Umur Simpan Pengembangan dessert berbasis isolat protein basah ikan lele (Clarias sp.) dengan pewarna alami

perubahan sifat sensori kearah yang kurang disukai dan kurang diterima seperti perubahan warna, tekstur, bau dan rasa. Pemasakan bahan pangan dapat mempengaruhi bentuk kimia zat gizi yang kemudian akan berpengaruh terhadap kesediaannya, terutama zat yang labil seperti asam askorbat dan mineral Latunde-Dada Dan Neale 1986 diacu dalam Chandra 2008. Proses pemasakan pada makanan akan menyebabkan protein, lemak, dan karbohidrat akan terurai menjadi komponen-komponen yang lebih sederhana yang justru akan memudahkan dalam proses pencernaan dalam tubuh. Namun, vitamin dan mineral akan menjadi berkurang bahkan rusak dengan panas yang tinggi Mudjajanto 1991. Pemanasan selama proses pembuatan makanan dapat juga mengakibatkan kandungan air menjadi rendah Winarno dan Fardiaz 1973. Damayanti dan Eddy 1995 menyatakan proses pemanasan pada saat pengolahan akan menyebabkan protein mengalami degradasi dan keadaan ini tidak hanya menyebabkan penurunan nilai gizinya tetapi aktivitas protein sebagai enzim dan hormone akan hilang. Kerusakan zat gizi berlangsung secara berangsur-angsur bergantung dari proses pengolahannya. Penggunaan peralatan masak juga dapat mempengaruhi keberadaan dari mineral. Penggunaan perkakas besi dapat menaikan kandungan besi dalam bahan pangan yang diolah dengan menggunakan perkakas tersebut Gaman dan Sherrington 1992.

2.10 Umur Simpan

Umur simpan adalah selang waktu yang menunjukkan antara saat produksi hingga saat akhir dari produk masih dapat dipasarkan, dengan mutu prima seperti yang dijanjikan, meski setelah tanggal tersebut terdapat kemungkinan bahwa mutu produk tersebut masih memuaskan IFT 1974 di acu dalam Arpah 2001. Umur simpan mengandung pengertian bahwa penyimpanan dilakukan hanya pada suatu kondisi tetap, sedangkan waktu kadaluarsa adalah hasil penggabungan nilai umur simpan pada berbagai kondisi penyimpanan. Waktu kadaluarsa yang tercantum pada label produk biasanya tidak disertai kondisi penyimpanan. Dalam penulisan nilai umur simpan selalu dicantumkan kondisinya, utamanya suhu penyimpanan Arpah 2001. Faktor mutu relevan dapat berupa kadar air pada biskuit, jumlah mikroba pada daging, kandungan asam lemak bebas pada minyak dan sebagainya. Sifat kimia, fisik atau mikrobiologi sudah sangat umum digunakan sebagai kriteria atau initial relevan faktor dalam penentuan waktu kadaluarsa pangan Labuza 1982 dalam Arpah 2008. Sheard et al,. 2000 di acu dalam Arpah 2001, mengukur ketengikan melalui peningkatan nilai thiobarbirturic acid TBA dalam menentukan waktu kadaluarsa sosis dan daging babi, dimana ukuran mula-mula adalah bilangan TBA=0.0 atau mendekati nol, sedangkan batas waktu kadaluarsa ditetapkan pada nilai bilangan TBA ekivalen dengan kandungan 0.5 mg malonaldehidakg. Produk pangan yang mempunyai sifat-sifat kimia, fisik dan mikrobiologi tidak berkolerasi cukup besar dengan sifat organoleptik. Penentuan waktu korelasi kadaluarsa dengan penilaian organoleptik dapat memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan penggunaan analisa yang bersifat instrumentatif. Reaksi deteriorasi adalah perubahan fisik, kimia, mikrobiologis, enzimatis maupun organoleptik yang berlangsung pada produk pangan yang berpotensi menurunkan mutu dan penerimaan konsumen. Reaksi deteriorasi pada produk pangan dapat disebabkan oleh faktor ekstrinsik maupun intrinsik yang selanjutnya akan memicu reaksi di dalam produk berupa reaksi kimia, reaksi enzimatis atau lainnya seperti proses fisik dalam bentuk penyerapan uap air atau gas dari sekeliling. Ini akan menyebabkan perubahan-perubahan terhadap produk yang meliputi; perubahan tekstur, flavor, warna, penampakan fisik dan nilai gizi, mikrobiologis maupun makrobiologis. Pengaruh beberapa faktor terhadap reaksi deteriorasi dapat dilihat pada Tabel 5. Absorpsi oksigen pada minyak nabati selama penyimpanan menyebabkan meningkatnya viskositas minyak serta terbentuknya flavor tengik. Minyak berekasi dengan oksigen akan membentuk produk primer dan sekunder. Produk primer oksidasi minyak dan lemak adalah hidroperoksida, sedangkan produk sekundernya antara lain aldehid, asam keto dan asam hidroksi Davidek 1990 diacu dalam Arpah 2001. Malonaldehid merupakan produk sekunder akhir dari rangkaian hasil reaksi oksidasi minyak dan merupakan indikator ketengikan, khususnya pada produk pangan. Kuantitasnya selama proses oksidasi biasanya diukur dengan menentukan bilangan TBA thiobarbituric acid. Pembentukan malonaldehid diduga melalui beberapa jenis alur reaksi, diantaranya melalui dekomposisi peroksida bentuk siklik. Tabel 5 Pengaruh faktor intrinsik dan ekstrinsik terhadap reaksi deteriorasi pada produk pangan Faktor intrinsik dan ekstrinsik Efek deteriorative Oksigen - Oksidasi lipida - Kerusakan vitamin - Kerusakan protein - Oksidasi pigmen Uap air - Kehilangankerusakan vitamin - Perubahan organoleptik - Reaksi pencoklatan - Oksidasi lipida Cahaya - Oksidasi - Pembentukan bau perubahan flavor - Kerusakan vitamin - Kerusakan pigmenperubahan warna Mikroorganisme - Pembentukan racun - Kehilangan nutrisi - Keracunan Kompressebantingan, vibrasi, abrasi, penanganan secara kasar - Perubahan organoleptik - Kebocoran pada pengemas Bahan kimia toksikbahan kimia Off-flavor - Off-flavor - Perubahan organoleptik - Perubahan kimia - Pembentukan racun Sumber : Floros 1993 Kerusakan bahan pangan dapat disebabkan oleh faktor-faktor sebagai berikut pertumbuhan dan aktivitas mikroba terutama bakteri, aktivitas enzim pada bahan pangan, suhu, termasuk suhu pemanasan dan pendinginan, kadar air, udara terutama oksigen, sinar dan jangka waktu penyimpanan Winarno et al. 1980. 3 METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian