Mas Hanung itu dulu selalu bilang, karna beliau guru saya beliau selalu bilang
T: Kenapa fi lm ini diberi judul “Cinta Tapi Beda”? Tolong dijelaskan filosofi dari
judul film tersebut? J: Judul awalnya sebenarnya bukan Cinta Tapi Beda, tapi empat sisi. Filosofinya
itu ada empat tokoh, tapi tokoh yang satu itu gak kuat, empat tokoh itu si Agni dengan Reza Nangin, terus si Choki, ada Ratu Felisa. Pada waktu itu tuh
mereka porsinya sama, mereka banyak. Tapi pas di draft terakhir si Choki itu porsinya cuma di belakang, dan si Ratu Felisa porsinya cuma dua scene, nah
disitu menurut kita empat sisi ini gak kuat filosofinya, jadi kita ganti yang to the point yaitu Cinta Tapi Beda, kenapa merah putih ya ini di Indonesia.
T: Tema besar yang ingin diangkat selain tentang percintaan beda agama serta toleransi berbeda agama dalam film ini apa lagi?
J: Kultur. Memang sengaja. Biar orang-orang tertentu itu tau bahwa kita ini kan hidup berbeda-beda dengan lima agama, bahkan enam yang satu itu dihapus
Konghuchu, masuk pas zamannya Mega dulu dan terhapus saat terakhir- terakhir ini. Nah maksud aku itu ada keseimbangan disitu. Mau
membicarakan kerukunan sih sebenarnya, toleransi. Nah kalau mau ngomongin garis besar cintanya ya bagaimana kondisi mereka mencintai,
bahkan bukan agama tapi ya kultur antara Chines dan Jawa, itu saja belum tentu disetujui. Perjuangannya sama kayak beda agama lainnya, ketika Arab
sama Jawa, itu kan etnis. Itu semua gak jauh beda, dan gak boleh sebenernya. Jadi biar mendobrak atau melihat bahwa kita itu berada di lingkungan ini, jadi
kalau bersinggungan antara satu dengan yang lain itu udah wajar.
T: Dalam hal pemilihan setting lokasi, kenapa mas memilih di Yogja dan di Padang?
J: Kenapa saya memilih Yogja dan Padang itu sebenarnya dari true story, ini real dan saya pengen menghadirkan semuanya itu real, jadi gak ada batasan. Ya
inilah Indonesia, punya banyak agama, kita punya banyak kultur, ketika itu bersinggungan belum tentu itu bisa jadi satu.
T: Bagaimana proses pemilihan aktris atau aktor dalam pemeran film ini? Adakah kriteria-kriteria tertentu?
J: Pasti ada kriterianya, jadi saya waktu itu pengen konsepnya itu sebagaimana mungkin saya bisa ngejar bahwa itu realistis. Karna realistis, jadi saya gak
mencari pemain yang besar, karena kalau pemain besar udah ke cap disitu. Misalkan kayak Reza Rahardian atau Lukman Sardi, itu orang sudah melihat
sosoknya dia, kalau disini itu mereka berangkat dari bukan siapa-siapa, ini orang biasa. Orang biasa yang kebetulan mereka beda agama, beda kultur dan
ketika mereka di Jakarta mereka ketemu, kemudan mereka punya perasaan suka sama suka yang menjadi cinta. Nah ketika mereka mencintai selanjutnya
mereka kan ingin berkeluarga dan punya anak, itu kan siklus kehidupan yang normal, nah ketika mereka ingin menjalankan itu kok hambatannya banyak
banget ketika mereka beda. Nah maksud aku ini mereka berangkatnya dari bukan siapa-siapa. Kalau artis seperti Lukman Sardi itu orang-orang udah
melihat ini kalangan artis, orang melihatnya bisa ada jarak, kalau disini
enggak dari semua konsep gambar, konsep apapun, konsep pergerakan kamera itu semuanya aku bikin real, jadi gampang masuk ke penonton.
