PELAKSANAAN PEMBELAJARAN MODEL MODIFIKASI BAHAN AJAR PENDIDIKAN INKLUSI SISWA TUNA NETRA DI SMP NEGERI 4 WONOGIRI

(1)

commit to user

i

PELAKSANAAN PEMBELAJARAN MODEL MODIFIKASI BAHAN AJAR PENDIDIKAN INKLUSI SISWA TUNA NETRA

DI SMP NEGERI 4 WONOGIRI

TESIS

Untuk memenuhi persyaratan mencapai Derajat Magister Program Studi Teknologi Pendidikan

Disusun Oleh:

RETNO DWI MARTUTI

NIM S 811002007

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PENDIDIKAN

PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2011


(2)

commit to user

ii

PELAKSANAAN PEMBELAJARAN MODEL MODIFIKASI BAHAN AJAR SISWA TUNANETRA DI SMP NEGERI 4 WONOGIRI

Disusun Oleh: RETNO DWI MARTUTI

NIM: S 811002007

Telah disetujui Tim Pembimbing

Pada Tanggal: 28 Mei 2011

Pembimbing I Pembimbing II

Prof.Dr.H.Mulyoto,M.Pd Dr.Hj.Nunuk Suryani,M.Pd

NIP. 19430712 197301 1 001 NIP. 19661108 19903 2 001

Mengetahui

Ketua Program Studi Teknologi Pendidikan Program Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret

Prof.Dr.H.Mulyoto,M.Pd NIP. 19430712 197301 1 001


(3)

commit to user

iii

PENGESAHAN TESIS

PELAKSANAAN PEMBELAJARAN MODEL MODIFIKASI BAHAN AJAR SISWA TUNANETRA DI SMP NEGERI 4 WONOGIRI

Disusun Oleh:

RETNO DWI MARTUTI NIM: S 811002007

Telah disetujui dan disahkan oleh Tim Penguji Tanggal, Juni 2011

Jabatan Nama Tanda Tangan

ketua : Prof. Dr. Samsi Haryanto, M.Pd ………

Sekertaris : Prof. Dr. Sri Anitah, M.Pd ………...

Anggota penguji : 1. Prof. Dr. H.Mulyoto, M.Pd ………

2. Dr. Hj. Nunuk Suryani, M.Pd ………

Surakarta, Juni 2011

Mengetahui

Direktur Pascasarjana UNS Ketua Program Studi TP

Prof.Drs.Suranto Tiptowibisono,M.Sc,Ph,D Prof. Dr. Mulyoto, M.Pd


(4)

commit to user

iv

PERSEMBAHAN

Tesis ini akan kepersembahkan kepada:

1. Bapak dan ibuku tercinta

2. Suamiku yang setia

3. Anak-anakku yang tercinta : Febrian Valentino Al’Firdaus, Junniko

Jerifiansyah dan Erwin Aji Pangestu

4. Teman-temanku semua


(5)

commit to user

v

PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini saya :

Nama : Retno Dwi Martuti

NIM : S 811002007

Menyatakan dengan sesungguhnya, bahwa tesis yang berjudul

PELAKSANAANPEMBELAJARAN MODEL MODIFIKASI BAHAN AJAR SISWA TUNANETRA DI SMP NEGERI 4 WONOGIRI, betul-betul karya saya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam tesis tersebut diberikan citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka.

Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sangsi akademik yang berupa pencabutan tesis dan gelar yang saya peroleh dari tesis tersebut.

Surakarta,…. Juni 2011

Yang membuat pernyataan


(6)

commit to user

vi

KATA PENGANTAR

Puji syukur peneliti panjatkan ke hadiran Tuhan Yang Maha Esa, yang Maha Pemurah, Maha Penyayang, Maha Pengasih atas karunia dan petunjuk-Nya yang diberikan kepada peneliti, sehingga peneliti bias menyelesaikan penulisan tesis ini. Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui pelaksanaan pembelajaran model modifikasi bahan ajar siswa tunanetra, serta pengaruhnya terhadap meningkatnya prestasi belajar siswa berkebutuhan khusus di SMP Negeri 4 Wonogiri. Temuan penelitian ini berguna sebagai masukan khususnya para guru di sekolah inklusi dan umumnya kepada para aktivis di dunia pendidikan. Peneliti menyadari sepenuhnya bahwa penelitian ini mempunyai keterbatasan dan kelemahan, untuk itu saran dan kritik yang bersifat membangun sangat peneliti harapkan.

Di samping itu, peneliti juga menyampaikan rasa hormat dan terima kasih yang tak terhingga kepada:

1. Direktur program pasca sarjana,yang telah membantu dan memberikan

arahan dalam perkuliahan sampai dengan penulisan tesis ini.

2. Ketua Program Studi Teknologi beserta staf yang telah membantu dalam

berbagai kepentingan yang berhubungan dengan perkuliahan sampai penyelesaian tesis ini.

3. Prof.Dr.H.Mulyoto,M.Pd dan Dr.Hj.Nunuk Suryani,M.Pd selaku dosen


(7)

commit to user

vii

teknik penyusunan serta dorongan semangat yang tiada hentinya mulai dari penulisan proposal sampai selesainya tesis ini.

4. Kepala Sekolah SMP Negeri 4 Wonogiri beserta jajarannya yang telah

membantu dengan segenap hati demi terselesainya tesis ini.

5. Suamiku tercinta dan anak-anakku tersayang yang telah memberikan

dorongan semangat sehingga terselesaikannya tesis ini.

Semoga amal baik beliau-beliau senantiasa mendapat rahmat dan hidayah dari Tuhan Yang Maha Esa. Amin.

Surakarta, Juni 2011

Penulis


(8)

commit to user

viii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ……… i

HALAMAN PERSETUJUAN ………. ii

HALAMAN PENGESAHAN ………. iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ………..… iv

HALAMAN PERNYATAAN ……….... v

KATA PENGANTAR ……….... vi

DAFTAR ISI ……….. viii

DAFTAR TABEL ……….. xii

DAFTAR GAMBAR ……….. xiii

DAFTAR LAMPIRAN ……….. xiv

ABSTRAK ……….. xv

ABSTRACT ………...…. xvii

BAB I PENDAHULUAN ……… 1

A. Latar Belakang ……… 1

B. Identifikasi Masalah ………... 7

C. Rumusan Masalah ………. 7


(9)

commit to user

ix

E. Manfaat Penelitian ……… 8

BAB II KAJIAN TEORI DAN KERANGKA BERPIKIR ……… 10

A. Kajian Teori ………... 10

1. Penegrtian Model Pembelajaran ………..… 10

2. Model Pembelajaran Inklusi ………. 12

3. Pembelajaran Inklusi ……… 19

4. Tuna Netra ……… 48

5. Prestasi Belajar ………. 57

B. Kerangka Pikir ……… 65

BAB III METODELOGI PENELITIAN ………. 66

A. Jenis Penelitian ………. 66

B. Tempat Dan Waktu Penelitian ……….. 67

C. Bentuk Penelitian ……….. 69

D. Sumber Data ……….. 70

E. Teknik Sampling ( Cuplikan ) ……… 72

F. Teknik Pengumpulan Data ……… 73

G. Validitas Data ……… 75

H. Teknis Analisa Data ……….. 76


(10)

commit to user

x

BAB IV LAPORAN HASIL PENELITIAN

A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ……… 83

1. Sejarah berdirinya SMP Negeri 4 Wonogiri. ………… 83

2. Lokasi SMP Negeri 4 Wonogiri ……… 85

3. Kondisi SMP Negeri 4 Wonogiri ……… 85

4. Struktur Organisasi ……… 88

5. Pembelajaran Inklusi di SMP Negeri 4 Wonogiri ……… 90

B. Temuan Penelitian ……….. 91

1. Pelaksanaan Model Modifikasi Bahan Ajar Pendidikan

Inklusi SMP Negeri 4 Wonogiri……….. 91

a. Pelaksanaan Model Pembelajaran Inklusi Di SMP

Negeri 4 Wonogiri ……… 91

b. Struktur Kurikulum Pendidikan Khusus …………. 100

c. Bentuk Proses Belajar Mengajar ………. 112

d. Jenis Dan Peran Materi Pelajaran Dalam Proses

Belajar Mengajar ………. 115

e. Peran Guru Dan Siswa Dalam Proses Belajar

Mengajar ……… 117

f. Prestasi Siswa SMP Negeri 4 Wonogiri Sebagai

g. Sekolah Rintisan Inklusi .……….………… 123

2. Kendala Dan Cara Mengatasi Pelaksanaan Pembelajaran

Model Modifikasi Bahan Ajar Pendidikan Inklusi


(11)

commit to user

xi

a. Hambatan /kendala factor ekonomi orang tua …… 125

b. Hambatan yang berkaitan dengan proses belajar Mengajar (PBM) ………. 126

c. Hambatan/kendala Kesiapan ketrampilan dan kemampuan guru yang kurang variatif cenderung membosankan dan membuat pembelajaran pasif……… . 128

d. Hambatan/kendala keterbatasan guru untuk mengikuti pelatihan ………. 128

e. Hambatan/kendala perbedaan kemampuan individu dalam hal ini perbedaan peserta didik normal/regular dan peserta didik yang membutuhkan layanan khusus.. 129

3. Hasil Belajar Dari Pelaksanaan Model Pembelajaran Inklusi Siswa Tunanetra Di SMP Negari 4 Wonogiri. ... 132

C. Pembahasan Temuan penelitian ……… 134

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN ……….. 147

A. Kesimpulan ………. 147

B. Implikasi ……… 150

C. Saran – saran ………. 152

DAFTAR PUSTAKA ………. 154


(12)

commit to user

xii

DAFTAR TABEL

1. Table 1 : Jadwal Penelitian ………. 67

2. Table 2 : struktur Program kelas VII sampai kelas IX ……… 101


(13)

commit to user

xiii

DAFTAR GAMBAR

1. Gambar 1 : Kerangka Berpikir ……… 65

2. Gambar 2 : Tahapan analisis dan model interaktif ……….. 77

3. Gambar 3 : Prosedur Penelitian ………. 81

4. Gambar 4 : model Modifikasi Bahan Ajar ……….. 98

5. Gambar 5 : Struktur Kurikulum Inklusi ……… 104

6. Gambar 6 : Bentuk Pembelajaran ………. 113

7. Gambar 7 : hubungan antara komponen dalam pembelajaran Terpadu ……….. 121


(14)

commit to user

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

1. Lampiran 1 : Profil SMP ………. 157

2. Lampiran 2 : Identitas sekolah inklusi ……….. 190

3. Lampiran 3 : Silabus dan RPP ……….. 197

4. Lampiran 4 : Wawancara ………. 217

5. Lampiran 5 : daya serap dan nilai ………. 232


(15)

commit to user

xv ABSTRAK

Retno Dwi Martuti S.811002007 Pelaksanaan Pembelajaran Model Modifikasi Bahan Ajar Siswa Tunanetra Di SMP Negeri 4 Wonogiri. Tesis: Program Studi Teknologi Pendidikan Program Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta. Pembimbing I : Prof. Dr. Mulyoto, M.Pd. Pembimbing II : Dr. Nunuk Suryani, M.Pd.

