Effect of Nutrient (N and P) to The Periphyton Biomass and Community Structure, Case Study Ciliwung River

(1)

PENGARUH UNSUR HARA (N DAN P) TERHADAP

BIOMASSA DAN STRUKTUR KOMUNITAS PERIFITON

STUDI KASUS SUNGAI CILIWUNG

TRI SURYONO

C251090081

SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2012


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis

Pengaruh Unsur Hara (N Dan P) Terhadap Biomassa Dan Struktur Komunitas Perifiton Studi

Kasus Sungai Ciliwung adalah karya saya dengan arahan dari komisi

pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Mei 2012

Tri Suryono NIM C251090081


(3)

ABSTRACT

TRI SURYONO. Effect of Nutrient (N and P) to The Periphyton Biomass and Community Structure, Case Study Ciliwung River. Under direction of ENAN M. ADIWILAGA and DANIEL DJOKO SETIYANTO.

Research on the effect of nutrient to the structure of periphyton communities in Ciliwung river has been conducted from December 2010 to May 2011 at four stations; Gn. Mas, Kp. Pensiunan, Kp. Jogjogan, and Cibinong which reflected the of input of anthropogenic pollutant. This study aims to determine the relationship between nutrients (N and P) concentration and the structure changes of periphyton community in order to determine the ecological condition of Ciliwung River. The results of this study are expected to be useful to make a policy in the management of ecological disturbance of Ciliwung River based on pollutants loads and environmental changes due antropogenic activity. Water quality Ciliwung River was evaluated from the condition of habitats, pollution levels and the conditions of periphyton integrity to observed the actual condition of the aquatic environment. The results showed optimal habitat conditions was observed in Gn. Mas while other stations condition were marginal (Kp. Pensiunan, Kp. Jogjogan and Cibinong). Based on pollution level category, Gn. Mas and Kp. Pensiunan was unpolluted, while Kp. Jogjogan and Cibinong was slightly polluted and moderately polluted respectively. The results obtained 83 species of periphyton consisted of Bacillariophyceae (44 species), Chlorophyceae (20 species), Cyanophyceae (14 species), Rhodophyceae (1 species), Xantophyceae (2 species) and Dinophyceae (2 species). Based on the abundance of periphyton, PIBI score obtained was almost the same Gn. Mas (95,97), Kp. Pensiunan (84,65), Kp. Jogjogan (93,57) and Cibinong (83,83). CCA ordination of the results obtained a clear grouping among the research station. While the results from a combination of habitat conditions, the level of pollution and its PIBI value confirm that water conditions are still good.

Keywords: nutrient, biomass and community structure, periphyton, Ciliwung Rivers


(4)

TRI SURYONO. Pengaruh Unsur Hara (N Dan P) Terhadap Biomassa Dan Struktur Komunitas Perifiton Studi Kasus Sungai Ciliwung. Dibimbing oleh ENAN M. ADIWILAGA dan DANIEL DJOKO SETIYANTO.

Sungai Ciliwung sebagai salah satu sungai besar di Jawa Barat memiliki arti penting dalam menunjang segala aktivitas masyarakat disepanjang DASnya. Seiring dengan meningkatnya kegiatan antropogenik kualitas perairan Sungai Ciliwung mengalami penurunan dengan masuknya bahan pencemar khususnya unsur hara N dan P. Salah satu biota yang hidup di perairan Sungai Ciliwung dan terpengaruh langsung kualitas air adalah perifiton sebagai produsen primer perairan berarus. Penelitian dilaksanakan selama 6 bulan mulai Desember 2010 hingga Mei 2011 dengan tujuan mengetahui pengaruh masuknya unsur hara N dan P terhadap biomassa dan struktur komunitas perifiton di Sungai Ciliwung. Hasil identifikasi perifiton ditemukan total 83 jenis yang terdiri dari Bacillariophyceae (44 jenis), Chlorophyceae (20 jenis), Cyanophyceae (14 jenis), Rhodophyceae (1 jenis), Xantophyceae (2 jenis) dan Dinophyceae (2 jenis) dengan indeks keseragaman tinggi (0,6<E<1,0), indeks keanekaragaman sedang (2,3026<H<6,9078) dan indeks dominansinya rendah (0<C<0,4). Sedangkan hasil analisis parameter unsur hara dari stasiun Gunung Mas hingga Cibinong menunjukkan adanya peningkatan. Hasil perhitungan tingkat pencemaran dan kondisi habitat menunjukkan Gunung Mas (belum tercemar dengan kondisi optimal), Kp. Pensiunan (belum tercemar tetapi kondisi marginal), Kp. Jogjogan (tercemar ringan dan kondisi marginal) serta Cibinong (tercemar sedang dengan kondisi marginal). Sedangkan dari perhitungan metrik PIBI stasiun Gunung Mas tergolong sangat baik, Kp. Jogjogan dalam kategori baik sedangkan Kp. Pensiunan dan Cibinong termasuk sedang. Hasil ordinasi CCA adanya perbedaan yang jelas antar lokasi penelitian berdasarkan kualitas perairan maupun kelimpahan perifitonnya. Sedangkan berdasarkan hasil uji korelasi spearman terdapat korelasi positif antara komponen PIBI yaitu kekayaan taksa, biomassa maupun klorofil-a dengan kondisi unsur hara (N dan P) yang ada di perairan.


(5)

@ Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi IPB.

Dilarang mengumumkan atau memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(6)

(7)

PENGARUH UNSUR HARA (N DAN P) TERHADAP

BIOMASSA DAN STRUKTUR KOMUNITAS PERIFITON

STUDI KASUS SUNGAI CILIWUNG

TRI SURYONO

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan

SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2012


(8)

(9)

(10)

(11)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Alloh SWT, atas berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penelitian maupun penulisan tesis dengan judul ”Pengaruh Unsur Hara (N Dan P) Terhadap Biomassa Dan

Struktur Komunitas Perifiton Studi Kasus Sungai Ciliwung.” Sebagai syarat

penyelesaian program sekolah pascasarjana Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Terimakasih penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah mengarahkan, membantu dan mendukung kegiatan penelitian ini sehingga dapat terselesaikannya penulisan tesis ini dengan lancar.

1. Rektor Institut Pertanian Bogor, Direktur Program Pascasarjana dan ketua Departemen Managemen Sumberdaya Perairan, atas kebijakan yang diberikan selama mengikuti pendidikan pascasarjana IPB.

2. Dr. Ir. Enan M. Adiwilaga, selaku ketua program studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan dan ketua dosen pembimbing, serta Prof. Dr. Ir. Daniel Djoko Setiyanto, DEA selaku dosen pembimbing yang telah memberikan arahan, masukan dan bimbingan selama penulis melaksanakan penelitian dan penulisan tesis.

3. Dr. Tri Widiyanto, M.Si selaku Kepala Pusat Penelitian Limnologi-LIPI dan Dr. Ir. Gadis Sri Haryani (Kapuslit Limnologi periode 2006 – 2010), serta Ir. Fachmijany Sulawesty selaku Kepala Bidang Dinamika Perairan Puslit Limnologi-LIPI, atas dukungan ijin, sarana dan prasarana, serta kebijaksanaannya selama penulis menempuh pendidikan pascasarjana IPB. 4. Rekan-rekan di Puslit Limnologi-LIPI, atas partisipasinya baik langsung

maupun tidak, terutama rekan-rekan yang tergabung dalam kelompok penelitian Konsep SLC: Yoyok Sudarso, Gunawan P. Yoga, Ivana Yuniarti, Rosidah, Supranoto, serta rekan analis laboratorium Pengendalian Pencemaran Ade Sugiarti, Isnuryati dan Irma, atas bantuan dan dukungannya sejak mulai penelitian sampai proses penyelesaian tesis ini.


(12)

penulis menempuh pendidikan pascasarjana IPB.

6. Terakhir penulis sampaikan terimakasih yang tulus kepada Istri dan anakku Nani Widiawati dan Rifky Ramadhan, atas kesabaran dan pengertiannya selama ini. Serta kepada M. Gunawan dan keluarga (adik) atas dukungannya selama penulis menempuh pendidikan pascasarjana IPB.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan tesis ini, karena itu penulis mengharapkan masukan kritik dan saran dari semua pihak guna perbaikan penulisan tesis ini. Semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukan.

Bogor, Mei 2012


(13)

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Sleman, Yogyakarta 30 Maret 1970, merupakan anak ke tiga dari 4 bersaudara dari pasangan ayah (Alm) Soemono dan Ibu (Alm) Siti Suparti.

Pendidikan formal dari Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi diselesaikan di Yogyakarta, yaitu di Sekolah Dasar Negeri 1 Condong Catur, Yogyakarta (1983), Sekolah Menengah Pertama Negeri Condong Catur, Yogyakarta (1986), Sekolah Menengah Atas PIRI 1 Banciro, Yogyakarta (1989). Tahun 1990 penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Tinggi Teknik Lingkungan STTL-YLH, Yogyakarta dan memperoleh gelar Sarjana pada tahun 1996 bidang Ilmu Lingkungan.

Sejak tahun 1997 sampai saat ini penulis menjadi staf peneliti Bidang Dinamika Perairan Darat, Pusat Penelitian Limnologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia yang terletak di kawasan Cibinong Science Center (CSC).


(14)

Halaman

DAFTAR TABEL ………. xiv

DAFTAR GAMBAR ……… xv

DAFTAR LAMPIRAN... xvii

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ……… 1

1.2. Perumusan Masalah ……… 2

1.3. Tujuan Penelitian ……… 3

1.4. Manfaat Penelitian ……….. 3

1.5. Hipotesis……….. 3

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ekosistem Sungai ………. 5

2.2. Hidromorfometri Sungai Ciliwung ……….. 6

2.3. Perifiton ……… 6

2.4. Perifiton sebagai Bioindikator Pencemaran Perairan ……. 9

2.5. Indeks Integrasi Biotik Perifiton (Periphyton Index Biotik Integrity) ... 12

2.6. Parameter Fisika-Kimia ………... 15

2.6.1. Kedalaman Perairan ……… 15

2.6.2. Arus ……… 15

2.6.3. Suhu ……… 16

2.6.4. Kekeruhan (Turbiditas) ……….. 16

2.6.5. Konduktivitas ………. 17

2.6.6. Derajat Keasaman (pH) ……….. 17

2.6.7. Oksigen Terlarut (DO) ……… 17

2.6.8. Alkalinitas ………... 18

2.6.9. Unsur Hara (Nutrien) ………. 19

3. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ……… 21

3.2. Metoda, Variabel dan Desain Penelitian ………... 22

3.3. Metoda Sampling Perifiton ……… 23

3.4. Penilaian Perifiton... 24

3.4.1. Kelimpahan……… 24


(15)

xiii

3.4.3. Indeks Keseragaman .……… 25

3.4.4. Indeks Dominansi ………. 26

3.4.5. Indeks Toleransi Pencemaran Diatom ……….. 26

3.4.6. Biomassa Perifiton... 27

3.4.7. Penilaian Metrik PIBI... 27

3.5. Kualitas Perairan Sungai Ciliwung ……… 28

3.6. Kondisi Habitat ………...………... 29

3.7. Analisis Data Atribut……….. 29

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Karakterisasi Lokasi Penelitian... 31

4.2. Parameter Fisika-Kimia Perairan... 32

4.2.1. Kecepatan Arus... 32

4.2.2. Kondisi Suhu... 33

4.2.3. Konduktivitas... 34

4.2.4. Turbiditas... 35

4.2.5. Total Padatan Terlarut... 36

4.2.6. Derajat Keasaman (pH)... 37

4.2.7. Alkalinitas... 38

4.2.8. Oksigen Terlarut... 38

4.2.9. Unsur Hara (Nutrien)... 39

4.3. Karakteristik Biologi... 45

4.3.1. Komposisi dan Kelimpahan Perifiton... 45

4.3.2. Indeks Keanekaragaman, Keseragaman dan Dominansi ... 47

4.3.3. Biomassa Perifiton ... 50

4.3.4. Analisis CCA ... 52

4.3.5. Interpretasi Metrik PIBI... 53

4.4. Tingkat Pencemaran Sungai Ciliwung... 55

4.5. Kondisi Habitat Sungai Ciliwung... 56

4.6. Pengelolaan Sungai Ciliwung... 57

5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan... 60

5.2. Saran... 61

DAFTAR PUSTAKA ……… 62


(16)

