berpandangan bahwa mengasingkan pezina selama setahun adalah bagian dari hudud dan harus digabungkan dengan pencambukan. Pengasingan itu sendiri ditentukan bahwa jaraknya minimal jarak yang membolehkan seseorang mengqashar shalatnya. Dalil yang mereka gunakan untuk mengasingkan ini adalah sabda Rasulullah SAW : “Ambillah dariku ajaran agamamu yang Allah telah jadikannya sebagai jalan. Perawan dan bujangan yang berzina maka hukumannya adalah cambuk dan diasingkan setahun. Dan orang yang sudah menikah yang berzina maka hukumannya adalah cambuk 100 kali dan rajam ”. 32 Namun mereka mengatakan bahwa pengasingan ini hanya berlaku bagi lak-laki saja, sedangkan wanita yang berzina tidak perlu diasingkan kecuali ada mahram yang menemaninya seperti suami atau mahram dari keluarganya. Karena Rasulullah SAW melarang bepergiannya seorang 32 HR. Ahmad dan para penulis kutubussittah kec. Bukhari dan An-Nasai