T: Pandangan Mas tentang tokoh Cahyo dan Diana dalam film tersebut bagaimana? Orang tua Cahyo dan orang tua Diana, om dan tante Diana yang
berhasil menjalani hidup berumah tangga dengan beda agama, serta teman dekat Cahyo David dan guru tari Diana mbak Dhian?
J: Memang si tante sama omnya Diana itu, karakter mereka sengaja kita hadirkan. Bahwa ada juga yang beda agama dan mereka udah berkeluarga dan mereka
fine aja. Mau ngomongin itu aja, dan itu juga banyak. Film saya itu film personal, jadi gak bisa dilihat dari sudut pandang siapapun sebenarnya.
Tergantung personalnya sebenarnya, dia mau apa, dia mau pemahamannya seperti apa, itu film personal. Toh banyak juga yang memilih gak punya
agama kalau mau jujur-jujuran. T: Dalam film tersebut ada kata-
kata “Apa yang dipersatukan oleh Tuhan tidak dapa
t dipisahkan oleh manusia” bisa dijelaskan maksud dan arti mendalam dari kata-kata tersebut?
J: Itu dari salah satu ayat Al-Kitab. Kata-kata itu diucapkan oleh Cahyo ketika melamar Diana. Cahyo kan Muslim, tapi dia orang yang intelek. Ketika dia
jadi chef dia belajar banyak, apa lagi punya pasangan. Maksudnya orang yang berfikiran terbuka ya terbuka aja dia bisa menerima semuanya tapi masalah
keyakinan itu lain. Tapi dia bisa belajar apa aja. Nah itu karena si Cahyo udah gak punya senjata lagi, waktu itu kan sudah klimaksnya dan dia gak punya
senjata lagi membuat ibunya berfikiran terbuka, disaat kalut dia harus mengeluarkan kata-kata itu.
T: Pada ending film dibuat mengambang atau tidak diketahui ujungnya nanti bagaimana kisah mereka, bisa dijelaskan maksud dari ending seperti itu
kenapa? J: Sengaja karena film kita itu film personal, jadi setiap orang itu punya jalan
masing-masing. Entah nanti si Cahyo jadi mualaf, entah nanti mereka kawin beda agama, entah mereka bersatu atau enggak itu tuh kita open mind, ke
semua penonton itu terserah penonton mau pilih jalan yang mana, karena udah banyak contoh ada yang nikah diluar terus dibawa ke Indonesia, ada
yang pisah, jadi banyak kasus yang kita gak bisa ngasih ke penonton memaksa penonton untuk memilih salah satu itu. Karena dari awal
bangunannya ya memang itu tidak bisa diwakili oleh personal siapapun. Ya disitu Cahyo ya Cahyo, si Diana ya Diana. Ketika nanti saya memilih mereka
menikah terus bahagia, memang film Indonesia penonton ingin semua filmnya happy ending, tetap kita kasih happy ending tapi karena ini sebuah
pemikiran yang penting dan film itu sarana komunikasi yang baik dan bagus bahkan sampai semuanya itu bikin film segala macam buat menyampaikan
pesan. Nah takutnya saya nanti saya malah mendoktrin penonton kalau seperti itu. Saya gak mau itu. Jadi ya biarin, yang ngejalanin ya jalanin, kalo bingung
ya mereka bisa konsultasi dengan orang-orang terdekatnya mana jalan yang terbaik, mereka punya jalanan hidupnya masing-masing kok.
