Analisis Keterpaduan Pasar dan Transmisi Harga Ayam Broiler di Kabupaten Bogor

(1)

ANALISIS KETERPADUAN PASAR DAN TRANSMISI

HARGA AYAM BROILER DI KABUPATEN BOGOR

STEVI PEBRIANI

DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR


(2)

(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Keterpaduan Pasar dan Transmisi Harga Ayam Broiler di Kabupaten Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2013 Stevi Pebriani H44080002


(4)

(5)

ABSTRAK

STEVI PEBRIANI. Analisis Keterpaduan Pasar dan Transmisi Harga Ayam Broiler di Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh UJANG SEHABUDIN.

Jumlah populasi ayam broiler tertinggi di Jawa Barat menempatkan Kabupaten Bogor sebagai sentra produksi ayam broiler, namun di sisi lain harga ayam broiler mengalami fluktuasi harga yang menempatkan peternak maupun pelaku usaha dalam kondisi yang rawan, Adanya jarak yang besar antara wilayah produksi dan wilayah pemasaran juga turut mempengaruhi efisiensi pemasaran ayam broiler di Kabupaten Bogor. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis keterpaduan pasar antara pasar konsumen dan produsen ayam broiler serta menganalisis transmisi harga di pasar konsumen di Kabupaten Bogor. Pasar konsumen yang dianalisis adalah pasar Cibinong, Leuwiliang, Jasinga dan Citeureup. Model Ravallion digunakan untuk menganalisis keterpaduan pasar antara pasar konsumen dan produsen ayam broiler di Kabupaten Bogor serta model Vector Autoregression (VAR) digunakan untuk menganalisis transmisi harga antar pasar konsumen di Kabupaten Bogor. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam jangka pendek maupun jangka panjang tidak terdapat keterpaduan pasar antara pasar konsumen dan pasar produsen ayam broiler di Kabupaten Bogor. Harga ayam broiler di harga di tingkat konsumen di antara pasar Kabupaten Bogor sudah di transmisikan secara horisontal antar pasar di kabupaten Bogor. Pasar yang mempunyai hubungan transmisi harga dua arah adalah pasar Cibinong dengan pasar Citeureup serta pasar Citeureup dengan pasar Jasinga, hubungan transmisi harga satu arah di tunjukkan oleh pasar Cibinong dengan pasar Jasinga. Pasar Cibinong merupakan pasar yang menjadi pemimpin harga, dan pasar Leuwiliang merupakan pasar yang terisolir diantara pasar lainnya.


(6)

ABSTRAK

STEVI PEBRIANI. Integrated market and Price Transmission analysis of Broiler Chicken at Bogor District. Supervised by UJANG SEHABUDIN.

Bogor as central production of broiler chicken has the highest population of broiler chicken in West Java. In the other hand, fluctuation price of chicken broiler put farmers and bussines in vulnerable condition. Large distance between production and marketing areas also affect the efficiency the marketing of broiler chicken in Bogor district. The research objective were to analyze market integration between consumer an producer market, and to analyze price transmision in consumer market at Cibinong, Leuwiliang, Citereup, Jasinga market in Bogor district. This research used Ravallion models to analyze market integration between consumer an producer market and Vector autoregression models to analyze price transmision in consumer market in Bogor district. The result of research indicated there are no market integration in short-run and long run integration relationship between consumers and producers broiler chicken market in Bogor district. Price transmision has been transmitted at consumer market in Bogor district. Two sided relationship between broiler chicken price at Cibinong and Citeureup also between Citeureup and Jasinga that each market influences price in other market. And one sided relationship market in Cibinong influences broiler chicken price in Jasinga market. On the other hand it shows that, Cibinong market are market leader between them and Leuwiliang market as isolated market between other market.


(7)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi

pada

Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan

ANALISIS KETERPADUAN PASAR DAN TRANSMISI

HARGA AYAM BROILER DI KABUPATEN BOGOR

STEVI PEBRIANI

DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR


(8)

(9)

udul Skripsi: Analisis Keterpaduan Pasar dan Transmisi Harga Ayam Broiler di

Kabupaten Bogor

Nama : Stevi Pebriani

NIM : H44080002

Disetujui oleh

Ir .Ujang Sehabudin

Pembimbing

Diketahui oleh

3 0

セug@

2013


(10)

Judul Skripsi : Analisis Keterpaduan Pasar dan Transmisi Harga Ayam Broiler di Kabupaten Bogor

Nama : Stevi Pebriani

NIM : H44080002

Disetujui oleh

Ir .Ujang Sehabudin Pembimbing

Diketahui oleh

Dr.Ir. Aceng Hidayat, MT Ketua Departemen


(11)

(12)

PRAKATA

Penyelesaian skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah SWT, penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada:

1. Ibu Sriulina Ginting dan Ayah Indra Aswin sembiring atas segala doa, kasih sayang, dan dukungan yang telah diberikan selama ini, serta kepada kakak Enda Wahyuni, Andegia Sari, Silvia Fatimah.

2. Ir. Ujang Sehabudin selaku dosen pembimbing skripsi yang senantiasa dengan penuh ketekunan membimbing penulis hingga skripsi ini selesai. 3. Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA dan Adi Hadianto, SP, M.Si atas

kesediaannya menjadi dosen penguji dalam sidang skripsi.

4. Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA selaku dosen pembimbing akademik dan seluruh dosen serta staff pengajar Departemen ESL yang selalu memberikan saran dan masukkan kepada penulis.

5. PD Pasar Tohaga dan Dinas perikanan dan peternakan Kabupaten Bogor dan seluruh petugas pasar di Pasar Citeureup, Cileungsi, Leuwiliang, Cibinong dan Jasinga yang telah memberikan informasi selama penelitian.

6. Dila, Gena, Asma, Hera, Frida, Nisa, Fadhli, Indra, Maha, Kiki, Wahyu, Rejak, Ade Ruswan, Vino, Noval, Valdo, windi, Adri.

7. Dita P, D. Sinta, Dwi Panca, Sutowo, Yoppy dan teman-teman ESL 45 lainnya yang telah memberikan memberikan dukungan selama pengerjaan penelitian ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu.

Bogor, Juli 2013 Stevi Pebriani


(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL... vi

DAFTAR GAMBAR... vi

DAFTAR LAMPIRAN... vi

I. PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang... 1

1.2 Perumusan Masalah... 4

1.3 Tujuan Penelitian... 6

1.4 Manfaat Penelitian... 7

1.5 Ruang Lingkup Penelitian... 8

II. TINJAUAN PUSTAKA... 8

2.1 Karakteristik Ayam Broiler... 8

2.2 Peternakan Ayam Broiler... 9

2.3 Keterpaduan Pasar Ravallion... 10

2.4 Model Vector Autoregression... 12

2.5 Penelitian Terdahulu... 13

III. KERANGKA PEMIKIRAN... 15

3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis... 15

3.1.1 Pasar... 15

3.1.2 Harga dan Mekanisme Harga... 15

3.1.3 Keterpaduan Pasar Vertikal... 16

3.1.4 Keterpaduan Pasar Horisontal... 19

3.1.3 Keterpaduan Pasar Vertikal... 16

3.2 Kerangka Pemikiran Operasional... 20

IV. METODOLOGI PENELITIAN... 23

4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian... 23

4.2 Data dan Sumber Data... 23

4.3 Metode Analisis Data... 23

4.4 Analisis Keterpaduan Pasar Vertikal... 24

4.5 Analisis Keterpaduan Pasar Horisontal... 27


(14)

4.5.2 Pengujian Lag Optimal... 28

4.5.3 Uji Stabilitas Data... 28

4.5.4 Uji Kointegrasi... 29

4.5.5 Pendugaan Model VAR... 29

4.5.6 Uji Kausalitas Granger... 30

4.5.7 Impuls Response Function... 30

4.5.8 Variance Decomposition... 30

V. GAMBARAN UMUM PENELITIAN... 31

5.1 Letak dan Keadaan Geografis Lokasi Penelitian... 31

5.2 Keadaan Sosial Ekonomi Penduduk... 32

5.3 Kondisi Umum Pasar Tradisional Kabupaten Bogor... 32

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN... 35

6.1 Analisis Keterpaduan Pasar Vertikal... 35

6.2 Analsis Keterpaduan Pasar Horisontal... 39

6.2.1 Uji Stationeritas Data... 39

6.2.2 Penentuan Lag Optimal... 40

6.2.3 Uji Stabilitas VAR... 40

6.2.4 Analisis Kointegrasi... 41

6.2.5 Uji Kausalitas Granger... 42

6.2.6 Estimasi Model VAR... 44

6.2.7 Analisis Fungsi Respons Impuls... 45

6.2.8 Analisi Variance Decomposition... 48

6.2.9 Pembahasan Secara Keseluruhan... 52

VII. SIMPULAN DAN SARAN... 54

7.1 Simpulan... 54

7.2 Saran... 54

DAFTAR PUSTAKA... 55

LAMPIRAN... 58


(15)

DAFTAR TABEL

1 Perkembangan populasi ayam broiler tahun 2005-2010 di Kabupaten

Bogor... 3

2 Hasil estimasi model ravallion... 35

3 Hasil Pengujian akar tingkat level dan first difference ... 40

4 Hasil pengujian lag optimal... 41

5 Hasil uji stabilitas VAR... 41

6 Hasil uji kointegrasi johhansen trace statistic... 41

7 Estimasi model VAR... 44

DAFTAR GAMBAR

1 Perkembangan harga ayam broiler di Kabupaten Bogor tahun 2010-2011... 3

2 Kerangka Pemikiran Operasional... 21

3 Respons Impuls... 47

4 Variance Decomposition of D(LOGLEUWILIANG)... 49

5 Variance Decomposition of D(LOGJASINGA)... 50

6 Variance Decomposition of D(LOGCIBINONG)... 51

7 Variance Decomposition of D(LOGCITEUREUP)... 52

DAFTAR LAMPIRAN

1 Harga mingguan karkas ayam broiler Kabupaten Bogor 2011... 58

2 Hasil analisis model pasar Ravallion... 59

3 Uji Stationeritas... 60

4 Uji Optimum Lag... 63

5 Uji Stabilitas VAR... 63

6 Uji Kausalitas Granger... 64

7 Uji Kointegrasi... 65

8 Estimasi Model VAR... 66


(16)

(17)

(18)

I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sektor peternakan memberikan banyak kontribusi bagi pembangunan sektor pertanian di Indonesia. Berdasarkan data dari Direktorat Jendral Peternakan dan Kesehatan Hewan Republik Indonesia (2011) terlihat bahwa besarnya sumbangan sektor peternakan dan hasil-hasilnya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pertanian mencapai 12,5%. Selain itu, pembangunan sektor peternakan mempunyai fungsi penting dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat akan konsumsi protein hewani asal ternak yang bernilai gizi tinggi.

Peternakan saat ini masih menjadi penyumbang peningkatan gizi bagi masyarakat terutama kebutuhan akan protein hewani yang dibutuhkan oleh setiap orang. Saat ini konsumsi protein hewani nasional Indonesia sebesar 14,04 kg/kapita/tahun dimana 5,13 kg/gram/kapita berasal dari daging, hal ini masih rendah apabila dibandingkan dengan konsumsi negara asia tenggara lainnya seperti Philipina dimana konsumsi protein hewaninya sebesar 26,96 kilogram/kapita/tahun. Ternak unggas dalam hal ini memiliki potensi yang besar sebagai sumber protein hewani asal ternak.