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Distribusi alga dalam kaitannya dengan arus (Round 1964in

Whitton 1975) ……….…………..……….. 15

2. Penggolongan kualitas air berdasarkan kandungan oksigen

terlarut (Sachmitz 1971 inLumbantobing 1996) …………..….. 18 3. Lokasi penelitian berdasarkan kondisi ekosistem Sungai

Ciliwung ……….. 22

4. Parameter dan metode yang digunakan dalam penelitian …... 23 5. Metrik dalam PIBI(Hill et al.2000)... 28 6. Kriteria penilaian gangguan terhadap habitat yang diadopsi dari

protocol US-EPA (Barbour et al. 1999)………... 29 7. Hasil perhitungan metrik-metrik PIBIdi setiap stasiun selama

penelitian... 54 8. Hubungan korelasi PIBI dan komponen metrik serta variabel


(17)

xv

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Diagram alir perumusan masalah penelitian…………...……. 4

2. Materi pembentukan perifiton………...…... 8

3. Publikasi ekologi perifiton dari awal abad 20thhingga tahun 2008 …..………... 11

4. Peta lokasi pengambilan sampel perifiton di Sungai Ciliwung ………...……... 21

5. Kondisi kecepatan arus Sungai Ciliwung hulu yang diukur selama penelitian... 33

6. Kondisi suhu air Sungai Ciliwung selama penelitian... 34

7. Nilai konduktivitas air Sungai Ciliwung selama penelitian... 35

8. Nilai turbiditas air Sungai Ciliwung selama penelitian... 35

9. Hasil pengukuran total padatan terlarut air Sungai Ciliwung selama penelitian... 37

10. Hasil pengukuran kondisi pH air Sungai Ciliwung selama penelitian... 37

11. Nilai alkalinitas air Sungai Ciliwung hasil pengukuran selama penelitian... 38

12. Konsentrasi oksigen terlarut hasil pengukuran selama penelitian... 39

13. Konsentrasi NO2setiap lokasi sampling selama penelitian... 40

14. Konsentrasi NO3setiap lokasi sampling selama penelitian... 41

15. Konsentrasi NH4setiap lokasi sampling air Sungai Ciliwung Hulu... 42

16. Konsentrasi TN air Sungai Ciliwung selama penelitian... 42

17. Konsentrasi o-PO4air Sungai Ciliwung pada setiap lokasi penelitian... 43

18. Konsentrasi TP dalam air Sungai Ciliwung setiap lokasi penelitian... 44

19. Jumlah taksa (jenis) perifiton perairan Sungai Ciliwung... 45

20. Proporsi kelas perifiton yang diperoleh pada setiap pengamatan... 46

21. Kelimpahan perifiton pada perairan Sungai Ciliwung... 47

22. Indeks keanekaragaman perifiton perairan Sungai Ciliwung selama penelitian... 48


(18)

23. Indeks Keseragaman perifiton perairan Sungai Ciliwung

selama penelitian... 48 24. Indeks dominansi perifiton perairan Sungai Ciliwung selama

penelitian... 50 25. Hasil perhitungan klorofil-a perifiton perairan Sungai Ciliwung

selama penelitian... 51 26. Hasil perhitungan biomassa perifiton perairan Sungai Ciliwung

selama penelitian... 51 27. Hasil ordinasi CCA stasiun penelitian di Sungai

Ciliwung... 52 28. Tingkat pencemaran perairan Sungai Ciliwung selama

penelitian... 55 29. Hasil penilaian kondisi habitat setiap stasiun penelitian... 56 30. Kondisi matrik /indeks setiap stasiun penelitian... 58


(19)

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Kondisi morfologi lokasi penelitian...…………...……. 70

2. Hasil analisis parameter kualitas air Sungai Ciliwung selama penelitian... 71

3. Hasil perhitungan indeks pencemaran Kirchoff (1991)... 72

4. Hasil skoring kondisi habitat lokasi penelitian..……...……... 72

5. Hasil pengamatan kelimpahan perifiton selama penelitian... 73

6. Jumlah jenis dan proporsi kelas perifiton yang ditemukan selama penelitian... 76

7. Foto beberapa jenis perifiton hasil identifikasi... 77


(20)

(21)

1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kondisi lingkungan baik tanah, udara dan air saat ini cenderung mengalami penurunan akibat semakin meningkatnya kegiatan antropogenik. Air sebagai sumberdaya terbarukan menjadi salah satu lingkungan yang mengalami penurunan kualitas cukup serius dan perlu mendapatkan perhatian dari segenap elemen masyarakat, karena air merupakan unsur yang sangat vital dalam menunjang kelangsungan hidup seluruh makhluk hidup termasuk didalamnya manusia.

Penurunan kualitas sumberdaya air dari beberapa penelitian diketahui cenderung tidak sesuai lagi peruntukkannya akibat masuknya bahan pencemar yang berasal dari kegiatan antropogenik baik industri maupun domestik yang semakin meningkat. Bahan pencemar yang masuk ke perairan pada umumnya mengakibatkan terjadinya perubahan-perubahan terhadap sifat-sifat fisika, kimia maupun biologi seperti mengandung zat-zat yang bersifat racun dan menyebabkan deoksigenasi, naiknya temperatur, serta meningkatnya padatan tersuspensi dan terlarut serta partikulat bahan organik. Masuknya limbah ke dalam perairan akan mengubah kondisi ekologi perairan dan komunitas di dalamnya (Stoddard et al. 2003; Bledsoe et al. 2004; Tuvikene et al. 2005). Selain itu bahan polutan yang masuk ke perairan mengakibatkan berkurangnya jumlah keragaman dan kepadatan biota serta hilangnya spesies sensitif (Timm et al.2001; Chakrabarty & Das 2006). Sedangkan secara tidak langsung akan berefek pada perubahan interaksi spesies dan penurunan kualitas makanan (Courtney & Clements 2002).