T: Seperti yang telah kita ketahui banyak pemberitaan-pemberitaan positif dan negative tentang film ini, bagaimana Mas menilai pemberitaan tentang film
ini dikalangan Masyarakat? J: Kalau itu saya menyikapinya wajar. Ada yang pro dan kontra itu setiap
persoalan setiap hal dan apapun itu wajar. Bahkan di lingkungan kantor saya ini juga ada yang suka bahkan gak suka sama saya nah itu hal wajar. Ketika
mereka mengeluarkan statement mereka itu ya kita terima, asalkan dalam batas-batas tertentu. Kalau sampai mereka ke pengadilan ya udah ayo apa
salahnya kalau begitu, maksudnya kita merasa dan menyugukan bahwa ini real kok. Ya memang ada yang menyinggung di dakwaannya ke saya, Mas
Hanung dan Pak Ramm, bertiga itu. Pasalnya karna itu menanamkan kebencian, tapi menanamkan kebencian yang mana? Sampe saat waktu itu
saya temui sendiri si Mbak Fahira itu, menanam kebencian yang mana segala macam, saya disuruh mana narasumbernya, ya narasumbernya itu secret gak
bisa. Kalo ini sampai ke pengadilan, baru saya akan tunjukkan itu narasumbernya, kalo ini Cuma koar-koar aja ngapain nanti yang ada kamu
malah akan mengintimidasi dia, keselamatannya tidak terjamin, malah kamu yang menanamkan kebencian aku bilang gitu. Sampe saya disuruh bikin
pernyataan apa-apa segala macam ya saya gak mau orang saya gak salah. Sebenarnya dulu dilaporkan ke polda, sama polda gak diproses karna gak ada
bukti, terus dilaporkan ke mabes, pindah lagi ke poltabes, ke poltabes kita ga pernah dipanggil sama sekali karna memang ya setelah melihat filmnya ya
gak ada kesalahan, kalo ga ada kesalahan ya ngapain dipanggil. Memang
orang cari-cari ya kepentingan politik atau apa orang cari panggung kan begitu. Kaya sekarang yang film Soekarno kan juga seperti itu. Akhirnya
mereka nuntut polisi, kalo gak disidik berarti kamu akan saya tuntut, polisinya yang akan dituntut. Berarti kamu ada fair, ada apa sama si Hestu
sama si Hanung sama pak Ramm gitu. Ya udah dari pada ribut akhirnya polisinya ngalah, akhirnya kita disidik. Disidiknya juga santai gak apa-apa.
Gak taulah orang punya pemikiran berbeda-beda punya tendensi masing- masing. Mungkin kalo itu nama saya sendiri itu gak ada apa-apa, cuma
karena ada nama Mas Hanung disitu. Memang pada awalnya gak mau ada nama Mas Hanung, tapi dari Multinya yang katanya biar rame, biar banyak
yang nonton. Ya kita gak bisa maksa karena mereka yang punya uang. Ya menurut saya sih gak masalah tapi resikonya ya itu tadi. Pokoknya yang ada
nama Mas Hanung ya gitu deh. Apa lagi kan ini masalah agama, gak main- main karena sensitive sekali.
Narasumber,
Hestu Saputra Sutradara Film Cinta Tapi Beda
Hasil Wawancara Pribadi dengan Ustadz Achmad Mubarok, S.Hi Ustadz di Daerah Depok
Hari rabu, tanggal 22 Juni 2013, pukul 17:00-17:30. Tempat, Depok T: Pengertian Cinta sendiri menurut pandangan islam atau pandangan Ustadz
sendiri bagaimana? J: Kalau cinta itu ada beragam versi, kalau versinya Romeo dan Juliet itu kan
seperti itu, versinya Siti Nurbaya seperti itu, saya fikir kalau dalam Islam itu cinta yang memang berdasarkan iman. Kata Nabi, orang akan merasakan
lezatnya iman jika Allah dan Rasulnya lebih dicintai dari apapun, maka dia akan merasakan kelezatan iman. Cinta yang benar itu ya cinta yang bisa
membawa keimanan. Kalau dilihat dalam film itu betul kata Bapaknya Cahyo, bahwa cinta itu lebih kepada hawa nafsu, dan dia sudah buta. Love is blind itu
ya cinta membutakan mata hati. Makanya tidak akan mungkin orang bisa bersatu dengan berbeda agama dan dia bisa merasakan dan menjalankan
agamanya masing-masing dengan baik, itu tidak mungkin kalau misalkan mengorbankan iman. Kan tadi itu, orang akan merasakan iman dengan baik,
islam dengan baik dengan manis, itu kalau Allah dan Rasulnya sudah ia cintai lebih dari segalanya. Bukti cintanya pertama dengan menyebut, misalnya kalo
ada wanita mencintai seorang lelaki pasti minimal dalam sehari menyebutlah dalam hati dan fikiran, kedua selalu diingat, ketiga apa yang diinginkan
berusaha untuk dipenuhi. Sekarang kalau memaksakan kehendak dan mengatasnamakan cinta tapi justru melanggar cinta haqiqi yang milik Allah itu
ya dia tidak akan bisa merasakan apa yang diinginkan walaupun beda tetapi bisa bersama.
