Sebelum penulis melakukan pengamatan, di salah satu wilayah kerja KPP Pakam yaitu kecamatan Lubuk Pakam Kabupaten Deli serdang sangat banyak terdapat
usaha-usaha yang dapat dikategorikan sebagai UMKM belum terdaftar sebagai wajib pajak. Mungkin saja kejadian serupa juga terjadi di kecamatan-kecamatan
lain yang berada d wilayah kerja KPP Lubuk Pakam. Apakah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 46 tahun 2013 yang telah
diberlakukan sejak tanggal 1 Juli Tahun 2013 dapat menggarap potensi sektor UMKM dan dapat mencapai tujuan sesuai dengan pemberlakuan peraturan
tersebut. Karena alasan tersebut sehingga penulis tertarik untuk mengambil judul“
Dampak Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 Terhadap Wajib Pajak Usaha Mikro Kecil Menengah UMKM Dan
Penerimaan Pajak Penghasilan PPh Pasal 4 Ayat 2 Pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Lubuk Pakam”
.
1.2 Rumusan Masalah
Perumusan masalah yang menjadi fokus perhatian peneliti adalah : 1. Bagaimana dampak pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun
2013 terhadap wajib pajak UMKM? 2. Bagaimana dampak pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun
2013 terhadap penerimaan PPh pasal 4 ayat 2?
1.3 Tujuan Penelitian
Dari permasalahan penelitian yang telah dirumuskan, maka tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Mengetahuidampak pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun
2013 terhadap wajib pajak UMKM 2.
Mengetahui dampak pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 terhadap penerimaan PPh pasal 4 ayat 2
1.4 Manfaat Penelitian
1. Bagi peneliti, sebagai sarana untuk melatih dan mengembangkan kemampuan
berpikir ilmiah, sistematis, dan kemampuan untuk menuliskannya dalam bentuk karya ilmiah berdasarkan kajian-kajian teori dan aplikasi yang
diperoleh dari Program Studi Ekstensi Ilmu Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Univerumah sakititas Sumatera Utara.
2. Bagi instansi terkait, penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan yang
berguna atas pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 demi mencapai tujuan yang semula direncanakan dari penerbitan peraturan
pemerintah ini. 3.
Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi baik langsung maupun secara tidak langsung bagi kepustakaan Program Studi
Ekstensi Ilmu Administrasi Negara.
1.5 Kerangka Teori
Studi kepustakaaan berkaitan dengan kajian teoritis dan referensi lain yang terkait dengan nilai, budaya, norma yang berkembang pada situasi sosial yang
diteliti. Sugiyono, 2007:14
1.5.1 Kebijakan Publik 1.5.1.1 Definisi Kebijakan Publik
Banyak alasan atau definisi mengenai kebijakan publik. Setiap definisitersebut memberi penekanan yang berbeda-beda. Perbedaan ini timbul
karena setiap ahli mempunyai latar belakang yang berbeda-beda pula. Para ilmuwan politik yang ada pada masa lampau umunya berminat terhadap
proses-proses politik seperti proses legislatif,proses pemilu, dan unsur-unsur sistem politik, seperti kelompok kepentingan atau pendapat umum.
Adapun beberapa definisi kebijakan publik menurut para ahli yaitumenurut Chandler dan Plano Keban,2008:60 adalah pemanfaatan yang
strategis terhadap sumberdaya-sumberdaya yang ada untuk memecahkan masalah-masalah publik atau pemerintah.
Selanjutnya Suwitri dalam Suaedi dan Wardiyanto 2010:138,kebijakan publik adalah serangkaian tindakan berupa pilihan untuk melakukan atau tidak
melakukan sesuatu dalam rangka mencapai tujuan negara yang merupakan kepentingan publik dengan memperhatikan input yang tersedia, berdasarkan
usulan dari seseorang atau kelompok orang didalam pemerintahan atau diluar pemerintahan.
Dari sejumlah definisi yang telah diuraikan diatas, maka dapat disimpulkan bahwasannya kebijakan publik merupakan serangkaian kegiatan
atau proses dalam mengatasi masalah publik yang didalamnya mengandung konsep atau nilai nilai yang selaras dengan konsep dan nilai yang dianut oleh
masyarakat. Pembagian jenis-jenis kebijakan publik berdasarkan pada dua kategori
menurut Nugroho 2004 :54-57 yaitu : 1. Berdasarkan maknanya, bahwa kebijakan publik adalah hal-hal yang
diputuskan pemerintah untuk dikerjakan dan hal-hal yang diputuskan pemerintah untuk tidak dikerjakan atau dibiarkan. Pembagian menurut
kategori ini mengahasilkan tiga jenis kebijakan publik yaitu: a. Kebijakan publik yang dibuat oleh legislatif atau disebut sebagai
kebijakan publik yang paling tertinggi. b. Kebijakan publik yang dibuat dalam bentuk kerjasama antara legislatif
dan eksekutif. c. Kebijakan publik yang dibuat oleh eksekutif saja.
2. Kebijakan alokatif dan distributif, kebijakan kedua ini biasanya berupa kebijakan-kebijakan yang berkenaan dengan anggaran atau keluaran publik
1.5.1.2 Proses Analisis Kebijakan Publik
Proses analisis kebijakan adalah serangkaian aktivitas intelektual yang dilakukan didalam proses kegiatan yang pada dasarnya bersifat politis.
Aktivitas politis tersebut dijelaskan sebagai proses pembuatan kebijakan dan divisualisasikan sebagai serangkaian tahap yang saling bergantung yang diatur
menurut aturan waktu: penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan, dan penilaian kebijakan William Dunn,
2003:22. Sedangkan aktivitas perumusan masalah, peramalan forecasting, rekomendasi kebijakan, pemantauan Monitoring, dan evaluasi kebijakan
adalah aktivitas yang lebih bersifat intelektual. Dalam memecahkan masalah yang dihadapi kebiijakan publik, Dunn
mengemukakan beberapa tahap analisis yang harus dilakukan,yaitu : 1. Penetapan Agenda Kebijakan agenda setting
Perumusan masalah dapat memasok pengetahuan yang relevan dengan kebijakan yang mempersoalkan asumsi-asumsi yang mendasari definisi
masalah dan memasuki proses pembuatan kebijakan melalui penyusunan agenda. Perumusan masalah dapat membantu menemukan asumsi-asumsi
yang tersembunyi, mendiagnosis penyebab-penyebabnya, memetakan tujuan-tujuan yang memungkinkan, memadukan pandangan-pandangan
yang bertentangan, dan merancang peluang-peluang kebijakan yang baru. Perumus kebijakan harus difasilitasi berupa dukungan sosial, dukungan
politik, dukungan budaya. 2. Formulasi Kebijakan
Dalam tahap formulasi kebijakan,, peramalam dapat menyediakan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan tentang masalah yang akan
terjadi dimasa mendatang sebagai akibat dari diambilnya alternatif, termasuk tidak melakukan sesuatu.
3. Adopsi Kebijakan Pada tahap adopsi kebijakan, pengambil kebijakan terbantu dalam
rekomendasi yang membuahkan pengetahuan yang relevan dengan
kebijakan tentang manfaat atau biaya dari berbagai alternatif yang akibatnya di masa mendatang telah diestimasikan melalui peramalan.
4. Implementasi kebijakan Pemantauan monitoring menyediakan pengetahuan yang relevam dengan
kebijakan tentang akibat dari kebijakan yang diambi sebelumnya terhadap pengambil kebijakan pda tahap implementasi kebijakan. Pemantauan
membantu menilai tingkat kepatuhan, menemukan akibat-akibat yang tidak diinginkan dari kebijakan dan program, mengidentifikasi hambatan
dan rintangan implementasi, dan menemukan letak pihak-pihak yang bertanggung jawab pada setiap tahap kebijakan. Proses implementasi
membutuhkan fasilitasi seperti tim, lembaga, peraturan, sumber daya. 5. Evaluasi Kebijakan
Evaluasi membuahkan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan tentang ketidaksesuaian antara kinerja kebijakan yang diharapkan dengan
yang benar-benar dihasilkan.
1.5.2 Implementasi Kebijakan
Salah satu tahap penting dalam sebuah kebijakan adalah implementasi . karena pada tahap ini, kebijakan diterapkan dan diukur sejauh mana kebijakan
tersebut dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan dan mencapai tujuan- tujuan kebijakan yang diinginkan.
Implementasi menurut Meter dan Horn Winarno,2007:102 lebih mengarah pada batasan dalam implementasi yang diiprentasikan sebagai: tindakan yang
dilakukan oleh individu atau kelompok-kelompok pemerintah maupun swasta
yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan-keputusan kebijakan sebelumnya.
Menurut Mazmanian dan Sabatier Wahab,2004:68 yang dimaksud dengan implementasi adalah pelaksanaan keputusan kebijaksanaan dasar, biasanya dalam
bentuk undang-undang, namun dapat pula berbentuk perintah-perintah atau keputusan-keputusan eksekutif yang penting atau keputusan badan peradilan.
Teori-teori diatas menyimpulkan bahwasannya Implementasi merupakan proses yang kompleks yang melibatkan berbagai aktor serta menggunakan
berbagai sumber daya dalam pelaksanaanya dan dilaksanakan dalam kurun waktu tertentu, selain itu implementasi merupakan tahapan yang krusial dan menjadi
bagian yang tidak dapat dipisahkan dari keseluruhan proses kebijakan. Bagaimanapun baiknya suatu kebijakan jika tidak diimplementasikan tidak
akan menimbulkan dampak atau tujuan yang diinginkan. Seperti yang dikemukakan oleh Hoogerwerf yang menjelaskan “Agar suatu kebijakan dapat
memberikan hasil yang diharapkan, maka kebijakan itu harus dilaksanakan. Pelaksanaan kebijakan dapat didefinisikan sebagai pengggunaan sarana-sarana
yang dipilih untuk mencapai tujuan-tujuan yang dipilih dan ingin direalisasikan” Hoogerwerf, 1982:57
Tahap Implementasi dilaksanakan setelah kebijakan dirumuskan, seperti dikemukakan oleh Winarno bahwasannya “Implementasi terjadi hanya setalah
undang-undang ditetapkan dan dana disediakan untuk membiayai implementasi kebijakan tersebut” Winarno, 2007:102.
Proses implementasi lebih lanjut dijelaskan oleh Mazmanian Sabatier dalam Widodo yang mengemukakan bahwa “Implementasi adalah pelaksanaan
keputusan kebijakan dasar, biasanya dalam bentuk undang-undang, namun dapat pula berbentuk perintah-perintah atau keputusan-keputusan eksekutif yang
penting atau keputusan badan peradilan” Widodo, 2008:88. Dari kedua teori tersebut dapat dijelaskan bahwasannya dalam pelaksanaan
suatu kebijakan hanya dapat diterapkan jika sudah terdapat dasar hukum yang memayungi kebijakan tersebut dan setiap pelaksana kebijakan bertindak ataupun
tunduk kepada petunjuk-petunjuk yang ada pada dasar hukum tersebut dalam rangka mentransformasikan kebijakan tersebut.
Dalam implementasinya sendiri tidak terlepas dari berbagai kendala yang timbul akibat proses yang rumit dan kompleks, kendala tersebut menjadi
penghambat dalam keberhasilan suatu implementasi bahkan dapat menyebabkan gagalnya implementasi tersebut. Karakteristik masalah merupakan salah satu dari
tiga kelompok variabel yang mempengaruhi keberhasilan implementasi seperti yang dikemukakan oleh Mazamanian dan Sabatier dalam Subarsono yang
mengidentifikasi Karakterisitik masalah yang terdiri atas : 1.
Kesulitan Teknis. Tingkat kesulitan teknis dari masalah yang bersangkutan, sifat dari suatu msalah itu sendiri akan mempengaruhi
mudah tidaknya suatu program diimplementasikan. 2.
Keragaman perilaku kelompok sasaran. Hal ini berarti bahwa suatu program akan relatif mudah diimplementasikan apabila kelompok
sasaranya homogen. Sebaliknya apabila kelompok sasarannya heterogen, maka implementasi program akan relatif lebih sulit.
3. Proporsi kelompok sasaran terhadap total populasi. Sebuah program relatif
akan sulit diimplementasikan apabila sasaranya mencakup semua populasi.
Sebaliknya sebuah program relatif mudah diimplementasikan apabila jumlah kelompok sasarannya tidak terlalu besar.
4. Cakupan perubahan perilaku yang diharapkan. Sebuah program bertujuan
memberikan pengetahuan atau bersifat kognitif akan relatif lebih mudah diimplementasikan daripada program yang bertujuan untuk mengubah
sikap dan perilaku masyarakat. Subarsono, 2008:95-96 Sementara itu Wahab menjelaskan bahwasannya suatu kebijakan gagal
dimplementasikan karena disebabkan oleh faktor-faktor berikut : 1.
Pihak-pihak yang terlibat dalam pelaksanaan tidak mau bekerja sama dalam kebijakan tersebut;
2. Pihak-pihak yang terlibat tersebut telah bekerja secara tidak efisien atau setengah hati;
3. Pihak-pihak yang terlibat tidak menguasai permasalahan yang dihadapi; 4. Kemungkinan permasalahan yang dihadapi di luar jangkauan kekuasaan
pihak-pihak yang terlibat dalam implementasi tersebut. Wahab, 2012:59 Dari berbagai hal diatas, dapat diketahui banyak kendala yang dapat
menghambat keberhasilan dari pelaksanaan atau kebijakan, sehingga kebijakan yang dibuat sebelum diputuskan dan dilaksanakan harus direncanakan dengan
matang sehingga peramalan yang dibuat mampu memprediksi kendala ataupun masalah yang mungkin timbul. Sebuah implementasi agar efektif memerlukan
berbagai ketepatan, Nugroho 2009 : 521 merinci prinsip ketepatan yang perlu dipenuhi dalam hak keefektifan kebijakan antara lain :
1. Ketepatan kebijakan. apakah kebijakannya sendiri sudah tepat. Ketepatan
kebijakan ini dinilai dari sejauh mana kebijakan yang ada telah bermuatan hal-hal yang memang memecahkan masalah yang hendak dipecahkan.
2. Ketepatan pelaksanaan. Ketepatan dalam hal pelaksana atau aktor dari
implementasi kebijakan yang akan dilaksanakan. Ada tiga lembaga yang dapat menjadi pelaksana, yaitu pemerintah, kerjasama antara pemerintah
dan masyarakatswasta, dan implementasi kebijakan yang diswastakan. 3.
Ketepatan target. Ketepatan target berkaitan dengan tiga hal yaitu pertama, apakah target yang diintervensi sesuai dengan yang direncanakan, tidak
tumpang tindih dengan intervensi lain, dan tidak bertentangan dengan intervensi kebijakan lain. Kedua kesiapan kondisi target untuk
diintervensi, ketiga apakah intervensi implementasi kebijakan bersifat baru atau memperbarui implementasi kebijakan sebelumnya.
4. Ketepatan Lingkungan. Terdiri atas dua lingkungan yaitu lingkungan
kebijakan yaitu interaksi diantara lembaga perumus kebijakan dan pelaksana kebijakan dengan lembaga lain yang terkait. Serta lingkungan
eksternal kebijakan yang terdiri atas persepsi publik atas kebijakan, interpretasi lembaga strategis dalam masyarakat, dan individu-individu
tertentu yang memiliki peran penting dalam menginterpretasikan kebijakan dan implementasi kebijakan.
1.5.3 Evaluasi Kebijakan
1.5.3.1 Definisi Evaluasi Kebijakan
Evaluasi kebijakan publik dilakukan untuk menilai sejauhmana keefektifan kebijakan publik untuk dipertanggungjawabkan kepada publiknya
dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Evaluasi dibutuhkan untuk melihat kesenjangan antara harapan dan kenyataan.
Menurut Winarno 2008:225 bila kebijakan dipandang sebagai suatu pula kegiatan yang berurutan, maka evaluasi kebijakan merupakan tahap akhir
dalam proses kebijakan. Kemudian menurut Muhadjir dalam Widodo 2008:112 evaluasi
kebijakan publik merupakan proses untuk menilai seberapa jauh suatu kebijakan publik dapat membuahkan hasil, yaitu dengan membandingkan
antara hasil yang diperoleh dengan tujuan atau target kebijakan publik yang ditentukan.
Dalam Bingham dan Felbinger,Howlet dan Ramesh 1995 dalam Nugroho 2011:676-677 mengelompokan evaluasi menjadi tiga, yaitu :
a. Evaluasi administratif, yang berkenaan dengan evaluasi sisi administratif anggaran, efisiensi, biaya dari proses kebijakan di dalam pemerintah yang
berkenaan dengan : 1 effort evaluation, yang menilai dari sisi input program yang
dikembangkan oleh kebijakan 2 Performance evaluation, yang menilai keluaran dari program yang
dikembangkan oleh kebijakan.
3 adequacy of performance evaluation atau effectiveness evaluation , yang menilai apakah program dijalankan sebagaimana yang sudah ditetapkan.
4 effeciency evaluation, yang menilai biaya program dan memberikan penilaian tentang keefektifan biaya tersebut.
5 process evaluation, yang menilai metode yang dipergunakan oleh organisasi untuk melaksanakan program.
b. Evaluasi judical, yaitu evaluasi yang berkenaan dengan isu keabsahan hukum tempat kebijakan diimplementasikan, termasuk kemungkinan
pelanggaran terhadap konstitusi, sistem hukum, etika, aturan administrasi negara, hingga hak asasi manusia.
c. Evaluasi politik, yaitu menilai sejauh mana penerimaan konstituten politik terhadap kebijakan publik yang diimplementasikan.
Sedangkan menurut Dane wibawa, 1994 menyebutkan ada dua tipe evaluasi kebijakan, yaitu :
a. Sumative evaluation, adalah penilaian dampak dari suatu program. Disebut juga dengan evaluasi dampak out come evaluation.
b. Formative evaluation, adalah penilaian terhadap proses dari program, disebut pula evaluasi proses.
