Mas Hanung itu dulu selalu bilang, karna beliau guru saya beliau selalu bilang

T: Kenapa fi lm ini diberi judul “Cinta Tapi Beda”? Tolong dijelaskan filosofi dari judul film tersebut? J: Judul awalnya sebenarnya bukan Cinta Tapi Beda, tapi empat sisi. Filosofinya itu ada empat tokoh, tapi tokoh yang satu itu gak kuat, empat tokoh itu si Agni dengan Reza Nangin, terus si Choki, ada Ratu Felisa. Pada waktu itu tuh mereka porsinya sama, mereka banyak. Tapi pas di draft terakhir si Choki itu porsinya cuma di belakang, dan si Ratu Felisa porsinya cuma dua scene, nah disitu menurut kita empat sisi ini gak kuat filosofinya, jadi kita ganti yang to the point yaitu Cinta Tapi Beda, kenapa merah putih ya ini di Indonesia. T: Tema besar yang ingin diangkat selain tentang percintaan beda agama serta toleransi berbeda agama dalam film ini apa lagi? J: Kultur. Memang sengaja. Biar orang-orang tertentu itu tau bahwa kita ini kan hidup berbeda-beda dengan lima agama, bahkan enam yang satu itu dihapus Konghuchu, masuk pas zamannya Mega dulu dan terhapus saat terakhir- terakhir ini. Nah maksud aku itu ada keseimbangan disitu. Mau membicarakan kerukunan sih sebenarnya, toleransi. Nah kalau mau ngomongin garis besar cintanya ya bagaimana kondisi mereka mencintai, bahkan bukan agama tapi ya kultur antara Chines dan Jawa, itu saja belum tentu disetujui. Perjuangannya sama kayak beda agama lainnya, ketika Arab sama Jawa, itu kan etnis. Itu semua gak jauh beda, dan gak boleh sebenernya. Jadi biar mendobrak atau melihat bahwa kita itu berada di lingkungan ini, jadi kalau bersinggungan antara satu dengan yang lain itu udah wajar. T: Dalam hal pemilihan setting lokasi, kenapa mas memilih di Yogja dan di Padang? J: Kenapa saya memilih Yogja dan Padang itu sebenarnya dari true story, ini real dan saya pengen menghadirkan semuanya itu real, jadi gak ada batasan. Ya inilah Indonesia, punya banyak agama, kita punya banyak kultur, ketika itu bersinggungan belum tentu itu bisa jadi satu. T: Bagaimana proses pemilihan aktris atau aktor dalam pemeran film ini? Adakah kriteria-kriteria tertentu? J: Pasti ada kriterianya, jadi saya waktu itu pengen konsepnya itu sebagaimana mungkin saya bisa ngejar bahwa itu realistis. Karna realistis, jadi saya gak mencari pemain yang besar, karena kalau pemain besar udah ke cap disitu. Misalkan kayak Reza Rahardian atau Lukman Sardi, itu orang sudah melihat sosoknya dia, kalau disini itu mereka berangkat dari bukan siapa-siapa, ini orang biasa. Orang biasa yang kebetulan mereka beda agama, beda kultur dan ketika mereka di Jakarta mereka ketemu, kemudan mereka punya perasaan suka sama suka yang menjadi cinta. Nah ketika mereka mencintai selanjutnya mereka kan ingin berkeluarga dan punya anak, itu kan siklus kehidupan yang normal, nah ketika mereka ingin menjalankan itu kok hambatannya banyak banget ketika mereka beda. Nah maksud aku ini mereka berangkatnya dari bukan siapa-siapa. Kalau artis seperti Lukman Sardi itu orang-orang udah melihat ini kalangan artis, orang melihatnya bisa ada jarak, kalau disini enggak dari semua konsep gambar, konsep apapun, konsep pergerakan kamera itu semuanya aku bikin real, jadi gampang masuk ke penonton. T: Pandangan Mas tentang