T: Pendapat Ustadz tentang film Cinta Tapi Beda itu seperti apa dari segi percintaannya saja?
J: Kalo dari cerita bagus. Dari segi cerita film itu konfliknya ada, ceritanya juga, penggambaran dan sebagainya juga bagus, hanya namun endingnya saja yang
tanda tanya. Kalau dari segi pemahaman memang ini adalah sebuah gambaran nyata ketika ada orang yang akan menikah berbeda agama itu di awalnya sudah
ada konflik, itu sudah bermulakan dari awal. Walaupun ada gambaran orang yang menikah berbeda agama tetap awet, nah ini buktinya Jamal Mirdad
dengan Lidya Kandau yang katanya rukun dan sebagainya tapi tetap saja berpisah juga. Pasti berbeda prinsip itu tidak akan bisa sejalan dan bisa
menghasilkan suatu kebahagiaan, itu tidak mungkin. Kemudian selanjutnya disitu membicarakan tentang toleransi, toleransi itu memang sangat diajarkan
dalam Islam. Nabi Muhammad mengajarkan bagaimana bertoleransi dengan orang-orang berbeda agama, bahkan dengan orang yang pernah menyakiti
beliau sendiri beliau sangat bertoleransi. Tapi toleransi dalam hal aqidah itu tidak ada ruang karena jelas, Lakum Dinukum Waliyadin. Ceritanya kan ketika
orang-orang kafir kepada Nabi ingin barter Tuhan, barter agama. Satu tahun Nabi Muhammad ikut menyembah berhala, tahun depan orang musrik ikut
menyembah Allah, dalam rangka toleransi katanya. Tapi ditolak mentah- mentah dan tegas Allah katakan Qul Ya Ayyuhal Kafirun dan seterusnya Lakum
Dinukum Waliyadin. Tetapi dalam hal sosial Nabi Muhammad itu sangat toleran. Orang Yahudi hidup bahagia, tenang, aman di Madinah. Bahkan
orang-orang Yahudi juga banyak yang masuk Islam karena mereka merasakan sikap toleransi yang luar biasa dari Nabi Muhammad. Dalam film itu bicara
toleransi tetapi dalam hal-hal yang sifatnya tidak lazim. Misalkan Cahyo mempersilahkan Diana beribadah menurut agama Katoliknya, itu toleransi
karena kan ibadah menurut keyakinannya, begitupun sebaliknya. Tetapi ketika ada pemaksaan Cahyo untuk memakan daging babi itu sudah gak toleran
sebenarnya. Dan ketika dia menyatukan cinta beda agama demi toleransi itu juga tidak dibenarkan. Dan memang Cahyo itu memberikan alasan Laa Ikroha
Fiddin bahwa tidak ada paksaan dalam agama, itu bukan konteks pernikahan. Tapi konteks pergaulan keseharian umat Islam terhadap umat lain itulah
toleransi kesana, kita tidak boleh memaksakan seseorang untuk masuk ke agama kita. Tetapi dalam konteks pernikahan dan perkawinan Laa Tankihul
Musyrikati Hatta Yukmina, sudah jelas. Walaupun ada ayat lain yang mengatakan boleh bagi laki-laki muslim itu menikahi perempuan ahli kitab,
tapi dalam konteks perkinian uhlul kitab itu dipertanyakan masih ada atau tidak. Sebenarnya ada banyak pesan dalam film ini, ada hal yang kontrofersi
tetapi ada juga pesan-pesan yang baik untuk kita, seperti pertama bagaimana sikap orang tua pada prinsip keagamaannya dan berusaha menjaga anaknya