Penilaian kualitas perairan yang umum digunakan adalah penilaian berdasarkan sifat fisika dan kimia perairan, karena mudah dibandingkan dan dapat ditentukan secara langsung. Akan tetapi penilaian ini memberikan hasil interpretasi yang cenderung bias dan kurang akurat, karena air memiliki sifat sebagai pelarut yang umum bagi beberapa konsentrasi bahan pencemar, selain itu juga akibat pengaruh fluktuasi musiman dan harian serta adanya kemampuan pulih diri (self purification) perairan. Untuk melengkapi penilaian kualitas lingkungan perairan agar lebih menggambarkan kondisi lingkungan yang


(22)

sebenarnya maka dilakukan juga upaya untuk mengetahui perubahan yang terjadi pada biota akuatik yang berinteraksi langsung dengan faktor fisika dan kimia yang terdapat pada ekosistem perairan dari waktu ke waktu. Penilaian dengan menggunakan biota akuatik ini dikenal dengan istilah ”Bioindikator”.

Penggunaan komunitas biologi untuk indikator penilaian kualitas perairan telah banyak dikembangkan untuk memperbaiki serta memahami hubungan kualitas air dengan kesatuan komunitas biologi (integrity biological communities) (Karr et al. 1986; Hughes et al. 1991; Dixit et al. 1992). Menurut Dziock et al.

(2006) biota yang digunakan sebagai indikator biologi (bioindicator) adalah organisme yang mampu beradaptasi terhadap fluktuasi kondisi lingkungan dalam periode waktu cukup lama dan meresponnya atau merekam informasi yang ditimbulkannya. Sedangkan Norris dan Thoms (1999) menyebutkan keterlibatan penggunaan materi biologi sebagai indikator biologi sangat penting dalam pengelolaan perairan, karena pengaruh kerusakan lingkungan akibat pencemaran biasanya berdampak negatif bagi kelangsungan hidup biota akuatik sebagai titik akhirnya.

1.2. Perumusan Masalah

Sungai Ciliwung sebagai salah satu sungai besar di Jawa Barat memiliki peranan yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat di sekitarnya. Kondisi lingkungan perairan Sungai Ciliwung saat ini banyak mengalami penurunan akibat meningkatnya kegiatan antropogenik yang berada di sepanjang DAS nya. Salah satu permasalahan yang timbul adalah terjadinya pencemaran air Sungai Ciliwung akibat masuknya bahan organik, sehingga kualitas airnya tidak sesuai lagi dengan peruntukkannya yang ditandai dengan adanya perubahan terhadap beberapa paremeter fisika-kimia perairan seperti penurunan konsentrasi oksigen terlarut, meningkatnya unsur hara N dan P dan naiknya konsentrasi total suspended solid (TSS). Menurut Kido et al. (2009) aktivitas antropogenik yang berupa limbah baik rumah tangga, pertanian/sawah, peternakan, dan industri merupakan sumber pencemar yang berpotensi menurunkan kualitas air Sungai Ciliwung.


(23)

3

Pemantauan kualitas perairan Sungai Ciliwung yang umum dilakukan adalah parameter fisika, kimia maupun biologi dan masih bersifat parsial sehingga hasilnya masih belum mencerminkan kondisi kualitas perairan yang sebenarnya. Guna memperoleh data informasi kualitas perairan Sungai Ciliwung yang mendekati kondisi sebenarnya, maka data kualitas air dari parameter fisika, kimia dan biologi tersebut dianalisis secara terintegrasi yang saat ini banyak dikembangkan dengan menggunakan konsep multimetrik. Tahapan penelitian penggunaan konsep multimetrik seperti terlihat pada Gambar 1.

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh masuknya unsur hara N dan P ke perairan Sungai Ciliwung serta kaitannya dengan perubahan biomassa dan struktur komunitas perifiton serta penilaian kondisi ekologis sungai berdasarkan konsep multimetrik.

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam membantu mengambil kebijakan pengelolaan Sungai Ciliwung akibat gangguan ekologi yang berasal dari masuknya unsur hara maupun perubahan lingkungan akibat dari aktivitas antropogenik.

1.5. Hipotesis

Keberadaan bahan pencemar khususnya unsur hara N dan P yang masuk ke perairan Sungai Ciliwung akan berpengaruh terhadap kondisi kualitas perairan sehingga struktur dan kelimpahan perifiton juga mengalami perubahan.


(24)

4

DO, suhu, konduktivitas

Hidromorfologi S. Ciliwung

Perifiton

Habitat

Hidrodinamika perairan Sungai

Ciliwung

Indeks kualitas air

Sungai Ciliwung

Evaluasi kandidat metrik dalam PIBI:

- Kekayaan taksa dan komposisi

- Atribut populasi

- Toleransi dan sensivitas

- Diaknostik lingkungan

Indeks Habitat

Sensifitas metrik

PIBI

Konsep multimetrik

Tidak

Ya

Kondisi perifiton untuk Sungai

Ciliwung

Kebijakan pengelolaan kualitas

perairan Sungai Ciliwung


(25)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Ekosistem Sungai

Sungai merupakan suatu ekosistem perairan tawar yang dikenal secara umum selain waduk, danau maupun situ. Ekosistem sungai merupakan perairan mengalir (lotik) yang memiliki karakteristik aliran air yang cukup kuat dan memiliki pola pencampuran massa air yang lebih bersifat menyeluruh sehingga perairan sungai biasanya lebih keruh akibatnya proses penetrasi cahaya ke dasar sungai menjadi terhambat (Goldman & Horne 1983). Kondisi ekosistem perairan sungai berbeda dengan perairan tergenang (lentik) seperti danau, maupun waduk yang memiliki stratifikasi kolom air sehingga proses pencampurannya relatif kecil dan bersifat spasial. Karakteristik arus yang kuat pada ekosistem sungai biasanya dipengaruhi oleh iklim dan musim, dimana pada musim kemarau arus yang terjadi lambat sedangkan pada musim hujan arus yang mengalir sangat kuat sehingga mengakibatkan pengikisan tanah dan batuan (erosi) yang akhirnya menimbulkan sedimentasi.