tokoh Cahyo dan Diana dalam film tersebut bagaimana? Orang tua Cahyo dan orang tua Diana, om dan tante Diana yang berhasil menjalani hidup berumah tangga dengan beda agama, serta teman dekat Cahyo David dan guru tari Diana mbak Dhian? J: Memang si tante sama omnya Diana itu, karakter mereka sengaja kita hadirkan. Bahwa ada juga yang beda agama dan mereka udah berkeluarga dan mereka fine aja. Mau ngomongin itu aja, dan itu juga banyak. Film saya itu film personal, jadi gak bisa dilihat dari sudut pandang siapapun sebenarnya. Tergantung personalnya sebenarnya, dia mau apa, dia mau pemahamannya seperti apa, itu film personal. Toh banyak juga yang memilih gak punya agama kalau mau jujur-jujuran. T: Dalam film tersebut ada kata- kata “Apa yang dipersatukan oleh Tuhan tidak dapa t dipisahkan oleh manusia” bisa dijelaskan maksud dan arti mendalam dari kata-kata tersebut? J: Itu dari salah satu ayat Al-Kitab. Kata-kata itu diucapkan oleh Cahyo ketika melamar Diana. Cahyo kan Muslim, tapi dia orang yang intelek. Ketika dia jadi chef dia belajar banyak, apa lagi punya pasangan. Maksudnya orang yang berfikiran terbuka ya terbuka aja dia bisa menerima semuanya tapi masalah keyakinan itu lain. Tapi dia bisa belajar apa aja. Nah itu karena si Cahyo udah gak punya senjata lagi, waktu itu kan sudah klimaksnya dan dia gak punya senjata lagi membuat ibunya berfikiran terbuka, disaat kalut dia harus mengeluarkan kata-kata itu. T: Pada ending film dibuat mengambang atau tidak diketahui ujungnya nanti bagaimana kisah mereka, bisa dijelaskan maksud dari ending seperti itu kenapa? J: Sengaja karena film kita itu film personal, jadi setiap orang itu punya jalan masing-masing. Entah nanti si Cahyo jadi mualaf, entah nanti mereka kawin beda agama, entah mereka bersatu atau enggak itu tuh kita open mind, ke semua penonton itu terserah penonton mau pilih jalan yang mana, karena udah banyak contoh ada yang nikah diluar terus dibawa ke Indonesia, ada yang pisah, jadi banyak kasus yang kita gak bisa ngasih ke penonton memaksa penonton untuk memilih salah satu itu. Karena dari awal bangunannya ya memang itu tidak bisa diwakili oleh personal siapapun. Ya disitu Cahyo ya Cahyo, si Diana ya Diana. Ketika nanti saya memilih mereka menikah terus bahagia, memang film Indonesia penonton ingin semua filmnya happy ending, tetap kita kasih happy ending tapi karena ini sebuah pemikiran yang penting dan film itu sarana komunikasi yang baik dan bagus bahkan sampai semuanya itu bikin film segala macam buat menyampaikan pesan. Nah takutnya saya nanti saya malah mendoktrin penonton kalau seperti itu. Saya gak mau itu. Jadi ya biarin, yang ngejalanin ya jalanin, kalo bingung ya mereka bisa konsultasi dengan orang-orang terdekatnya mana jalan yang terbaik, mereka punya jalanan hidupnya masing-masing kok. T: Seperti yang telah kita ketahui banyak pemberitaan-pemberitaan positif dan negative tentang film ini, bagaimana Mas menilai pemberitaan tentang film ini dikalangan Masyarakat? J: Kalau itu saya menyikapinya wajar. Ada yang pro dan kontra itu setiap persoalan setiap hal dan apapun itu wajar. Bahkan di lingkungan kantor saya ini juga ada yang suka bahkan gak suka sama saya nah itu hal wajar. Ketika mereka mengeluarkan statement mereka itu ya kita terima, asalkan dalam batas-batas tertentu. Kalau sampai mereka ke pengadilan ya udah ayo apa salahnya kalau begitu, maksudnya kita merasa dan menyugukan bahwa ini real kok. Ya memang ada yang menyinggung di dakwaannya ke saya, Mas Hanung dan Pak Ramm, bertiga itu. Pasalnya karna itu menanamkan kebencian, tapi menanamkan kebencian yang mana? Sampe saat waktu itu saya temui sendiri si Mbak Fahira itu, menanam kebencian yang mana segala macam, saya disuruh mana narasumbernya, ya narasumbernya itu secret gak bisa. Kalo ini sampai ke pengadilan, baru saya akan tunjukkan itu narasumbernya, kalo ini Cuma koar-koar aja ngapain nanti yang ada kamu malah akan mengintimidasi dia, keselamatannya tidak terjamin, malah kamu yang menanamkan kebencian aku bilang gitu. Sampe saya disuruh bikin pernyataan apa-apa segala macam ya saya gak mau orang saya gak salah. Sebenarnya dulu dilaporkan ke polda, sama polda gak diproses karna gak ada bukti, terus dilaporkan ke mabes, pindah lagi ke poltabes, ke poltabes kita ga pernah dipanggil sama sekali karna memang ya setelah melihat filmnya ya gak ada kesalahan, kalo ga ada kesalahan ya ngapain dipanggil. Memang orang cari-cari ya kepentingan politik atau apa orang cari panggung kan begitu. Kaya sekarang yang film Soekarno kan juga seperti itu. Akhirnya mereka nuntut polisi, kalo gak disidik berarti kamu akan saya tuntut, polisinya yang akan dituntut. Berarti kamu ada fair, ada apa sama si Hestu sama si Hanung sama pak Ramm gitu. Ya udah dari pada ribut akhirnya polisinya ngalah, akhirnya kita disidik. Disidiknya juga santai gak apa-apa. Gak taulah orang punya pemikiran berbeda-beda punya tendensi masing- masing. Mungkin kalo itu nama saya sendiri itu gak ada apa-apa, cuma karena ada nama Mas Hanung disitu. Memang pada awalnya gak mau ada nama Mas Hanung, tapi dari Multinya yang katanya biar rame, biar banyak yang nonton. Ya kita gak bisa maksa karena mereka yang punya uang. Ya menurut saya sih gak masalah tapi resikonya ya itu tadi. Pokoknya yang ada nama Mas Hanung ya gitu deh. Apa lagi kan ini masalah agama, gak main- main karena sensitive sekali. Narasumber, Hestu Saputra Sutradara Film Cinta Tapi Beda Hasil Wawancara Pribadi dengan Ustadz Achmad Mubarok, S.Hi Ustadz di Daerah Depok Hari rabu, tanggal 22 Juni 2013, pukul 17:00-17:30. Tempat, Depok T: Pengertian Cinta sendiri menurut pandangan islam atau pandangan Ustadz sendiri bagaimana? J: Kalau cinta itu ada beragam versi, kalau versinya Romeo dan Juliet itu kan seperti itu, versinya Siti Nurbaya seperti itu, saya fikir kalau dalam Islam itu cinta yang memang berdasarkan iman. Kata Nabi, orang akan merasakan lezatnya iman jika Allah dan Rasulnya lebih dicintai dari apapun, maka dia akan merasakan kelezatan iman. Cinta yang benar itu ya cinta yang bisa membawa keimanan. Kalau dilihat dalam film itu betul kata Bapaknya Cahyo, bahwa cinta itu lebih kepada hawa nafsu, dan dia sudah buta. Love is blind itu ya cinta membutakan mata hati. Makanya tidak akan mungkin orang bisa bersatu dengan berbeda agama dan dia bisa merasakan dan menjalankan agamanya masing-masing dengan baik, itu tidak mungkin kalau misalkan mengorbankan iman. Kan tadi itu, orang akan