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji secara mendalam mengenai Pelaksanaan Pembelajaran Model Modifikasi Bahan Ajar Siswa Tunanetra Di Smp Negeri 4 Wonogiri sekaligus mengkaji kendala-kendala dan cara mengatasinya, juga mengkaji sejauh mana pembelajaran model modifikasi bahan ajar dapat meningkatkan presetasi belajar siswa tunanetra di SMP Negeri 4 Wonogiri.

Metodelogi penelitian yang dilakukan adalah diskriptif kualitatif, yang mengambil lokasi penelitian di SMP Negeri 4 Wonogiri dengan teknik pengumpulan data mengunakan wawancara, pengamatan, dan pencatatan dokumen serta langsung, serta dalam pemeriksaan keabsahan datanya

menggunakan trianggulasi sumber dan trianggulasi data.

Hasil penelitian ini adalah : pertama pelaksanaan pembelajara model bahan ajar pendidikan inklusi siswa tunanetra di SMP Negeri 4 Wonogiri agar siswa mampu menerima materi kondisi perbedaan latar belakang social, emosional, intelektual dan sensoris, kedua kurikulum yang digunakan adalah kurikulum regular, ketiga proses pembelajarannya adalah lima puluh persen dikelas dan lima puluh persen diluar kelas, keempat jenis dan fungsi materi pelajaranya berbentuk kolaborasi antara mata pelajaran yang mempunyai kesamaan tema atau materi, kelima peran guru dan siswa dalam kegiatan belajar mengajar adalah menyampaikan tugas, memotifasi,member fasilitas belajar siswa dan mengevaluasi proses belajar mengajar,keenam prestasi siswa SMP Negeri 4 Wonogiri sebagai sekolah rintisan Inklusi adanya minat, perhatian dan belajar keras agar prestasi belajarnya berhasil. Adapun kendala-kendala yang dialaminya factor ekonomi orang tua, proses belajar mengajar, kesiapan ketrampilan dan kemampuan guru yang kurang variatif cenderung membosankan dan membuat pasif, keterbtasan guru untuk mengikuti pelatihan dan perbedaan kemampuan individu dalam hal pelayanan antara siswa regular dengan siswa berkebutuhan khusus dan untuk mengatasinya sekolah harus konsekuen melakukan perubahan mulai cara pandang, sikap sampai pada proses pendidikan yang berorentasi pada kebutuhan individu tanpa diskriminasi. Kemudian hasil belajar dari pelaksanaan model modifikasi bahan ajar siswa tunanetra di SMP Negeri 4 Wonogiri terlihat adanya siswa berkebutuhan khusus yang meningkat rasa percaya diri yang tinggi, hal itu dilihat dari keberanian bertanya pada guru, mengemukakan pendapat dimuka teman-temannya dan bertanya pada teman yang lebih pandai.

Saran peneliti para guru diharapkan dalam Pelaksanaan pembelajaran model modifikasi bahan ajar di SMP Negeri 4 Wonogiri adalah program pendidikan dalam pengajaran. Menjadi kewajiban bagi seluruh warga sekolah khususnya para pendidik dalam rangka mempersiapkan kualitas proses belajar


(16)

commit to user

xvi

mengajar untuk menghasilkan ketuntasan yang maksimal, mengupayakan bantuan dalam bentuk sarana dan prasarana pendukung pembelajaran. Penerapan model modifikasi bahan ajar hendaknya dilaksanakan dengan lebih baik agar prestasi belajar peserta didik lebih meningkat, Lembaga sekolah disarankan dapat menciptakan kondisi belajar yang memadahi, khususnya penyediaan sarana ataupun fasilitas belajar dengan buku-buku perpustakaan, Perlu memperhatikan minat siswa agar dapat membantu mempengaruhi motivasi belajar, sehingga bias meningkatkan prestasi belajar, Kepada peneliti disarankan untuk meneliti lebih lanjut tentang keefektifan model modifikasi bahan ajar pada sekolah inklusi pada pengaruh-pengaruh yang lain, sehingga hasilnya mendekati yang diharapkan. Kata Kunci : Pelaksanaan, Model Modifikasi Bahan Ajar, Siswa Tunanetra.


(17)

commit to user

xvii ABSTRACT

Retno Dwi Martuti S.811002007. The Implementation Of Modification Model

Learning On Teaching Material For Blind Students In SMP Negeri 4 Wonogiri. Thesis: Educational Technology Postgraduate Program of Sebelas Maret University of Surakarta. First Advisor: Prof. Dr. Mulyoto, M.Pd. Second Advisor: Dr. Hj. Nunuk Suryani, M.Pd.

This study was aimed to investigate The Implementation of Modification Model Learning on Teaching Material for Blind Students in SMP Negeri 4 Wonogiri thoroughly and to research obstacles and their solution all at once, and also to examine how far the implementation of modification model on teaching material could enhance learning achievement of blind students’ in SMP Negeri 4 Wonogiri.

The method of data analysis used in this research was the qualitative descriptive method, and took place in SMP Negeri 4 Wonogiri. The researcher used the technique of interviewing, observing, and documenting in collecting the data. Whereas, the validity examination of the data used were source triangulation and data triangulation. The result of the research were: First, implementation of teaching material model of inclusive education for blind students at SMP Negeri 4 Wonogiri was used in order to attain students’ capability in comprehending the materials within different background of social, emotional, intellectual and sensoric condition; Second, curriculum being used was the regular curriculum; Third, teaching and learning process was fifty percent inside the classroom and fifty percent outside; Fourth, type and function of the materials were in form of collaboration among subjects which had the same theme and material; Fifth, roles of teachers and students in teaching and learning process were delivering assignments, motivating, providing facilities for students and evaluating the process of teaching and learning; Sixth, students’ learning achievement was gained due to their self-awareness in having interests, paying attention and studying. However, there were also some obstacles within the process: factor of parental finance, teaching and learning process, the readiness of teaching skills that led to be passive and boring teaching methods, restrictiveness in joining trainings and different individual skill of teachers in term of service toward different types of students. To solve the mentioned problems, the institution should be consistent and must change their state of mind and demeanor right up to indiscriminate education process. Significant alteration had appeared after implementing the modification model on teaching material for blind students in SMP Negeri 4 Wonogiri. It could be seen from the raising confidence of students’ by asking questions to the teacher, giving opinion in front of their friends, and asking questions to cleverer students.

The researcher suggested that the implementation of modification model learning on Teaching Material used as education program in teaching in SMP


(18)

commit to user

xviii

Negeri 4 Wonogiri. It was an obligation for all of the school members especially for the teachers to achieve maximum completeness, provide helpful service in form of means and infrastructure that support learning. The application of modification model on teaching material should be carry out better in order to attain students’ best learning achievement. The school institution should provide satisfying learning condition especially for the service of means and infrastructure by supplying educative books in the library. It was also important to pay attention to the students’ interest to affect their motivation in order to enhance their learning achievement. The researcher was suggested to do further research about the effectiveness of modification model on teaching material on inclusive school toward other influences, so that the result would be realized as expected.

Key Words: Implementation, Modification Model on Teaching Material, Blind Students.


(19)

commit to user

xix BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Model pembelajaran merupakan suatu bentuk pembelajaran yang ditujukkan untuk menciptakan situasi belajar berdasarkan teori-teori dan cara mengorganisasikan pembelajaran yang digunakan. Model pembelajaran diartikan sebagai suatu rencana mengajar yang memperlihatkan pada pembelajaran tertentu, dalam pola tersebut dapat terlihat kegiatan guru-siswa di dalam mewujudkan kondidi belajar atau system lingkungan yang menyebabkan terjadinya proses belajar pada siswa. Pola pembelajaran merupakan rentetan atau tahapan perbuatan/kegiatan guru-siswa atau dikenal dengan istilah sinteks dalam peristiwa pmbelajaran. Dalam model pembelajaran terkadang adanya sinteks (urutan kegiatan pembelajaran), sistem sosial (peran guru dalam pembelajaran), prinsip reaksi (upaya guru dalam membimbing dan merespon siswa), system pendukung (faktor-faktor yang harus diperhatikan, dimiliki guru dalam menggunakan model), dan dampak pembelajaran (langsung dan iringan) (Bruce Joyce, 1980).

Pendidikan terpadu adalah sekolah biasa yang juga menampung anak berkebutuhan khusus, dengan kurikulum, guru, sarana pengajaran, dan kegiatan belajar mengajar yang sama. Namun selama ini baru menampung anak tunanetra, itupun perkembangannya kurang menggembirakan karena banyak sekolah umum yang keberatan menerima anak berkebutuhan khusus. Di samping itu keberadaan sekolah khusus lokasinya sebagian besar berada di Ibu Kota Kabupaten, padahal


(20)

commit to user

xx

anak-anak berkebutuhan khusus tersebar hampir di seluruh daerah

(Kecamatan/Desa). Akibatnya, sebagian anak-anak berkebutuhan khusus, terutama yang kemampuan ekonomi orang tuanya lemah, terpaksa tidak disekolahkan karena lokasi SLB jauh dari rumah; sementara kalau akan disekolahkan di SD terdekat, SD tersebut tidak bersedia menerima karena merasa tidak mampu melayaninya. Sebagian yang lain, mungkin selama ini dapat diterima di SD terdekat, namun karena ketiadaan pelayanan khusus bagi mereka, akibatnya mereka beresiko tinggal kelas dan akhirnya putus sekolah. Permasalahan di atas apabila dibiarkan akan berakibat pada kegagalan program wajib belajar. Akibat lebih lanjut, mutu sumber daya manusia (SDM) akan semakin tertinggal.

Dalam rangka mewujudkan wajib belajar pendidikan dasar dan mengatasi permasalahan pendidikan anak berkebutuhan khusus, dipandang perlu meningkatkan perhatian terhadap anak-anak berkebutuhan khusus, baik yang telah memasuki sekolah umum (SD) tetapi belum mendapatkan pelayanan pendidikan khusus maupun anak-anak berkebutuhan khusus yang belum sempat mengenyam pendidikan sama sekali karena tidak diterima di SD terdekat atau karena lokasi SLB jauh dari tempat domisilinya. Melalui pendidikan inklusif, anak berkebutuhan khusus dididik bersama-sama anak lainnya (normal) untuk mengoptimalkan potensi yang dimiliki anak melalui pendidikan di sekolah terdekat. Sudah barang tentu sekolah terdekat tersebut perlu dipersiapkan segala sesuatu.