Daging asal unggas disumbangkan paling banyak oleh ayam ras pedaging (broiler), ayam kampung dan sedikit dari itik dan ayam petelur (Sofyan, 2006). Total sumbangan daging asal unggas mencapai 60,8 persen dari total daging yang dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Daging ayam merupakan daging termurah dan terjangkau oleh masyarakat luas, kualitasnya cukup baik dan tersedia dalam jumlah yang cukup serta penyebarannya yang hampir menjangkau seluruh wilayah Indonesia.

Usaha peternakan ayam broiler merupakan usaha yang banyak diminati masyarakat, karena periode pemeliharaannya yang singkat. Ayam

broiler bisa dijual pada umur 5-6 minggu, dan perputaran modalnya relatif cepat sehingga potensial untuk dikembangkan. Potensi ini dapat dilihat dari terus meningkatnya produksi ayam broiler nasional. Populasi ayam broiler


(19)

2

tahun 2006 yaitu 1,68 % dari tahun sebelumnya. Penurunan terjadi karena adanya kenaikan harga jagung internasional. Kenaikan harga jagung terjadi karena adanya persaingan kebutuhan jagung untuk bahan bakar nabati dan untuk pakan ternak sedangkan harga MBM (Meat Bone Meal) atau tepung tulang naik karena keterbatasan jumlah importir. Kenaikan harga jagung dan

MBM terjadi pada bulan Januari 2006 sampai bulan Januari 2007 sebesar 130 dolar menjadi 235 dolar dan harga MBM sebesar 350 dolar sampai 370 dolar, kedua bahan tersebut merupakan bahan baku sangat penting untuk pakan ternak. Namun penurunan yang terjadi pada produksi ayam broiler

tidak berlangsung lama, karena setelah tahun 2007-2010 produksi ayam

broiler nasional terus mengalami peningkatan.

Salah satu sentra produksi ayam di Indonesia adalah Provinsi Jawa Barat. Wilayah Jawa Barat sendiri merupakan sentra produksi ayam broiler

terbesar di Indonesia, menurut Badan Pusat Statistik (2009) produksi Jawa Barat pada tahun 2009 sebesar 363.573 ton atau sebesar 33,1 % dari produksi nasional. Sentra-sentra penghasil ayam broiler di Jawa Barat adalah Kabupaten Bogor, Kabupaten Ciamis dan Kabupaten Subang. Kabupaten Bogor merupakan sentra produksi ayam broiler terbesar di Provinsi Jawa Barat. Berdasarkan data dinas peternakan Provinsi Jawa Barat, pada tahun 2010 jumlah populasi ayam broiler di Kabupaten Bogor berjumlah 94630680 ekor, 13,83% lebih besar dari sentra produksi kedua ayam broiler yaitu Kabupaten Ciamis. Adapun perkembangan populasi daging ayam broiler pada Kabupaten Bogor dapat dilihat pada tabel 1. Berdasarkan Tabel 1 terlihat bahwa secara statistik populasi ayam

broiler sejak tahun 2005 hingga tahun 2010 terus meningkat. Pertumbuhan populasi ayam broiler juga selalu positif sejak tahun 2005. Rata kenaikan sebesar 18,20 setiap tahun. Angka yang sangat besar ini mengindikasikan bahwa Kabupaten Bogor memiliki potensi yang besar terutama secara kuantitas produksi, dan sudah memiliki pasar tertentu.


(20)

3 Tabel 1. Perkembangan populasi ayam broiler tahun 2005-2010 di

Kabupaten Bogor

Tahun Populasi (ekor) Pertumbuhan (%)

2005 8,257,900 -

2006 11,864,000 43,67

2007 12,756,300 7,52

2008 13,775,475 7,99

2009 15,771,780 4,27

2010 14,363,496 9,80

Sumber : Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor 2011

Pada gambar satu dapat dilihat perkembangan harga ayam broiler di Kabupaten Bogor.

Sumber: Dinas Peternakan Dan Perikanan Kabupaten Bogor (2012)

Gambar 1. Perkembangan harga ayam broiler di Kabupaten Bogor tahun 2010-2011

Perkembangan harga daging ayam broiler di Jawa Barat selama satu tahun, terlihat bahwa harga daging ayam broiler berfluktuasi setiap bulannya. Dinamika Fluktuasi harga ayam broiler menyebabkan adanya gap diantara harga di tingkat konsumen dan harga di tingkat produsen. Gap antara harga di tingkat produsen dan konsumen adalah sebesar 50%, dengan besar laju rata-rata terjadi peningkatan harga sebesar 3% di tingkat konsumen dan 0,6% di tingkat produsen. Perbedaan tertinggi terjadi di bulan januari dengan adanya peningkatan harga sebesar 54% di tingkat konsumen dan hanya 11% di tingkat produsen. Peningkatan dan penurunan


(21)

4

harga diantara produsen dan konsumen tidak selalu sama. Penurunan harga terjadi di tingkat konsumen 11% pada bulan mei, namun terjadi peningkatan harga di tingkat konsumen sebesar 6% pada bulan yang sama. Pergerakan Demikian Fluktuasi harga terus terjadi dalam pemasaran ayam broiler,

sehingga hal tersebut tidak menguntungkan bagi pengembangan usaha ayam

broiler karena dapat memiliki pengaruh negatif terhadap keputusan pemilik modal untuk melakukan investasi akibat ketidak pastian penerimaan yang akan diperoleh. Selain itu, Fluktuasi harga juga dapat lebih merugikan peternak daripada pedagang karena peternak tidak dapat mengatur umur pemanenan untuk waktu penjualan agar mendapatkan harga jual yang lebih menguntungkan. Fluktuasi harga yang tinggi juga memberi peluang kepada pedagang untuk memanipulasi informasi harga dimana jika terjadi kenaikan harga di tingkat konsumen maka kenaikan harga tersebut tidak diteruskan kepada peternak secara cepat dan sempurna, sebaliknya jika terjadi penurunan harga.

Adanya peningkatan produksi merupakan keberhasilan bagi pelaksanaan kegiatan peternakan ayam broiler. Semakin besar potensi peternakan ayam broiler yang dihasilkan dari Kabupaten Bogor semakin besar pula tantangan yang dihadapi. Tantangan tersebut diantaranya adalah bagaimana menghadapi fluktuasi harga yang terjadi dalam pemasaran ayam broiler, mempertahankan dan mengembangkan pangsa pasar dengan lebih meningkatkan peternak, peranan organisasi pemasaran, dan meningkatkan kualitas ayam broiler, sehingga dapat berkontribusi secara lebih signifikan bagi peningkatan kesejahteraan peternak ayam broiler. Salah satu cara untuk menjawab tantangan tersebut adalah dengan memperhatikan struktur ayam

broiler agar terhindar dari persaingan yang tidak sehat, perilaku pemasaran yang efektif maupun meningkatkan kinerja peternakan ayam broiler,serta memfasilitasi pelaku usaha dalam memperoleh informasi pasar.

1.2 Perumusan Masalah

Industri ayam broiler di Kabupaten Bogor telah berkembang dengan pesat, wilayah Kabupaten Bogor selain memiliki wilayah yang luas juga


(22)

5 memiliki jumlah populasi tertinggi di Jawa Barat. Selain sebagai sentra produksi ayam broiler di Jawa Barat, wilayah Kabupaten Bogor juga merupakan tujuan pasar utama produk ternak ayam broiler. Menurut Safitri (2009), Hal ini dilandasi oleh beberapa alasan yaitu: adanya permintaan yang tinggi, akibat adanya perkembangan industri kawasan Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi, jarak ke pasar utama dekat (Jakarta), dan adanya dukungan investasi industri baik industri hulu (industri pembibitan dan industri pakan ternak) maupun industri hilir penjualan daging ayam broiler

ke berbagai restoran dan rumah makan.

Namun di sisi lain pengembangan industri peternakan ayam broiler

menghadapi berbagai permasalahan, antara lain struktur industri peternakan yang masih tersekat-sekat dan belum menunjukan keterkaitan antara satu dan lain antar subsistem agribisnis peternakan, idealnya setiap subsistem yang ada (sarana penyediaan produksi, produksi, pengolahan, pemasaran dan sarana pendukung) harus terpadu secara fungsional satu sama lain. Misalnya di dalam sarana penyediaan produksi, seringkali peternak ayam

broiler di Kabupaten Bogor mengalami keterbatasan pasokan bahan baku pangan, dan sebagian besar bahan baku pangan ternak merupakan impor dan menyebabkan tingginya biaya produksi.

Harga yang berfluktuasi setiap bulannya ditingkat produsen merupakan respon terhadap perubahan harga pakan dan bibit1, sehingga meningkatkan biaya produksi dari peternak. Fluktuasi harga dengan intensitas yang berbeda seringkali menempatkan peternak dalam kondisi rawan. Menurut Sutawi (2007), siklus fluktuasi diawali dengan naiknya harga sarana produksi peternakan (sapronak) dan sering diikuti dengan turunnya harga jual produk. Naiknya sarana produksi menyebabkan peningkatan biaya produksi tetapi menurunkan pendapatan peternak sampai di bawah batas break even point. Turunnya pendapatan peternak yang berkepanjangan menyebabkan peternak menghentikan usahanya, hal ini mengakibatkan permintaaan DOC berkurang dan menyebabkan permintaan daging ayam broiler menurun. terganggunya permintaan dan penawaran

2

Pinsar,Telur memburuk, broiler sedikit membaik http://www.pinsar.com/info_pasar [diakses tanggal 24 februari 2012]


(23)

6

meningkatkan harga jual produk sehingga menarik minat peternak untuk berusaha kembali dan akibatnya permintaaan DOC naik. Demikian siklus tersebut, menyebabkan ketidakstabilan pemasaran ayam broiler.

Wilayah di Kabupaten Bogor yang luas, sehingga adanya jarak yang besar antara wilayah produksi dan wilayah pemasaran juga mempengaruhi efisiensi pemasaran ayam broiler di Kabupaten Bogor. Menurut Irawan (2007) Jarak pemasaran antara daerah produsen dan daerah konsumen memiliki pengaruh signifikan karena akan mempengaruhi besarnya biaya sewa alat pengangkutan, biaya pengepakan, dan tingkat kerusakan selama proses pengangkutan, pergerakan komoditi ini menyebabkan adanya transmisi harga dalam komoditi ayam broiler. Aspek transmisi harga merupakan aspek yang penting untuk dikaji. hal ini dilakukan karena aspek ini dapat memberikan informasi yang berharga mengenai tingkat integrasi dan akan mengarah kepada efisiensi pasar. Informasi ini dapat digunakan untuk mengetahui kecepatan respon pelaku pasar dalam menghadapi perubahan harga sehingga dapat melakukan pengambilan keputusan secara tepat dan cepat. Oleh karena itu perlu dilakukan suatu analisis mengenai dinamika harga yang terjadi dalam pemasaran ayam broiler di kabupaten bogor.

Melihat dinamika yang terjadi pada pemasaran ayam Broiler di Kabupaten Bogor, perumusan masalah yang menarik untuk dikaji adalah:

1. Bagaimana keterpaduan pasar yang terjadi antara harga di pasar konsumen dan produsen ayam broiler di Kabupaten Bogor?

2. Bagaimana transmisi harga yang terjadi antar pasar konsumen ayam broiler di Kabupaten Bogor?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Menganalisis keterpaduan pasar ayam broiler antara harga di pasar konsumen dan produsen di Kabupaten Bogor.


(24)

7 2. Menganalisis transmisi harga antar pasar konsumen ayam broiler di

Kabupaten Bogor

1.4 Manfaat Penelitian

1. Bagi pelaku pasar, sebagai bahan masukan mengenai pengembangan pemasaran ayam broiler, terutama bagi peternak dan lembaga pemasaran ayam broiler di Kabupaten Bogor

2. Bagi pemerintah dan instansi terkait, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam menetapkan kebijakan dan perkembangan komoditas ayam broiler dari mulai produksi hingga pemasaran.