Berdasarkan pola arus yang terjadi, ekosistem perairan sungai dapat dibagi menjadi dua yaitu ekosistem perairan sungai berarus cepat dan lambat. Pada ekosistem sungai berarus cepat biasanya dicirikan oleh tipe substrat berbatu dan berkerikil serta segmen sungai berada pada gradien tinggi, sedangkan ekosistem sungai berarus lambat biasanya tipe substratnya berpasir dan berlumpur, ciri lainnya biasanya dalam, lebar, dan berlokasi di dataran rendah. Menurut Clapham (1983) pola arus merupakan faktor utama (pembatas) terhadap keberadaan jumlah dan tipe organisme autotrop sehingga pola arus ini merupakan faktor pengontrol produktivitas dari ekosistem perairan sungai.

Menurut Thornton et al. (1990) produsen primer di sungai, danau, dan waduk terdiri dari fitoplankton, bakteri, alga bentik (perifiton), dan makrofita. Pada kondisi perairan berarus perifiton lebih berperan sebagai produsen primer, sedangkan fitoplankton cenderung lebih dominan peranannya pada sungai yang dalam dan besar (Welch 1980).


(26)

2.2. Hidromorfometri Sungai Ciliwung

Sungai Ciliwung merupakan salah satu sungai besar yang mengalir sepanjang kurang lebih 120 km yang melewati beberapa wilayah, yaitu Kota Bogor, Kab. Bogor, Depok, dan Jakarta dengan luas daerah pengaruhnya (DAS) sekitar 387 km2. Hulu Sungai Ciliwung berada di Gunung Gede, Gunung Pangrango serta Puncak, dan bermuara di wilayah perairan laut Jawa. Akibat tekanan berbagai bentuk aktivitas domestik dan industri yang berada di sepanjang DAS-nya kondisi air sungai Ciliwung mengalami penurunan kualitas dan tidak sesuai lagi dengan peruntukkannya. Beban bahan pencemar yang paling utama masuk ke perairan Sungai Ciliwung umumnya adalah bahan organik dan logam berat. Sumber pencemar yang berpotensi menurunkan kualitas air Sungai Ciliwung sebagian besar berasal dari aktivitas antropogenik dari limbah rumah tangga, pertanian/sawah, peternakan, dan industri (Kido et al. 2009). Keberadaan bahan pencemar, selain mengakibatkan turunnya kualitas perairan juga berpengaruh terhadap hilangnya keanekaragaman hayati khususnya spesies asli/endemik (Khosla et al. 1995; Brahmana & Firdaus 1997).

Keberadaan Sungai Ciliwung sangat penting bagi sektor pertanian (irigasi), industri, maupun bahan baku air minum untuk masyarakat Kota Depok dan Jakarta. Kegiatan antropogenik yang berada disepanjang DAS Ciliwung bila tidak dikelola dengan baik akan berdampak negatif terhadap sumberdaya airnya seperti permasalahan pencemaran. Kondisi ini dapat menimbulkan gangguan, kerusakan, dan bahaya bagi makhluk hidup yang bergantung pada sumberdaya air serta hidup dan ditemukan pada ekosistem sungai mulai dari tanaman air, plankton, perifiton, bentos dan ikan. Biota yang terpengaruh langsung terhadap kondisi lingkungan yang berubah-ubah di perairan sungai adalah biota-biota yang siklus hidupnya relatif menetap seperti bentos maupun perifiton.

2.3. Perifiton

Perifiton merupakan gabungan beberapa ganggang, cyanobacteria, mikroba heterotrofik, dan detritus yang melekat pada permukaan batuan, kayu dan tanaman serta hewan air yang terendam pada ekosistem perairan (Odum 1971). Perifiton di perairan mengalir pada umumnya terdiri dari diatom (Bacillariophyceae), alga hijau berfilamen (Chlorophyceae), bakteri atau jamur berfilamen, protozoa, dan


(27)

7

rotifera (tidak banyak pada perairan tidak tercemar), serta beberapa jenis benthos (Welch 1952). Komunitas pembentukan perifiton yang ada pada substrat dalam perairan seperti ditunjukkan pada Gambar 2.

Perifiton meskipun tidak banyak digunakan, tetapi cocok untuk penilaian kualitas perairan sungai (Patrick 1973; Stevenson & Lowe 1986; Rott 1991; Round 1991; Stevenson & Pan 1999). Berdasarkan tipe substrat tempat menempelnya, perifiton dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

a. Epilithic, perifiton yang menempel pada batu.

b. Epidendritic, perifiton yang menempel pada kayu.

c. Epiphytic, perifiton yang menempel atau hidup pada permukaan daun

maupun batang tumbuhan.

d. Epizoic, perifiton yang menempel pada permukaan tubuh hewan.

e. Epipelic, perifiton yang menempel pada permukaan sedimen.

f. Epipsamic, perifiton yang menempel pada permukaan pasir.

Perifiton dalam ekosistem perairan berfungsi sebagai sumber makanan penting bagi organisme dengan tingkat trofik yang lebih tinggi, seperti: avertebrata, larva, dan beberapa ikan. Perifiton juga dapat menyerap bahan pencemar yang ada di perairan, sehingga dapat membatasi penyebarannya di lingkungan khususnya perairan. Komunitas perifiton biasa digunakan dalam sistem produksi akuakultur yaitu sebagai sumber makanan bagi ikan.

Proses perkembangan perifiton merupakan bentuk proses akumulasi yaitu terjadinya peningkatan biomassa seiring dengan bertambahnya waktu. Akumulasi tersebut merupakan hasil kolonisasi dan komposisinya, dimana keberadaannya sangat dipengaruhi oleh kemampuan perifiton dan media penempelnya. Kemampuan perifiton dalam menempel pada substratnya menentukan eksistensinya terhadap pencucian arus sehingga keberadaan komunitasnya tetap mantap. Perifiton yang menempel pada substrat mati seperti batuan keberadaannya akan lebih mantap, tidak mengalami perubahan, rusak maupun mati, meskipun terbentuknya komunitas berjalan lambat (Ruttner 1974).


(28)

Keterangan : a. Bakteri

b. Navicula menisculus var.

upsaliensis- prostrate,

mucilage coat.

c. Gomphonema parvulum

short stalks,

d. Gomphonema olivaceum

long stalks,

e. Fragilaria vaucheriae

rosette, mucilage pads,

f. Synedra acus – large

rosette, mucilage pads,

g. Nitzschia sp.- rosette,

mucilage pads,

h. Stigeocionium sp.- upright

filaments Gambar 2. Materi pembentukan perifiton (Annonim, 2009)

Komposisi alga yang biasa ditemukan pada perairan sungai dan menempel pada batuan (Epilithic) dan tanaman air (Epiphytic) dari hasil penelitian yang dilakukan Bishop (1973) terdiri atas Cyanophyta, Rhodophyta, Cryptophyta, Bacillariophyta, Chrysophyta, Euglenophyta, dan Chlorophyta. Sedangkan menurut Hynes (1972) bentik alga yang sering ditemukan pada perairan dalam jumlah besar antara lain: Synedra, Nitzschia, Navicula, Diatoma, dan Surirella. Diatom dari kelompok pennales merupakan alga bentik yang mendominasi pada perairan berarus kuat dan seiring dengan menurunnya arus, maka keanekaragaman alga dalam perairan akan meningkat selain diatom juga tumbuh alga bentik dari kelompok Chlorophyta dan Myxophyta (Whitton 1975).

Kelompok diatom jenis pennales pada perairan berarus cenderung mendominasi karena berkaitan dengan bentuk sel (frustul) yang simetris bilateral dan sistem aliran air yang melewati sitoplasma sehingga mampu bergerak meluncur melawan arus. Selain itu, pada frustule yang berupa sobekan sobekan


(29)

9

sel (raphe), terdapat sitoplasma yang di dalamnya mengandung

mucopolysaccharidesyang mampu mengeluarkan helaian cairan perekat sehingga

mampu menempel di substrat dan memungkinkan untuk membantu bergerak (Sze 1993; Basmi 1999). Perkembangan perifiton di perairan sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan antara lain kecerahan, kekeruhan, tipe substrat, kedalaman, pergerakan air, arus, pH, alkalinitas, kesadahan, dan nutrien. Populasi perifiton akan menurun pada perairan yang kurang mendapatkan cahaya cukup. Faktor kekeruhan pada perairan baik yang diakibatkan oleh lumpur maupun plankton juga mengakibatkan penurunan populasi perifiton khususnya yang hidup di dasar dan tergantung pada cahaya yang masuk ke perairan untuk perkembangannya (Wetzel 1979).

2.4. Perifiton sebagai Bioindikator Pencemaran Perairan

Komunitas perifiton memiliki peran dalam ekosistem air tawar dan merupakan reaktor biogeokimia bertenaga surya, habitat biogenik, gambaran elemen hidrolik, maupun sistem peringatan dini untuk perubahan lingkungan, serta keberadaan keanekaragaman hayati (Stevenson 1996; Wehr & Sheath 2003; Azim et al. 2005).

Kondisi lingkungan dengan habitat yang stabil sangat mendukung tercapainya suatu komunitas organisme baik flora maupun fauna dalam suatu ekosistem, sehingga dapat tetap eksis dan berkembang dengan baik. Perubahan yang terjadi pada variabel lingkungan dapat mempengaruhi komunitas organisme secara menyeluruh mulai pada komposisi jenis, spesies, bentuk morfologi individu, anatomis, fisiologis, dan jumlah individu. Organisme yang mampu maupun yang tidak mampu bertahan hidup pada kondisi lingkungan yang mengalami perubahan biasanya dapat dijadikan sebagai biota indikator dari lingkungan yang bersangkutan. Perubahan yang mendasar pada struktur komunitas akibat adanya perubahan lingkungan adalah terjadinya perubahan keanekaragaman jenis dari komunitas yang bersangkutan (Basmi 1999).

Salah satu manfaat penggunaan perifiton sebagai bioindikator adalah karena secara umum spesies perifiton bersifat menetap dalam waktu yang lama dan mampu merespon bahan polutan yang terlarut dalam perairan, sehingga


(30)

mampu memberikan informasi tentang kondisi kualitas suatu perairan sesuai dengan yang sebenarnya (Crossey & La Point 1988; Stewart & Davies 1990). Masuknya beban polutan ke dalam ekosistem perairan akan mempengaruhi komponen biota akuatik terutama pada struktur dan fungsinya dalam rantai makanan yang dapat diketahui dengan adanya perubahan komposisi, jumlah, dan kelimpahan taksanya.

Penilaian kualitas lingkungan yang dewasa ini banyak dilakukan untuk melengkapi hasil pendugaan parameter fisika dan kimia adalah dengan memasukkan parameter biologi. Menurut Soewignyo et al. (1986), penentuan kualitas perairan secara biologi dapat dianalisis secara kuantitatif yaitu dengan melihat jumlah kelimpahan jenis organisme yang hidup di lingkungan perairan tersebut dan dihubungkan dengan keanekaragaman tiap jenisnya dan cara penentuan yang lain adalah dengan analisis secara kualitatif dengan melihat jenis-jenis organisme yang mampu beradaptasi pada kondisi lingkungan tertentu.

Penggunaan perifiton sebagai indikator penilaian kualitas perairan telah banyak dilakukan penelitian oleh banyak peneliti maupun ahli. Hasil penelusuran dari beberapa literatur, abstrak, dan web ilmu pengetahuan yang dilakukan oleh Scott (2010) dengan fokus utama berkaitan dengan ekologi perifiton ditemukan kurang lebih 150 paper yang terbagi menjadi 7 topik bahasan utama yaitu: 1). Pengaruh perubahan fisik, 2). Pengaruhnya terhadap pemaparan dan respon, 3). Faktor lingkungan yang membatasi, 4). Hubungan persaingan, 5). Pengaruh akibat pemangsaan, 6). Perifiton sebagai indikator lingkungan, 7). Kedudukan perifiton dalam siklus rantai makanan pada lingkungan kolam. Secara garis besar beberapa hasil publikasi yang berkaitan dengan keberadaan perifiton dapat dilihat pada Gambar 3.


(31)

11

1900 1905 1910 1915 1920 1925 1930 1935 1940 1945 1950 1955 1960 1965 1970 1975

1977 1979 1981 1983 1985 1987 1989 1991 1993 1995 1997 1999 2001 2003 2005 2007 2008

Kolonisasi dan periodisitas algae sungai (Brown 1908)

Suksesi perifiton (Eddy 1925)

Respon algae terhadap bertambahnya unsur hara di sungai (Huntsman 1948) Lingkungan penentu penyebaran

diatom (Patrick 1948)

Aliran metabolisme (Odum 1958)

Pengaruh aliran pada respirasi perifiton

(McIntire 1966)

Pengaruh cahaya dan aliran pada komposisi

perifiton (McIntire 1968)

Keterbatasan CO2dalam proses fotosintesis bryophytes di perairan (Blackman & Smith 1910)

Fiksasi N oleh cyanobacteria (Allison & Morris 1930)

Karakteristik perifiton sungai di British

(Bucher 1940)

Kondisi cahaya dibawah tutupan tanaman sempadan (McConnell & Singler 1959)

Pengaruh aliran pada perpindahan massa (Whitford & Schumacher 1961)

Metoda 32P untuk produktivitas perifiton (Elwood & Nelson 1972)

Pengaruh aliran pada pertumbuhan perifiton (Horner & Welch 1981)

Dinamika perifiton (Pringle et al. 1988)

Ekologi alga (Stevenson et al. 1996)

Meta analisis keterbatasan unsur hara (Francoeur 2001)

Pengaruh UVR pada perifiton (Weidman et al. 2005)

Batas lapisan perpindahan perifiton (Hart & Finell 1999)

Hubungan klorofil dengan unsur hara (Biggs 2000)

Pengaruh UVR dan DOC pada perifiton (Frost et al. 2007)

Meta analisis dengan kontrol atas-bawah dibandingkan atas-bawah-atas

(Hillebrand 2002)

Gambar 3. Publikasi ekologi perifiton dari awal abad 20th hingga tahun 2008 (Scott 2010).

Penggunaan perifiton untuk menilai kualitas air sungai didasarkan pada 3 pendekatan yaitu :

1. Pendekatan yang paling lama (tua) yaitu berdasarkan konsep indikator spesies, seperti pemakaian jenis alga untuk menilai kualitas air. Pendekatan yang paling lama digunakan adalah sistem saprobik (Hill et al. 2000), sistem ini masih digunakan secara luas untuk monitoring penilaian kualitas air dan air buangan meskipun hingga saat ini banyak mengalami perbaikan (Lange-Bartelot 1979; Frederich et al. 1992). Sistem saprobik terbukti memiliki kelemahan dalam pemantauan kerusakan ekosistem sungai, karena tidak memberikan informasi keterkaitannya antara keberadaan beban unsur hara dengan rendahnya keragaman hayati yang terbentuk (Patrick 1973; Guzkowska & Gasse 1990). 2. Pendekatan yang didasarkan pada struktur komunitas dimana anggapan bahwa

lingkungan yang masih alami (pristine) akan mendukung tingginya keanekaragaman hayati dibandingkan dengan lingkungan yang telah


(32)

mengalami gangguan, jadi keberadaan struktur komunitas mencerminkan kesehatan dari suatu ekosistem. Indeks struktur komunitas (keragaman, kelimpahan, kekayaan taksa dan keseragaman) biasa digunakan dalam pemantauan pencemaran sungai dari point source(Freidrich et al.1992).

3. Pendekatan indeks biotik yang digunakan untuk menilai kualitas air dan ekosistem sungai secara terintegrasi (Fausch et al. 1984; Karr et al. 1986; Kerans & Karr 1994). Indeks biotik dikembangkan dengan memadukan dua konsep pendekatan antara indikator spesies dan struktur komunitas dalam penilaian kualitas air berdasarkan hubungan parameter fisika kimia kondisi saat ini dan yang sebelumnya. Dalam pendekatan ini memanfaatkan analisis multivariat untuk mengetahui hubungan antara data kondisi lingkungan dengan keberadaan organisme dikaitkan dengan pendekatan kondisi karakteristik ekologi danau maupun sungai (Frits et al.1993; Dixit & Smol 1994; Pan et al.

1996, Reynoldson et al.1997).

2.5. Indeks Integritas Biotik Perifiton (Periphyton Index Biotik Integrity)

Penilaian kualitas perairan dengan menggunakan indeks biotik saat ini banyak dikembangkan dan digunakan karena dalam informasi yang diberikan terhadap keberadaan kualitas perairan akan mendekati keadaan yang sebenarnya. Indeks biotik terintegrasi dapat didesain untuk pengukuran kekayaan spesies, struktur trofik, dan kelimpahan organisme. Keseluruhan indek yang dihasilkan dari total jumlah metrik yang ada merupakan respon dari sumber polutan baik khusus sampai umum ataupun gabungan dari gangguan tersebut (Karr 1993). Perkembangan indeks multimetrik untuk ekosistem sungai yang terintegrasi biasanya diperlukan kondisi daerah acuan (reference site).

Konsep penilaian kualitas perairan dengan menggunakan Periphyton Index

Biotic Integrity (PIBI) merupakan penilaian yang menggabungkan beberapa

metrik yang disesuaikan dengan kondisi lingkungan perairan, antara lain:

1. Metrik Kekayaan Taksa Relatif: Jumlah total dari semua spesies yang ada dalam komunitas. Kekayaan spesies diatom biasanya menurun dengan meningkatnya kontaminasi bahan organik (Amblard et al. 1990; Witton et al. 1991), logam berat (Pratt et al. 1987; Crossey & La Point 1988;


(33)

13

Scanferlato & Cairns 1990; Sudhakar et al. 1991; Witton et al. 1991), dan pestisida (Kosinski 1984).

