Santan Kelapa Pemasakan Pengembangan dessert berbasis isolat protein basah ikan lele (Clarias sp.) dengan pewarna alami

menggumpalnya santan krim. Pengulangan proses strerilisasi pada suhu 100 o C, 105 o C dan 110 o C selama 15 menit dapat memperpanjang umur simpan santan sampai 3 bulan, sedangkan krim santan yang diolah pada suhu 121 o C akan mempunyai masa simpan minimal 6 bulan. Tabel 4 Komposisi santan murni tanpa penambahan air dan santan dengan penambahan air, untuk 100 gr contoh Komposisi Santan Murni Santan dengan peanambahan air Kalori 324 122 Protein gr 4,2 2 Lemak gr 34,3 10 Karbohidrat gr 5,6 7,6 Kalsium mg 14 25 Posfor mg 1,9 0,1 Vitamin A IU Thiamin mg Air gr 54,9 80 Bagian yang dapat dimakan 100 100 Sumber : Cheosakul 1967 diacu dalam Djarkasi 1995 Kandungan air dan protein yang tinggi dalam santan kelapa dapat menyebabkan santan mudah mengalami kerusakan. Dengan adanya air maka lemak dari santan dapat terhidrolisis menjadi gliserol dan asam lemak. Adanya asam-asam lemak, akan menimbulkan bau dan rasa tengik. Pemanasan dapat mengawetkan santan, namun dapat juga merusak bentuk emulsinya Cheosakul 1967 diacu dalam Djarkasi 1995.

2.9 Pemasakan

Pemasakan merupakan suatu teknik pengolahan dengan menggunakan panas. Pengolahan panas merupakan salah satu cara paling penting yang telah dikembangkan untuk memperpanjang umur simpan bahan pangan. Pengolahan ini dapat menghasilkan produk pangan dengan sifat-sifat yang diinginkan yaitu aman, bergizi dan dapat diterima dengan baik secara sensori maupun kimia Harris dan Karmas 1989. Menurut Apriyantono 2002, pengolahan juga dapat menimbulkan hal yang sebaliknya yaitu menghasilkan senyawa toksik sehingga produk menjadi tidak aman untuk dikonsumsi, kehilangan zat-zat gizi dan perubahan sifat sensori kearah yang kurang disukai dan kurang diterima seperti perubahan warna, tekstur, bau dan rasa. Pemasakan bahan pangan dapat mempengaruhi bentuk kimia zat gizi yang kemudian akan berpengaruh terhadap kesediaannya, terutama zat yang labil seperti asam askorbat dan mineral Latunde-Dada Dan Neale 1986 diacu dalam Chandra 2008. Proses pemasakan pada makanan akan menyebabkan protein, lemak, dan karbohidrat akan terurai menjadi komponen-komponen yang lebih sederhana yang justru akan memudahkan dalam proses pencernaan dalam tubuh. Namun, vitamin dan mineral akan menjadi berkurang bahkan rusak dengan panas yang tinggi Mudjajanto 1991. Pemanasan selama proses pembuatan makanan dapat juga mengakibatkan kandungan air menjadi rendah Winarno dan Fardiaz 1973. Damayanti dan Eddy 1995 menyatakan proses pemanasan pada saat pengolahan akan menyebabkan protein mengalami degradasi dan keadaan ini tidak hanya menyebabkan penurunan nilai gizinya tetapi aktivitas protein sebagai enzim dan hormone akan hilang. Kerusakan zat gizi berlangsung secara berangsur-angsur bergantung dari proses pengolahannya. Penggunaan peralatan masak juga dapat mempengaruhi keberadaan dari mineral. Penggunaan perkakas besi dapat menaikan kandungan besi dalam bahan pangan yang diolah dengan menggunakan perkakas tersebut Gaman dan Sherrington 1992.

2.10 Umur Simpan

Umur simpan adalah selang waktu yang menunjukkan antara saat produksi hingga saat akhir dari produk masih dapat dipasarkan, dengan mutu prima seperti yang dijanjikan, meski setelah tanggal tersebut terdapat kemungkinan bahwa mutu produk tersebut masih memuaskan IFT 1974 di acu dalam Arpah 2001. Umur simpan mengandung pengertian bahwa penyimpanan dilakukan hanya pada suatu kondisi tetap, sedangkan waktu kadaluarsa adalah hasil penggabungan nilai umur simpan pada berbagai kondisi penyimpanan. Waktu kadaluarsa yang tercantum pada label produk biasanya tidak disertai kondisi penyimpanan. Dalam penulisan nilai umur simpan selalu dicantumkan kondisinya, utamanya suhu penyimpanan Arpah 2001. Faktor mutu relevan dapat berupa kadar air pada biskuit, jumlah mikroba pada daging, kandungan asam lemak bebas pada minyak dan sebagainya. Sifat kimia, fisik atau mikrobiologi sudah sangat umum digunakan sebagai kriteria atau initial relevan faktor dalam penentuan waktu kadaluarsa pangan Labuza 1982 dalam Arpah 2008. Sheard et al,. 2000 di acu dalam Arpah 2001, mengukur ketengikan melalui peningkatan nilai thiobarbirturic acid TBA dalam menentukan waktu kadaluarsa sosis dan daging babi, dimana ukuran mula-mula adalah bilangan TBA=0.0 atau mendekati nol, sedangkan batas waktu kadaluarsa ditetapkan pada nilai bilangan TBA ekivalen dengan kandungan 0.5 mg malonaldehidakg. Produk pangan yang mempunyai sifat-sifat kimia, fisik dan mikrobiologi tidak berkolerasi cukup besar dengan sifat organoleptik. Penentuan waktu korelasi kadaluarsa dengan penilaian organoleptik dapat memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan penggunaan analisa yang bersifat instrumentatif. Reaksi deteriorasi adalah perubahan fisik, kimia, mikrobiologis, enzimatis maupun organoleptik yang berlangsung pada produk pangan yang berpotensi menurunkan mutu dan penerimaan konsumen. Reaksi deteriorasi pada produk pangan dapat disebabkan oleh faktor ekstrinsik maupun intrinsik yang selanjutnya akan memicu reaksi di dalam produk berupa reaksi kimia, reaksi enzimatis atau lainnya seperti proses fisik dalam bentuk penyerapan uap air atau gas dari sekeliling. Ini akan menyebabkan perubahan-perubahan terhadap produk yang meliputi; perubahan tekstur, flavor, warna, penampakan fisik dan nilai gizi, mikrobiologis maupun makrobiologis. Pengaruh beberapa faktor terhadap reaksi deteriorasi dapat dilihat pada Tabel 5. Absorpsi oksigen pada minyak nabati selama penyimpanan menyebabkan meningkatnya viskositas minyak serta terbentuknya flavor tengik. Minyak berekasi dengan oksigen akan membentuk produk primer dan sekunder. Produk primer oksidasi minyak dan lemak adalah hidroperoksida, sedangkan produk sekundernya antara lain aldehid, asam keto dan asam hidroksi Davidek 1990 diacu dalam Arpah 2001. Malonaldehid merupakan produk sekunder akhir dari rangkaian hasil reaksi oksidasi minyak dan merupakan indikator ketengikan, khususnya pada produk pangan. Kuantitasnya selama proses oksidasi biasanya