Secara umum evaluasi kebijakan dapat dikatakan sebagai kegiatan yang menyangkut estimasi atau penilaian kebijakan yang mencakup susbtansi,
implementasi dan dampak. Dalam hal ini, evaluasi kebijakan dipandang sebagai suatu kegiatan fungsional. Artinya, evaluasi kebiajakan tidak hanya
dilakukan pada tahap akhir saja, melainkan dilakukan dalam seluruh proses kebijakan. Dengan demikian, evalusai kebijakan bisa meliputi tahap perumusan
masalah-masalah kebijakan, program-program yang diusulkan untuk menyelesaikan masalah kebijakan, implementasi, maupun tahap dampak
kebijakan.
1.5.3.2 Fungsi dan Tujuan Evaluasi Kebijakan
Sebagai salah satu tahapan dalam proses kebijakan, evaluasi memiliki fungsi dan tujuan. Menurut Wibawa dalam Nugroho 2009 : 541-542, evaluasi
kebijakan publik memilik empat fungsi, yaitu: 1.
Eksplanasi. Melalui evaluasi dapat dipotret realitas pelaksanaan program dan dapat dibuat suatu generalisasi tentang pola-pola hungungan antar
berbagai dimensi realitas yang diamatinya. Dari evaluasi ini evaluator dapat mengidentifikasi masalah ,kondisi, dan aktor yang mendukung
keberhasilan atau kegagalan kebijakan. 2.
Kepatuhan. Melalui evaluasi dapat diketahui apakah tindakan yang dilakukan oleh para pelaku, baik birokrasi maupun pelaku lainnya, sesuai
dengan standar dan prosedur yang ditetapkan oleh kebijakan. 3.
Audit. Melalui evaluasi dapat diketahui, apakah output benar-benar sampai ke tangan kelompok sasaran kebijakan, atau justru ada kebocoran atau
penyimpangan. 4.
Akunting. Dengan evaluasi dapat diketahui apa akibat sosial-ekonomi dari kebijakan tersebut.
Beberapa ahli juga mengemukakan tentang tujuan-tujuan dari evaluasi, Subarsono 2008 : 120 merinci beberapa tujuan dari evaluasi antara lain
sebagai berikut :
a. Menentukan tingkat kinerja suatu kebijakan. Melalui evaluasi maka dapat
diketahui derajat pencapaian tujuan dan sasaran kebijakan. b.
Mengukur tingkat efisiensi suatu kebijakan. Dengan evaluasi juga dapat diketahui derajad diketahui berapa biaya dan manfaat suatu kebijakan.
c. Mengukur tingkat keluaran outcome suatu kebijakan. Salah satu tujuan
evaluasi adalah mengukur berapa besar dan kualitas pengeluaran atau output dari suatu kebijakan.
d. Mengukur dampak suatu kebijakan. Pada tahap lebih lanjut, evaluasi
ditujukan untuk melihat dampak dari suatu kebijakan, baik dampak positif maupun negatif.
e. Untuk mengetahui apabila ada penyimpangan. Evaluasi juga bertujuan
untuk mengetahui adanya penyimpangan-penyimpangan yang mungkin terjadi, dengan cara membandingkan antara tujuan dan sasaran dengan
pencapaian target. f.
Sebagai bahan masukan input unutk kebijakan yang akan datang. Tujuan akhir evaluasi adalah untuk memberikan masukan bagi proses kebijakan
ke depan agar dihasilkan kebijakan yang lebih baik. Oleh karena itu evaluasi kebijakan, pada prinsipinya digunakan untuk
mengevaluasi empat asek dalam proses kebijakan publik Wibawa, yuyun, agus, 1994:35, yaitu :
1 proses pembuatan kebijakan 2 proses implementasi
3 konsekuensi kebijakan 4 efektifitas dampak kebijakan
1.5.3.3 Tahapan dan Kendala Evaluasi Kebijakan
Evaluasi dalam pelaksanaanya memiliki tahapan atau langkah-langkah yang dapat dilakukan agar dapat berjalan secara sistematis. Evaluasi dengan
ilmiah merupakan evaluasi yang mempunyai kemampuan yang lebih baik untuk menjalankan evaluasi kebijakan dibandingkan dengan tipe evaluasi lain
Winarno, 2007 : 169. Edward A. Suchman di sisi lain lebih masuk ke sisi praktis dengan mengemukakan tujuh langkah dalam evaluasi kebijakan
Winarno, 2007 : 169, yaitu : 1. Mengidentifikasi tujuan program yang akan dievaluasi.
2. Analisis terhadap masalah. 3. Deskripsi dan standardisasi kegiatan.
4. Pengukuran terhadap tingkatan perubahan yang terjadi. 5. Menentukan apakah perubahan yang diamati merupakan akibat dari
kegiatan tersebut atau karena penyebab lain. 6. Beberapa indikator untuk menentukan keberadaan suatu dampak.
Menurut Suchman, mendefinisikan masalah merupakan tahap paling penting dalam evaluasi kebijakan.Setelah masalah didefinisikan dengan jelas
maka tujuan-tujuan dapat disusun dengan jelas pula. Oleh karena itu, ia juga mengidentifikasi beberapa pertanyaan operasional untuk menjalankan riset
evaluasi seperti : 1. Apakah yang menjadi isi dari tujuan program ?
2. Siapa yang menjadi target program ? 3. Kapan perubahan yang diharapkan terjadi ?
4. Apakah tujuan yang ditetapkan satu atauan banyak unitary or multiple ?
5. Apakah dampak yang diharapkan besar ? 6. Bagaimanakah tujuan-tujuan tersebut dicapai ?
Langkah-langkah tersebut dibuat agar suatu evaluasi dapat efektif dengan berjalan secara sistematis. Pada pelaksanaanya sendiri, evaluasi tidak
terlepas dari kemungkin timbulnya masalah atau kendala. Hal ini disebabkan evaluasi juga merupakan proses yang kompleks, sehingga kendala atau
masalah tersebut dapat menghambat pelaksanaan evaluasi tersebut. Anderson dalam Winarno 2007 : 175-179 mengidentifikasi enam masalah yang akan
dihadapi dalam proses evaluasi kebijakan. a.
Ketidakpastian atas tujuan-tujuan kebijakan. Bila tujuan-tujuan dari suatu kebijakan tidak jelas atau tersebar, maka kesulitan yang timbul adalah
menentukan sejauh mana tujuan-tujuan tersebut telah dicapai. Ketidakjelasan biasanya berangkat dari proses penetapan kebijakan.
b. Kausalitas. Terdapat kesulitan dalam melakukan penentuan kausalitas
antara tindakan-tindakan yang dilakukan terutama dalam masalah-masalah yang kompleks. Seringkali ditemukan suatu perubahan terjadi, tetapi tidak
disebabkan suatu tindakan atau kebijakan. c.
Dampak kebijakan yang menyebar. Tindakan-tindakan kebijakan mungkin mempengaruhi kelompok-kelompok lain selain kelompok-kelompok yang
menjadi sasaran kebijakan. Hal ini sebagai akibat dari eksternalitas atau dampak yang melimpah yakni suatu dampak yang ditimbulkan oleh
kebijakan pada keadaan atau kelompok selain mereka yang menjadi sasaran kebijakan.
d. Kesulitan-kesulitan dalam memperoleh data. Kekurangan data statistik dan
informasi-informasi lain yang relevan akan menghalangi para evaluator untuk melakukan evaluasi kebijakan.
e. Resistensi pejabat. Para pejabat pelaksana program mempunyai
kecenderungan untuk tidak mendorong studi-studi evaluasi, menolak memberikan data, atau tidak menyediakan dokumen yang lengkap.
f. Evaluasi mengurangi dampak. Berdasarkan alasan tertentu, suatu evaluasi
kebijakan yang telah dirampungkan mungkin diabaikan atau dikritik sebagai evaluasi yang tidak meyakinkan. Hal inilah yang mendorong
mengapa suatu evaluasi kebijakan yang telah dilakukan tidak mendapat perhatian yang semsetinya bahkan diabaikan, meskipun evaluasi tersebut
benar.
1.5.3.4 Pendekatan Evaluasi Kebijakan
Evaluasi kebijakan publik memiliki tipe dan pendekatan yang beragam dan berbeda, tergantung dari pada tujuan ataupun sudut pandang dari para
evaluator yang akan melakukan evaluasi. Dunn 2003 : 611-612 membagi pendekatan evaluasi berdasarkan analisis lintas dampak antara lain :
1. Evaluasi Semu. Evaluasi semu Pseudo Evaluationadalah pendekatan
yang menggunakan metode-metode deskriptif untuk menghasilkan informasi yang valid dan dapat dipercaya mengenai hasil kebijakan, tanpa
berusaha untuk menanyakan tentang manfaat atau nilai dari hasil-hasil tersebut terhadap individu. Asumsi utama dari evaluasi semu adalah bahwa
ukuran tentang manfaat atau nilai merupakan sesuatu yang dapat terbukti sendiri self evidentatau tidak kontroversial.
2. Evaluasi Formal. Evaluasi formal merupakan pendekatan yang
menggunakan metode deskriptif untuk menghasilkan informasi yang valid dan cepat dipercaya mengenai hasil-hasil kebijakan tetapi mengevaluasi
hal tersebut atas dasar tujuan program kebijakan yang telah dimumkan secara formal oleh pembuat kebijakan dan administrator program. Asumsi
utama dari evaluasi formal adalah bahwa tujuandan target diumukan secara formal adalah merupakan ukuran yang tepat untuk manfaat atau
nilai kebijakan program. 3.