3. Bagi penulis adalah untuk menambah pengetahuan dan pengalaman serta sebagai salah satu cara dalam menerapkan ilmu yang telah diperoleh.

4. Bahan masukan bagi penelitian berikutnya, khususnya yang berkaitan dengan pemasaran.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian Adapun ruang lingkup dalam penelitian ini adalah:

1. Penelitian ini dilakukan di kabupaten bogor, pasar yang di analisis adalah pasar Cibinong, pasar Leuwiliang, pasar Citeureup II dan pasar Jasinga, di Kabupaten Bogor.

2. Periode harga yang dianalisis untuk keterpaduan pasar vertikal adalah harga mingguan di tingkat konsumen dan produsen selama satu tahun dari januari – desember 2011. Keterpaduan pasar horisontal dianalisis harga minguan di tingkat konsumen selama satu tahun dari januari-desember 2012.

3. Harga ayam broiler yang dianalisis adalah harga karkas ayam


(25)

8

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Karakteristik Ayam Broiler

Menurut Rasyaf (2009) definisi ayam ras pedaging atau lebih dikenal dengan sebutan ayam broiler adalah ayam jantan dan betina muda yang dijual pada umur dibawah delapan minggu dengan bobot tubuh tertentu, mempunyai pertumbuhan yang cepat serta mempunyai dada yang lebar dengan timbunan daging yang baik dan banyak. Menurut Mudjiono (1990) definisi ayam broiler adalah istilah untuk menyebut strain ayam hasil budidaya teknologi yang memiliki karakteristik ekonomis dengan ciri khas pertumbuhan cepat sebagai penghasil daging, lebih lanjut dikatakan bahwa konversi pakan ayam tersebut kecil, siap potong pada umur relatif muda serta menghasilkan daging berserat lunak.

Ciri-ciri khas ayam broiler dibanding daging jenis unggas yang lain adalah: rasanya yang khas dan enak, memiliki tekstur daging yang lembut dan banyak, pengolahan yang singkat karena daging ini mudah lunak. Budidaya ayam ini sangat diminati karena memiliki keunggulan-keunngulan sifat terutama pertumbuhan dan hasil utama. Peternak mampu menghasilkan ayam siap potong dalam waktu singkat karena ayam ini memiliki tingkat pertambahan bobot yang relatif cepat bila dibandingkan dengan jenis ayam lainnya. Ayam broiler umur satu sampai dengan lima minggu memiliki tingkat pertumbuhan yang paling baik. Bobot jual antara lima sampai enam minggu bobot ayam broiler telah mencapai sekitar 1,3-1,6 kilogram per ekornya. Bobot ayam konsumsi untuk ayam broiler adalah maksimum enam minggu dalam siklus budidayanya. Jenis-jenis strain ayam ras pedaging yang banyak beredar adalah: Super 77, Tegel 70, ISA, Kim cross, Lohman

202, Hyline, Vdett, Missouri, Hubbard, Shaver Starbro, Pilch, Yabro, Goto,

Arbor arcres, Tatum, Indian river, Hybro, Cornish, Brahma, 2 Langshans,

Hypeco-Broiler, Ross, Marshall”m”, Euribrid, A.A 70, H&N, Sussex, Bromo, CP 707.


(26)

9 2.2 Peternakan Ayam Broiler

Usaha peternakan ayam broiler saat ini berkembang sangat pesat, baik dari segi skala usaha maupun dari jumlah peternakan yang ada. Beberapa alasan peternak untuk terus menjalankan usaha ini antara lain, jumlah permintaan daging ayam yang terus meningkat, perputaran modal yang cepat, akses mendapatkan input produksi yang mudah dengan skala kecil maupun besar merupakan daya tarik tersendiri bagi para pelaku usaha untuk menekuni usaha peternakan ayam broiler ini. Usaha peternakan dapat digolongkan kedalam beberapa bagian. Menurut Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 472/Kpts/TN.330/6/96, usaha peternakan terbagi menjadi tiga kategori, yaitu peternakan rakyat, pengusaha kecil peternakan, dan pengusaha peternakan. Peternakan rakyat adalah peternak yang mengusahakan budidaya ayam dengan jumlah populasi maksimal 15.000 ekor per periode. Pengusaha kecil peternakan adalah peternak yang membudidayakan ayam dengan jumlah populasi maksimal 65.000 ekor per periode. Sedangkan untuk pengusaha peternakan adalah peternak yang membudidayakan ayam dengan jumlah populasi melebihi 65.000 ekor per periode. Khusus untuk Pengusaha Peternakan, dapat menerima bimbingan dan pengawasan dari pemerintah. Hal tersebut ditegaskan dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 16 Tahun 1977 tentang usaha peternakan. Peraturan pemerintah ini menjelaskan bahwa Menteri bertanggung jawab dalam bidang peternakan atau pejabat yang ditunjuk olehnya berkewajiban melakukan bimbingan dan pengawasan atas pelaksanaan perusahaan-perusahaan peternakan2.

Agribisnis khususnya peternakan dapat dilihat dari empat sub sistem agribisnis peternakan yaitu hulu, budidaya, hilir dan penunjang. Sub sistem agribisnis hulu meliputi seluruh proses produksi sapronak (sarana produksi ternak) seperti DOC, pakan, obat-obatan serta peralatan-peralatan peternakan. Sub sistem budidaya ternak berkaitan dengan proses produksi ternak dengan menggunakan input yang dihasilkan oleh subsistem hulu

2


(27)

10

untuk menghasilkan output yang siap diolah dan dipasarkan. Sub sistem hilir meliputi kegiatan pengolahan produk yang dihasilkan oleh sub sistem budidaya ternak menjadi produk olahan dan produk akhir. Sedangkan sub sistem penunjang adalah sub sistem yang menunjang keberhasilan ketiga sub sistem diatas. Sub sistem penunjang ini dapat berupa lembaga keuangan bank mapun non bank, lembaga penelitian dan pengembangan, lembaga pendidikan dan pelatihan, transportasi, komunikasi, dan kebijakan-kebijakan pemerintah.

2.3 Keterpaduan Pasar Ravalion

Ravalion (1986) mengembangkan model keterpaduan pasar yang disebut metode autoregresive distributed lag model atau model autoregresi yang dilanjutkan oleh Heytens (1986). Model autoregresi tersebut dapat mengurangi kelemahan model analisa korelasi harga yang menganggap perubahan harga di tingkat konsumen dan produsen bergerak pada waktu yang sama. Menurut Ravallion (1986) model keterpaduan pasar dapat digunakan untuk mengukur bagaimana harga di pasar lokal dipengaruhi oleh harga di pasar rujukan (acuan) dengan mempertimbangkan harga pada waktu tertentu (t) dan harga pada waktu sebelumnya (t-1). Aktivitas pasar-pasar tersebut dihubungkan oleh adanya arus komoditas, sehingga harga dan jumlah komoditas yang dipasarkan akan berubah bila terjadi perubahan harga di pasar lain. Model keterpaduan pasar Ravalion merupakan salah satu model yang tepat untuk menganalisis model dinamis dari integrasi pasar. Pada pasar pertanian, karena karakteristik komoditas yang bulky dan sebagian besar diproduksi di wilayah pedesaan yang berimplikasi adanya delivery lag yang signifikan menjadikan model dinamik sebagai model yang disarankan untuk menganalisis integrasi pasar.

Model Ravallion (1986) menggambarkan bagaimana rural market terkait dengan central market atau bagaimana tingkatan lembaga yang lebih tinggi mempengaruhi pasar demgan tingkatan yang lebih rendah di bawah nya. Fungsi dasar Ravallion adalah sebagai berikut:


(28)

11 Pit = fi(P1Xi),(i=2,3,...N)...(1.2) Dimana N=1 menggambarkan pasar acuan (central market); N=2,3...N menggambarkan pasar lokal (domestik) atau rural market. P1 adalah harga komoditas di pasar acuan dan pi adalah harga komoditas pada pasar lokal ke i. X1 menggambarkan variabel-variabel non harga (trend waktu atau dummy) mempengaruhi permintaan dan penawaran pada pasar domestik. Model dasar (1.1) dan (1.2) kemudian diturunkan menjadi model dinamis dalam bentuk autoregressive sebagai berikut:

P1t = aijP1t-j + b1jPkt-j+ ciX1t+eit...(1.3) Pit = aijP1t-j + bijPit-j+ciXit+eit...(1.4) Dimana aij,bij dan ci adalah parameter yang di estimasi, dan j (j=1,2...n) adalah lag. Dalam kebanyakan studi persamaan (1.3) adalah

underidentified dan hanya persamaan (1.4) yang dapat meregresikan harga sekarang dari harga pasar lokal ke 1 (Pit) dengan nilai lag nya sendiri Pit-jdan nilai lag dari Pit (Pit-1) dan variabel eksogen lain yang diduga mempengaruhi harga (Xit) menurut Amikuzuno (2009) dalam Hidayat (2013). Pendekatan Ravallion membedakan integrasi pasar ke dalam tiga bentuk yakni :

1. Segmentasi pasar, terjadi jika harga-harga pada pasar lokal (domestik) tidak tergantung terhadap lag harga pada pasar acuan, bij=0 untuk semua j,i=0

2. Short run market integration (strong form) antara pasar acuan dan pasar lokal yaitu perubahan harga pada pasar acuan menggambarkan dengan seketika dan secara penuh dalam lokal market tanpa ada lag effect. Dalam kasus ini, bij=1 dan aij=0 untuk semua j=1,2...n. week form dari short run

market integration konsisten dengan struktur pasar yang tidak sepenuhnya bersaing sempurna, dimana secara rata-rata tidak ada lagged effect dari perubahan harga pada pasar acuan terhadap pasar lokal.

bi0=1 dan (aij+bij)=0...(1.5) 3. Kriteria jangka panjang menjelaskan bahwa dalam jangka panjang, perubahan harga pada pasar acuan seharusnya secara dinamis sama dengan perubahan harga pada pasar lokal. Kriteria ini mengharuskan:


(29)

12

2.4 Vector Autoregression

VAR atau Vector Autoregression, merupakan model yang dikembangkan oleh Sims pada tahun 1980, sebagai alternatif pendekatan permodelan ekonomi dinamis, yang nyatanya diketahui banyak hubungan antara variabel-variabel yang saling berkaitan digunakan dalam model persamaan simultan (Enders 1995). Sims mengembangkan model VAR dengan asumsi, jika terdapat hubungan simultan antara variabel-variabel yang diobservasi maka variabel tersebut perlu mendapat perlakuan yang sama, sehingga atas dasar itu muncul model VAR.

VAR digunakan untuk meramalkan perubahan dari error term suatu sistem time series. VAR dibentuk dengan menyusun sistem persamaan dimana semua variabel diperlakukan endogenous (variabel dependen). VAR adalah suatu sistem persamaan yang memperlihatkan setiap variabel sebagai fungsi linear dari konstanta dan nilai selang (lampau) dari variabel itu sendiri serta nilai selang dari variabel lain yang ada dalam sistem. Panjangnya selang variabel yang optimal diperlukan untuk menangkap pengaruh dari setiap variabel terhadap variabel yang lain di dalam sistem VAR. Penentuan panjangnya selang optimal ini bisa menggunakan beberapa kriteria antara lain Akaike Information Criteria (AIC), Schwartz Information Criteria (SIC), dan Hannah-Quin Criteria(HQ). Panjang selang yang optimal terjadi jika nilai-nilai kriteria yang telah disebutkan mempunyai nilai absolut paling kecil dan pada beberapa kriteria panjang selang optimal terjadi jika nilai adjusted R2 adalah paling tinggi.