merasakan iman dengan baik, islam dengan baik dengan manis, itu kalau Allah dan Rasulnya sudah ia cintai lebih dari segalanya. Bukti cintanya pertama dengan menyebut, misalnya kalo ada wanita mencintai seorang lelaki pasti minimal dalam sehari menyebutlah dalam hati dan fikiran, kedua selalu diingat, ketiga apa yang diinginkan berusaha untuk dipenuhi. Sekarang kalau memaksakan kehendak dan mengatasnamakan cinta tapi justru melanggar cinta haqiqi yang milik Allah itu ya dia tidak akan bisa merasakan apa yang diinginkan walaupun beda tetapi bisa bersama. T: Pendapat Ustadz tentang film Cinta Tapi Beda itu seperti apa dari segi percintaannya saja? J: Kalo dari cerita bagus. Dari segi cerita film itu konfliknya ada, ceritanya juga, penggambaran dan sebagainya juga bagus, hanya namun endingnya saja yang tanda tanya. Kalau dari segi pemahaman memang ini adalah sebuah gambaran nyata ketika ada orang yang akan menikah berbeda agama itu di awalnya sudah ada konflik, itu sudah bermulakan dari awal. Walaupun ada gambaran orang yang menikah berbeda agama tetap awet, nah ini buktinya Jamal Mirdad dengan Lidya Kandau yang katanya rukun dan sebagainya tapi tetap saja berpisah juga. Pasti berbeda prinsip itu tidak akan bisa sejalan dan bisa menghasilkan suatu kebahagiaan, itu tidak mungkin. Kemudian selanjutnya disitu membicarakan tentang toleransi, toleransi itu memang sangat diajarkan dalam Islam. Nabi Muhammad mengajarkan bagaimana bertoleransi dengan orang-orang berbeda agama, bahkan dengan orang yang pernah menyakiti beliau sendiri beliau sangat bertoleransi. Tapi toleransi dalam hal aqidah itu tidak ada ruang karena jelas, Lakum Dinukum Waliyadin. Ceritanya kan ketika orang-orang kafir kepada Nabi ingin barter Tuhan, barter agama. Satu tahun Nabi Muhammad ikut menyembah berhala, tahun depan orang musrik ikut menyembah Allah, dalam rangka toleransi katanya. Tapi ditolak mentah- mentah dan tegas Allah katakan Qul Ya Ayyuhal Kafirun dan seterusnya Lakum Dinukum Waliyadin. Tetapi dalam hal sosial Nabi Muhammad itu sangat toleran. Orang Yahudi hidup bahagia, tenang, aman di Madinah. Bahkan orang-orang Yahudi juga banyak yang masuk Islam karena mereka merasakan sikap toleransi yang luar biasa dari Nabi Muhammad. Dalam film itu bicara toleransi tetapi dalam hal-hal yang sifatnya tidak lazim. Misalkan Cahyo mempersilahkan Diana beribadah menurut agama Katoliknya, itu toleransi karena kan ibadah menurut keyakinannya, begitupun sebaliknya. Tetapi ketika ada pemaksaan Cahyo untuk memakan daging babi itu sudah gak toleran sebenarnya. Dan ketika dia menyatukan cinta beda agama demi toleransi itu juga tidak dibenarkan. Dan memang Cahyo itu memberikan alasan Laa Ikroha Fiddin bahwa tidak ada paksaan dalam agama, itu bukan konteks pernikahan. Tapi konteks pergaulan keseharian umat Islam terhadap umat lain itulah toleransi kesana, kita tidak boleh memaksakan seseorang untuk masuk ke agama kita. Tetapi dalam konteks pernikahan dan perkawinan Laa Tankihul Musyrikati Hatta Yukmina, sudah jelas. Walaupun ada ayat lain yang mengatakan boleh bagi laki-laki muslim itu menikahi perempuan ahli kitab, tapi dalam konteks perkinian uhlul kitab itu dipertanyakan masih ada atau tidak. Sebenarnya ada banyak pesan dalam film ini, ada hal yang kontrofersi tetapi ada juga pesan-pesan yang baik untuk kita, seperti pertama bagaimana sikap orang tua pada prinsip keagamaannya dan berusaha menjaga anaknya agar tidak berpindah agama, ini kan tugas orang tua, pelajaran buat orang tua walaupun mungkin karena gerusan zaman, pergaulan dan lain-lain ini bisa berubah. Kemudian yang kedua ada bakti dari anak kepada orang tua, walaupun dalam film ini orang tua luluh juga. Tapi tetap kalau bicara soal aqidah, siapapun, agama apapun, tidak akan memperbolehkan keluarga anak itu menikah berbeda agama. Makanya tadikan dibilang sama Ibunya Diana itu dua kakaknya itu sudah pengalaman pindah agama, walaupun sebenarnya kebalikannya juga banyak. Menikah dengan orang islam, bahkan ada yang dihamili dulu kemudian mau ga mau dia harus ikut lelakinya, itu bagian dari strategi sebenarnya. Jadi prinsipnya pluraritas dalam kehidupan itu adalah sebuah kenistayaan, karena Allah menciptakan kita kan macam-macam, berbeda-beda, bersuku-suku, dan berbangsa-bangsa, tetapi plularisme itu yang tidak bisa kita toleransi, yang mengatakan seluruh agama itu benar. Memang seluruh agama itu benar menurut pemeluknya. Islam mengatakan Islam benar, Kristen mengatakan Kristen benar, begitupun agama lainnya. Tetapi ketika orang Islam mengatakan bahwa orang Kristen, Budha, Hindu itu semuanya adalah benar secara keyakinan, itu yang salah. Ibaratnya kita ga punya prinsip kalau seperti itu. Ibaratnya seperti jika seseorang ada di partai A seharusnya dipartai A orang itu bisa mengembangkan, loyalitas, dan sebagainya ke partai A, tidak mungkin dia membaguskan partai lain atau partai lain lebih baik dari partai dia, itu berarti orang yang tidak konsisten, overtunis apa lagi dalam hal agama. Kalau orang-orang plularisme itu yang mengusung plurarisme itu ya seperti itu, orang-orang yang tidak punya konsistensi dalam berkeyakinan dan berideologi, saya pikir lebih tepatnya mereka cari aman. Dan dalam tanda kutip mungkin juga cari dana. Makanya orang-orang seperti itu overtunis, mohon maaf ya. Sebenarnya kalau mau ngomongin cinta, pengorbanan, Tuhan yang telah menentukan, kalau bicara cinta ya harus berkorban. Kalau berani cinta maka harus berkorban, nah disini siapa yang berani berkorban. Kalau mau berkorban ya salah satu harus berkorban aqidahnya kalau mau bicara cinta, jangan pengorbanan yang lain saja tapi hal yang seperti itu ketika orang tidak setuju dengan dia, dia gak mau berkorban. Kalau masalah cintanya itu sih sudah manusiawi. Makanya kalau tidak sanggup untuk berkorban ya jangan melakukan percintaan yang seperti itu, jangan mau bercinta dengan orang yang lain agama, kan begitu artinya. Walaupun inti dari film itu adalah tentang percintaan beda agama tapi banyak pesan positif yang didapat dari film tersebut. Saya pikir hampir semua agama sama, prinsip pada keyakinannya itu sama, cuma cara berfikirnya saja yang berbeda. Narasumber, Ustadz Achmad Mubarok, S. Hi Hasil Wawancara Pribadi dengan Romo Yakobus Rudiyanto, SJ Romo di daerah Kampung Sawah, Pondok Gede Hari Jum‟at, tanggal 07 Juni 2013, pukul 20:30-21:45. Tempat, Keuskupan

T: Latar belakang pendidikan dan latar belakang menjadi seorang Romo itu

bagaimana?