(21)

commit to user

xxi

Penyelenggaraan sekolah inklusi bagi peserta didik berkebutuhan khusus secara yuridis memiliki landasan yang kuat, diantaranya: (1). UUD 1945 (amandemen) pasal 31 ayat 1:“setiap warga Negara berhak mendapat pendidikan”. (2). UU No. 20 tahun 2003 tentang system pendidikan nasional, pasal 3 menyatakan bahwa ” pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradapan bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Pasal 5 ayat 2 menyatakan bahwa ” warga negara yang mempunyai kelainan fisik, emosional, mental, intelektual dan atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus”. Pasal 32 menyebutkan ”pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial dan atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa” . (3). UU No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, (4). UU No. 4 tahun 1997 tentang penyandang cacat, (5). PP

No. 19 tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan,

(6) Surat Edaran Dirjen Dikdasmen Depdiknas No.380 /C.66/MN/2003, 20 Januari 2003 perihal Pendidikan Inklusi bahwa di setiap Kabupaten/ Kota di seluruh Indonesia sekurang kurangnya harus ada 4 sekolah penyelenggara inklusi yaitu di jenjang SD, SMP, SMA dan SMK masing-masing minimal satu sekolah, (7) Deklarasi Bandung tanggal 8-14 Agustus 2004 tentang ”Indonesia menuju


(22)

commit to user

xxii

Pendidikan Inklusi”, (8) Deklarasi Bukittinggi tahun 2005 tentang ” ”Pendidikan untuk semua” yang antara lain menyebutkjan bahwa ”penyelenggaraan dan pengembangan pengelolaan pendidikan inklusi ditunjang kerjasama yang sinergis dan produktif antara pemerintah, institusi pendidikan, istitusi terkait, dunia usaha dan industri, orangtua dan masyarakat”. Berdasarkan landasan yuridis yang sebagian telah disebutkan di atas, menunjukkan bahwa pendidikan inklusi perlu diselenggarakan yang implemetasinya memerlukan kesungguhan dan komitmen dari berbagai pihak.

Undang-undang No. 20 Tahun 2003, pasal 15 menyatakan bahwa pendidikan khusus merupakan penyelenggara pendidikan untuk peserta didik berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah. Jadi model pembelajaran inklusif, harus mengarahkan dan membawa pendidikan ABK secara menyeluruh (holistik), karena nuansa ramah pembelajaran yang diberikan oleh seorang guru akan membawa pendidikan anak ke arah yang lebih luas dan mudah dipahami. Pandangan teori holistik pembelajaran inklusif mampu memberikan kenyamanan kepada semua peseta didik dan dilayani secara sama dan sesuai dengan kemampuan, minat, dan karakteristik masing-masing anak berkebutuhan khusus. Pendidikan bagi anak yang memiliki kelainan dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa atau anak berkebutuhan khusus (ALB) disediakan dalam tiga macam lembaga pendidikan, yaitu Sekolah Luar Biasa (SLB), Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB), dan Pendidikan Terpadu. SLB sebagai lembaga


(23)

commit to user

xxiii

pendidikan khusus tertua, menampung anak berkebutuhan khusus dengan jenis kelainan yang sama, sehingga ada SLB Tunanetra, SLB Tunarungu, SLB Tunagrahita, SLB Tunadaksa, SLB Tunalaras, dan SLB Tunaganda. Sedangkan SDLB menampung berbagai jenis anak berkebutuhan khusus, sehingga di dalamnya mungkin terdapat anak tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras dan atau tunaganda.

Dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidiksn Nasional, pasal 50, menjelaskan bahwa pendidikan diarahkan pada pengembangan sikap dan kemampuan kepribadian anak, bakat, kemampuan mental dan fisik sampai mencapai potensi mereka yang optimal. Demikian pula pada Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standart nasional pendidikan, serta Peraturan Menteri No. 22 dan 23 tentang Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan antara lain mrnrntukan bahwa : kurikulum disusun dan dikembangkan oleh tingkatan satuan pendidikan yaitu kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang mengacu kepada Standar Isi (SI) dan Standart Kompetensi Lulusan (SKL).

Tujuan model pembelajaran Inklusi bertujauan (1). Mendorong guru dan

tenaga kependidikan lainnya lebih kreatif dalam mengelola dan

mengimplementasikan pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik. (2). Member pedoman bagi guru dalam kegiatan pembelajaran sesuai dengan bidang stadi atau pembelajaran tematik. (3). Meningkatkan efisiensi, efektifitas, dan fleksibilitas dalam proses pembelajaran di lembaga pendidikan anak berkebutuhan khusus.


(24)

commit to user

xxiv

Pembelajaran bagi anak berkebutuhan khusus tiap jenis dan derajat ketunaan dan memerlukan pendekatan dan strategi yang berbeda-beda. Perbedaan itu lebih disebabkan adanya karakteristik anak berkebutuhan khusus yang beragam. Untuk membangkitkan minat anak dan mempertahankan mental anak di sekolahan yang hiterogen guru harus memperhatikan identifikasi kebutuhan dalam pembelajaran anak tunanetra dan tuna rungu dimaksudkan untuk memberikan perhatian dan fokus secara khusus dalam pembelajaran anak tunanetra jika dibanding dengan pembelajaran secara umum.

Prestasi belajar peserta didik inklusi diukur dengan mengamati kecenderungan peserta didik untuk tetap atau terus belajar. Daya tarik pembelajaran erat kaitanya dengan daya tarik bidang stadi. Namun demikian daya tarik bidang stadi dalam penyampaiannya akan banyak tergantung pada kualitas belajar. Untuk mempreskripsikan daya tarik atau minat pembelajaran sebagai hasil belajar maka tekanan diletakkan pada kualitas pembelajaran bukan pada daya tarik bidang stadi.

Hal penting yang perlu diperhatikan dalam membedakan antara kurikulum pendidikan umum dan pendidikan khusus adalah cirri pembelajaran dan penilaian pada pendidikan khusus dengan memperhatikan karakteristik, kemampuan, ketebatasan baik secara emosional, intelektual, fisikal dan etika peserta didik. Berdasarkan kondisi tersebut maka perlu diadakan penelitian tindakan kelas

dengan judul “Pelaksanaan Pembelajaran Model Modifikasi Bahan Ajar


(25)

commit to user

xxv

B. IDENTIFIKASI MASALAH

Yang menjadi identifikasi masalah pada penelitian ini adalah Pelaksanaan Model Modifikasi Bahan Ajar pendidikan inklusi dalam meningkatkan prestasi belajar siswa tunanetra dalam proses pembelajaranya di lingkup SMP Negeri 4 Wonogiri.

C. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian tindakan kelas ini adalah :

1. Bagaimana Pelaksanaan Pembelajaran Model Modifikasi Bahan Ajar

Pendidikan Inklusi di SMP Negeri 4 Wonogiri.

2. Apa kendalanya dan cara mengatasi pelaksanaan pembelajaran model

modifikasi bahan ajar pendidikan inklusi siswa tunanetra di SMP Negari 4 Wonogiri.

3. Bagaimanakah hasil belajar dari pelaksanaan model pembelajaran Inklusi

siswa tunanetra di SMP Negari 4 Wonogiri.

D. TUJUAN PENELITIAN.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui:

a. Penerapan proses Pelaksanaan Pembelajaran Model Modifikasi Bahan

Ajar Pendidikan inklusi untuk siswa tunanetra di SMP Negeri 4 Wonogiri sebagai sekolah rintisan inkusi.


(26)

commit to user

xxvi

b. Peningkatan proses pembelajaran Inklusi untuk siswa tunanetra dengan

mengunakan Model Modifikasi Bahan Ajar bagi siswa tunanetra di SMP Negeri 4 Wonogiri.

c. Peningkatan prestasi belajar siswa tunanetra melalui Pelaksanaan Model

Modifikasi Bahan Ajar Di SMP Negeri 4 Wonogiri.

E.MANFAAT PENELITIAN

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi guru, siswa dan masyarakat yang memiliki kekurangan pada fisik mereka.

1. Secara Teoritis.

Hasil penelitian yang bersifat deskritif kualitatif ini diharapkan akan memberikan profil dan informasi berharga tentang penyelenggaraan model pembelajaran Inklusi di SMP Negeri 4 Wonogiri. Hasil-hasil temuan penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan kajian untuk mendalami tentang model pembelajaran inklusi di sekolah-sekolah lain.

2. Secara Praktis.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan positif dalam meningkatkan mutu pendidikan Inklusi di SMP negeri 4 Wonogiri dan dunia pendidikan pada umumnya.

a. Bagi siswa dapat menumbuhkan rasa percaya diri didalam lingkup


(27)

commit to user

xxvii

b. Bagi sekolah yang sudah melaksanakan pembelajaran inklusi sebagai

bahan kajian untuk dapat melaksanakan model pembelajaran inklusi bagi siswa-siswa yang kurang mampu dalam fisiknya sehingga akan lebih baik.

c. Bagi dinas pendidikan dan dinas-dinas terkait sebagai bahan masukan

dalam pelaksanaan model pembelajaran inklusi terutama dalam memperhatikan minat belajar dan perkembangan mental siswa yang kurang mampu dalam fisiknya.

d. Bagi peneliti lain sebagi refrensi untuk memahami model pembelajaran


(28)

commit to user

xxviii BAB II

KAJIAN TEORI DAN KERANGKA BERPIKIR

A. KAJIANTEORI

1. Pengertian ModelPembelajaran

Menurut Ryder (2003), model pembelajaran seperti mitos dan metaphor, dapat membantu memahami sesuatu. Apakah model itu diturunkan oleh seseorang atau merupakan hasil dari penelitian, setiap model menawarkan pemahaman tertentu secara lebih mudah. Nilai sebuah model pembelajaran ditentukan dalam konteks yang digumakan. Model mengandung maksud tertentu bagi pengguna, menawarkan penyelesaian dari beben pembelajran dan menyajikan focus dan arahan untuk mencapai hasil yang lebih baik.

Pendidikan inklusif merupakan model pendidikan anak berkebutuhan khusus yang terkini. Sejak digulirkannya konsep mainstreaming dalam pendidikan khusus, ada upaya kuat melaksanakan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus secara terpadu, bahkan terpadu penuh (inklusif), dengan anak normal di sekolah biasa. Model pendidikan inklusif semakin meluas pengkajiannya sejak ada pernyataan Salamanca pada Konferensi Dunia tentang Pendidikan khusus bulan Juni 1994 bahwa “prinsip mendasar dari pendidikan inklusif adalah: selama memungkinkan, semua anak seyogyanya belajar bersama-sama tanpa memandang kesulitan ataupun perbedaan yang mungkin ada pada mereka.”

Perkembangan pendidikan inklusif mempunyai pengertian yang beragam. Stainback dan Stainback (1990) mengemukakan bahwa sekolah iinklusif adalah sekolah yang menampung semua siswa di kelas yang sama. Sekolah ini


(29)

commit to user

xxix

menyediakan program pendidikan yang layak, menantang, tetapi sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan setiap siswa. Di samping itu ada pula bantuan dan dukungan yang dapat diberikan oleh para guru agar anak-anak berhasil. Bahkan sekolah inklusif juga merupakan tempat setiap anak dapat diterima menjadi bagian dari kelas tersebut dan saling membantu baik dari guru, teman sebaya, maupun anggota masyarakat lain agar kebutuhan individual anak berkelainan dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa dapat terpenuhi.

Staub dan Peck (1995) (dalam Sunardi, 2002) mengemukakan bahwa pendidikan inklusif adalah penempatan anak berkebutuhan khusus tingkat ringan, sedang, dan berat secara penuh di kelas reguler. Hal ini menunjukkan bahwa kelas reguler merupakan tempat belajar yang relevan bagi anak berkebutuhan khusus, apapun jenis kelainannya dan bagaimanapun gradasinya.