Evaluasi Keputusan Teoritis. Evaluasi keputusan teoritis adalah pendekatan yang menggunakan metode-metode deskriptif untuk
menghasilkan informasi yang dapat dipertanggungjawabkan dan valid mengenai hasil-hasil kebijakan yang secara eksplisit dinilai oleh berbagai
macam pelaku kebijakan. Asumsi dari evaluasi teoritis keputusan adalah bahwa tujuan dan sasaran dari perilaku kebijakan baik yang dinyatakan
secara formal maupun secara tersembunyi merupakan ukuran yang layak terhadap manfaat atau nilai kebijakan dan program.
Tabel 1.1 : Pendekatan Evaluasi Manurut William Dunn
PENDEKATAN TUJUAN ASUMSI
BENTUK BENTUKUTAM
A
Evaluasi Semu Menggunkan metode
deskriptif untuk menghasilkan informasi
yang valid tentang hasil kebijakan
Ukuran manfaat atau nilai terbukti dengan
sendirinya atau tidak controversial
1. Eksperimental
sosial 2.
Akuntansi sistem sosial
3. Pemeriksaan
sosial 4.
Sintesis riset dan praktik
Evaluasi Formal Menggunakan metode deskriptif untuk
menghasilkan informasi yang terpercaya dan
valid mengenai hasil kebijakan secara formal
diumumkan sebagai tujuan program
kebijakan Tujuan dan sasaran
dari pengambil kebijakan dan
administrator yang secara resmi
diumumkan merupakan ukuran
yang tepat dari manfaat atau nilai
1. Evaluasi
perkembangan 2.
Evaluasi eksperimental
3. Evaluasi
proses retrospektif
4. Evaluasi hasil
retrospektif Evaluasi
Keputusan Teoritis
Menggunakan metode deskriptif untuk
menghasilkan informasi yang terpercaya dan
valid mengenai hasil kebijakan yang secara
eksplisit diinginkan oleh berbagai pelaku
kebijakan. Tujuan dan sasaran
dari berbagai pelaku yang diumumkan
secara formal ataupun diam-diam
merupakan ukuran yang tepat dari
manfaat atau nilai. 1.
Penilaian tentang dapat
tidaknya evaluasi
2. Analisis
utilitas multiatribut
Sumber : Dunn 2003:612
1.5.3.5 Bentuk Analisis Kebijakan
Analisis kebijakan publik berdasarkan kajian kebijakannya dapat dibedakan antara analisis kebijakan sebelum adanya kebijakan publik tertentu
dan sesudah adanya kebijakan publik tertentu. Keduanya baik analisis kebijakan sebelum maupun sesudah adanya kebijakan mempunyai tujuan yang
sama yakni memberikan rekomendasi kebijakan kepada penentu kebijakan agar didapat kebijakan yang lebih berkualitas. Dunn 2000:117 membedakan tiga
bentuk utama analisis kebijakan publik,yaitu: 1. Analisis Kebijakan Prospektif. Analisis kebijakan prospektif yang berupa
produksi dan tranformasi informasi sebelum aksi kebijakan dimulai dan diimplementasikan ex ante. Analisis kebijakan disini merupakan suatu
alat untuk mensintesakan informasi untuk dipakai dalam merumuskan alternatif dan preferensi kebijakan yang dinyatakan secara komparatif,
diramalkan dalam bahasa kuantitatif dan kualitatif sebagai landasan atau penuntun dalam pengambilan keputusan kebijakan.
2. Analisis Kebijakan Retrospektif. Analisis kebijakan retrospektif adalah sebagai penciptaan dan tranformasi informasi sesudah aksi kebijakan
dilakukan. Evaluasi proses retrospektif, yang cenderung dipusatkan pada masalah-masalah dan kendala-kendala yang terjadi selama implementasi
kebijakan dan program. Evaluasi retrospektif lebih menggantungkan pada deskripsi ex post facto tentang kegiatan aktivitas program yang sedang
berjalan, yang selanjutnya berhubungan dengan keluaran dan dampak. 3. Analisis kebijakan yang terintegrasi. Analisis kebijakan yang terintegrasi
merupakan bentuk analisis yang mengkombinasikan gaya operasi para praktisi yang menaruh perhatian pada penciptaan dan transformasi
informasi sebelum dan sesudah tindakan kebijakan diambil. 1.5.3.6
Model Evaluasi Kebijakan
Menurut Wayne Parsons 2008:549-552, ada dua macam model evaluasi kebijakan yang digunakan yaitu :
1. Evaluasi Formatif Evaluasi formatif adalah evaluasi yang dilakukan ketika kebijakan atau
program yang sedang diimplementasikan merupakan analisis tentang “seberapa jauh sebuah program diimplementasikan dan apa kondisi yang
bisa meningkatkan keberhasilan implementasi”. Pada fase implementasi memerlukan evaluasi “formatif” yang akan memonitor cara dimana sebuah
program dikelola atau diatur untuk menghasilkan umpan balik yang bisa berfungsi untuk meningkatkan proses implementasi.
Rossi dan Freeman dalam buku Parsons mendeskripsikan model evaluasi ini sebagai evaluasi pada tiga persoalan :
a. Sejauh mana sebuah program mencapai target populasi yang tepat
b. Apakah penyampaian pelayanannya konsisten dengan spesifikasi desain
program atau tidak. c.
Sumber daya apa yang dikeluarkan dalam melakukan program 2. Evaluasi Sumatif
Evaluasi sumatif adalah evaluasi yang dilakukan untuk mengukur bagaimana kebijakan atau program secara aktual berdampak pada problem
yang ditanganinya. Model evaluasi ini pada dasarnya adalah model penelitian komparatif yang mengukur beberapa persoalan yaitu :
a. Membandingkan sebelum dan sesudah program diimplementasikan
b. Membandingkan dampak intervensi terhadap satu kelompok dengan
kelompok lain atau antara satu kelompok yang menjadi subjek intervensi dan kelompok lain yang tidak kelompok kontrol
c. Menbandingkan apa yang terjadi dengan apa yang mungkin terjadi
tenpa intervensi d.
Atau membandingkan bagaimana bagian-bagian yang berbeda dalam satu wilayah mengalami dampak yang berbeda-beda akibat dari
kebijakan yang sama.
1.5.3.7 Kriteria Evaluasi Kebijakan
Evaluasi kebijakan publik, dalam tahapan pelaksanaannya menggunakan pengembangan beberapa indikator untuk menghindari timbulnya
bias serta sebagai pedoman ataupun arahan bagi evaluator. Kriteria-kriteria
yang ditetapkan menjadi tolak ukur dalam menentukan berhasil atau tidaknya suatu kebijakan publik. Nugroho 2009 : 536 menjelaskan bahwasannya
evaluasi memberi informasi yang valid dan dapat dipercaya mengenai kinerja kebijakan, yaitu seberapa jauh kebutuhan, nilai, dan kesempatan telah dapat
dicapai melalui tindakan publik.William N. Dunn 2003 : 429-438 mengemukakan beberapa kriteria rekomendasi kebijakan yang sama dengan
kriteria evaluasi kebijakan, kriteria rekomendasi kebijakan sebagai berikut :
Tabel 1.2 : Kriteria Evaluasi Kebijakan Tipe Kriteria
Pertanyaan Ilustrasi
Efektifitas Apakah hasil yang diinginkan telah
dicapai? Unit pelayanan
Efisiensi Seberapa banyak usaha yang
diperluka untuk mencapai hasil yang diinginkan?
Unit biaya Manfaat bersih
Rasio biaya-manfaat
Kecukupan Seberapa jauh pencapaian hasil yang
diinginkan memecahkan masalah? Biaya tetap
masalah tipe I Efektivitas tetap
masalah tipe II
Perataan Apakah biaya dan manfaat
didistribusikan dengan merata kepada kelompok-kelompok yang
berbeda? Kriteria Pareto
Kriteria kaldor- Hicks
Kriteria Rawls
Responsivitas Apakah hasil kebijakan memuaskan
kebutuhan, preferensi atau nilai kelompok-kelompok tertentu?
Konsistensi dengan survai warga negara
Ketepatan Apakah hasil tujuan yang
diinginkan benar-benar berguna atau bernilai?
Program publik harus merata dan
efisiensi
Sumber : William N. Dunn, 2003, Pengantar Ana
Kriteria-kriteria diatas merupakan tolak ukur atau indikator dari evaluasi kebijakan publik. Karena penelitian ini menggunakan metode
kualitatif maka pembahasan dalam penelitian ini berhubungan dengan pertanyaan yang dirumuskan olleh William N.Dunn untuk setiap kriterianya.
Untuk lebih jelasnya setiap indikator tersebut akan dijelaskan sebagai berikut.