J: Saya ya biasa-biasa saja, setelah saya lulus SMA di magelang, kemudian saya

masuk Serikat Jesus tahun 1980, dua tahun di Novisia di Negri Santa. Kemudian belajar filsafat di Driarkara, lulus tahun 1985 kemudian belajar pendidikan di Sanatadarma, dulu masih IKIP, maka saya punya akta empat supaya bisa mengajar, setelah itu saya belajar teologi di Gregoriana Roma tahun 89 sampai 92, kemudian saya bekerja di Sminari Wacana Bakti dan Kuli Segon Saga di Pejaten sampai 95, setelah itu saya ke Filiphina. Tujuh tahun di Filiphina, saya sebagai staff international resident sebagai minister. Minister itu kalau dalam Serikat Jesus adalah wakil rektor dalam urusan kepegawaian, seperti PR 2. Sambil belajar untuk Masteral di Ateneo the Maneo University di Education Department saya mengambil konseling, karna di sanatadarma majornya saya konseling, maka disana saya ambil masternya konseling. Tahun 2001 saya pulang ke Indonesia, kemudian saya kerja di ATMI solo, Akademi Teknik Mesin Industri, bingung saya karna gak tau mesin, jadi saya jadi direktur HRD disana. Kemudian tahun 2004 saya kembali lagi ke Seminari Wacana Bakti dan Kuli Segon Saga sebagai Rektor disana enam tahun dua periode, kemudian jadi Pastur paroki Kampung Sawah ini sejak 2010 sampai sekarang. Kebanyakan saya di pendidikan bagian kesiswaan, pernah jadi kepala sekolah, pernah jadi rektor. Karna saya belum pernah mengurusi Greja saya ingin sekali-sekali mengurusi Greja, dan ternyata mengasyikan juga meskipun lebih banyak jengkelnya. Karena lain sekali menggembalakan umat dengan mengurusi sekolahan. Di ATMI itu karyawannya ada sekitar 900-an, sebagai HRD berarti saya adalah karyawan yang jam kerjanya tetap, kemudian di Seminari sekolahan juga jam kerjanya tetap, kalau di paroki begini kan gak punya jam kerja itulah yang menarik. Pendekatannya juga beda sekali, disana ada aturan kepegawaian, ada sanksi tegas, apa lagi kami mengikuti issu maka dari segi management sangat ketat, di paroki tidak ada aturan begitu, semua suka rela. Deadline tetap ada tetapi seandainya tidak tercapai tidak ada sanksi. Saya dulu tidak pernah mengurusi pelayanan sakramen seperti perkawinan, pembaptisan, krisma, kematian, nah kalau disini pelayanan sakramental yang berhubungan khas iman dan agama dan penerapannya, dulu kan ga pernah karna dulu kepegawaian, kesiswaan dan lain-lain, nah itu menurut saya mempunyai dinamika dan rutinitas yang sangat berbeda. Tetapi untuk memahami kemanusiaan itu jauh lebih kaya. Maka kalau saya mengatakan nuansa kemanusiaan, nilai-nilai kehidupan, makna hidup berhadapan dengan kematian, apa yang kau cari dalam perkawinan, itu kan menjadi permenungan lahan sekaligus penerapan imannya. Jika kamu bertanya tentang kawin campur, ranah dan bingkainya ada disana, bahwa hal-hal seperti itu bukan bukan sekedar hukum Greja, tetapi juga masalah-masalah pastural, pengembalaan umat dan nilai-nilai sosial, itu yang menyebabkan hal-hal tersebut menarik. Masalah kawin campur itu bukan masalah hukum saja, tapi masalah kemanusiaan, yang membawa kita pada nilai-nilai luhur, kebijaksanaan lokal, sekaligus juga menyangkut keluarga, membangun hidup, ekonomi, dan lain-lain. Maka lingkup permasalahannya menurut saya menarik. T: Pengertian „Cinta‟ menurut agama Kristen Katolik dan menurut Romo sendiri seperti apa?

J: Cinta itu istilah saya kita harus bisa membedakan dan memilah-milah cinta itu