Thomas (1997) dalam Hafizah (2009) menjelaskan bahwa kelebihan dari metode ini dapat digunakan untuk data dari berbagai waktu, hasil yang di peroleh tidak spurious (palsu), dapat menentukan besar integrasi, arah transformasi harga, pasar yang menjadi pemimpin atau pengikut harga maupun pasar yang terisolasi. Struktural VAR tidak hanya menghasilkan rekomendasi berdasarkan keluaran modelnya dalam merespon adanya suatu shock tetapi juga sesuai dengan model teoritik dan dapat melihat respon jangka panjang berdasarkan data historinya, selain itu model VAR adalah


(30)

13 model linear sehingga model VAR mudah diestimasi dengan menggunakan metode OLS.

VAR dibagi menjadi tiga jenis, (1) VAR in level, jika data yang digunakan sudah stasioner, (2) VAR in difference, jika data yang digunakan belum stasioner dan tidak ada kointegrasi antara variabel-variabel yang digunakan dalam model, dan (3) VECM (Vector Eror Correction Model), jika data yang digunakan belum stasioner dan ada kointegrasi antara variabel yang digunakan dalam model (Widarjono 2010).

2.5 Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu mengenai ayam broiler yang terkait dengan penelitian dilakukan oleh Asmarantaka (1994) mengkaji efisiensi tataniaga ayam potong (RAS) di wilayah Jabodetabek. Tujuan dari penelitian tersebut adalah mengkaji sistem tataniaga ayam ras pedaging khususnya yang berkaitan dengan saluran tataniaga, struktur pasar serta sistem informasi pasar yang keseluruhannya akan menentukan efisinsi tataniaga dan mempelajari penyebab inefisiensi. Analisis data menggunakan tabulasi, regresi sederhana dan autoregressive distributed lag (Ravallion dan heytens, 1986). Hasil analisis hubungan antara harga di tingkat peternak dan harga di tingkat pengecer menunjukkan bahwa perubahan harga di tingkat pengecer tidak dinikmati oleh peternak. Mekanisme harga yang terjadi bukan mekanisme pasar (bekerjanya supply dan demand), tetapi lebih ditentukan berdasarkan musyawarah diantara pemimpin pasar (perusahaan) yang menguasai pangsa pasar terbesar. Informasi yang diberikan kepada peternak transparan tetapi data yang diberikan tidak valid, kondisi ini menyebabkan peternak berada dalam posisi yang sulit terutama dalam penentuan harga produk.

Penelitian terdahulu mengenai keterpaduan pasar dilakukan oleh Arifianto (2007), Arifianto (2007) melakukan analisis marjin pemasaran dan keterpaduan pasar daging domba di Kabupaten Majalengka, Jawa Barat. Analisis indeks keterpaduan pasar antara harga di pasar lokal dan harga di pasar acuan (rujukan) dapat diukur dengan menggunakan IMC. Metode


(31)

14

yang digunakan oleh keduanya yaitu autoregresive distributed lag.

Arifianto (2007) memperoleh hasil analisis keterpaduan pasar yang menunjukkan terjadinya keterpaduan pasar anatara pedagang pemasok di PTR dengan pedagang pengecer di pasar Kadipaten dalam jangka panjang. Hal ini ditunjukkan dengan nilai b2 = 1,10 dapat diterima secara statistik dari hasil uji hipotesis (t hitung) dengan hipotesis nol (Ho) b2 = 1 pada taraf nyata 0,05. Sedangkan antara pedagang pemasok dengan pengecer di pasar Cigasong diperoleh hasil b2 = 0,444 dan ditolak secara statistik sehingga tidak terjadi keterpaduan pasar dalam jangka panjang. Sedangkan keterpaduan pasar dalam jangka pendek antara pasar pemasok (PTR) dengan kedua pasar pengecer tidak ada yang terpadu dalam jangka pendek. Akan tetapi pasar Kadipaten cenderung lebih mendekati terpadu dalam jangka pendek dibanding pasar Cigasong. Hal ini ditunjukkan dengan nilai IMC pasar Kadipaten yang lebih mendekati nol, yaitu sebesar 0,869 dibanding pasar Cigasong dengan nilai IMC sebesar 2,378. Sehingga dapat disimpulkan informasi perubahan harga daging domba di tingkat pedagang pemasok tidak didistribusikan secara cepat dan tepat kepada pasar pengecer. Penelitian mengenai Transmisi harga dilakukan oleh Adinugroho (2011) dengan menggunakan pendekatan metode VAR didalam penelitiannya untuk menganalisis transmisi harga teh hitam grade dust di Indonesia. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak terdapatnya hubungan timbal balik antara harga teh di auction Jakarta, Colombo dan Guwahati sehingga perubahan harga yang terjadi di kedua auction luar tersebut tidak tertransmisikan terhadap harga yang terjadi.


(32)

15

III KERANGKA PEMIKIRAN

3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1 Pasar

Menurut Limbong dan Sitorus (1987), pasar merupakan suatu tempat dimana penawaran dan permintaan membentuk suatu harga tertentu sedangkan menurut Dahl dan Hammond (1977), pasar dalam pengetian ekonomi adalah ruang atau dimensi dimana kekuatan penawaran dan permintaan bekerja untuk menentukan atau merubah harga. suatu tempat dapat diartikan sebagai ruang lingkup suatu pasar dimana :

1. Kekuatan permintaan dan penawaran dapat bekerja; 2. Menentukan atau merubah harga;

3. Pemilihan sejumlah barang dan jasa yang dapat dialihkan; 4. Ditandai oleh tataniaga, kelembagaan dan fisik tertentu.

Kotler (2002) mengatakan bahwa pasar merupakan himpunan semua pelanggan potensial yang sama-sama mempunyai kebutuhan, keinginan yang mungkin ingin dan mampu terlibat dalam pertukaran untuk memuaskan kebutuhan atau keinginan.

3.1.2 Harga dan Mekanisme Harga

Harga dan mekanisme harga sangat penting pada ekonomi modern dalam hal mengarahkan pengambilan keputusan dalam alokasi dan distribusi sumber daya yang langka untuk kegiatan produksi, pemasaran dan konsumsi. Harga memainkan peran yang sangat penting dalam sistem ekonomi modern. Menurut Asmarantaka (2009) fungsi utama dari harga meliputi:

Fungsi distributif: untuk siapa diproduksi dan dimana dihasilkan. Barang dan sumber daya terbatas, tetapi kebutuhan dan keinginan tidak terbatas, sehingga harga akan menentukan kemampuan keterbatasan bagi mereka yang memiliki daya beli; Fungsi alokatif: apa, kapan, untuk siapa


(33)

16

diproduksi; Fungsi penanda (Signalling): Harga menandakan situasi permintaan dan penawaran. Kelangkaan tercermin dalam harga tinggi, dan surplus tercermin dalam harga yang lebih rendah; Fungsi penyeimbang (equalibriating) harga memfasilitasi sesuai permintaan dan supply sehingga pasar terdeterminasi; Fungsi rationing: masalah sumber daya yang terbatas versus keinginan yang tidak terbatas; Fungsi Transmisi: Harga mengirimkan informasi ke berbagai aktor di pasar sehingga memungkinkan mereka untuk membuat keputusan tentang apa dan kapan harus membeli dan menjual; Penyediaan insentif: harga bertindak sebagai insentif/disinsentif untuk konsumen dan produsen.

Tomek dan Robinson (1990) dan Dahl and Hammond (1977) memberikan contoh dalam penentuan harga dan penyesuaiannya dalam pasar bersaing (price determination and adjustment in a competitive market). Pada prinsipnya ada dua kelompok struktur pasar yaitu pasar persaingan sempurna (perfecly competitive market) dan monopoli (absolute monopoly); sedangkan kelompok lainnya merupakan kelompok kelompok diantara kedua kelompok yang ekstrim tersebut.

3.1.3 Keterpaduan Pasar Vertikal

Menurut Asmarantaka (2009), keterpaduan pasar atau integrasi pasar merupakan indikator dari efisiensi pemasaran, khususnya efisiensi harga yaitu suatu ukuran yang menunjukkan seberapa jauh perubahan harga yang terjadi pada pasar acuan (pasar di dingkat yang lebih tinggi, misalnya pengecer) akan menyebabkan terjadi perubahan pada pasar pengikutnya (misalnya di tingkat petani). Keterpaduan pasar dapat terjadi jika terdapat informasi pasar yang memadai dan informasi ini disalurkan dengan cepat dari satu pasar ke pasar lainnya misalnya perubahan harga dari salah satu pasar disalurkan atau ditransfer secara cepat ke pasar lain, dengan demikian fluktuasi perubahan harga terjadi pada suatu pasar dapat segera tertangkap oleh pasar lain dengan ukuran perubahan yang sama. Hal tersebut merupakan faktor yang dapat digunakan sebagai sinyal dalam pengambilan keputusan bagi produsen.


(34)

17 Goletti dan Christina-Tsigas (1996) dalam Sianturi (2005) mendefinisikan integrasi pasar sebagai kondisi yang dihasilkan akibat tindakan pelaku pemasaran serta lingkungan pemasaran yang mendukung terjadinya perdagangan, yang meliputi infrasruktur pemasaran dan kebijakan pemerintah, yang menyebabkan harga di suatu pasar ditransformasikan ke pasar lainnya. Suryana (1998) mengartikan integrasi pasar sebagai hubungan yang erat antara kekuatan supply dan demand pada suatu pasar terhadap kekuatan supply dan demand pada pasar lainnya.

Simatupang dan Situmorang (1988) mengatakan bahwa dua pasar terpadu apabila perubahan harga di salah satu pasar dirambatkan ke pasar lain, semakin cepat perambatan maka semakin terpadu pasarnya.

Berdasarkan hubungan pasar yang dianalisis, Keterpaduan pasar dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: a) Keterpaduan pasar Horisontal , merupakan tingkat keterkaitan hubungan antara pasar regional dan pasar regional lainnya, dan b) Keterpaduan pasar vertikal, merupakan tingkat keterkaitan hubungan suatu lembaga pemasaran dengan lembaga pemasaran lainnya dalam suatu rantai pemasaran.

Menurut Conforti, (2004) Keterpaduan harga yang simetris terjadi pada pasar yang menganut prinsip law of one price, artinya jika harga pada suatu pasar mengalami peningkatan maka pasar yang menjual produk yang sama akan merespon perubahan harga tersebut mengikuti harga yang terjadi di pasar. Hal ini menandakan bahwa pasar sudah terintegrasi dengan baik dan sudah efisien karena persebaran informasinya merata yang dapat dilihat melalui respon yang ditimbulkan terhadap perubahan harga tersebut, sehingga tidak menimbulkan adanya kemungkinan timbulnya abnormality return. Law of One Price diharapkan dapat mengukur hubungan harga spasial, yang mana harga pada setiap rantai produksi akan berbeda, bergantung pada biaya produksi. Ada enam faktor yang mempengaruhi transmisi harga;

1. Biaya Transportasi dan Transaksi

Hal ini dapat diklasifikasi kembali menjadi tiga grup yang terdiri atas biaya informasi, biaya negosiasi dan biaya monitoring serta biaya


(35)

18

penegakan pelaksanaan. Hal ini dapat membuat harga antar pasar menjadi berbeda, yang dapat diatasi dengan menetapkan harga yang berbeda di dua tempat yang berbeda agar terjadi keadilan dan integrasi di antara dua buah tempat tersebut.

2. Kekuatan Pasar

Pada sebuah rantai produksi yang panjang, beberapa agen akan berlaku sebagai price maker (pembuat harga), bergantung pada sisi mana industri tersebut terkonsentrasi.