1 Efektivitas
Efektivitas berasal dari kata efektif yang mengandung pengertian dicapainya keberhasilan dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Efektivitas disebut juga hasil guna. Efektivitas selalu terkait dengan hubungan antara hasil yang diharapkan dengan hasil yang sesungguhnya dicapai. Apabila
pencapaian tujuan-tujuan organisasi semakin besar dari pada organisasi, maka makin besar pula hasil yang akan dicapai dari tujuan-tujuan tersebut.
Willian N. Dunn dalam bukunya yang berjudul pengantar Analisis Kebijakan Publik : Edisi Kedua, menyatakan bahwa :
“Efektivitas effectiveness berkenaan dengan apakah suatu alternatif mencapai hasil akibat yang diharapkan,atau mencapai tujuan dari
diadakannya tindakan. Yang secara dekat berhubungan dengan rasionalitas teknis, selalu diukur dari unit produk atau layanan atau nilai moneternya”
Dunn,2003 :429.
Apabila setelah pelaksanaan kegiatan kebijakan publik ternyata
dampaknya tidak mampu memecahkan permasalahan yang tengah dihadapi masyarakat, maka dapat dikatakan bahwa suatu kegiatan kebijakan tersebut
telah gagal, tetapi adakalanya suatu kebijakan publik hasilnya tidak langsung efektif dalam jangka pendek, akan tetapi setelah melalui proses tertentu.
Menurut pendapat Cambell yang dikutip oleh Richard M. Steers dalam bukunya Efektivitas Organisasi menyebutkan beberapa ukuran dari pada
efektivitas, yaitu : 1. Kualitas artinya kualitas yang dihasilkan oleh organisasi;
2. Produktivitas artinya kuantitas dari jasa yang dihasilkan; 3. Kesiagaan yaitu penilaian menyeluruh sehubungan dengan kemungkinan;
dalam hal penyelesaian suatu tugas khusus dengan baik; 4. Efisiensi merupakan perbandingan beberapa aspek prestasi terhadap biaya
untuk menghasilkan prestasi tersebut; 5. Penghasilan yaitu jumlah sumber daya yang masih tersisa setelah semua
biaya dan kewajiban dipenuhi; 6. pertumbuhan adalah suatu perbandingan mengenai eksistensi sekarang dan
masa lalunya; 7. Stabilitas yaitu pemeliharaan struktur, fungsi dan sumber daya sepanjang
waktu; 8. Kecelakaan yaitu frekuensi dalam hal perbaikan yang berakibat pada
kerugian waktu; 9. Semangat kerja yaitu adanya perasaan terikat dalam hal pencapaian tjuan,
yaitu melibatkan usaha tambahan, kebersamaan tujuan dan perasaan memiliki;
10. Motivasi artinya adanya kekuatan yang muncul dari setiap individu untuk mencapai tujuan;
11. Kepaduan yaitu fakta bahwa para anggota organisasi saling menyukai satu sama lain, artinya bekerja sama dengan baik, berkomunikasi dan
mengkoordinasikan; 12. Keluwesan adaptasi artinya adanya suatu rangsangan baru untuk
mengubah prosedur standar operasinya, yang bertujuan untuk mencegah keterbekuan terhadap rangsangan lingkungan; Dalam Steers,1985:46-48
Sehubungan dengan hal-hal yang dikemukakan diatas, maka ukuran efektivitas merupakan suatu standar akan terpenuhinya mengenai sasaran dan
tujuan yanag akan dicapai.
2 Efisiensi
Jika bicara mengenai efisiensi maka kita akan membayangkan hal penggunaan sumber daya resources secara optimum untuk mencapai suatu
tujuan tertentu. Maksudnya adalah efisiensi akan terjadi jika penggunaan sumber daya diberdayakan secara optimum sehingga suatu tujuan akan
tercapai. William N. Dunn berpendapat bahwa :
“Efisiensi efficiency berkenaan dengan jumlah usaha yang diperlukan untuk menghasilkan tingkat efektivitas tertentu. Efisiensi yang merupakan
sinonim dari rasionalitas ekonomi,adalah merupakan hubungan antara efektivitas dan usaha, yang terkahir umunya diukur dari ongkos moneter.
Efisieni biasanya ditentukan melalui perhitungan biaya per unit produk atau layanan. Kebijakan yang mencapai efektivitas tertinggi dengan biaya
terkecil dinamakan efisiensi.” Dunn,2003:430
Apabila sasaran yang ingin dicapai oleh suatu kebijakan publik ternyata sangat sederhana sedangkan biaya yang dikeluarkan melalui proses kebijakan
terlampau besar dibandingkan dengan hasil yang dicapai. Ini berarti kegiatan telah melakukan pemborosan dan tidak layak untuk dilaksanakan.
3 Kecukupan
Kecukupan dalam kebijakan publik dapat dikatakan tujuan yang telah dicapai sudah dirasakan mencukupi dalam berbagai hal. William N. Dunn
mengemukakan bahwa kecukupan adequacy berkenaan dengan seberapa jauh suatu tingkat efektivitas memuaskan kebutuhan, nilai, atau kesempatan yang
menumbuhkan adanya masalah Dunn,2003 :430 Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa kecukupan masih
berhubungan dengan efektivitas dengan mengukur atau memprediksi seberapa jauh alternatif yang ada dapat memuaskan kebutuhan, nilai atau kesempatan
dalam menyelesaikan masalah yang terjadi. Hal ini, dalam kriteria kecukupan menekankan pada kautnya hubungan antara alternatif kebijakan dan hasil yang
diharapkan.
4 Perataan
Perataan dalam kebijakan publik dapat dikatakan mempunyai arti dengan keadilan yang diberikan dan diperoleh sasaran kebijakan publik.
Willian N.Dunn menyatakan bahwa kriteria kesamaan equity erat berhubungan dengan rasionalitas legal dan sosial dan menunjuk pada distribusi
akibat dan usaha antara kelompok-kelompok yang berbeda dalam masyarakat Dunn, 2003:434.
Kebijakan yang berorientasi pada perataan adalah kebijakan yang akibatnya atau usaha secara adil didistribusikan. Suatu program tertentu
mungkin dapat efektif,efisiensi, dan mencukupi apabila biaya-manfaat merata. Kunci dari perataan yaitu keadilan atau kewajaran.
5 Responsivitas
Responsivitas dalam kebijakan publik dapat diartikan sebagai tanggapan sasaran kebijakan publik atas penerapan suatu kebijakan. Menurut
William N.Dunn, responsivitas responsiveness berkenaan dengan seberapa jauh suatu kebijakan dapat memuaskan kebutuhan, preferensi, atau nilai
kelompok-kelompok masyarakat tertentu Dunn, 2003:437. Suatu
keberhasilan kebijakan dapat dilihat melalui tanggapan masyarakat yang menanggapi pelaksanaan setelah terlebih dahulu memprediksi pengaruh yang
akan terjadi jika suatu kebijakan akan dilaksanakan, juga tanggapan masyarakat setelah dampak kebijakan sudah mulai dapat dirasakan dalam
bentuk positif berupa dukungan ataupun wujud yang negatif berupa penolakan. Dunn pun mengemukakan bahwa:
“Kriteria responsivitas adalah penting karena analisis yang dapat memuaskan semua kriteria lainnya
efektivitas,efisiensi,kecukupan,kesamaan masih gagal jika belum menanggapi kebutuhan aktual dari kelompok yang semestinya diuntungkan
dari adanya suatu kebijakan”Dunn,2003:437
Oleh karena itu, kriteria responsivitas cerminan nyata kebutuhan, preferensi,
dan nilai dari kelompok-kelompok tertentu terhadap kriteria efektivitas,efisiensi,kecukupan, dan kesamaan.
6 Ketepatan
Ketepatan merujuk pada nilai atau harga dari tujuan program dan pada kuatnya asumsi yang melandasi tujuan-tujuab tersebut. William N.Dunn
menyatakan bahwa kelayakan Appropriateness adalah: “Kriteria yang dipakai untuk menseleksi sejumlah alternatif untuk dijadikan
rekomendasi dengan menilai apakah hasil dari alternatif yang direkomendasikan tersebut merupakan pilihan tujuan yang layak. Kriteria
kelayakan dihubungkan dengan rasionalitas substantif, karena kriteria ini menyangkut substansi tujuan bukan cara atau instrumen untuk
merealisasikan tujuan tersebut”. Dunn, 2003:499
Artinya ketepatan dapat diisi oleh indikator keberhasilan kebijakan lainnya bila ada. Misalnya dampak lain yang tidak mampu diprediksi sebelumnya
baik dampak tak terduga secara positif maupun negatif atau dimungkinkan alternatif lain yang dirasakan lebih baik dari suatu pelaksanaan kebijakan
sehingga kebijakan bisa lebih dapat bergerak secara lebih dinamis.
1.5.3.8 Metode Evaluasi
Menurut Finsterbusch dan Motz dalam Subarsono 2005:128, untuk melakukan evaluasi terhadap program yang telah diimplementasikan, ada
beberapa metode evaluasi yang dapat dipilih yakni : 1.
Single program after-only, yaitu informasi diperoleh berdasarkan keadaan kelompok sasaran sesudah program dijalankan
2. Single program befora-after, yaitu informasi yang diperoleh berdasarkan
perubahan keadaan sasaran sebelum dan sesudah program dijalankan. 3.