Sapon-Shevin (O’Neil, 1995) (dalam Sunardi, 2002) menyatakan bahwa pendidikan inklusif sebagai system layanan pendidikan yang mempersyaratkan agar semua anak berkebutuhan khusus dilayani di sekolah-sekolah terdekat, di kelas reguler bersama-sama teman seusianya. Konsekuensinya antara lain ditekankan adanya restrukturisasi sekolah, sehingga menjadi komunitas yang mendukung pemenuhan kebutuhan khusus setiap anak, artinya kaya dalam sumber belajar dan mendapat dukungan dari semua pihak, yaitu para siswa, guru, orang tua, dan masyarakat sekitarnya.

Variasi pendapat para ahli diantaranya adalah bahwa melalui pendidikan inklusif, anak berkebutuhan khusus dididik bersama-sama anak lainnya (normal)


(30)

commit to user

xxx

Vaughn, Bos, dan Schumm (2000), mengatakan bahwa dalam praktik, istilah inklusif sering dipakai bergantian dengan istilah mainstreaming, yang secara teori diartikan sebagai penyediaan layanan pendidikan yang layak bagi anak berkebutuhan khusus sesuai dengan kebutuhan individualnya.

2. Model Pembelajaran Inklusif

a. Pengertian

1) Model : merupakan kata pengecilan dan modo yang artinya: sifat, cara.

Model selection is based on student learning styles the demond of the

content, and teacher preference. (model bahan ajar yang dimaksud dalam

pembelajaran adalah untuk menggambarkan, menjelaskan atau menemukan cara pengajaran dalam pendidikan inklusif.

2) Modifikasi berarti modus, ukuran, cara atau membuat dalam suatu

organisasi yang bukan dari keturunan.

3) Pengembangan dimaksudkan sebagai kegiatan melakuakn penyesuaian dari

bahan ajar dasar yang dirumuskan dalam standar isi pada sekolah umum ke rumusan bahan ajar untuk siswa berkebutuhan khusus.

4) Bahan ajar merupakan bagian integral dalam kurikulum yang telah

ditentukan standar isinya oleh pemerintah melalui permendiknas nomer 22 dan nomer 23 tahun2006. Pada hakekatnya isi kurikulum itu sendiri mengacu pada usaha pencapaian tujuan-tujuan intraksional bidang stadi.pendekatan yang dipakai dalam pembelajaran pendidikan inklusi


(31)

commit to user

xxxi

mengajarkan anak sesuai dengan kemampuan heterogen. Dalam arti bahan ajar diberikan dengan pendekatan individual.

5) Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana

belajar dan proses pembelajarn agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.

6) Inklusi (inclusive) inclusion is the practices if integrating students with

disabilities fully into regular classrooms, definisi tersebut memberikan

penjelasan bahwa inklusi merupakan pendidikan yang praktis bagi anak yang memiliki kebutuhan khusus dapat bersekolah secara penuh di kelas umum pada siswa yang normal. Dengan demikian inklusi berarti mengikutsertakan anak berkelainan di kelas umum bersama dengan anak-anak lainya.

7) Pendidikan inklusif proses pembelajaran yang dilaksanakan di sekolah

umum dengan menggabungkan anakdidik yang memiliki kebutuhan khusus.

b. Unsur Pelaksanaan.

Pelaksanaan pempelajaran inklusi sama dengan pelaksanaan kegiatan belajar mengajar di kelas umum dan disesuaikan dengan model penempatan


(32)

commit to user

xxxii

siswa yang berkebutuhan khusus. Unsur pelaksana yang terlibat dalam pelaksanaan pembelajaran dalam pendidikan inklusi adalah guru umum dengan guru pendidikan khusus (GPK) atau guru sekolah luar biasa.

Guru umum membutuhkan rekan kerja untuk membuat program dan berperan untuk memberikan dukungan tim guru dalam arti mendiskusikan pada komite sekolah yang terdiri dari orang tua, tokoh masyarakat, tenaga medis dan tenaga ahli yang terkait.

c. Prinsip Pengembangan/Modifikasi Bahan Ajar.

Bahan ajar yang dikembangkan khusus untuk layanan pendidikan inklusif diharuskan memenuhi beberapa prinsip antara prinsip keterbaharuan bahan ajar, artinya bahan yang ditetapkan untuk pendidikan inklusif harus merupakan bahan ajar yang tidak kedaluwarsa agar kemanfaatan bahan ajar bagi peserta didik dapat dinikmati dimasa mendatang. Demikian juga bahan ajar harus memenuhi prinsip kecukupan. Dalam kaitan ini guru harus meyakinkan bahan ajar yang telah dipilih memang terjamin kecukupannya sehingga bobot dan volumenya tidak di bawah standart isi yang ditentukan.

Prinsip kecukupan akan menjamin bahan ajar yang disajikan dalam pendidikan inklusif sesuai dengan yang diinginkan. Selain modifikasi bahan ajar yang dipilih juga harus memenuhi prinsip relevan, artinya sesuai dengan

kebutuhan siswa, kebutuhan stakeholders maupun tujaun pendidikan itu

sendiri. Dalam penerapan prinsip ini guru tidak boleh menetapkan bahan ajar berdasarkan kemampuannya sendiri dan bahan yang dimiliki.


(33)

commit to user

xxxiii

d. Model Modifikasi Bahan Ajar.

Model modifikasi bahan ajar dimaksudkan adalah bagaimana cara menemukan atau memberikan bahan ajar yang tepat dalam pendidikan inklusif sesuai dengan kemampuan individu (pendekatan individu). Terdapat tiga kegiatan utama dalam modifikasi bahan ajar pendidikan inkusif yaitu:

1) Kegiatan menyeleksi merupakan kegiatan memilih, menetapkan bahan ajar

yang tepat bagi peserta didik. Pemilihan dan penetapan bahan ajar dilakukan oleh guru atas bahan ajar yang telah ada pada silabus sekolah umum, apabila bahan ajar disekolah umum tidak tersedia, maka guru wajib untuk mengusahakan dengan langsung merinci dari SK dan KD mata pelajaran terkait.

2) Mengorganisasi bahan ajar dimaksudkan sebagai kegiatan guru dalam

menyusun dan membuat urutan susunan bahan ajar dengan tata urutan tertentu. Tata urutan bahan ajar ada yang berdasarkan kronologis, urutan procedural, urutan logis maupun urutan herarchis. Pertimbangan pengurutan dapat menggunakan dasar tuntuntan SK dan KD atau dapat pula menggunakan dasar karakter mata pelajaran.

3) Mensintesa Bahan Ajar dimaksudkan agar guru yang melaksanakan

kegiatan pembelajaran melakukan upaya agar bahan ajar yang telah tersusun dapat dipadukan dalam keseluruhan proses pembelajaran dalamkegiatan pembelajaran kelas umum bukan terpisah namun terorganisasi


(34)

commit to user

xxxiv

e. Model Modifikasi Bahan Ajar Untuk Siswa Tunanetra.

Dalam proses pembelajaran siswa tunanetra disekolah regular, guru perlu memperhatikan bahwa peserta didik tunanetra dalam menyerap bahan ajar melelui pendengaran dan perabaab. Dengan menyadari kondisi seperti ini maka dalam menyajikan bahan ajar guru dituntut untuk memodifikasi bahan ajar tersebut.

Ada beberapa tahapan yang bias dilakukan untuk memodifikasi bahan ajar untuk peserta didik tunanetra yaitu:

1) Bahan ajar dinarasikan atau diinformasikan.

Pengalaman visual cenderung menyatukan informasi dari apa yang dilihat kemudian menghubungkannya dengan pikiran atau perasaan. Peserta didik tunanetra tidak akan mampu memahami situasi atau kondisi apabila dihadapkan pada suasana yang baru dikenalnya. Guru harus memberikan informasi yang jelas kepada peserta didik tuna netra agar anak didik mampu memahami situasi yang baru dikenalnya.

2) Bahan ajar divisualisasikan pada pengalaman nyata.

Pengalaman nyata bagi peserta didik tunanetra merupakan pengalaman yang tidak mudah dilupakan.peserta didik tunanetra tidak hanya membutuhkan penjelasan ataupun informasi dari sseorang guru, tetapi sebaiknya guru mengajak untuk merasakan pengalaman nyata sesuai dengan bahan ajar yang disampaikan.


(35)

commit to user

xxxv

3) Bahan ajar disajikan dalam bentuk benda-benda kongkrit atau benda-benda

yang dibuat model tiruan, sehingga siswa dapat mengenal bentuk secara alamiah, mampu mengenal ukuran berat, sifat-sifat permukaan, kelenturan dan lain sebagainya.

4) Bahan ajar diganti dan disesuaikan dengan kebutuhan siswa.

5) Bahan ajar dihilangkan atau tidak diberikan sama sekali, dengan

pertimbangan apabila diberikan dapat membahayakan diri peserta didik.

Pada saat seorang anak tunanetra masuk kedalam sebuah lembaga pendidikan formal seperti yang dilakukan oleh anak-anak normal lainnya, pendekatan yang paling efektif adalah dengan jalan optimalisasi pendidikan inklusif secara berkelanjutan kepada tunanetra. Kurikulum yng digunakan pada pendidikan inklusif adalah kurikulum fleksibel, disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan setiap siswa. Pemilihan metode untuk anak tunanetra sebenarnya banyak didorong oleh setiap kemudahan yang menjadi karakteristik dari pendidikan inklusif.

Model pendidikan ini sebenarnya berupaya untuk memberikan kesempatan yang sama kepada semua anak, termasuk anak tunanetra agar dapat memperoleh kesempatan yang sama dengan anak-anak yang lainnya yaitu setiap anak memiliki akses yang sama ke sumber-sumber belajar tersedia dan sarana yang dibutuhkan tunanetra dapat terpenuhi dengan baik. Lima macam penting dalam penerapan model pendidkan inklusif bagi kalangan tunanetra adalah :


(36)

commit to user

xxxvi

a. Menciptakan dan menjaga komunitas kelas yang hangat, menerima

adanya keanekaragaman, dan dapat saling menghargai pada setiap perbedaan.

b. Dapat memberikan dan mengajar kelas yang heterogen dengan

memerlukan perubahan pelaksanaan kurikulum secara mendasar.

c. Menyiapkan dan mendorong guru untuk dapat megajar secara interaktif.

d. Penyediaan dorongan bagi guru dan kelasnya secara terus menerus dan

penghapusan hambatan yang berkaitan dengan isolasi profesi.

e. Melibatkan orang tua secara bermakna dalam proses sebuah

perencanaan.

Metode pembelajaran bagi anak tunanetra dapat dibedakan menurut fungsunya yaitu media untuk menjelaskan konsep yang berupa alat peraga dan media untuk membantu kelancaran proses pembelajaran yang berupa alat bantu untuk proses pembelajaran yang beupa alat bantu untuk peruses pembelajaran yaitu :

a. Alat bantu yang bisa digunakan untuk membantu proses suatu

pembelajaran anak tunanetra meliputi objek atau situasi yang sebenarnya dengan prinsip totalitas atau situasi yang sebenarnya, benda asli yang telah diawetkan, tiruan/model (tiga atau dua demensi).

b. Alat bantu pembelajaran antara lain alat bantu untuk menulis huruf

Braille (reglet, pen, dan mesin ketik Braille). Alat bantu untuk membantu dalam membaca huruf Braille (papan huruf dan optacon),


(37)

commit to user

xxxvii

alat bantu untuk berhitung (cubaritma, abacus/sempos, speech calculator) serta alat bantu yang bersifat audio seperti tape recorder. Evaluasi terhadap pencapaian hasil belajar pada anak tunanetra pada dasarnya sama dengan yang dilakukan terhadap anak yang memiliki mata normal, namun ada sedikit perbedaan yang menyangkut materi tes/soal dan teknik pelaksanaan tes. Materi tes atau pertanyaan yang diajukan kepada anak tunnetra tidak mengandung unsure-unsur yang memerlukan persepsi visual apabila menggunakan tes tertulis, soal hendaknya diberikan dalam huruf Braille atau menggunakan reader (pembaca) apabila menggunakan huruf alphabet normal yang biasa digunakan oleh anak-anak bermata normal.

3. Pembelajaran Inklusi

a. Pengertian Pendidikan Inklusif

Istilah inklusif memiliki ukuran universal. Istilah inklusif dapat dikaitkan dengan persamaan, keadilan, dan hak individual dalam pembagian sumber-sumber seperti politik, pendidikan, sosial, dan ekonomi. Menurut Reid, masing-masing dari aspek-aspek tersebut tidak berdiri sendiri, melainkan saling berkaitan satu sama lain (London: David Fulton Publisher, 2005:88). Reid


(38)

commit to user

xxxviii

ingin menyatakan bahwa istilah inklusif berkaitan dengan banyak aspek hidup manusia yang didasarkan atas prinsip persamaan, keadilan, dan hak individu.

Dalam ranah pendidikan, istilah inklusif dikaitkan dengan model pendidikan yang tidak membeda-bedakan individu berdasarkan kemampuan dan atau kelainan yang dimiliki individu. Dengan mengacu pada istilah inklusif yang disampaikan Reid di atas, pendidikan inklusif didasarkan atas prinsip persamaan, keadilan, dan hak individu. Istilah pendidikan inklusif digunakan untuk mendeskripsikan penyatuan anak-anak berkelainan (penyandang hambatan/cacat) ke dalam program sekolah. Konsep inklusi memberikan pemahaman mengenai pentingnya penerimaan anak-anak yang memiliki hambatan ke dalam kurikulum, lingkungan, dan interaksi sosial yang ada di sekolah (J. David Smith, 2006 : 45).

MIF. Baihaqi dan M. Sugiarmin menyatakan bahwa hakikat inklusif adalah mengenai hak setiap siswa atas perkembangan individu, sosial, dan intelektual. Para siswa harus diberi kesempatan untuk mencapai potensi mereka. Untuk mencapai potensi tersebut, sistem pendidikan harus dirancang dengan memperhitungkan perbedaan-perbedaan yang ada pada diri siswa. Bagi mereka yang memiliki ketidakmampuan khusus dan/atau memiliki kebutuhan belajar yang luar biasa harus mempunyai akses terhadap pendidikan yang bermutu tinggi dan tepat. (MIF. Baihaqi dan M. Sugiarmin, 2006 ; 75-76).

Baihaqi dan Sugiarmin menekankan bahwa siswa memiliki hak yang sama tanpa dibeda-bedakan berdasarkan perkembangan individu, sosial, dan intelektual. Perbedaan yang terdapat dalam diri individu harus disikapi dunia


(39)

commit to user

xxxix

pendidikan dengan mempersiapkan model pendidikan yang disesuaikan dengan perbedaan-perbedaan individu tersebut. Perbedaan bukan lantas melahirkan diskriminasi dalam pendidikan, namun pendidikan harus tanggap dalam menghadapi perbedaan.

Daniel P. Hallahan mengemukakan pengertian pendidikan inklusif sebagai pendidikan yang menempatkan semua peserta didik berkebutuhan khusus dalam sekolah reguler sepanjang hari. Dalam pendidikan seperti ini, guru memiliki tanggung jawab penuh terhadap peserta didik berkebutuhan

khusus tersebut (Daniel P. Hallahan, 2009 : 53).

Tarje Magnussonn Waretdal (2007: 5), Inclusion/Inclusive Education:

Inclusive school welcome all the children in the community regardless of their

social, economic, athnic, regigious, or languangebackgroun. Inclusive

communities and school embrace diversity-not merelytolerate it. (sekolah

inklusi menerima semua anak dimasyarakat tanpa memandang kemampuan, kecacatan, jender, status HIV, dan status kesehatan serta latar belakang social, ekonomi, etnis,agama, atau bahasa. Masyarakat dan sekolah yang inklusif merangkul keragaman tidak hanya mentolelirnya). Selanjutnya menurut:

Berit H Johanes dan Miriam D. Skjorten, dalam susi Septaviana Rakhmawati (2004: 181), beberapa ide utama dari prinsip sekolah inklusi dapat dijelaskan sebagai berikut:

Bahwa setiap anak merupakan bagian intergral dari komunitas lokalnya dan kelas atau kelompok regular. Kegiatan sekolah diatur dengan sejumlah besar tugas belajar yang kooperatif, individualisasi pendidikan dan fleksibilitas


(40)

commit to user

xl

dalam pemilihan materinya. Guru kerja sama dan memiliki pengetahuan tentang strategi pembelajaran dan kebutuhan pelejaran umum, khusus, individual dan memiliki pengetahuan tentang cara menghargai pluralitas perbedan individu dalam mengatur aktivitas kelas.

Pengertian ini memberikan pemahaman bahwa pendidikan inklusif menyamakan anak berkebutuhan khusus dengan anak normal lainnya. Untuk itulah, guru memiliki tanggung jawab penuh terhadap proses pelaksanaan pembelajaran di kelas. Dengan demikian guru harus memiliki kemampuan dalam menghadapi banyaknya perbedaan peserta didik.

Daniel P. Hallahan, dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 70 Tahun 2009 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan pendidikan inklusif adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya.

Pengertian pendidikan dalam Permendiknas di atas memberikan penjelasan secara lebih rinci mengenai siapa saja yang dapat dimasukkan dalam pendidikan inklusif. Perincian yang diberikan pemerintah ini dapat dipahami sebagai bentuk kebijakan yang sudah disesuaikan dengan kondisi Indonesia, sehingga pemerintah memandang perlu memberikan kesempatan yang sama kepada semua peserta didik dari yang normal, memilik kelainan, dan memiliki kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan. Dengan


(41)

commit to user

xli

demikian pemerintah mulai mengubah model pendidikan yang selama ini memisah-misahkan peserta didik normal ke dalam sekolah reguler, peserta didik dengan kecerdasan luar biasa dan bakat istimewa ke dalam sekolah (baca: kelas) akselerasi, dan peserta didik dengan kelainan ke dalam Sekolah Luar Biasa (SLB).

Rumusan mengenai pendidikan inklusif yang disusun oleh Direktorat Pendidikan Sekolah Luar Biasa (PSLB) Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah (Mandikdasmen) Kementrian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) mengenai pendidikan inklusif menyebutkan bahwa pendidikan inklusif adalah sistem layanan pendidikan yang mensyaratkan anak berkebutuhan khusus belajar di sekolah-sekolah terdekat di kelas biasa bersama-sama teman seusianya. Sekolah penyelenggara pendidikan inklusif adalah sekolah yang menampung semua murid di sekolah yang sama. Sekolah ini menyediakan program pendidikan yang layak dan menantang, tetapi disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan setiap murid maupun bantuan dan dukungan yang dapat diberikan oleh para guru agar anak-anak berhasil.

Dalam ensiklopedi online Wikipedia disebutkan bahwa yang dimaksud

dengan pendidikan inklusi yaitu pendidikan yang memasukkan peserta didik berkebutuhan khusus untuk bersama-sama dengan peserta didik normal lainnya. Pendidikan inklusif adalah mengenai hak yang sama yang dimiliki setiap anak. Pendidikan inklusif merupakan suatu proses untuk menghilangkan penghalang yang memisahkan peserta didik berkebutuhan khusus dari peserta


(42)

commit to user

xlii

didik normal agar mereka dapat belajar dan bekerja sama secara efektif dalam satu sekolah. (Ensiklopedi Online Wikipedia “Inclusion”).

Pengertian-pengertian yang dikemukakan di atas secara umum menyatakan hal yang sama mengenai pendidikan inklusif. Pendidikan inklusif berarti pendidikan yang dirancang dan disesuaikan dengan kebutuhan semua peserta didik, baik peserta didik yang normal maupun peserta didik berkebutuhan khusus. Masing-masing dari mereka memperoleh layanan pendidikan yang sama tanpa dibeda-bedakan satu sama lain. Anak yang berkebutuhan khusus dulunya adalah anak-anak yang diberikan label (labelling) sebagai Anak Luar Biasa (ALB). Anak berkebutuhan khusus (ABK)

merupakan istilah lain untuk menggantikan istilah Anak Luar Biasa (ALB) yang menandakan adanya kelainan khusus. Istilah lain yang juga biasa dipakai

untuk menandai anak yang “lain” dari yang lain ini yaitu hendaya (impairment)

(Bandi Delphie: 2006), disability dan handicap.

Impairment, handicap, dan disability seringkali disamakan dalam

penggunaannya. Sebenarnya terdapat perbedaan arti dari ketiga istilah tersebut.

Impairment digunakan untuk menunjukkan kemampuan yang tidak sepenuhnya

rusak/cacat. Handicap digunakan untuk menunjukkan adanya

kesulitan-kesulitan dalam penggunaan organ tubuh. Disability digunakan untuk

menunjukkan ketidakmampuan yang ada sejak dilahirkan atau cacat yang

sifatnya permanen. (Thomas M. Stephens, dkk.), Teaching Mainstreamed

Students, (Canada: John Wiley&Sons, 1982), Hornby, Oxford Advance .


(43)

commit to user

xliii

Handicap adalah kondisi yang dinisbahkan kepada seseorang yang menderita

ketidakmampuan. Kondisi ini boleh jadi disebabkan oleh masyarakat, lingkungan fisik, atau sikap orang itu sendiri. Dalam hal ini sering muncul

ungkapan “jangan sampai disability menjadi handicap”.John W. Santrock,

Educational Psychology, (New York: The McGraw Hill Inc., 2004: 175).

Anak berkebutuhan khusus mempunyai karakteristik yang berbeda antara yang satu dengan yang lain. Bandi Delphie menyatakan bahwa di

Indonesia, anak berkebutuhan khusus yang mempunyai gangguan

perkembangan dan telah diberikan layanan antara lain: Anak yang mengalami

hendaya (impairment) penglihatan (tunanetra), tunarungu, tunawicara,

tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, autism (autistic children), hiperaktif

(attention deficit disorder with hyperactive), anak dengan kesulitan belajar

(learning disability atau spesific learning disability), dan anak dengan hendaya

kelainan perkembangan ganda (multihandicapped and developmentally

disabled children) (Delpin).

Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2009, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkoba, obat terlarang dan zat adiktif lainnya juga dikategorikan sebagai anak berkebutuhan khusus. Selain anak-anak berkebutuhan khusus yang telah disebutkan di atas, anak-anak yang memiliki bakat dan/atau kecerdasan luar biasa juga dikategorikan sebagai anak-anak berkebutuhan khusus. Dengan demikian, pendidikan inklusif, sesuai dengan beberapa pengertian diatas, selain menampung anak-anak yang memiliki kelainan juga menampung anak-anak


(44)

commit to user

xliv

yang memiliki bakat dan/atau kecerdasan luar biasa agar dapat belajar bersama-sama dalam satu kelas.

Anak berkebutuhan khusus (Heward) adalah anak dengan karakteristik khusus yang berbeda dengan anak pada umumnya tanpa selalu menunjukan pada ketidakmampuan mental, emosi atau fisik. Yang termasuk kedalam ABK antara lain: tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, kesulitan belajar, gangguan prilaku, anak berbakat, anak dengan gangguan kesehatan. istilah lain bagi anak berkebutuhan khusus adalah anak luar biasa dan anak cacat. Karena karakteristik dan hambatan yang dimilki, ABK memerlukan bentuk pelayanan pendidikan khusus yang disesuaikan dengan kemampuan dan potensi mereka, contohnya bagi tunanetra mereka memerlukan modifikasi teks bacaan menjadi tulisan Braille dan tunarungu berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat. Anak berkebutuan khusus biasanya bersekolah di Sekolah Luar Biasa (SLB) sesuai dengan kekhususannya masing-masing. SLB bagian A untuk tunanetra, SLB bagian B untuk tunarungu, SLB bagian C untuk tunagrahita, SLB bagian D untuk tunadaksa, SLB bagian E untuk tunalaras dan SLB bagian G untuk cacat ganda.

1) Tunanetra

Tunanetra adalah individu yang memiliki hambatan dalam penglihatan. tunanetra dapat diklasifikasikan kedalam dua golongan yaitu: buta total (Blind) dan low vision. Definisi Tunanetra menurut Kaufman & Hallahan adalah individu yang memiliki lemah penglihatan atau akurasi penglihatan kurang dari 6/60 setelah


(45)

commit to user

xlv

dikoreksi atau tidak lagi memiliki penglihatan. Karena tunanetra memiliki keterbataan dalam indra penglihatan maka proses pembelajaran menekankan pada alat indra yang lain yaitu indra peraba dan indra pendengaran. Oleh karena itu prinsip yang harus diperhatikan dalam memberikan pengajaran kepada individu tunanetra adalah media yang digunakan harus bersifat taktual dan bersuara, contohnya adalah penggunaan tulisan braille, gambar timbul, benda model dan benda nyata. sedangkan media yang bersuara adalah tape recorder dan peranti lunak JAWS. Untuk membantu tunanetra beraktivitas di sekolah luar biasa mereka belajar mengenai Orientasi dan Mobilitas. Orientasi dan Mobilitas diantaranya mempelajari bagaimana tunanetra mengetahui tempat dan arah serta bagaimana menggunakan tongkat putih (tongkat khusus tunanetra yang terbuat dari alumunium)

2)Tunarungu

Tunarungu adalah individu yang memiliki hambatan dalam pendengaran baik permanen maupun tidak permanen. Klasifikasi tunarungu berdasarkan tingkat gangguan pendengaran adalah:

Gangguan pendengaran sangat ringan(27-40dB), Gangguan

pendengaran ringan(41-55dB), Gangguan pendengaran

sedang(56-70dB), Gangguan pendengaran berat(71-90dB), Gangguan

pendengaran ekstrim/tuli(di atas 91dB). Karena memiliki hambatan dalam pendengaran individu tunarungu memiliki hambatan dalam


(46)

commit to user

xlvi

berbicara sehingga mereka biasa disebut tunawicara. Cara berkomunikasi dengan individu menggunakan bahasa isyarat, untuk abjad jari telah dipatenkan secara internasional sedangkan untuk isyarat bahasa berbeda-beda di setiap negara. saat ini dibeberapa sekolah sedang dikembangkan komunikasi total yaitu cara berkomunikasi dengan melibatkan bahasa verbal, bahasa isyarat dan bahasa tubuh. Individu tunarungu cenderung kesulitan dalam memahami konsep dari sesuatu yang abstrak.

3)Tunagrahita

Tunagrahita adalah individu yang memiliki intelegensi yang

signifikan berada dibawah rata-rata dan disertai dengan

ketidakmampuan dalam adaptasi prilaku yang muncul dalam masa perkembangan. klasifikasi tunagrahita berdasarkan pada tingkatan IQ. Tunagrahita ringan (IQ : 51-70), Tunagrahita sedang (IQ : 36-51), Tunagrahita berat (IQ : 20-35), Tunagrahita sangat berat (IQ dibawah 20). Pembelajaran bagi individu tunagrahita lebih di titik beratkan pada kemampuan bina diri dan sosialisasi.

4)Tunadaksa

Tunadaksa adalah individu yang memiliki gangguan gerak yang disebabkan oleh kelainan neuro-muskular dan struktur tulang yang bersifat bawaan, sakit atau akibat kecelakaan, termasuk celebral palsy, amputasi, polio, dan lumpuh. Tingkat gangguan pada tunadaksa adalah ringan yaitu memiliki keterbatasan dalam melakukan aktivitas


(47)

commit to user

xlvii

fisik tetap masih dapat ditingkatkan melalui terapi, sedang yaitu memilki keterbatasan motorik dan mengalami gangguan koordinasi sensorik, berat yaitu memiliki keterbatasan total dalam gerakan fisik dan tidak mampu mengontrol gerakan fisik.

5)Tunalaras

Tunalaras adalah individu yang mengalami hambatan dalam mengendalikan emosi dan kontrol sosial. individu tunalaras biasanya menunjukan prilaku menyimpang yang tidak sesuai dengan norma dan aturan yang berlaku disekitarnya. Tunalaras dapat disebabkan karena faktor internal dan faktor eksternal yaitu pengaruh dari lingkungan sekitar.

6)Kesulitan belajar

Adalah individu yang memiliki gangguan pada satu atau lebih kemampuan dasar psikologis yang mencakup pemahaman dan penggunaan bahasa, berbicara dan menulis yang dapat mempengaruhi kemampuan berfikir, membaca, berhitung, berbicara yang disebabkan karena gangguan persepsi, brain injury, disfungsi minimal otak, dislexia, dan afasia perkembangan. individu kesulitan belajar memiliki IQ rata-rata atau diatas rata- rata, mengalami gangguan motorik persepsi-motorik, gangguan koordinasi gerak, gangguan orientasi arah dan ruang dan keterlambatan perkembangan konsep. Pembelajaran untuk anak berkebutuhan khusus tiap jenis dan derajat ketuaan memerlukan pandekatan dan strategi yang berbeda-beda. Perbedaan


(48)

commit to user

xlviii

itu lebih disebabkan adanya karakteristik anak berkebutuhan khusus yang beragam. Identifikasi kebutuhan dalam pembelajaran anak tuna netra dimaksudkan untuk memberikan perhatian dan focus secara khusus dalam pembelajaran anak tuna netra jika dibanding dengan pembelajaran secara umum adalah

1) Kebutuhan pengalaman konkrit.

2) Kebutuhan akan pengalaman memadukan dari yang detil ke global.

3) Kebutuhan akan berbuat dan bekerja dengan belajar.

Selain itu anak tuna netra memerlukan media pembelajaran yang dibedakan menjadi

1) Anak buta menggunakan media baca tulis huruf Braille.

2) Anak low menggunakan media baca tulis huruf cetak yang

diperbesar atau menggunakan alat pembesar.

Motode pembelajaran Inklusi bertujuan mendorong guru dan tenaga kependidikan lainnya untuk lebih kreatif dalam mengelola dan mengimplementasikan pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik, memberikan pedoman bagi guru dalam kegitan pembelajaran sesuai dengan bidang stadi atau pembelajaran tematik, serta meningkatkan efisiensi, efektifitas dan fleksibelitas dalam proses pembelajaran di lembaga pendidikan anak berkebutuhan khusus. Dalam ruang lingkup model pembelajaran diharapkan perencanaan proses pembelajaran yang meliputi :


(49)

commit to user

xlix

1) Pemetaan Standar Kompetensi, Kompetensi dasar dan Indikator ke

dalam jaringan tema , penyususnan Silabus dan Penyususnan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran bagi SLB Tuna Netra (A).

2) Pelaksanaan pembelajaran seperti tahap kegiatan, strategi

pengelola pembelajaran, penyusunan waktu yang disesuaikan dengan materi pelajaran.

3) Penilaian pembelajaran seperti pengertian, tujuan, prinsip-prinsip

penilaian, alat penilaian, analisis hasil penilaian dan tindak lanjut penilaian.

4) Pengawasan pembelajaran seperti perencanaan, pelaksanaan dan

tindak lanjut yang meliputi materi, proses, strategi dan metode. Kebutuhan layanan pendidikan tunanetra pada dasarnya membutuhkan suatu pendidikan untuk mengembangkan segala potensi yang ada dalam dirinya secara optimal. Meskipun dengan segala keterbatasan indra pada indranya, terutama pada indra penglihatannya, anak tuna netra membutuhkan latihan khusus yang meliputi latihan membeca dan menulis huruf broille, penggunaan tongkat, orentasi dan mobilitas, serta melakukan latihan visual atau fungsional pada penglihatan.

Layanan pendidikan bagi anak tunanetra dapat dilaksanakan melalui system segregasi yaitu system yang secara terpisah dari anak yang memiliki penglihatan yang masih bagus (tidak memiliki kecacatan) dan intergrasi atau terpadu dengan normal di sekolah-sekolah umum lainnya. Tempat pendidikan dengan system segregasi meliputi sekolah khusus (SLB-A),


(50)

commit to user

l

SDL-B dan kelas jauh. Bentuk-bentuk keterpaduan tersebut yang dapat diikuti oleh anak-anak tunanetra, yaitu melalui system integritas yang meliputi kelas biasa dengan adanya seorang guru konsultan, kelas biasa dengan seorang guru kunjung, serta kelas biasa dengan guru-guru sumber dan kelas khusus.

Strategi proses pembelajaran untuk anak-anak penyandang tunanetra pada dasarnya memliki kesamaan dengan strategi pembelajaran anak-anak pada umumnya. Hanya saja, ketika dalam pelaksanaannya memerlukan modifikasi agar sesuai dengan anak yang melakukan pembelajaran tersebut, yang dalam hal ini adalah anak tunanetra sehingga pesan atau materi yang disampaikan dapat diterima ataupun dapat ditangkap dengan baik dan mudah oleh anak-anak tunanetra tersebut dengan menggunakan semua system indranya yang masih berfungsi dengan baik sebagai sumber pemberi informasi.

Prinsip-prinsip yang harus diperhatikan dalam pembelajaran untuk anak-anak tunanetra adalah

1) Prinsip Individu

Prinsip Individu dalam prinsip pembelajaran untuk tunanetra merupakan prinsip umum dalam pembelajaran manapun. Dalam hal ini guru dituntut untuk dapat memperhatikan secara detil segala perbedaan dalam setiap individu tersebut. Dalam pendidikan untuk anak-anak tunanetra perbedaan-perbedaan umum tersebut menjadi lebih luas dan rumit. Selain


(51)

perbedaan-commit to user

li

perbedaan umum seperti usia, kemampuan mental, fisik, kesehatan, social dan budaya pada anak-anak tunanetra tersebut memiliki perbedaan khusus yang terkait dengan tunanetra tersebut seperti tingkat ketunanetraan, sebeb-sebab ketunanetraannya dan lain-lain. Oleh sebab itu harus ada perbedaan layanan pendidikan antara anak low vision dengan anak-anak buta local lainnya.

2) Prinsip layanan individu jauh lebih mengisyaratkan pada perlunya

seorang guru untuk merancang strategi adan metode pembelajaran yang sesuai dengan keadaan sianak tunanetra. Hal tersebut yang menjadi dasar adanya pendidikan yang dilakukan secara individual agar tidak terjadinya ketimpangan social antara anak penderita tunanetra yang satu dan lainnya yang memiliki tingkatan keparahan dan penyebab berbeda pula. Peran guru memang menjadi salah satu hal utama dan pokok dalam metode pembelajaran dan menjaga agar anak-anak tunanetra tidak merasakan kerendahan dirinya yang justru akan menghambat kelancaran anak-anak tersebut dalam belajar. Guru dalam metode ini diharapkan dapat berperan aktif dalam pendekatan individual dengan strategi-strategi barunya untuk mendekatkan diri secara personal terhadap anak penyandang tunanetra dengan lebih intim lagi agar bisa melihat segala perbedaan yang ada dan bisa menyikapi secara tepat.


(52)

commit to user

lii

Strategi pembelajaran yang digunakan oleh guru untuk anak-anak penyandang tunanetra harus memungkinkan anak tunanetra untuk

mendapatkan pengalaman secara nyata dari apa yang

dipelajarinya. Dalam bahasa Bower (1986) disebut sebagai “Pengalaman pengindraan langsung”. Anak tunanetra tidak dapat belajar melalui pengamatan visual yang memiliki dimensi jarak, seperti pada contoh bunga yang sedang mekar, embun yang menetes dari dedaunan dan sebagainya.

4) Strategi pembelajaran harus memungkinkan adanya akses

langsung terhadap objek atau situasi. Anak tunanetra harus dibimbing untuk dapat meraba, mendengar, mencium, mengecap, mengalami situasi secara langsung dan juga melihat bagi anak low vision. Prinsip ini sangat erat kaitanya dengan komponen alat/media dan lingkungan pembelajaran. Untuk memenuhi prinsip pengalaman pengindraan, perlu tersedia alat atau media pembelajaran yang mendukung dan relevan. Anak tunanetra harus dapat merasakan secara langsung apa yang terjadi di lingkungannya, seperti pada proses memasak, menanam bunga, ataupun pada proses lainnya yang tidak membutuhkan adanya dimensi jarak dan waktu, tetapi pada proses yang melakukan penggunaan pengalaman pengindraan secara langsung.


(53)

commit to user

liii

Strategi pembelajaran ini dilakukan oleh seorang guru untuk dapat memungkinkan seorang siswanya untuk memiliki pengalaman onjek secara langsung maupun pada situasi yang terjadi secara utuh. Starategi ini dapat terwujud apabila guru dapat mendorong anak tersebut untuk dapat melibatkan semua pengalaman pengindraannya secara terpadu dalam memahami sebuah konsep.

Dalam Multi sensory approach dalam bahasa Bower (1986),

artinya mengunakan seluruh alat pengindraan tersebut yang masih memiliki fungsi yang masih baik untuk mengenali objek secara menyeluruh untuk dapat mengenali dengan baik dan mendapatkan gambaran secara utuh seperti utuh apa yang ada dalam dimensi yang sesungguhnya. Misalkan saja, seorang anak tunanetra yang ingin mengenali bentuk burung. Maka, seorang anak yang memiliki keterbatasan dalam hal indra penglihatan tersebut harus dapat melinatkan keseluruhan indra yang masih berfungsi untuk dapat memberikan informasi yang utuh dan baik mengenai bentuk, ukuran, sifat permukaan, dan kehangatan dari burung tersebut. Anak penyandang tunanetra tersebut juga harus dapat mengenali suara yang menjadi cirri khas burung tersebut. Pengalaman pengenalan anak terhadap burung akan menjadi lebih luas dan menyeluruh dibandingkan dengan anak-anak yang hanya menggunakan satu indra dalam mengenali dan mengamati burung tersebut. Itulah yang menjadi nilai tambah yang akan dimiliki oleh


(54)

commit to user

liv

anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus dalam hal gangguan pengelihatan. Hilangnya suatu penglihatan pada salah satu dari kelima indranya, dapat membuat anak-anak tunanetra menjadi sulit mendapatkan gambaran secara nyata dan menyeluruh mengenai objek-objek yang tidak dapat diamati secara serentak oleh kelima indranya. Maka dari itu, perpaduan beberapa teknik dalam penggunaannya menjadi penting untuk anak tunanetra tersebut.

6) Prinsip Aktifitas Mandiri

Strategi pembelajaran haruslah dapat memungkinkan anak atau dapat mendorong anak tunanetra dalam belajar secara aktifdan mandiri. Anak dapat belajar dan menemukan sesuatu yang ingin mereka pelajari. Sedangkan guru bertugas sebagai fasilitator yang dapat membantu anak-anak untuk belajar dan menjadikan sebagai

motivator anak-anak penyandang tunanetranmyang dapat

membangkitkan keinginanuntuk tetap bertahan meski dalam setiap keterbatasannya. Prinsip ini menunjukan bahwa dalam proses belajar tidak sekedar mendengar dan mencatat, tetapi ikut merasakan dan mengalaminya secara langsung. Keharusan memiliki implikasi yang bagus terhadap perlunya si anak dapat mengetahui, menguasai, dan menjalani proses dalam memperoleh fakta atau konsep yang baik. Dalam hal isi pembelajaran, sangat penting untuk anak-anak tunanetra. Tapi akan lebih penting lagi


(55)

commit to user

lv

apabila anak tunanetra tersebut dapat menguasai dan mengalami secara personal dan langsung untuk mendapatkan isi pembelajaran tersebut secara utuh. Oleh akrena itu proses pembelajaran dengan cara mengalami dan mengenal suatu objek secara langsung dapat membantu anak untuk dapat mengenali apa yang selama ini anak-anak normal lainnya alami.

b. Faktor-faktor pembelajaran Inklusi

Faktor yang berpengaruh dalam pembelajaran inklusi terhadap

perkembangan siswa adalah penilaian. Agar hasil penilaian dapat menggambarkan apa yang hendak diukur perlu diperhatikan prinsip-prinsip :

1)Peserta didik dikelompokan secara homogeny untuk memudahkan

dalam pembelajaran dan penilaian. Jika peserta didik heterogen dalam jenis ketunaan dan derajat kecerdasan harus dilakukan dengan pendekatan Program pendidikan Individu (PPI).

2)Kenaikan kelas pada pendidikan khusus berdasarkan :

a. Evaluasi kemampuan yang disesuaikan dengn tuntunan

kurikulum peserta didik dengan kecerdasan normal (Tuna rungu, tuna daksa dan tuna laras yang disertai dengan kelainan lainnya).

b. Usia peserta didik yang disebut dengan kemajuan berkelanjutan

(kenaikan kelas secara otomatis) untuk peserta didik dengan keterbatasan kemampuan intelektual.


(56)

commit to user

lvi

3) Pelaporan hasil penilaian kemampuan belajar peserta didik dilaporkan dalam bentuk kuantitatif dan kualitatif yang dideskripsikan (narsi).

4) Untuk peserta didk yang kemampuan akademiknya kurang tidak diharuskan mengikuti Ujian nasional (UN), cukup mengikuti Ujian Sekolah (US) dan akan memperoleh Surat Tanda Tamat Nelejar (STTB).

5) Untuk peserta didik yang memiliki kemampuan akademik dapat mengikuti Ujian nasional (UN) dan akan memperoleh Surat Tanda tamat Belajar (STTB).

Faktor lain yang sangat mendukung pembelajaran siswa inklusi

adalah penilaian diri (self assessment) adalah suatu teknik penilaian, dimana sabjek yang dinginkan diminta menilai dirinya sendiri berkaitan dengan status, proses dan tingkata pencapaian kompetensi yang dipelajari dalam mata pelajaran tertentu. Teknik penilaian diri dapat digunakan dalam berbagai aspek penilaian yang berkaitan dengan kompetensi kognitif, afektif dan psikomotorik.

c. Pengembangan kurikulum Pendidikan Inklusi.

Kurikulum pendidikan inklusi menggunakan kurikulum sekolah reguler (kurikulum nasional) yang dimodofikasi (diimprovisasi) sesuai


(57)

commit to user

lvii

mempertimbangkan karakteristik (ciri-ciri) dan tingkat kecerdasannya. Modifikasi kurikulum dilakukan terhadap:

1) Alokasi waktu

2) isi/materi kurikulum

3) proses belajar-mengajar

4) sarana prasarana

5) lingkungan belajar

6) pengelolaan kelas.

Modifikasi/pengembangan kurikulum pendidikan inklusi dapat dilakukan oleh Tim Pengembang Kurikulum yang terdiri atas guru-guru yang mengajar di kelas inklusi bekerja sama dengan berbagai pihak yang terkait, terutama guru pembimbing khusus (guru Pendidikan Luar Biasa) yang sudah berpengalaman mengajar di Sekolah Luar Biasa, dan ahli Pendidikan Luar Biasa (Orthopaedagog), yang dipimpin oleh Kepala Sekolah Dasar Inklusi (Kepala SD Inklusi) dan sudah dikoordinir oleh Dinas Pendidikan. Pelaksanaan Pengembangan kurikulum dilaksanakan dengan:

1) Modifikasi alokasi waktu disesuaikan dengan mengacu pada

kecepatan belajar siswa. Misalnya materi pelajaran (pokok bahasan) tertentu dalam kurikulum reguler (Kurikulum Sekolah Dasar) diperkirakan alokasi waktuny selama 6 jam.

i. Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi

di atas normal (anak berbakat) dapat dimodifikasi menjadi 4 jam.


(58)

commit to user

lviii

ii. Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi

relatif normal dapat dimodifikasi menjadi sekitar 8 jam.

iii. Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi

di bawah normal (anak lamban belajar) dapat dimodifikasi menjadi 10 jam, atau lebih; dan untuk anak tunagrahita menjadi 18 jam, atau lebih; dan seterusnya.

2) Modifikasi isi/materi, Untuk anak berkebutuhan khusus yang

memiliki inteligensi di atas normal, materi dalam kurikulum sekolah reguler dapat digemukkan (diperluas dan diperdalam) dan/atau ditambah materi baru yang tidak ada di dalam kurikulum sekolah reguler, tetapi materi tersebut dianggap penting untuk anak berbakat.

i. Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi

relatif normal materi dalam kurikulum sekolah reguler dapat tetap dipertahankan, atau tingkat kesulitannya diturunkan sedikit.

ii. Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi

di bawah normal (anak lamban belajar/tunagrahita) materi dalam kurikulum sekolah reguler dapat dikurangi atau diturunkan tingkat kesulitannya seperlunya, atau bahkan dihilangkan bagian tertentu.