3. Increasing returns to scale pada produksi

Hal ini terjadi biasanya pada permulaan pasar. Increasing returns to scale dapat mempengaruhi transmisi harga secara vertikal.

4. Produk yang homogen dan differensiasi

Tingkat substitusi pada konsumsi barang serupa yang diproduksi pada dua buah negara berbeda akan mempengaruhi integrasi pasar dan transmisi harga.

5. Nilai Tukar

Pengaruh perubahan nilai tukar suatu mata uang terhadap mata uang lain akan memiliki pengaruh pada kemampuan sebuah perusahaan untuk membedakan harga yang bergantung pada tujuan (price-to-market behaviour), struktur pasar, produk non-homogen, dan biaya pada perusahaan.

6. Kebijakan dalam negeri suatu negara

Hal ini secara langsung mempengaruhi transmisi harga spasial, antara lain kebijakan perdagangan, sedangkan kebijakan domestik yang berkenaan dengan harga akan mempengaruhi transmisi harga secara vertikal dan spasial.

Melemahnya keterpaduan pasar akan mengindikasikan proses pemasaran suatu komoditas tidak efisien, karena harga tidak ditransformasikan secara tepat kepasar lainnya baik secara vertikal dan horisontal. Disamping itu, keterpaduan pasar harus ditunjang dengan adanya alur informasi yang lancar, sarana dan prasarana transportasi yang memadai, komponen ini juga akhirnya dapat menentukan struktur dan prilaku pasar.


(36)

19 Harga komoditas pangan di pasar umumnya, didominasi penentuan harganya oleh harga di tingkat produsen, tetapi tidak semua perubahan harga di tingkat konsumen ditransmisi ke pasar produsen, sehingga melemahnya keterpaduan pasar secara vertikal di sisi lain melemah nya keterpaduan horisontal sebagai akibat lokasi yang berjauhan dan merupakan pembatas lancarnya komunikasi antara dua level pasar yang berjauhan. Keterpaduan pasar vertikal digunakan untuk melihat tingkat keeratan hubungan antar pasar produsen dan ritel (pedagang). Pasar produsen adalah pasar yang di dalamnya bekerja kekuatan permintaan dari pedagang dan kekuatan penawaran dari produsen, sedangkan pasar ritel adalah pasar yang di dalamnya bekerja kekuatan permintaan dari konsumen akhir dan penawaran dari pedagang. Suatu pasar dikatakan terintegrasi vertikal dengan baik apabila harga pada suatu lembaga pemasaran ditransformasikan kepada lembaga pemasaran lainnya dalamsatu rantai pemasaran.

Tingkat keterpaduan pasar yang tinggi menunjukkan telah lancarnya arus informasi diantara lembaga pemasaran sehingga harga yang terjadi pada pasar yang dihadapi oleh lembaga pemasaran yang lebih rendah dipengaruhi oleh lembaga pemasaran yang lebih tinggi. Hal ini dikarenakan apabila arus informasi berjalan dengan lancar dan seimbang, tingkat lembaga pemasaran yang lebih rendah mengetahui informasi yang dihadapi oleh lembaga pemasaran di atasnya, sehingga dapat menentukan posisi tawarnya dalam pembentukan harga (Sianturi , 2005).

3.1.4 Keterpaduan Pasar Horisontal

Menurut Tomek dan Robinson (1990), Ketepaduan pasar horisontal digambarkan sebagai hubungan harga dari pasar yang terpisah secara geografis. Keterpaduan pasar horisontal merupakan tingkat keterkaitan hubungan antara pasar regional dan pasar regional lainnya. Keterpaduan pasar horisontal menunjukkan pergerakan harga, dan secara umum merupakan signal dari transmisi harga dan informasi diantara pasar yang terpisah secara spasial.


(37)

20

Keterpaduan pasar dapat menunjukkan pergerakan harga dan secara umum merupakan signal dari transmisi harga dan informasi diantara pasar yang terpisah secara horisontal. Menurut Ratnasari (2010) pasar yang tidak terintegrasi bisa membawa informasi harga yang tidak akurat yang dapat mendistorsi keputusan pasar produsen dan kontribusi pergerakan produk menjadi tidak efisien.

Menurut Nugroho (2011) Transmisi harga yang tidak berjalan dengan baik merupakan akibat dari kebijakan stabilisisasi yang dijalankan pemerintah, melalui berbagai instrumen kebijakan perdagangan, pasar yang tidak terintegrasi secara sempurna, atau tingginya biaya transaksi yang membuat pasar menjadi tersegmen.

3.2 Kerangka Pemikiran Operasional

Kabupaten Bogor merupakan sentra produksi ayam terbesar di Provinsi Jawa barat. Tingginya produksi Ayam broiler Kabupaten Bogor berkorelasi positif dengan besarnya permintaan masyarakat akan kebutuhan protein hewani asal ayam broiler. Namun harga ayam yang di terima produsen sangat fluktuatif, sehingga seringkali harga yang di terima di tingkat produsen rendah.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Asmarantaka et al (1994), pasar ayam di Jabodetabek termasuk kabupaten Bogor, menghadapi struktur pasar oligopoli pada pasar output serta oligopsoni pada pasar input nya, sehingga hal ini menyebabkan tidak efisiennya sistem pemasaran ayam

broiler di Kabupaten Bogor

Penelitian ini menganalisis integrasi harga pasar ayam broiler di Kabupaten Bogor. Dalam suatu sistem pemasaran sering terjadi tidak seimbangnya (adanya gap) antara penawaran dan permintaan, sulitnya arus informasi antara pelaku pasar, serta ketidakefisien sistem pemasaran, hal ini mengindikasikan pentingnya riset mengenai pasar (market research) mengenai pemasaran dan informasi harga yang terjadi pada pasar ayam


(38)

21 Analisis keterpaduan pasar dilakukan secara verrtikal dan horisontal. Analisis keterpaduan pasar secara vertikal harga di tingkat konsumen dan di tingkat produsen di analisis dengan model Ravalion yang diestimasi Index Market Connection (IMC) antar lembaga pada sistem pemasaran ayam

broiler di Kabupaten Bogor. Analisis keterpaduan pasar secara horisontal di analisis dengan metode Vector Autoregression (VAR), hal ini dilakukan untuk melihat keterpaduan antar pasar konsumen ayam broiler di Kabupaten Bogor, serta pergererakan harga dan bagaimana harga di tingkat konsumen transmisikan antar Pasar di Kabupaten Bogor yaitu pasar Cibinong, Jasinga, Leuwilian dan Citeureup.

Kerangka pemikiran konseptual dalam bagan bagan dapat dilihat pada gambar 4.


(39)

22

Gambar 2. Kerangka pemikiran operasional Kabupaten Bogor sebagai sentra produksi

ayam broiler ayam broiler terbesar di Provinsi jawa Barat.

Permasalahan

Fluktuasi harga di tingkat peternak dan konsumen

Analisis

Keterpaduan Pasar Horisontal Analisis

Keterpaduan Pasar vertikal

Index Marketing Connection (IMC)

Perilaku Pasar ayam

Broiler di Kabupaten Bogor

Analisis Respons Impuls

Analisis Variance decomposition

Jangka Pendek Jangka Panjang

Vector autoregression (VAR)

Harga di pasar tingkat produsen

Harga di pasar tingkat konsumen


(40)

23

IV METODOLOGI PENELITIAN

4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Bogor Provinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa Kabupaten Bogor merupakan sentra produksi ayam broiler terbesar di Provinsi Jawa Barat. Penelitian dilaksanakan pada bulan juni-agustus 2012.

4.2 Data dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data harga mingguan di tingkat produsen dan konsumen serta data mingguan di tingkat konsumen empat pasar di kabupaten bogor, yaitu pasar Cibinong, Leuwiliang, Cieteureup II serta Jasinga. Data sekunder diperoleh dari instansi terkait yaitu Dinas Peternakan dan perikanan Kabupaten Bogor, Perusahaan Daerah Pasar Tohaga (PD TOHAGA) Kabupaten Bogor, Dinas Perdagangan Kabupaten Bogor, Badan Pusat Statistik (BPS), Pusat Data dan Informasi. Pusat informasi harga peternakan (PINSAR), Selain itu diperoleh informasi melalui situs web internet, buletin, literatur-literatur serta sumber-sumber yang terkait dengan judul penelitian.

4.3 Metode Analisis Data

Data yang diolah dan dianalisis dalam penelitian ini adalah data sekunder harga ayam broiler di tingkat konsumen dan produsen. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan model integrasi pasar Ravalion untuk menganalisis keterpaduan pasar secara vertikal dan model Vektor Autoregression (VAR) untuk menganalisis transmisi harga secara horisontal. Pengolahan data dilakukan secara bertahap, dimulai dengan mengelompokkan data Pengolahan data analisis kuantitatif menggunakan Microsoft Excel dan sistem tabulasi data. keterpaduan pasar jangka panjang dan jangka pendek dilihat dari indeks of market connection


(41)

24

(IMC) dengan penggunaan software yang digunakan dalam penelitian ini yaituu program Minitab versi 14. Pengolahan data transmisi harga horisontal dilakukan secara bertahap, sebelum sampai pada analisis VAR perlu dilakukan beberapa pengujian praestimasi. Pengajuan praestimasi yang dilakukan adalah uji akar unit (root test) atau uji stationeritas data, penentuan lag optimal, uji kointegrasi, dan uji stabilitas VAR. Adapun software yang digunakan adalah program Eviews 6.

4.4 Analisis Keterpaduan Pasar Vertikal

Analisis keterpaduan pasar bertujuan untuk mengetahui seberapa jauh pembentukan harga ayam broiler pada suatu tingkat lembaga pemasaran dipengaruhi oleh harga di tingkat lembaga pemasaran lainnya. Penelitian ini menganalisis keterpaduan pasar antara peternak dengan pedagang akhir, Data harga yang digunakan adalah data mingguan selama satu tahun dari januari 2011 hingga desember 2012. Model Ravallion digunakan untuk mengukur indeks keterpaduan pasar antara harga di pasar lokal dan harga di pasar acuan. Penyusunan persamaan dilakukan dengan menggunakan pendekatan regresi sederhana (OLS) dimana persamaannya sebagai berikut:

Pit = b1Pit-1 + b2 (Pjt - Pjt-1) + b3Pjt-1 + et Keterangan :

P it = Harga ayam broiler di tingkat pasar lokal pada waktu ke t (rupiah/kilogram)

P it-1 = Harga ayam broiler di tingkat pasar lokal pada waktu ke t-1 (rupiah/kilogram)

Pjt = Harga ayam broiler di tingkat pasar rujukan/acuan pada waktu ke t bi = Parameter estimasi dengan i = 1,2,3,....n(rupiah/kilogram)

Pjt-1 = Harga ayam broiler di tingkat pasar rujukan/acuan pada waktu ke t-1 (rupiah/kilogram)

et = Random error

Nilai IMC ini dapat digunakan untuk mengetahui keterpaduan pasar dalam jangka pendek. Secara matematik dapat dirumuskan sebagai berikut :


(42)

25 IMC = atau IMC =

Untuk menguji apakah secara statistik peubah bebas yang dipilih berpengaruh nyata atau tidak terhadap peubah tidak bebas dapat dilakukan uji statistik t dan uji statistik F. Uji statistik t dapat digunakan untuk menguji koefisien regresi dari masing-masing peubah, apakah secara terpisah dan apakah peubah ke-i berpengaruh nyata terhadap peubah tidak bebas. Uji F digunakan untuk menguji koefisien regresi secara serentak, apakah peubah-peubah bebas secara bersama-sama dapat menjelaskan variasi dari peubah-peubah tidak bebas. Pengujian dari masing-masing koefisien regresi dilakukan dengan uji t-student dengan hipotesis:

H0: b1= 0 H1: b1≠ 0 Pengujian dengan t hitung :

T hitung =

Keterangan : Se (bi) adalah standar error parameter dugaan bi

Kriteria uji : t hitung < t tabel : terima H0 t hitung > t tabel : tolak H0

Jika hipotesa nol ditolak, berarti peubah yang diuji berpengaruh nyata terhadap peubah tidak bebas. Sebaliknya jika hipotesis nol diterima, maka peubah yang diuji tidak berpengaruh nyata terhadap peubah bebas. Sedangkan mekanisme yang digunakan untuk menguji koefisien regresi secara serentak adalah:

H0 : B1 = B2 = ... = Bk =0 H0: B1≠ B2≠...≠ Bk≠0 Statistik uji yang digunakan dalam uji F adalah :

Fhit = Dengan derajat bebas (k-1), (N-k) Keterangan :

SSR = jumlah kuadrat regresi SSE = jumlah kuadrat sisa N = jumlah pengamatan


(43)

26

k = jumlah parameter

kriteria uji : t hitung < t tabel : terima H0 t hitung > t tabel : tolak H0

Jika hipotesa nol ditolak berarti minimal ada satu peubah yang digunakan berpengaruh nyata terhadap peubah tidak bebas. Sebaliknya jika hipotesa nol diterima berarti secara bersama peubah yang digunakan tidak bisa menjelaskan variasi dari peubah tidak bebas. Uji autokorelasi bertujuan untuk melihat apakah ada korelasi antar pengamatan. Uji autokorelasi ini menggunakan uji Durbin Watson. Pengujian dengan metode ini dilakukan karena di dalam model terdapat variabel lag. Pengujian ini digunakan dengan hipotesa:

H0: ρ = 0 dan H1: ρ ≠ 0

Sedangkan koefisien Durbin-h diperoleh dari perhitungan sebagai berikut : dw =

Keterangan:

dw = nilai Durbin Watson et-et-1 = log nilai kesalahan e e2t = kuadrat nilai kesalahan

Koefisien durbin watson (d) hitung dibandingkan dengan nilai tabel dU dan nilai dL. Jika nilai d hitung < dL maka terdapat autokorelasi (+) dan (d) hitung > 4-dL terdapat autokorelasi (-). Jika nilai (d) hitung terdapat pada daerah lain, maka tidak terdapat autokorelasi antar pengamatan. Artinya model dapat digunakan dalam pembahasan selanjutnya.

Untuk mengetahui apakah suatu pasar terpadu dalam jangka panjang maupun jangka pendek, maka dilakukan pengujian hipotesis terhadap keterpaduan pasar.

1. Keterpaduan Pasar Jangka Panjang H0:B2 =1

H0:B2≠1

Pengujian dengan t hitung :


(44)

27 Keterangan : Se (b2) adalah standar error parameter b2.

Apabila t hitung < t tabel maka terima H0 yang artinya kedua pasar terpadu dalam jangka panjang. Sebaliknya t hitung > t tabel, maka tolak H0 hipotesis diterima secara statistik, artinya kedua pasar tidak terpadu dalam jangka panjang.

2. Keterpaduan Pasar Jangka Pendek H0 : b1/b3 =0

H0 : b1/b3 ≠0

Keterangan : b1/b3 = 0 setara dengan b1= 0, sehingga hipotesis sebagai berikut:

H0 : b1 = 0 H0 : b1≠ 0 t hitung :

Apabila t hitung < t tabel maka terima H0 secara statistik, yangt artinya kedua pasar terpadu dalam jangka pendek. Sebaliknya jika t hitung > t tabel, maka tolak H0 dan hipotesa diterima secara statistik, artinya kedua pasar tidak terpadu dalam jangka pendek.

4.5 Analisis Transmisi Harga Horisontal

Secara garis besar langkah langkah-langkah menggunakan metode VAR dalam sebuah penelitian adalah sebagai berikut ; uji stationeritas data penentuan lag optimal, stabilitas model, uji kaulitas granger, uji kointegrasi model, pendugaan model VAR, analsis respons impuls dan variance decompotition.

4.5.1 Uji Stationeritas Data

Uji stationeritas data mengidentifikasi data time series yang sudah disediakan. Identifikasi ini bertujuan untuk melihat apakah data memiliki komponen musiman atau tidak, dan identifikasi terhadap kestasioneran model. Uji stationeritas data dilakukan dengan menguji unit akar (root test), data yang tidak stasioner akan mempunyai akar unit, sedangkan data yang


(45)

28

stasioner tidak mengandung akar unit. Jika data masih belum stasioner maka dilakukan pembedaan (differencing).

Jika dalam differencing pertama data masih belum stasioner maka dilakukan differencing kedua, dan seterusnya hingga seluruh data stasioner. Pengujian kestasioneran data dilakukan menggunakan uji Augmented Dickey Fuller (ADF). Kestationeran data time series juga dapat dilihat dari nilai probabilitasnya (critical value) yang kurang dari 1%, 5% atau 10%, jika pada tingkat level pengujian menunjukkan data sudah stasioner maka analisis selanjutnya menggunakan pendekatab VAR. Apabila pengujian pada tingkat level menujukkan data tidak stasioner maka perlu dilakukan pengujian pada tingkat first difference. Jika data sudah stasioner sejak awal maka model VAR in level dapat langsung dilakukan. Jika data belum stasioner, maka harus melalui proses differencing, kemungkinan model yang digunakan adalah model VAR in difference (VARD) dan VECM (Vector Error Correction Model).

4.5.2 Pengujian Lag Optimal

Penentuan lag optimal yang digunakan dalam model merupakan langkah penting dalam analisis model VECM. Penentuan lag optimal dari variabel yang diregresikan dalam persamaan ditujukan agar menghindari kemungkinan autokorelasi residual di dalam data series. Penenuan jumlah lag optimal yang akan digunaka dalam model VAR dapat ditentukan berdasarkan kroteria Akaike information criterion (AIC), schwarz information criterion (SC) dan hannan Quionon Criterion (HQ). Menurut Gujarati (2003), lag yang akan dipilih adalah model dengan nilai paling kecil. karena, jika terlalu banyak panjang lag, maka akan mengurangi

degree of freedom atau derajat bebas, sehingga lag yang lebih kecil disarankan untuk dapat memperkecil spesifikasi error.

4.5.3 Uji Stabilitas Data

Uji stabilitas VAR merupakan hal yang sangat penting dilakukan sebelum melakukan analisis lebih lanjut. Hasil estimasi VAR yang akan


(46)

29 dikombinasikan dengan model koreksi kesalahan yang tidak stabil, maka analisis selanjutnya seperti Impulse Response dan Variance decomposition

menjadi tidak valid. Untuk menguji stabil atau tidaknya estimasi VAR yang telah dibentuk maka dilakukan VAR stability condition check berupa roots of characteristic polynomial. Suatu sistem VAR dikatakan stabil jika seluruh roots-nya memiliki modulus lebih kecil dari 1 (Lukepohl, 2002). 4.5.4 Uji Kointegrasi

Uji kointegrasi digunakan untuk mengetahui keberadaan hubungan antar variabel. Pada langkah ini akan diketahui apakah model kita merupakan VAR tingkat diferensi jika tidak ada kointegrasi dan VECM bila terdapat kointegrasi (Widarjono, 2007). Persamaan dikatakan terkointegrasi jika trace statistik > critical value. Dengan demikian hipotesinya adalah tolak H0= nonkointegrasi jika trace statistik > critcal value atau terima H1 dengan hipotesis alternatif H1= terkointegrasi.

4.5.5 Pendugaan Model VAR

Model VAR dapat dilakukan setalah dilakukan pengujian Pra estimasi. Penelitian ini menggunakan empat variabel yang terdiri dari harga ayam broiler pasar Cibinong, harga ayam broiler pasar Citeureup, harga ayam broiler pasar Jasinga dan harga ayam broiler pasar Leuwiliang. Model persamaan VAR dalam bentuk vektor yang digunakan dalam penelitian ini yaitu, Estimasi model VAR dapat ditulis ke dalam bentuk persamaan sebagai berikut:

Yt=μ+A1yt-1+...+APYt-P+et

Dimana yt adalah vektor nx1 dari variabel yang terintegrasi pada orde satu, umumnya dinotasikan I(1) dan et adalah nx1 vektor inovasi.

Model VAR dalam penelitian ini disusun berdasarkan penjelasan yang dilakukan oleh Widarjono (2010) dan Enders(1995) dapat disusun

= + +


(47)

30

LogLeuwiliang = harga ayam broiler di pasar leuwiliang Log jasinga = harga ayam broiler di pasar jasinga

Logcibinong =harga ayam broiler di pasar cibinong Logciteureup = harga ayam broiler di pasarciteureup C = intersep

et = Error

aij = koefisien lag peubah ke –j untuk persamaan ke i 4.5.6 Uji Kausalitas Granger

Uji kausalitas Granger dilakukan untuk mengetahui hubungan kausalitas yang ada diantara variabel-variabel yang digunakan dalam model penelitian. Hubungan kausalitas dapat berupa hubungan timbal balik atau simetri atau sering disebut dengan hubungan kausalitas dua arah.

4.5.7 Impulse Respons Function

Dalam model VAR secara individul koefisien sulit diinterpretasikan sehingga penggunaan impulse response merupakan analisis yang penting di dalam model VAR. Impulse Response Function digunakan untuk melihat respon variabel dependent jika terdapat guncangan atau inovasi variabel

dependent sebesar satu standar deviasi. IRF dapat mengidentifikasi suatu guncangan pada variabel endogen sehingga dapat menentukan bagaimana suatu perubahan dalamvariabel mempengaruhi variabel lainnya di sepanjang waktu.

4.5.8 Variance Decomposition

Analisis Variance decomposition (VD) digunakan untuk mencirikan struktur dinamis antar variabel di dalam model VAR. Pola VD dapat mengindikasikan sifat dari kausalitas antara variabel dalam model VAR sehingga VD menjadi sangat sensitif terhadap pengurutan variabel. Pengurutan variabel dalam penelitian ini akan dilakukan berdasarkan faktorisasi Choleski dengan ketentuan variabel tidak memiliki nilai korelasi terhadap variabel lainnya diletakkan pada posisi yang paling belakang,


(48)

31 sedangkan variabel yang memiliki korelasi terhadap variabel lainnya diletakkan berdampingan satu sama lain.


(49)

32

V GAMBARAN UMUM WILAYAH

5.1 Letak dan Keadaan Geografis Lokasi Penelitian

Kabupaten Bogor merupakan salah satu wilayah yang berbatasan langsung dengan Ibu Kota RI dan secara geografis Kabupaten Bogor terletak diantara 6,19° – 6,47° Lintang Selatan (LS) dan 106° - 107° Bujur Timur (BT). Luas wilayah berdasarkan data terakhir adalah 2.301,95 Km2. Batas-batas Wilayah kabupaten Bogor adalah: sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Tangerang, Kota Depok, Kota Bekasi dan Kabupaten Bekasi, sebelah Barat dengan Kabupaten Lebak (Prov. Banten), sebelah Barat Daya Kabupaten Tangerang, sebelah Timur dengan Kabupaten Karawang, sebelah Timur Laut dengan Kabupaten Purwakarta, sebelah Selatan dengan Kabupaten Sukabumi, sebelah Tenggara dengan Kabupaten Cianjur dan sebelah Tengah dengan Kotamadya Bogor.

