4. Aspek yang dikaji adalah faktor-faktor yang mempengaruhi produksi padi
hibrida dan inbrida, struktur biaya, penerimaan, dan pendapatan usahatani padi hibrida dan inbrida.
5. Penelitian ini tidak membahas pengaruh kesuburan lahan, kemiringan
lahan, ketinggian daerah, iklim, dan faktor lingkungan lainnya serta aspek teknis terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dan
pendapatan usahatani. 6.
Penelitian ini tidak membahas pengolahan hasil panen dan jalur pemasaran hasil penjualan padi hibrida dan inbrida.
II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Padi Hibrida dan Padi Inbrida
Padi hibrida adalah keturunan pertama dari suatu persilangan antara induk- induk yang berbeda secara genetik tetapi masih dalam spesies tanaman yang sama
Pingali et al. 1998. Hal tersebut berarti keturunan generasi pertama hasil persilangan antara induk-induk yang memiliki keadaan genetik berbeda pada
tanaman padi. Suwarno et al. 2002 menjelaskan mengenai tanaman hibrida pada padi, yaitu turunan pertama F1 dari persilangan antara dua galur murni. Varietas
padi hibrida yang akan dikembangkan merupakan generasi turunan pertama F1 hasil persilangan antara galur mandul jantan A dengan galur restorer R.
Menurut Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian 2007, varietas hibrida mampu berproduksi lebih tinggi dibandingkan varietas inbrida karena
adanya pengaruh heterosis yaitu kecenderungan turunan pertama F1 untuk tampil lebih unggul dibandingkan dua tetuanya. Heterosis tersebut dapat muncul
pada semua sifat tanaman dan untuk padi hibrida diharapkan dapat muncul terutama pada sifat potensi hasil. Fenomena heterosis ini telah lama dimanfaatkan
untuk pembentukan varietas jagung hibrida dan sejak awal tahun 1970 mulai dicoba diterapkan pada tanaman padi, untuk menjawab tantangan bahwa tidak
ditemukan heterosis pada kelompok tanaman menyerbuk sendiri. Pada tanaman jagung, bunga jantan dan bunga betina letaknya terpisah, sehingga untuk membuat
tetua betina female row atau seed row cukup dengan membuang bunga jantan detaselling sebelum tepungsari masak dan tersebar. Pada tanaman padi, karena
bunganya sempurna organ jantan dan betina terletak pada satu bunga yang sama, maka organ jantan pada bunga tetua betina harus dibuat mandul dengan
memasukan gen Cytoplasmic-Genetic Male Sterility CMS sehingga memudahkan untuk menghasilkan benih F1 hibrida dalam jumlah banyak tanpa
harus melakukan pembuangan bunga jantan emaskulasi. Penggunaan gen CMS ini mengharuskan perakitan varietas padi hibrida
menggunakan tiga galur, yang terdiri dari:
1. Galur mandul jantan GMJ atau CMS galur A, yaitu varietas padi tanpa serbuksari yang hidup dan berfungsi sebagai tetua betina serta menerima
serbuksari dari tetua jantan untuk menghasilkan benih hibrida.
2. Galur pelestari atau maintainer galur B, yaitu varietas yang berfungsi
memperbanyak atau melestarikan keberadaan GMJ.
3. Tetua jantan restorer, varietas padi yang berfungsi sebagai pemulih kesuburan atau fungsi reproduksi untuk menyediakan serbuksari bagi tetua
betina.
Perakitan varietas padi hibrida dengan menggunakan metode tiga galur memiliki kelemahan yaitu produksi benihnya rumit dan tidak setiap varietas dapat
dijadikan sebagai tetua untuk membentuk varietas padi hibrida, hanya varietas yang tergolong pemulih kesuburan saja yang dapat dijadikan sebagai tetua
jantannya. Hasil produksi padi hibrida yang terbaik dapat diperoleh dengan cara setiap kali menanam padi hibrida harus menggunakan benih baru dan tidak
menggunakan hasil panen padi hibrida sebagai benih untuk ditanam kembali. Secara teori, hasil padi hibrida terjadi pemisahan atau segregasi menjadi 25
mandul jantan dan 75 fertil sehingga bila ditanam kembali hasilnya akan lebih rendah. Contoh padi varietas hibrida di Indonesia antara lain Sembada B9,
Sembada 168, Intani I dan II, dan Bernas yang dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2 Padi Hibrida