sebagai eros, agape, dan fi‟liyah. Cinta yang bersifat hubungan asmara antara pria dan wanita dan ungkapannya. Kemudian agape yaitu cinta yang mempunyai landasan kemanusiaan seseorang yang tidak mencari untung rugi, tetapi mencari makna kehidupan, maka orang berani berkorban, orang berani membela-bela. Seperti cinta tanah air, itu kan gak jelas, tetapi orang berani mati dengan Negaranya, itu kan bagi kita tidak ada hubungannya dengan asmara. Tapi juga fi‟liyah, cinta seorang ibu terhadap anaknya, yang tidak ada hubungannya dengan asmara, tetapi ada hubungan batin yang begitu tajam, erat, maupun lekat sehingga seorang ibu mengorbankan segalanya bagi anaknya. Maka kalau dari segi iman katolik dari Paus kita yang baru itu Deus Caritas S “Tuhan adalah cinta, hendaklah kamu sempurna dalam mencintai seperti bapamu sendiri, sempurna adanya” maka bagi kami cinta itu sungguh eksistensial, menyangkut keberadaan kita sendiri, keberadaan yang hanya bisa bermakna jika dilandasi oleh cinta, cinta yang bukan sekedar eros, filiyah dan agape, tetapi cinta yang menyangkut kepada yang transenden yang Ilahi. Karna disana bedanya antara agama dan ilmu pengetahuan, tidak bisa di ferifikasi karna itu landasannya iman bukan pengetahuan. Maka tingkatannya makin lama makin tinggi. Tuhan ada, cinta ada, karna memang Tuhan mencintai kita. Ketika kita masih berdosa, kita sudah dicintai, dan cinta itu menyelamatkan, cinta itu memelihara, cinta itu demi kebaikan orang yang dicintai, bukan demi kebaikan dan kepuasan sendiri, tapi sungguh memberi kesempatan kepada orang yang dicintai untuk berkembang dengan apa yang ada dalam dirinya. Maka kebebasan anak-anak Allah itu kebebasan dalam cinta. Orang mengatakan unconditional love, cinta yang tanpa syarat, I love you just the way you are, hal-hal yang berhubungan dengan cinta seutuhnya. Maka dalam segi Katolik cinta yang paling luhur, agung, tinggi, terungkap dalam Jesus. Tiada orang lain yang cintanya lebih besar dari pada Dia yang menyerahkan hidupnya untuk kamu. Maka total, tulus, dan tuntas, sampai di kayu salip. Itulah prinsip dasar yang harus dipegang teguh. Maka kalau kita mencintai seseorang, seperti apa cintamu, berani ga kamu berkorban demi yang kamu cintai, maka janji perkawinan katolik kan setia dalam untung dan malam, susuah dan sakit. Totalitasnya ada disana. Itulah cinta, bukan sekedar cinta yang manusiawi, tetapi diangkat menjadi Allah yang adalah cinta demi keselamatan kita. Bukan demi kemuliaan Allah, karna cinta kita tidak menambah kemuliaan Allah. T: Pengertian percintaan beda agama menurut agama Katolik itu apa? Dan sebetulnya bolehkah seorang Katolik mencintai seorang yang bukan Katolik?

J: Prinsip dasarnya bukan karna boleh atau tidak boleh, tetapi antara baik, lebih

baik, paling baik, dan lain-lain. Karena jika kita berbicara tentang perkawinan Katolik yang utuh itu sebetulnya perkawinan yang sakramen. Sakramen itu adalah tanda dan sarana kehadiran Allah di dunia yang menyelamatkan kita, itulah sakramen. Dan khusus tentang perkawinan itu menjadi khas karena perkawinan antara orang Katolik yang dibaptis pria dan wanita cintanya, warnanya, prinsip dasarnya, sama seperti cinta Ilahi. Maka suami istri, mempelai pria dan wanita itu di analogikan dengan cinta Kristus dengan Grejanya. Maka Greja disebut mempelai Kristus, karna Kristus mencintai Greja sedemikian tulus, tuntas dan total, sehingga hendaknya suami istri juga begitu. Jesus tidak akan pernah meninggalkan greja, Jesus tidak akan pernah mengkhianati Greja, Jesus tidak akan pernah berpaling dari Greja. Maka perkawinan Katolik yang nilai-nilainya diturunkan dari situ, monogami tulen, bukan hanya monogami suksesif, artinya sekali selamanya, tak terceraikan, karena tidak akan pernah ada perceraian antara kristus dengan grejanya. Monogami tulen artinya Kristus tidak pernah berkhianat, tidak pernah tidak setia, dan tuntas. Kalau perkawinan sifatnya seperti itu, maka yang utuh adalah mereka yang memahami ini sebagai nilai-nilai dasarnya. Jika yang ditanyakan apakah boleh orang Katolik mencintai orang Islam, Budha, dan lain-lain, tentu saja boleh. Karena Greja Katolik juga mengakui hak-hak asasi manusia untuk membangun hidupnya, termasuk juga untuk jatuh cinta. Saya tidak akan mengatakan kamu tidak boleh jatuh cinta kepada si ini, Negarapun tidak berhak sebetulnya, agama juga tidak berhak, karena hak asasi itu melekat pada manusia. Termasuk kebebasan beragama, kebebasan mencintai, kebebasan untuk menentukan dirinya sendiri, itu melekat secara hakiki pada