Kabupaten Bogor memiliki 40 Kecamatan, 428 desa/kelurahan, 13.541 RT dan 913.206 rumah tangga. Dari jumlah tersebut 234 desa mempunyai ketinggian sekitar kurang dari 500m diatas permukaan laut (dpl), 144 desa diantaranya 500-700m dan sisanya 49 desa sekitar lebih dari 500m dpl. Kondisi iklim di Kabupaten Bogor adalah: suhu rata-rata tiap bulan 26 derajat C dengan suhu terendah 21,8 derajat C dan suhu tertinggi 30,4 derajat c, kelembaban udara 70%, curah hujan rata-rata setiap tahun sekitar 3500-4000 mm dengan curah hujan terbesar pada bulan desember dan januari.

Berdasarkan klasifikasi daerah, dilihat dari aspek potensi lapangan usaha, kepadatan penduduk dan sosial terdapat kategori desa perkotaan sebanyak 199 dan desa pedesaan sebanyak 228 desa. Wilayah Kabupaten Bogor dibagi menjadi 3 (tiga) wilayah pembangunan, yaitu: wilayah pembangunan barat, tengah dan timur. Pembangunan wilayah barat meliputi 13 (tiga belas) kecamatan, yaitu Kecamatan Jasinga, Parung Panjang, Tenjo, Cigudeg, Sukajaya, Nanggung, Leuwiliang, Leuwisadeng, Tenjolaya,


(50)

33 Cibungbulang, Ciampea, Pamijahan dan Kecamatan Rumpin, dengan luas wilayah sekitar 128.750 Ha. Pembangunan wilayah tengah meliputi 20 (dua puluh) kecamatan, yaitu Kecamatan Gunung Sindur, Parung, Ciseeng, Kemang, Rancabungur, Bojonggede, Tajurhalang, Cibinong, Sukaraja, Dramaga, Cijeruk, Cigombong, Caringin, Ciawi, Megamendung, Cisarua, Citeureup, Babakan Madang, Ciomas dan kecamatan Tamansari, dengan luas wilayah sekitar 87.552 Ha.

Pembangunan wilayah timur meliputi 7 (tujuh) kecamatan, yaitu Kecamatan Gunung Putri, Cileungsi,Klapanunggal, Jonggol, Sukamakmur, Tanjungsari dan Kecamatan Cariu. Masyarakat Kabupaten Bogor memiliki beberapa karakteristik yaitu:wilayah Bogor bagian utara corak penduduknya adalah Betawi Ora (atau campuran suku Betawi dan Sunda), wilayah Bogor bagian selatan corak dan bahasa penduduknya adalah campuran antara Bogor dengan Cianjur dan Sukabumi, sebelah barat corak dan bahasa penduduknya campuran antara Bogordan Banten, bagian timur corak dan bahasa penduduknya campuran Bogor dengan Karawang, sedikit dengan Cianjur dan Bekasi.

5.2 Keadaan Sosial Ekonomi Penduduk

Kabupaten Bogor merupakan daerah dengan populasi penduduk tertinggi dari 17 kabupaten dan sembilan kota di Jawa Barat. Penduduk Kabupaten Bogor menurut data BPS Kabupaten Bogor (2010) sampai pada tahun 2010 sebanyak 4.7 juta jiwa yang terdiri dari 2.4 juta laki laki dan 2.3 juta perempuan di Kabupaten Bogor mengungguli Kabupaten Bandung diposisi kedua dengan jumlah penduduk 3,3 juta jiwa.

Sarana transportasi di Kabupaten Bogor hanya menggunakan jalur darat yaitu jalanan, baik yang berupa jalan aspal maupun jalan yang terbuat dari campuran kerikil dan tanah. Sarana transportasi darat di daerah ini sudah modern dan lengkap yang terdiri dari kereta api, mobil (pribadi dan angkutan umum), sepeda motor (ojek), becak, sepeda. Transportasi di daerah ini didominasi oleh angkot yang dapat menghubungkan seseorang dari lokasi satu ke lokasi lainnya di dalam daerah tersebut. Hal ini


(51)

34

dikarenakan lokasi daerah Kabupaten Bogor yang sangat luas dan penduduknya yang banyak. Sarana dan prasarana lainnya telah tersedia didaerah ini antara lain; Sarana dan prasarana perekonomian seperti Koperasi, Bank, Pasar, Minimarket, Supermarket, warung serta badan perpajakan 2. Sarana dan prasarana pendidikan berupa play group, TK, SD, SLTP, SMA, Perguruan Tinggi, Lembaga pendidikan keagamaan dan lainnya,Sarana dan prasaran kesehatan antara lain posyandu, puskesmas,bidan, rumah sakit, klinik dokter dan lainnya.

5.3 Kondisi Umum Pasar Tradisional Kabupaten Bogor

Pengelolaan pasar di Kabupaten Bogor saat ini dilakukan oleh perusahaan daerah (PD) pasar tohaga. PD pasar tohaga dalah perusahaan daerah yang dibentuk berasarkan peraturan daerah (PERDA) Kabupaten Bogor nomor 4 tahun 2005 tentang pendirian perusahaan daerah pasar Kabupaten Bogor dengan tujuan mewujudkan dan meningkatkan pelayanan umum dalam memenuhi kebutuhan sarana dan prasarana pasar dengan melaksanakan kegiatan pengelolaan pasar serta meningkatkan pendapatan asli daerah. pengelolaan yang dimaksud adalah sebagaimana diatur dalam Perda nomor 11 tahun 2005 tentang pengelolaan pasar daerah adalah pengelolaan manajemen secara langsung terhadap pasar yang dimiliki dan atau dikuasai oleh PD pasar Tohaga dengan tujuan memperoleh keuntungan dari jasa yang telah diberikan, maupun pengelolaan tidak langsung dalam bentuk pengawasan, pengendalian dan pembinaan terhadap pasar.

Tugas pokok PD Tohaga adalah melaksanakan pelayanan umum dan pembangunan pasar dalam pengelolaan pasar, membina pedagang pasar serta ikut membantu menciptakan stabilitas harga serta kelancuran distribusi barang dan jasa di pasar. Secara spesifik yang dimaksud pasar dalam penelitian ini sebagaiman diatur dalam PERDA Kabupten Bogor nomor 4 tahun 2005 adalah suatu kawasan tertentu beserta bangunan di atasnya yang dimiliki dan di tetapkan oleh pemerintah daerah sebagai tempat dilakukannya transaksi jual beli antara masyarakat umum dengan para


(52)

35 pedagang atau pelaku usaha yang secara teratur dan langsung memperdagangkan barang atau menawarkan jasa.

Jenis pasar yang dikelola oleh PD pasar tohaga saat ini adalah pasar tradisional berjumlah 24 unit yang tersebar di 23 kecamatan. pasar ini dibagi menjadi 3 kelas (besar, sedang dan kecil). Pasar-pasar tersebut adalah Cileungsi, Cibinong, Citereup I, Parung, Citereup II, Jonggol, Cisarua, Parung panjang, Leuwiliang, Laladon, Ciawi, Ciampea, Cariu, Ciluar, Jasinga, Cigombong, Cicangkal, Citayam, Cigudeg, Ciseeng, Parungpung, Nanggung, Cikereteg, Cimayang.


(53)

36

VI HASIL DAN PEMBAHASAN

6.1 Analisis Keterpaduan Pasar Vertikal

Proses pembentukan harga di setiap pasar berbeda-beda. Tergantung pada permintaan dan penawarannya. Pada penelitian ini dilakukan analisis keterpaduan pasar secara vertikal antara pasar produsen (peternak) dan pasar konsumen (pengecer) di Kabupaten Bogor. Data yang digunakan diperoleh dari Pusat Informasi Peternakan (PIP), Dinas perikanan dan peternakan Kabupaten Bogor. Data yang digunakan adalah data mingguan selama 48 minggu dari januari 2011 hingga desember 2011.

Hasil estimasi persamaan regresi keterpaduan pasar secara vertikal antara pasar produsen dan konsumen dapat dilihat pada lampiran 1. Pengolahan data dianalisis menggunakan model keterpaduan pasar Ravallion. Hasil estimasi persamaan regresi keterpaduan pasar pada tingkat pasar produsen di Kabupaten Bogor adalah sebagai berikut:

Pit = 2660 + 0,432 Pit-1 + 0,544 Pjt-Pjt-1 + 0,360 Pjt-1 Dimana :

b1 = parameter variabel harga daging ayam broiler di tingkat peternak pada waktu t-1

b2 = indikator keterpaduan pasar jangka panjang

b3 = parameter variabel harga daging ayam broiler di tingkat pengecer pada waktu t-1

Tabel 2. Hasil estimasi model ravallion

Variabel Koefisien t-hitung p-value

b1 0,432 3,10 0,003*

b2 0,544 5,28 0,000*

b3 0,360 3,22 0,002*

R sq 65,3%

F-hitung 26,99

P-value 0,000*

DW-stat 2,01139

IMC 1,19

Sumber : data primer diolah (2012) Keterangan : *signifikan pada α = 5%


(54)

37 Berdasarkan model Ravallion diatas, diperoleh nilai R-SQ= 65,3 % yaitu menandakan bahwa keterpaduan pasar dari naik dan turunnya harga mampu dijelaskan secara serentak oleh variabel variabel harga di pasar peternak di minggu sebelum nya, selisih antara harga minggu ini dan minggu lalu di pasar pengecer, dan harga di pasar pengecer di minggu sebelumnya sebesar 65,3 %. Sedangkan sisanya sebesar 34,7 % dijelaskan oleh faktor-faktor lain yang tidak masuk dalam model.

Uji F-hitung digunakan untuk uji hipotesis model dugaan secara bersama-sama yang menunjukkan bahwa sekurang-kurangnya ada satu peubah bebas pada persamaan berpengaruh nyata terhadap peubah tak bebas pada taraf nyata lima persen. Hal ini dapat dilihat dari nilai P-value model yaitu 0,000 lebih kecil dari taraf nyata lima persen. Maka dapat diindikasikan bahwa variabel-variable pada model mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap keterpaduan antar pasar.

Uji multikolinearitas yang dilakukan terhadap model yang diduga dengan melihat Varian Inflation Factor (VIF). Hasil VIF menunjukkan bahwa semua variabel memiliki nilai VIF < 10, menunjukkan tidak adanya gejala multikolinearitas antar masing masing variabel bebas. Uji durbin-watson digunakan untuk menguji autokorelasi, koefisien DW stat yang diperoleh adalah sebesar 2,01139, sehingga tidak terdapat autokorelasi dalam pengamatan.

Hasil estimasi parameter koefisien penduga b1 (harga di tingkat petani minggu sebelumnya) adalah sebesar 0.432 dengan nilai P-value adalah 0,003. Model akan signifikan jika nilai P-value lebih kecil dari taraf nyata lima persen. Hal ini berarti berapapun harga yang terjadi di tingkat petani pada minggu lalu nya berpengaruh nyata pada penentuan harga minggu ini, dimana peningkatan perubahan harga pada minggu lalu sebesar 100 %, ceteris paribus, akan meningkatkan harga pada minggu ini sebesar 43,2 % pada taraf nyata lima persen.