Comparative after-only, yairu informasi yang diperoleh berdasarkan keadaan sasaran dan bukan sasaran program dijalankan.
4. Comparative before-after, yaitu informasi yang diperoleh berdasarkan efek
program terhadap kelompok sasaran sebelum dan sesudah program dijalankan.
Tabel 1.3 : Metodologi untuk Evaluasi Program
Jenis Evaluasi Pengukuran kondisi
kelompok sasaran Kelompok
Kontrol Informasi yang
diperoleh Sebelum
Sesudah Single Program After-Only
Tidak Ya
Tidak Ada Keadaan
Kelompok sasaran Single Program Before-After
Ya Ya
Tidak Ada Perubahan
Kelompok sasaran Comparative After-Only
Tidak Ya
Ada Keadaan kelompok
sasaran dan kelompok kontrol
Comparative Before-After Ya
Ya Ada
Efek program terhadap kelompok
sasaran dan kelompok kontrol
Sumber : Subarsono 2005:130
1.5.3.9 Evaluasi Dampak
Sebelumnya telah disebutkan bahwa evaluasi kebijakan adalah suatu untuk menentukan dampak dari kebijakan pada kondisi-kondisi kehidupan
nyata. Dampak adalah perubahan kondisi fisik maupun sosial sebagai akibat dari Output kebijakan. Akibat dari Output kebijakan ada dua macam yakni :
1. Akibat yang dihasilkan oleh suatu intervensi program pada kelompok
sasaran baik akibat yang diharapkan atau tidak diharapkan dan akibat tersebut mampu menimbulkan pola perilaku baru pada kelompok sasaran
impact.
2. Akibat yang dihasilkan oleh suatu intervensi program pada kelompok
sasaran, baik yang sesuai dengan yang diharapkan atau tidak dan akibat tersebut tidak mampu menimbulkan perilaku baru pada kelompok sasaran
effects. Evaluasi dampak merupakan usaha menentukan dampak atas
implementasi kebijakan yang dilakukan oleh pelaksana kebijakan pada keadaan-keadaan atau kelompok-kelompok di luar sasaran atau tujuan
kebijakan. Menurut Lester dan Stewart dalam Winarno 2002:170-171,
setidaknya ada tigal hal yang dapat dilakukan oleh seseorang evaluator didalam melakukan evaluasi kebijakan publik, yaitu: pertama, evaluasi kebijakan
mungkin menjelaskan keluaran-keluaran kebijakan, misalnya pekerjaan, uang, materi yang diproduksi, dan pelayanan yang disediakan. Keluaran ini
merupakan hasil yang nyata dari adanya kebijakan, namun tidak memberi makna sama sekali bagi seorang evaluator.
Kedua, evaluasi kebijakan barangkali mengenai kemampuan kebijakan dalam memperbaiki masalah-masalah sosial, misalnya usaha untuk mengurangi
kemacetan lalu lintas atau tingkat kriminallitas. Dan ketiga, evaluasi kebijakan barangkali menyangkut konsekuensi-konsekuensi kebijakan dalam bentuk
policy feedback, termasuk didalamnya adalah reaksi dari tindakan-tindakan pemerintah atau pernyataan dalam sistem pembuatan kebijakan atau dalam
beberapa pembuat keputusan.
Pada sisi yang lain, Thomas R. Dye dalam Winarno 2002: 171-173 menyatakan dampak dari suatu kebijakan mempunyai beberapa dimensi dan
semuanya harus diperhitungkan dalam membicarakan evaluasi. 1.
Dampak kebijakan pada masalah-masalah publik dan dampak kebijakan pada orang-orang yang terlibat.
2. Kebijakan-kebijakan mungkin mempunyai dampak pada keadaan-keadaan
atau kelompok-kelompok diluar sasaran atau tujuan kebijakan. 3.
Kebijakan mungkin akan mempunyai dampak pada keadaan-keadaan sekarang dan keadaan dimasa yang akan datang.
4. Evaluasi juga menyangkut unsur yang lain, yakni biaya langsung yang
dikeluarkan untuk membiayai program-program kebijakan publik. 5.
Dimensi yang terakhir dari evaluasi kebijakan adalah menyangkut biaya- biaya tidak langsung yang ditanggung oleh masyarakat atau beberapa
anggota masyarakat akibat adanya kebijakan publik. Sekalipun dampak yang sebenarnya dari suatu kebijakan mungkin sangat jauh
dari yang diharapakan atau diinginkan, tetapi kebijakan tersebut pada dasarnya mempunyai konsekuensi-konsekuensi yang penting bagi masyarakat.
1.5.3.10 Model Evaluasi Yang Digunakan Peneliti
Didalam penelitian ini, peneliti akan melakukan evaluasi dampak dengan menggunakan model Single Program After-Only. Peneliti hendak
melihat perubahan keadaan kelompok sasaran sesudah Peraturan pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 diimplementasikan.
1.5.4 Pajak Penghasilan
Pajak Penghasilan dalam Resmi 2013:74 adalah pajak yang dikenakan terhadap orang pribadi atau badan yang berkenaan atas penghasilan yang diterima
atau diperoleh selama satu tahun pajak.Pajak penghasilan merupakan jenis pajak subjektif yang kewajiban pajaknya melekat pada subjek pajak yang bersangkutan,
artinya kewajiban pajak tersebut dimaksudkan untuk tidak dilimpahkan kepada subjek pajak lainnya. Oleh karena itu, dalam rangka memberikan kepastian
hukum, penentuan saat mulai dan berakhirnya kewajiban pajak subjektif menjadi penting. Adapun beberapa jenis pajak penghasilan yaitu Pajak Penghasilan Pasal
21, pasal 22, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25, pasal 26, Pasal 28, Pasal 29 dan Pasal 4 Ayat 2.
1.5.4.1 Subjek Pajak Penghasilan
Subjek pajak penghasilan adalah segala sesuatu yang mempunyai potensi untuk memperoleh penghasilan dan menjadi sasaran untuk dikenakan
pajak penghasilan. Subjek pajak akan dikenakan pajak penghasilan apabila menerima atau memperoleh penghasilan sesuai dengan peraturan perundangan
yang berlaku. Jika subjek pajak telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif maka disebut sebagai wajib pajak.
Berdasarkan Pasal 2 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, Adapun yang menjadi subjek pajak meliputi :
1. Subjek Pajak Orang Pribadi, orang pribadi sebagai subjek pajak dapat
bertempat tinggal atau berada di Indonesia ataupun di luar Indonesia. 2.
Subjek Pajak Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak. Warisan yang belum terbagi sebagai satu
kesatuan merupakan subjek pajak pengganti, menggantikan mereka yang berhak yaitu ahli waris.Penunjukan warisan yang belum terbagi sebagai
subjek pajak penggantik dimaksudkan agar pengenaan pajak atas penghasilan yang berasal dari warisan tersebut tetap dapat dilaksanakan.
3. Subjek Pajak Badan. Badan adalah sekumpulan orang danatau modal
yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer,
perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau nadan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma,kongsi, koperasi,
dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk
badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap. 4.
Subjek Pajak Bentuk Usaha Tetap BUT. Bentuk Usaha Tetap adalah yang dipergnakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di
Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan badana yang tidak didirikan dan tidak
bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa :
1. Tempat kedudkan manajemen,
2. Cabang perusahaan
3. Kantor perwakilan
4. Gedung kantor
5. Pabrik
6. Bengkel
7. Gudang
8. Ruang untuk promosi dan penjulan
9. Pertambangan dan penggalian sumber alam
10. Wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi
11. Perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan
12. Proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan.
13. Komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki,
disewa atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan kegiatan usaha melalui internet.
1.5.4.2 Objek Pajak PenghasilanDan Bukan Objek Pajak Penghasilan
Objek pajak adalah segala sesuatu barang, jasa, kegiatan,atau keadaan yang dikenakan pajak.Objek apajak penghasilan adalah penghasilan, yaitu
setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak WP, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang
dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan dengan nama dan dalam bentuk apapun Resmi,2013:80.
Dilihat dari mengalirnya tambahan kemampuan ekonomis kepada Wajib Pajak, penghasilan dapat dikelompokan menjadi :
1. Penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas
seperti gaji, honorarium, penghasilan dari praktik dokter, notaris, aktuaris, akuntan, pengacara, dan sebagainya.
2. Penghasilan dari usaha dan kegiatan
3. Penghasilan dari modal, yang berupa harta gerak ataupun harta tak gerak,
seperti bunga, dividen, royalti, sewa, dan keuntungan penjualan harta atau hak yang tidak dipergunakan untuk usaha; dan
4. Penghasilan lain-lain, seperti pembebasan utang dan hadiah.
Berdasarkan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, Penghasilan yang termasuk objek pajak adalah :
1 Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang
diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bisnis, gratifikasi, uang pensiun atau imbalan dalam bentuk
lainnya kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan 2
Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan dan penghargaan 3
Laba usaha 4
Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk : a.
Keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal
b. Keuntungan yang diperoleh perseroan,persekutuan, dan badan lainnya
karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota
c. Keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran,
pemecahan, atau penggambilalihan usaha d.
Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam
garis keturunan lurus satu derajat, dan badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi
yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan
antara pihak-pihak yang bersangkutan e.
Keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau
permodalan dalam perusahaan pertambangan. 5
Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya
6 Bungan termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan
pengambilan utang 7
Ddividen dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis dan pembagian sisa hasil
usaha koperasi 8
Royalti atau imbalan atas penggunaan hak 9
Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta 10
Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala 11
Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah
12 Keuntungan karena selisih kurs mata uang asing
13 Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva
14 Premi asuransi
15 Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang
terrdiri dari wajib pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas
16 Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum
dikenakan pajak 17
Penghasilan dari usaha berbasis syariah 18
Imbalan bunga 19
Surplus Bank Indonesia Berdasarkan Pasal 4 Ayat 3 Undang –Undang Nomor 36 Tahun 2008,
terhadapa penghasilan tertentu yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, dikecualikan dari pengenaan Pajak Penghasilan bukan merupakan Objek
Pajak. Penghasilan yang tidak termasuk objek pajak menurut ketentuan tersebut adalah :
1 Bantuan atau sumbangan termasuk zakat yang diterima oleh badan amil
zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan para penerima zakat yang berhak atau sumbangan
keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia
Harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan oleh badan keagamaan atau badan pendidikan atau
badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil yang ketentuannya diatur dengan
atau berdasarkan Peraturan Menteri keuangan, Sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau
pengusaha antara pihak-pihak yang bersangkutan 2
Warisan
3 Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh Badan sebagai pengganti
saham atau sebagai pengganti penyertaan modal 4
Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan atau kenikmatan dari
Wajib Pajak atau Pemerintah, kecuali yang diberikan oleh bukan Wajib Pajak, wajib Pajak yang dikenakan pajak secara final atau Wajib Pajak
yang menggunakan norma penghitungan khusus deemed profit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 UU PPh.
5 Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan
dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna dan asuransi beasiswa.
6 Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas
sebagai WP Dalam negeri,Koperasi,BUMN atau BUMD dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di
Indonesia dengan syarat : a.
Dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan b.
Bagi perseroan terbatas, BUMN dan BUMD yang menerima deviden. Kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling
rendah 25 dari jumlah modal yang disetor 7
Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja
maupun pegawai 8
Penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun dalam bidang- bidang tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan
9 Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan
komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma dan kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan
kontrak investasi kolektif 10
Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirkan dan
menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia dengan syarat badan pasangan usaha tersebut
a. Merupakan perusahaan mikro, kecil, menengah, atau yang
menjalankan kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan
b. Sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia
11 Beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur
lebih kanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri keuangan, yaitu : a.
Diterima atau diperoleh Warga Negara Indonesia dari Wajib Pajak pemberi beasiswa dalam rangka mengikuti pendidikan
formalnonformal yang terstruktur baik di dalam negeri maupun luar negeri.
b. Tidak mempunyai hubungan istimewa dengan pemilik, komisaris,
direksi, atau pengurus dari wajib pajak pemberi besiswa c.
Komponen beasiswa terdiri dari biaya pendidikan yang dibayarkan ke sekolah, biaya ujian, biaya penelitian yang berkaitan dengan bidang
studi yang diambil, biaya untuk pembelian buku, dan atau biaya hidup yang wajar sesuai dengan daerah lokasi tempat belajar.
12 Sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang
bergerak dalam bidang pendidikan danatau penelitian dan pengembangan, yang telah terdaftar pada instansi yang membidanginya, yang ditanamkan
kembali dalam bentuk sarana dan prasarana kegiatan bidang pendidikan danatau penelitian dan pengembangan, dalam jangka waktu paling lama 4
tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut 13
Bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial kepada Wajib Pajak tertentu, yang ketentuannya diatur
lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
1.5.4.3 Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013
Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang pajak penghasilan atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh wajib pajak yang
memiliki peredaran bruto tertentu telah terlaksana secara efektif pada tanggal 1 Juli 2013.
Adapun maksud dari pemberlakuan Peraturan pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 ini adalah :
1. kemudahan dan penyederhanaan aturan perpajakan 2. mengedukasi masyarakat untuk tertib administrasi
3. Mengedukasi masyarakat untuk transparansi 4. Memberikan kesempatan masyarakat untuk kontribusi dalam
penyelenggaraan negara. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 ini diterbitkan bertujuan
untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat dalam melaksanakan kewajiban perpajakan, meningkatnya pengetahuan tentang manfaat perpajakan
bagi masyarakat, menciptakan kontrol sosial dalam memenuhi kewajiban perpajakan. Dengan adanya peraturan pemerintah ini diharapkan penerimaan
pajak meningkat sehingga kesempatan untuk mensejahterakan masyarakat. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 pada pasal 2
ayat 2 yang dikatakan sebagai wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu yang dikenakan pajak penghasilan final adalah wajib pajak yang
memenuhi kriteria sebagai berikut : 1. Wajib Pajak orang pribadi atauWajib Pajak badan tidak termasuk bentuk
usaha tetap; dan 2. Menerima penghasilan dari usaha,tidak termasuk penghasilan dari jasa
sehubungan dengan pekerjaanbebas, dengan peredaran brutotidak melebihi Rp4.800.000.000,00 empatmiliar delapan ratus juta rupiahdalam 1 satu
Tahun Pajak. Meskipun secara tidak langsung dinyatakan dalam peraturan
pemerintah ini, sulit dipungkiri bahwa yang menjadi target pemajakan dalam ketentuan perpajakan baru ini adalah Usaha Mikro Kecil dan Menengah
UMKM. Yang tidak termasuk dalam pengertian wajib pajak orang pribadiyang
dikenakan dengan Peraturan Pemerintah ini adalah : 1. Menggunakan sarana atauprasarana yang dapat dibongkarpasang, baik
yangmenetap maupun tidak menetap;dan 2. Menggunakan sebagian atauseluruh tempat untuk kepentinganumum yang
tidak diperuntukkanbagi tempat usaha atau berjualan.
Untuk wajib pajak badan yang tidak termasuk dalam Peraturan Pemerintah ini adalah :
1. Wajib Pajak badan yang belumberoperasi secara komersial; atau 2. Wajib Pajak badan yang dalamjangka waktu 1 satu tahun
setelahberoperasi secara komersialmemperoleh peredaran bruto melebihi Rp4.800.000.000,00empat miliar delapan ratus jutarupiah.
Berdasarkan peraturan pemerintah ini wajib pajak yang termasuk dalam kategori dikenakan pajak dengan tarif sebesar 1 dan bersifat final. Dasar
Pengenaan pajak yang digunakan untuk menghitung pajaknya adalah peredaran bruto setiap bulan.
Dikecualikan dari pengenaan Pajak Penghasilan final berdasarkan ketentuan ini adalah penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas
yang diperoleh : 1. Tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara,
akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai dan aktuaris. 2. Pemain musik, pembawa acara, penyanyi,pelawak,bintang film, bintang
sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawati, pemain drama, dan penari.
3. Olahragawan 4. Penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh dan moderator
5. Pengarang, peneliti dan penerjemah 6. Agen iklan
7. Pengawas atau pengelola proyek 8. Perantara
1.5.4.4 Pajak Penghasilan PPh Pasal 4 ayat 2
Pajak penghasilan adalah pajak yang dikenakan terhadap subjek pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam suatu tahun pajak. Siti
Resmi,2014:74.
Subjek pajak dari pajak penghasilan adalah segala sesuatu mempunyai potensi untuk memperoleh penghasilan dan menjadi sasaran untuk dikenakan
pajak penghasilan. Undang-Undang Pajak Penghasilan di Indonesia mengatur pengenaan pajak penghasilan terhadap subjek pajak berkenaan dengan
penghasilan yang diterima atau diperolehnya. Ada beberapa jenis Pajak Penghasilan salah satunya adalah Pajak
Penghasillan PPh Pasal 4 ayat 2. Berdasarkan Undang-Undang Pajak Penghasilan Nomor 36 Tahun 2008 menjelaskan bahwa PPh 4 ayat 2 adalah
salah satu jenis pajak yang bersifat final yang artinya pajak yang telah dipotong tidak dapat dikreditkan. Adapun beberpa jenis penghasilan yang menjadi objek
PPh pasal 4 ayat 2 sebagai berikut : 1. Penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya,bunga obligasi
dan surat utang negara, dan bunga simpanan dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi.
2. Penghasilan berupa hadiah undian 3. Penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif
yang diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau penagihan penyertaan modal pada perusahaan pasangannya yang diterima
oleh perusahaan modal ventura.
4. Penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah danatau bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah
danatau bangunan 5. Penghasilan tertentu laiinya yang diatur dalam Peraturan Pemerintah,
Keputusan Menteri Keuangan, dan peraturan perundang-undangan perpajakan lainnya.