agar tidak berpindah agama, ini kan tugas orang tua, pelajaran buat orang tua walaupun mungkin karena gerusan zaman, pergaulan dan lain-lain ini bisa
berubah. Kemudian yang kedua ada bakti dari anak kepada orang tua,
walaupun dalam film ini orang tua luluh juga. Tapi tetap kalau bicara soal aqidah, siapapun, agama apapun, tidak akan memperbolehkan keluarga anak
itu menikah berbeda agama. Makanya tadikan dibilang sama Ibunya Diana itu dua kakaknya itu sudah pengalaman pindah agama, walaupun sebenarnya
kebalikannya juga banyak. Menikah dengan orang islam, bahkan ada yang dihamili dulu kemudian mau ga mau dia harus ikut lelakinya, itu bagian dari
strategi sebenarnya. Jadi prinsipnya pluraritas dalam kehidupan itu adalah sebuah kenistayaan, karena Allah menciptakan kita kan macam-macam,
berbeda-beda, bersuku-suku, dan berbangsa-bangsa, tetapi plularisme itu yang tidak bisa kita toleransi, yang mengatakan seluruh agama itu benar. Memang
seluruh agama itu benar menurut pemeluknya. Islam mengatakan Islam benar, Kristen mengatakan Kristen benar, begitupun agama lainnya. Tetapi ketika
orang Islam mengatakan bahwa orang Kristen, Budha, Hindu itu semuanya adalah benar secara keyakinan, itu yang salah. Ibaratnya kita ga punya prinsip
kalau seperti itu. Ibaratnya seperti jika seseorang ada di partai A seharusnya dipartai A orang itu bisa mengembangkan, loyalitas, dan sebagainya ke partai
A, tidak mungkin dia membaguskan partai lain atau partai lain lebih baik dari partai dia, itu berarti orang yang tidak konsisten, overtunis apa lagi dalam hal
agama. Kalau orang-orang plularisme itu yang mengusung plurarisme itu ya seperti itu, orang-orang yang tidak punya konsistensi dalam berkeyakinan dan
berideologi, saya pikir lebih tepatnya mereka cari aman. Dan dalam tanda kutip mungkin juga cari dana. Makanya orang-orang seperti itu overtunis, mohon
maaf ya. Sebenarnya kalau mau ngomongin cinta, pengorbanan, Tuhan yang
telah menentukan, kalau bicara cinta ya harus berkorban. Kalau berani cinta maka harus berkorban, nah disini siapa yang berani berkorban. Kalau mau
berkorban ya salah satu harus berkorban aqidahnya kalau mau bicara cinta, jangan pengorbanan yang lain saja tapi hal yang seperti itu ketika orang tidak
setuju dengan dia, dia gak mau berkorban. Kalau masalah cintanya itu sih sudah manusiawi. Makanya kalau tidak sanggup untuk berkorban ya jangan
melakukan percintaan yang seperti itu, jangan mau bercinta dengan orang yang lain agama, kan begitu artinya. Walaupun inti dari film itu adalah tentang
percintaan beda agama tapi banyak pesan positif yang didapat dari film tersebut. Saya pikir hampir semua agama sama, prinsip pada keyakinannya itu
sama, cuma cara berfikirnya saja yang berbeda.
Narasumber,
Ustadz Achmad Mubarok, S. Hi
Hasil Wawancara Pribadi dengan Romo Yakobus Rudiyanto, SJ Romo di daerah Kampung Sawah, Pondok Gede
Hari Jum‟at, tanggal 07 Juni 2013, pukul 20:30-21:45. Tempat, Keuskupan