3) Modifikasi proses belajar-mengajar untuk Mengembangkan proses


(59)

commit to user

lix

problem solving, untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi di atas normal;

i. Menggunakan pendekatan student centerred, yang

menenkankan perbedaan individual setiap anak;

ii. Lebih terbuka (divergent);

iii. Memberikan kesempatan mobilitas tinggi, karena

kemampuan siswa di dalam kelas heterogen, sehingga mungkin ada anak yang saling bergerak kesana-kemari, dari satu kelompok ke kelompok lain.

iv. Menerapkan pendekatan pembelajaran kompetitif seimbang

dengan pendekatan pembelajaran kooperatif. Melalui pendekatan pembelajaran kompetitif anak dirangsang untuk berprestasi setinggi mungkin dengan cara berkompetisi secara fair. Melalui kompetisi, anak akan berusaha seoptimal mungkin untuk berprestasi yang terbaik,“aku-lah sang juara”. Namun, dengan pendekatan pembelajaran kompetitif ini, ada dampak negatifnya, yakni mungkin “ego”-nya akan berkembang kurang baik. Anak dapat menjadi egois. Untuk menghindari hal ini, maka pendekatan pembelajaran

kompetitif ini perlu diimbangi dengan pendekatan

pembelajaran kooperatif.

Melalui pendekatan pembelajaran kooperatif, setiap anak dikembangkan jiwa kerjasama dan kebersamaannya. Mereka


(1)

commit to user

clxiii

Ketiga adalah bentuk dan prosedur kegiatan belajar mengajar di SMP Negeri 4 Wonogiri adalah dengan system lima puluh persen di kelas dan lima puluh persen di dalam kelas, guru menyampaikan materi dan memberi tugas kepada siswa dan siswa mengerjakan tugas itu. Melalui kegiatan belajar mengajar itu, kemampuan menguasai dan mengimplementasi materi semakin mantap bagi siswa regular dan bagi siswa berkebutuhan khusus ada pengalaman kongkrit sehingga akan bertahan lama dalam ingatan.

Keempat adalah jenis dan fungsi materi pelajaran dalam kegiatan belajar mengajar. Sesuai dengan kegiatannya meteri model modeifikasi bahan ajar yang diterapkan di SMP Negeri 4 Wonogiri berbentuk kolaborasi antaramata pelajaran yang mempunyai kesamaan tema yang kesemuannya berfungsi sebagai sarana memperlancar jalannya kegiatan belajar mengajar.

Kelima adalah peran guru dan siswa dalam kegiatan belajar mengajar, peran guru adalah menyampaikan tugas, memotifasi, member fasilitas belajar siswa dan mengevaluasi kegiatan belajar mengajar siswa. Sementara itu peran siswa hanya mengerjakan tugas-tugas yang diberikan oleh guru.

Dari kelima dimensi tersebut, yaitu dimensi tujuan pembelajaran, model kurikulum, bentuk kegiatan belajar mengajar, jenis dan fungsi materi pelajaran serta peran siswa dan guru, dalam kegiatan belajar mengajar sesuai dengan prinsip-prinsip model modifikasi bahan ajar. Namun secara keseluruhan implementasi model modifikasi bahan ajar pada sekolah inklusi di SMP Negeri 4 Wonogiri termasuk kategori sedang dengan indicator (1) perolehan nilai ujian nasional tidk terlalu tinggi, (2) jumlah lulusan yang diterima disekolah negeri


(2)

commit to user

clxiv

yang favorit diatas hanya sedikit, (3) masih ada kendala yang belum teratasi seperti adanya guru pendamping untuk anak tunanetra.

2. Kendalan Dan Cara Mengatasi Pelaksanaan Pembelajaran Model

Modifikasi Bahan Ajar Pendidikan Inklusi Siswa Tunanetra Di SMP Negari 4 Wonogiri.

Dalam kaitannya dengan temuan penelitian tentang Kendalan Dan Cara Mengatasi Pelaksanaan Pembelajaran Model Modifikasi Bahan Ajar Pendidikan Inklusi Siswa Tunanetra Di SMP Negari 4 Wonogiri bahwa terdapat Faktor-faktor yang menghambat pelaksanaan model pembelajaran inklusi di SMP Negeri 4 Wonogiri adalah: (1) Perbedaan kemampuan individu dalam hal pembelajaran, peserta didik yang “normal”/umum dan peserta didik yang membutuhkan layanan khusus, (2) Kesiapan kertampilan dan kemampuan guru kurang variatif cenderung membosankan dan membuat pembelajaran pasif, (3) Pola kemapanan guru mengakibatkan guru engan untuk melakukan perubahan, (4) Keterbatasan kesempatan guru untuk mengikuti pelatihan, (5) Pengetahuan guru yang terbatas, (6) Kurangnya dukungan dari lingkungan sekolah.

3. Hasil Belajar Dari Pelaksanaan Model Pembelajaran Inklusi Siswa

Tunanetra Di SMP Negari 4 Wonogiri.

Dalam kaitannya dengan temua Hasil Belajar Dari Pelaksanaan Model Pembelajaran Inklusi Siswa Tunanetra Di SMP Negari 4 Wonogiri dapat disimpulkan bahwa pembelajaran dengan model modifikasi bahan ajar memiliki rancangan yang baik, penerapannya dalam pengajaran juga baik, karena


(3)

commit to user

clxv

pendekatan tersebut mampu membelajarkan siswa secara efektif sehingga dapat meningkatkan taraf sosual anak berkebutuhan kusus diantaranya; terjalin hubungan yang harmonis antara siswa reguler dengan siswa berkebutuhan khusus, bagi siswa berkebutuhan khusus tidak merasa termarjinalkan dan toleransi antar siswa cukup tinggi. Serta meningkatkan taraf intelektual yaitu siswa berkebutuhan khusus termotivasi belajar oleh siswa reguler,penerapan pembelajaran diluar dan didalam kelas memantapkan siswa reguler dalam penguasan materi dan bagi siswa berkebutuhan khusus memperoleh pengalaman yang kongkrit.

Hal ini tercermin dari lima indikator sebagai berikut, pertama tingakat kehadiran, siswa baik reguler maupun yang berkebutuhan khusus terlihat sama-samaaktif masuk sekolah maupun juga dalam kegiatan kelompok diluar sekolah.kedua kegiatan tutor sebaya yang berlangsung pada sore hari. Ketiga motivasi belajar siswa berkebutuhan khusus bertahan karena bersifat attention, relefance, konfidence dan setisfacion. Keempat motivasi guru yang ditandai dengan selalu hadir pada setiap jam tatap muka atau jam mengajar. Dan kelima,prestasi siswa yang terlihat banyaknya hasil kejuaraan lomba baik akademis maupun non akademis.

B. Implikasi

Temuan penelitian ini mendukung teori-teori model modifikasi bahan ajar yang mengutamakan pembelajaran dalam proses belajar mengajar, terutama yang berkenaan dengan pengaruh model modifikasi bahan ajar terhadap prestasi belajar siswa berkebutuhan khusus pada sekolah inklusi.


(4)

commit to user

clxvi

Temuan penelitian ini memperkuat juga teori-teori model modifikasi bahan ajar yang dalam penyajiannya memadukan antara teori,konsep dan fakta. Model modifikasi bahan ajar menuntut adanya keterlibatan siswa dalam menemukan fakta dan konsep melalui proses pembelajaran, dengan menggunakan model modifikasi bahan ajar berarti keterlibatan mental dan fisik siswa semakin banyak untuk mempelajari penegtahuan yang dipelajarinya, sehingga siswa dapat memahami konsep-konsep dan pengetahuan secara lebih baik, penguasaan bahan yang dipelajari lebih mendalam. Oleh karenanya bagi siswa berkebutuhan khusus motivasi belajarnya meningkat dan secara umum prestasi lebih baik.

Pendekatan modifikasi bahan ajar dirancang untuk menetapkan prinsip atau azas keterpaduan dalam bentuk kegiatan atau proses yang berisi serentetan pengalaman interaksi belajar mengajar secara sengaja diprogramkan untuk menyatukan unsur-unsur: (1) subjek belajar, (2) subtansi materi yang dipelajari, (3) tempat lingkungan belajar, (4) kontek situasi dan kondisi belajar peristiwa belajar yang hendak dipelajari, (5) pemanfaatan berbagai sumber dan fasilitas belajar (6) dampak-dampak pengiring yang diharapkan dapat dicapai melalui program yang bersangkutan. Keenam hal tersebut merupakan konsep dan ciri pokok model modifikasi bahan ajar.

Oleh karena tuntuntan dan perkembangan jaman pelaksanaan model pembelajaran inklusi di SMP Negeri 4 Wonogiri merupakan suatu bentuk proses pembelajaran bagi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) yang harus dilaksanakan sehingga nantinaya diharapkan menghasilkan lulusan yang mempunyai prestasi belajar sesuai dengan perkembangan siswa yang normal. Sebagai tindak lanjut


(5)

commit to user

clxvii

untuk menjadikan evaluasi dan revisi guna penyempurnaan pelaksanaan pendidikan inklusif, perlu disampaikan implikasi sebagai berikut:

a. Adanya contoh konkrit tentang model modifikasi bahan ajar

pendidikan inklusi sesuai kebutuhan guru/kondisi anak didik.

b. Pelatihan guru dalam pemahaman bahan ajar yang tepat untuk anak

didik berkebutuhan khusus.

c. Penambahan/penempatan guru, khususnya guru yang menangani

siswa berkebutuhan khusus di sekolah penyelenggaraan pendidikan inklusif.

d. Efektifitas keterlibatan dinas terkait dalam nenangani pendidikan

inklusif.

e. Peran orang tua dalam pendampingan belajar siswa perlu

diciptakan.

C. Saran-saran

Berdasarkan hasil kesimpulan dan implikasi di atas, maka dapat dirumuskan saran-saran sebagai berikut:

1. Pelaksanaan pembelajaran model modifikasi bahan ajar di SMP Negeri

4 Wonogiri adalah program pendidikan dalam pengajaran. Menjadi kewajiban bagi seluruh warga sekolah khususnya para pendidik dalam rangka mempersiapkan kualitas proses belajar mengajar untuk menghasilkan ketuntasan yang maksimal.


(6)

commit to user

clxviii

2. Karena merupakan sekolah pemerintah, SMP Negeri 4 Wonogiri harus

mengupayakan bantuan dalam bentuk sarana dan prasarana pendukung pembelajaran. Koordinasi yang rutin dan berkelanjutan untuk

melakukan monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan

pembelajaran bagi guru juga sangat dibutuhkan agar tugas dan tanggung jawabnya dilaksanakan dengan benar.

3. Lembaga sekolah disarankan dapat menciptakan kondisi belajar yang

memadahi, khususnya penyediaan sarana ataupun fasilitas belajar dengan buku-buku perpustakaan.

4. Kepada peneliti disarankan untuk meneliti lebih lanjut tentang

keefektifan model modifikasi bahan ajar pada sekolah inklusi pada pengaruh-pengaruh yang lain, sehingga hasilnya mendekati yang diharapkan.