Nilai koefisien b2 adalah 0,544 dengan nila P-value adalah 0,000 yang menunjukkan bahwa peningkatan perubahan harga di pasar acuan yaitu


(1)

67

Lampiran 7. Uji Kointegrasi

Date: 03/11/13 Time: 13:20 Sample (adjusted): 3 36

Included observations: 34 after adjustments Trend assumption: No deterministic trend

Series: LEUWILIANG JASINGA CIBINONG CIEUTEREUP Lags interval (in first differences): 1 to 1

Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace)

Hypothesized Trace 0.05

No. of CE(s) Eigenvalue Statistic Critical Value Prob.** None * 0.724132 55.58993 40.17493 0.0007 At most 1 0.188536 11.80367 24.27596 0.7214 At most 2 0.107968 4.700572 12.32090 0.6099 At most 3 0.023713 0.815955 4.129906 0.4224 Trace test indicates 1 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level

* denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level **MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values

Unrestricted Cointegration Rank Test (Maximum Eigenvalue)

Hypothesized Max-Eigen 0.05

No. of CE(s) Eigenvalue Statistic Critical Value None * 0.724132 43.78626 24.15921 At most 1 0.188536 7.103101 17.79730 At most 2 0.107968 3.884617 11.22480 At most 3 0.023713 0.815955 4.129906 Max-eigenvalue test indicates 1 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level * denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level


(2)

68

Lampiran 8. Estimasi model

VAR

VAR first difference lag 3

Vector Autoregression Estimates Date: 03/11/13 Time: 15:06 Sample (adjusted): 5 36

Included observations: 32 after adjustments Standard errors in ( ) & t-statistics in [ ]

D(LOGLEUWILI ANG)

D(LOGJASINGA )

D(LOGCIBINON G)

D(LOGCIEUTE REUP) D(LOGLEUWILIANG(-1)) 0.186443 0.111639 0.078172 0.110411

(0.21693) (0.12336) (0.14810) (0.26048) [ 0.85947] [ 0.90501] [ 0.52782] [ 0.42387] D(LOGLEUWILIANG(-2)) 0.153295 0.011004 0.116089 0.482090 (0.24954) (0.14190) (0.17036) (0.29964) [ 0.61432] [ 0.07755] [ 0.68142] [ 1.60890] D(LOGLEUWILIANG(-3)) -0.229951 -0.129888 0.103988 0.008514 (0.26176) (0.14885) (0.17871) (0.31432) [-0.87848] [-0.87261] [ 0.58188] [ 0.02709] D(LOGJASINGA(-1)) -0.159746 0.023676 -0.209961 0.650117 (0.25262) (0.14365) (0.17247) (0.30334) [-0.63237] [ 0.16481] [-1.21740] [ 2.14321] D(LOGJASINGA(-2)) -0.514442 -0.674887 -0.377958 -0.948309 (0.37234) (0.21173) (0.25420) (0.44710) [-1.38165] [-3.18748] [-1.48683] [-2.12103] D(LOGJASINGA(-3)) -0.057997 0.296200 -0.051658 -0.017357 (0.35093) (0.19955) (0.23958) (0.42139) [-0.16527] [ 1.48431] [-0.21561] [-0.04119] D(LOGCIBINONG(-1)) 0.475330 0.981090 0.080866 1.154937 (0.45172) (0.25687) (0.30840) (0.54241) [ 1.05227] [ 3.81941] [ 0.26221] [ 2.12925] D(LOGCIBINONG(-2)) -0.597117 -1.567536 -0.103309 -0.625561 (0.51020) (0.29012) (0.34832) (0.61263) [-1.17037] [-5.40300] [-0.29659] [-1.02110] D(LOGCIBINONG(-3)) 0.892022 0.970711 0.145432 0.666993 (0.33105) (0.18825) (0.22601) (0.39752) [ 2.69453] [ 5.15646] [ 0.64346] [ 1.67790] D(LOGCIEUTEREUP(-1)) 0.076774 0.163347 0.263599 -0.739520 (0.26668) (0.15165) (0.18207) (0.32022) [ 0.28789] [ 1.07716] [ 1.44783] [-2.30941] D(LOGCIEUTEREUP(-2)) 0.089557 0.313614 0.105833 -0.297308 (0.35962) (0.20450) (0.24552) (0.43183) [ 0.24903] [ 1.53358] [ 0.43105] [-0.68849] D(LOGCIEUTEREUP(-3)) -0.090432 0.337247 0.002902 0.016562


(3)

69

(0.24952) (0.14189) (0.17035) (0.29962) [-0.36242] [ 2.37680] [ 0.01703] [ 0.05528] C 0.000764 -0.001587 0.004689 0.000443 (0.00794) (0.00452) (0.00542) (0.00954) [ 0.09615] [-0.35138] [ 0.86483] [ 0.04647] R-squared 0.504455 0.885434 0.424628 0.801415 Adj. R-squared 0.191479 0.813077 0.061235 0.675993 Sum sq. Resids 0.032101 0.010380 0.014962 0.046286 S.E. equation 0.041104 0.023374 0.028062 0.049357 F-statistic 1.611800 12.23694 1.168508 6.389756 Log likelihood 65.06767 83.13125 77.28108 59.21251 Akaike AIC -3.254229 -4.383203 -4.017567 -2.888282 Schwarz SC -2.658774 -3.787748 -3.422112 -2.292826 Mean dependent 0.003681 0.002316 0.005011 0.003681 S.D. dependent 0.045713 0.054063 0.028963 0.086710 Determinant resid covariance (dof adj.) 7.13E-13

Determinant resid covariance 8.86E-14

Log likelihood 299.2462

Akaike information criterion -15.45289 Schwarz criterion -13.07107


(4)

70

Lampiran 9. Analisis respons impuls

Response of D(LOGLEUWILIANG):

Period

D(LOGLEUWI

LIANG) D(LOGJASINGA)

D(LOGCIBI NONG)

D(LOGCIEUT EREUP) 1 0.041104 0.000000 0.000000 0.000000 2 0.006302 -0.001259 0.015680 0.002653 3 0.004842 -0.011838 -0.010489 0.005055 4 -0.012264 -0.007726 0.002775 -0.014772 5 0.000169 -0.000294 0.009770 0.003312 6 -0.006192 0.003249 0.001824 -0.003910 7 0.006063 -0.005164 -0.008785 0.002888 8 -0.001965 -0.001475 -0.011279 -0.004389 9 0.002135 0.004245 0.003327 -0.000647 10 -0.003804 0.002604 0.004558 4.82E-05 11 -0.000331 -0.002062 -0.005781 0.005120 12 -0.001508 0.001514 -0.001805 -0.004461 13 0.002964 0.002230 0.007286 0.001725 14 -0.001087 4.17E-05 -0.000715 0.002369 15 0.001170 -0.001849 -0.003287 -0.000207 16 -7.14E-05 -7.87E-05 0.001803 -0.002224 17 0.000422 0.000783 0.002584 0.001821 18 -0.000885 -0.000306 -0.000694 -0.000576 19 0.000732 -0.001518 -0.001460 0.000111 20 -0.000430 0.000396 -0.000381 -0.000811 Response of

D(LOGJASINGA):

Period D(LOGLEUWILIANG) D(LOGJASINGA) D(LOGCIBINONG) D(LOGCIEUTEREUP) 1 0.009703 0.021265 0.000000 0.000000 2 0.005250 0.004986 0.032516 0.005645 3 0.002769 -0.012994 -0.019754 0.016029 4 -0.002646 0.000147 -0.000924 -0.012958 5 0.006475 0.003945 0.029972 -0.003073 6 -0.003284 -0.005330 -0.001756 0.012118 7 0.000686 -0.006885 -0.018477 -0.006217 8 0.002497 -0.000596 0.007473 -0.009495 9 -0.000702 0.002418 0.004158 0.007044 10 -0.003543 -2.58E-05 -0.006922 -0.002087 11 0.001262 -0.003349 -0.003123 -0.002058 12 -0.001445 0.002214 -0.000993 0.001086 13 0.000120 0.004223 0.004196 -0.000768 14 0.000212 -0.001625 0.000307 0.001799 15 -0.000270 -0.001738 -0.006391 0.001836 16 0.000284 0.002684 0.003423 -0.003894 17 0.000995 0.000554 0.005862 0.002291 18 -0.001135 -0.001802 -0.004998 0.002365 19 0.000581 -0.000384 -0.001338 -0.003166 20 0.000660 0.000741 0.004347 -0.000108 Response of

D(LOGCIBINONG):


(5)

71

1 -0.000977 0.002215 0.027958 0.000000 2 0.003340 -0.000560 0.010470 0.009109 3 0.002669 -0.006397 -0.001906 -0.003320 4 0.006158 -0.008092 -0.002881 -0.002518 5 -0.001034 -0.001021 0.000195 -0.003129 6 -0.000740 -0.000229 0.002466 -0.002171 7 -0.002913 -0.003319 -0.004580 -0.000207 8 -0.001300 -0.000355 -0.006789 -0.000805 9 -0.000515 0.003620 0.002819 -0.003306 10 0.000425 0.000947 0.001122 0.003523 11 -0.001297 -0.000356 -0.005889 0.000868 12 0.000843 0.001012 0.000898 -0.001926 13 5.55E-05 0.001486 0.004115 0.001297 14 -0.000205 7.83E-05 -0.000609 0.001957 15 0.000278 -0.000893 -0.000826 -0.001268 16 0.000754 -0.000320 0.001122 0.000246 17 -0.000219 0.000603 0.000878 8.68E-05 18 0.000237 -0.000531 0.000273 -0.000132 19 -0.000146 -0.000955 -0.001273 9.11E-05 20 -5.13E-05 0.000317 -0.000195 -0.000547 Response of

D(LOGCIEUTEREUP):

Period D(LOGLEUWILIANG) D(LOGJASINGA) D(LOGCIBINONG) D(LOGCIEUTEREUP) 1 0.008509 0.014135 0.031141 0.034556 2 0.003425 0.005930 0.009260 -0.025555 3 0.014129 -0.027683 0.001367 0.023107 4 -0.010408 -0.002076 -0.030628 -0.011546 5 0.007820 0.009907 0.040196 -0.016405 6 -0.004902 -0.008758 0.003190 0.014994 7 -0.003908 -0.008584 -0.038626 0.003425 8 0.002019 0.006249 0.010705 -0.025249 9 0.003097 0.002910 0.017235 0.016041 10 -0.008176 7.58E-06 -0.021328 0.003777 11 0.004016 -0.002153 -0.000733 -0.010596 12 -0.000255 0.001919 0.007594 0.004675 13 -0.001506 0.005055 -0.000793 0.004008 14 0.000952 -0.001836 0.002189 -0.004657 15 0.001375 -0.004285 -0.004281 0.005429 16 -0.001585 0.003882 -0.000490 -0.003753 17 0.002323 0.001135 0.009966 -0.001162 18 -0.001359 -0.003886 -0.005732 0.005443 19 -0.000380 -4.16E-06 -0.005901 -0.003557 20 0.001355 0.001950 0.008472 -0.003352 Cholesky Ordering:

D(LOGLEUWILIANG D(LOGJASINGA) D(LOGCIBINONG) D(LOGCIEUTEREUP)


(6)

72

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Binjai pada tanggal 24 Mei 1991. Penulis

merupakan anak ketiga dari Drs. Sriulina Ginting dan Drs. Indra Aswin

Sembiring. Tahun 2002 penulis lulus dari SD Letjend Jamin Ginting

Berastagi. Tahun 2005 penulis menyelesaikan pendidikan dari SMP Negeri

1 Kabanjahe dan pada tahun 2008 penulis lulus dari SMA Negeri 5 Binjai.

Tahun 2008 penulis diterima menjadi mahasiswa Institut Pertanian Bogor

melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada Departemen

Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen,

Selama menjadi mahasiswa, penulis bergabung Ikatan Mahasiswa

Muslim Asal Medan (IMMAM). Penulis aktif di berbagai kegiatan

organisasi antara lain menjadi staff bidang lingkungan hidup di BEM KM

IPB, Duta Anti Korupsi (DAK) IPB, serta menjadi Kepala divisi bidang

Study Research and Development di Resource and Environmental

Economic Student Association (REESA).

Penulis merupakan penerima beasiswa penelitian dari Bank Negara

Indonesia (BNI) pada tahun 2012.