Tabel 1.4 . Objek PPh Pasal 4 Aayat 2 dan Tarif NO
OBJEK PAJAK PPh Pasal 4 ayat 2
Tarif Dasar Perhitungan
1 Diskonto Surat Perbendaharaan
Negara PP No.272008 20
Diskonto SPN
2 Pengalihan Hak atas Tanah danatau
Bangunan PP No.481994 stdtd PP No.712008
a. Wajib pajak yang melakukan transaksi pengalihan hak atas tanah
danatau
b. Wajib pajak orang pribadi yang mengalihkan hak atas tanah danatau
bangunan yang jumlah bruto nilai pengalihannya kurang dari Rp 60 jt
namun penghasilan lainnya dalam 1 tahun melebihi PTKP
c. penghasilan hak atas rumah sederhana dan rumah susun yang
dilakukan oleh wajib pajak yang usaha pokoknya melakukan
pengalihan hak atas tanah danatau bangunan.
5
5
1 Jumlah bruto nilai
pengalihan nilai yang tertinggi antara
nilai berdasarkan Akta Pengalihan Hak
dengan Nilai Jual Objek Pajak
3 Persewaan Tanah danatau Bangunan
PP No.291996 stdtd PP No.52002 10
Jumlah bruto
4 Bunga Deposito dan Tabungan serta
Diskonto SBI PP No.1312000 20
Jumlah Bruto Bunga
5 Hadiah Undian PP No.1322000
25 Jumlah Bruto Hadiah
Undian 6
Transaksi saham di Bursa Efek PP No.411994 stdtd PP No.141997
a. Bukan saham pendiri b. Saham pendiri
0,1 0,1 x Nilai
transaksi 0,1 x Nilai
Transaksi + 0,5 x Nilai Saham pasar
saat penawaran Umum Perdana
7 Penghasilan perusahaan Modal
Ventura dari Transaksi Penjualan saham atau Pengalihan Penyertaan
Modal Pada Perusahaan Pasangan Usahanya PP No.41995
0,10 Jumlah Bruto Nilai
transaksi PenjualanPengalihan
Penyertaan Modal
8 Jasa Konstruksi PP No.512008
stdtd PP No.402009
a. jasa pelaksanaan kontruksi yang dilakukan oleh penyedia jasa yang
memiliki kualifikasi usaha kecil
b. Jasa pelaksanaan kontruksi yang dilakukan oleh penyedia jasa yang
tidak memiliki kualifikasi usaha
c. jasa pelaksanaan kontruksi yang dilakukan oleh penyedia jasa selain
pada huruf a dan b yang memiliki kualifikasi menengah dan besar
d. Jasa perencanaan kontruksi atau pengawasan kontruksi yang
dilakukan oleh penyedia jasa yang memiliki kualifikasi usaha
e. Jasa perencanaan kontruksi atau pengawasan kontruksi yang
dilakukan oleh penyedia jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha
2
4
3
4
6 Penghasilan Bruto
Penghasilan Bruto
Penghasilan Bruto
Penghasilan Bruto
Penghasilan Bruto
9 Bunga simpanan yang dibayarkan
oleh koperasi kepada anggota koperasi pribadi PP No.152009
10 Jumlah Penghasilan
10 Bunga atau Diskonto Obligasi yang diperdagangkan dibursa efek PP
No.162009 15
Jumlah Bruto bunga sesuai dengan masa
kepemilikan 11 Penghasilan dari Transaksi derivatif
berupa kontrak berjangka yang diperdagangkan di bursa efek PP
No.172009 dicabut dengan PP No.312011
12 Dividen orang pribadi dalam negeri PP No.192009
10 Jumlah Penghasilan
Bruto 13 Penghasilan dari usaha dengan
peredaran bruto tertentu PP No.462013
1 Jumlah Peredaran
Bruto
Total Penerimaan Sumber : Program Tax Base Diakses 05 Maret 2015, Pukul 14.00 WIB
1.5.5 Usaha Mikro, Kecil, Dan Menengah UMKM
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 usaha mikro,kecil dan menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang
dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiiki, dikuasai, atau menjadi
bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah atau usaha besar yang memenuhi kriteria sebagai berikut:
1. Memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp 50.000.000 lima puluh juta rupiah sampai dengan paling banyak Rp 500.000.000 lima ratus juta rupiah tidak
termasuk tanah dan bangunan tempat usaha.
2. Memiliki hasil penjualan tahunan lebiih dari Rp 300.000.000 tiga ratus juta rupiah samapi dengan paling banyak Rp 2.500.000.000 dua milyar lima
ratus juta rupiah Adapun batasan-batasan mengenai usaha mikro,kecil dan menengah
berdasarkan beberapa organisasi yang berlaku : a. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008, menurut undang-undang ini
adalah sebagai berikut : 1. Usaha Mikro, adalah usaha produktif milik orang perorangan danatau
badan usaha perorangan yang memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp 50.000.000 lima puluh juta rupiah tidak termasuk tanah dan
bangunan tempat usaha atau memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp 300.000.000 tiga ratus juta rupiah.
2. Usaha Kecil, adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan
merupakan anak perusahaan atau bahkan cabang perusahaan yang dimilki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak
langsung dari usaha menengah atau usaha besar yang memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp 50.000.000 lima puluh juta rupiah
sampai dengan paling banyak Rp 500.000.000 lima ratus juta rupiah tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha atau memiliki hasil
penjualan tahunan lebih dari Rp 300.000.000 tiga ratus juta rupiah sampai dengan paling banyak Rp 2.500.000.000 dua milyar lima ratus
juta rupiah.
3. Usaha Menengah, adalah usaha ekonomi produk yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan
merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung
dengan usaha kecil atau usaha besar yang memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp 500.000.000 lima ratus juta rupiah sampai dengan paling
banyak Rp 10.000.000.000 sepuluh milyar rupiah tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha atau memiliki hasil penjualan
tahunanlebih dari Rp 2.500.000.000 dua milyar lima ratus juta rupian sampai dengan paling banyak Rp 50.000.000.000 lima puluh milyar
rupiah. b. Badan Pusat Statistik, batasan usaha mikro, kecil dan menengah adalah :
1. Usaha Mikro. Usaha yang memiliki pekerja kurang dari lima orang, termasuk tambahan anggota keluarga yang tidak dibayar.
2. Usaha Kecil. Usaha yang memiliki pekerja lima sampai 19 orang. 3. Usaha Menengah. Usaha yang memiliki pekerja 19 sampai 99 orang.
c. Bank Indonesia, batasan usaha mikro,kecil dan menengah adalah : 1. Usaha Mikro.SK.Direktur BI No.3124KepDER tanggal 5 Mei 1998
Usaha yang dijalankan oleh rakyat miskin atau mendekati miskin. Dimiliki oleh keluarga sumber daya lokal dan teknologi sederhana.
Lapangan usaha mudah untuk exit dan entry. 2. Usaha Kecil.Usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang
dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang
dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah atau usaha besar yang memiliki
kekayaan bersih lebih dari Rp 50.000.000 lima puluh juta rupiah sampai dengan yang paling banyak Rp 500.000.000 tidak termasuk
tanah dan bangunan tempat usaha atau memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp 300.000.000 sampai dengan paling banyak Rp
2.500.000.000. 3. Usaha Menengah. SK Dir.BI No.3045DirUk tgl 5 Jan 1997. Omset
tahunan kurang dari tiga milyar aset sama dengan lima milyar untuk sektor industri aset sama dengan enam ratus juta diluar tanah dan
bangunan untuk sektor non industri manufaktur.
1.6 Definisi Konsep
Konsep adalah istilah dan definisi yang digunakan untuk menggambarkan secara abstrak mengenai kejadian, keadaan, kelompok, atau individu yang
menjadi pusat perhatian ilmu sosial. Melalui konsep kemudian peneliti diharapkan dapat menyederhanakan pemikirannya dengan menggunakan satu istilah untuk
beberapa kejadian event yang berkaitan satu dengan yang lain. Singarimbun,
1997:33.
Untuk mendapatkan batasan-batasan yang lebih jelas agar penulis penulis dapat menyederhanakan pemikiran atas masalah yang sedang penulis teliti, maka
penulis menemukan beberapa konsep yang digunakan, antara lain : 1.
Evaluasi dampak merupakan usaha menentukan dampak atas implementasi kebijakan yang dilakukan oleh pelaksana kebijakan pada keadaan-keadaan
atau kelompok-kelompok diluar sasaran atau tujuan kebijakan.
2. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 Tentang pajak penghasilan
atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu. Adapun tujuan PP 46 Tahun 2013
tersebut yang tercantum pada SE-42PJ2013, adalah: a.
Memberikan kemudahan dan penyederhanaan aturan perpajakan b.
Mengedukasi masyarakat untuk tertib administrasi c.
Mengedukasi masyarakat untuk transparansi d.
Memberikan kesempatan masyarakat untuk berkontribusi dalam penyelenggaraan negara.
3. Usaha Mikro,Kecil dan Menengah adalah usaha ekonomi produktif yang
berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang buka merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang
dimiiki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah atau usaha besar
4. Pajak Penghasillan PPh Pasal 4 ayat 2 berdasarkan Undang-Undang Pajak
Penghasilan Nomor 36 Tahun 2008 menjelaskan bahwa PPh 4 ayat 2 adalah salah satu jenis pajak yang bersifat final yang artinya pajak yang telah
dipotong tidak dapat dikreditkan.
1.7 Definisi Operasional