2. Metrik Keanekaragaman Shannon (ukuran kekayaan dan kesamaan taksa) metrik ini biasa digunakan oleh para ahli biologi, karena relatif mudah diinterpretasikan dan dibandingkan. Bahls (1993) menyatakan bahwa indeks keanekaragaman shannon relatif sensitif terhadap perubahan kualitas air. 3. Pencemaran Toleransi Index (PTI)

Indeks Pencemaran didasarkan pada rasio diatom terhadap toleransinya: 1) paling toleran, 2) kurang toleran dan 3) tidak toleran (sensitif). Rasio tersebut kemudian dikalikan dengan jumlah kelompok masing-masing (1, 2, atau 3), dan jumlah untuk masing-masing memberikan nilai Indeks Pencemaran. Bahls (1993) menguraikan kriteria yang digunakan untuk menetapkan taksa diatom ke grup toleransi polusi dianalisis sebagai variabel ekologi.

4. Metrik Cyanobacteria

Berbeda dengan % dari diatom, pada peningkatan % Cyanobacteria akan cenderung menunjukkan adanya peningkatan gangguan pada lingkungan, terutama sebagai hasil dari pengayaan hara dan organik maupun paparan zat-zat beracun (Palmer 1969; Patrick 1977; Bott & Rogenmuser 1978; Steinman et al.1991; Leland 1995).

5. Indeks Pengendapan (siltation index)

Indeks pengendapan adalah kelimpahan relatif dari spesies Navicula dan

Nitzschia dalam populasi diatom yang menunjukkan substrat tidak stabil,

sehingga berkaitan tingkat sedimentasi di dasar sungai (Bahls 1993). Peningkatan kelimpahan Navicula dan Nitzschia di lingkungan menunjukkan adanya gangguan di lingkungan perairan tersebut.

6. Metrik Diatom Eutraphentic.

Diatom Eutraphentic telah banyak digunakan untuk mengidentifikasi dan menilai perairan yang telah dipengaruhi oleh unsur hara (Palmer 1969; Lange-Berlatot 1979; Hall & Smol 1992; Christie & Smol 1993; Pan et al. 1996.). Dengan meningkatnya % diatom eutraphentic, maka menunjukkan


(34)

kecenderungan adanya peningkatan material organik pada perairan tersebut (Hill et al. 2000).

7. Achnanthes minutissima(%)

Kelimpahan persen dari A. minutissima yang ditemukan berkaitan dengan terjadinya peristiwa pencemaran atau gangguan lingkungan perairan akibat pertambangan maupun bahan kimia beracun, dimana terjadinya peningkatan kelimpahan mengindikasikan besarnya gangguan (misalnya 0-25% = tidak ada gangguan, 25-50% = gangguan ringan, 50-75% = gangguan sedang, 75-100% = gangguan berat). Spesies ini sering mendominasi di sungai akibat dari drainase tambang, serta gangguan kimia lainnya (Stevenson & Bahls 1999).

8. Metrik klorofil-a

Konsentrasi klorofil a secara luas telah digunakan untuk penilaian melimpahnya unsur hara yang ada di perairan sungai, mulai dari skala penelitian sampai regional (Leland 1995; Pan et al.1999).

9. Matrik Biomassa (AFDM)

Hubungan antara areal pertanian dengan kualitas air tidak mudah untuk diintepretasikan. Leland (1995) melaporkan bahwa meningkatnya biomassa perifiton merupakan akibat dari masuknya bahan unsur hara dari lahan pertanian, sementara yang lain melaporkan bahwa berkurangnya biomassa perifiton dalam perairan sungai diakibatkan oleh gangguan bahan kimia (Clark et al. 1979; Boston et al. 1991; Sigmon et al. 1997). Nilai tengah hasil pengukuran AFDM/m2digunakan sebagai nilai referensi untuk metrik biomassa (Hill et al.2000).

10. Indeks Autotrofik

Rasio AFDM: Chla adalah ukuran dari jumlah bahan organik relatif terhadap biomassa perifiton. Rasio dari 50 sampai 200 adalah khas untuk perifiton didominasi kumpulan bentik. Nilai lebih dari 200 dapat menunjukkan kualitas air yang buruk (APHA 1995).


(35)

15

2.6. Parameter Fisika-Kimia 2.6.1. Kedalaman Perairan

Jumlah dan jenis hewan bentos termasuk perifiton dipengaruhi oleh kondisi kedalaman perairan. Welch, (1952) menyatakan bahwa daerah litoral paling banyak jumlah dan jenis biota air jika dibandingkan dengan daerah sublitoral dan profundal.

2.6.2. Arus

Kecepatan arus merupakan faktor lingkungan yang sangat berpengaruh terhadap keberadaan biota yang ada di perairan mengalir (lotik), kondisi arus suatu perairan sungai dipengaruhi oleh adanya perbedaan gradien atau ketinggian lokasi antara bagian hulu dengan hilir, semakin besar perbedaan ketinggiannya, maka arus air yang mengalir akan semakin deras. Takao et al. (2006) menyebutkan bahwa kecepatan aliran dan fluktuasi dari debit sungai merupakan faktor utama dari organisasi biologi yang ada dalam sistem lotik. Sedangkan Welch (1980) menambahkan, sungai dangkal dengan kecepatan arus cepat, biasanya didominasi oleh diatom perifitik. Alga bentik yang mendominasi perairan yang berarus kuat dikarakteristikkan oleh adanya diatom golongan pennales (Tabel 1).

Tabel 1. Distribusi alga dalam kaitannya dengan arus (Round 1964)

Arus

(m/detik) Tipe komunitas Jenis yang mendominasi

< 0,2 – 1 Alga bentik Alga epipelik dan epifitik: seperti Nitzschia, Navicula, Caloneis, Eunotia, Tabellaria, Synedra, Oscillatoria, Oedogonium, Bulbochaete

> 1 Alga bentik Alga epilitik: seperti Achnantes, Meridion, Diatoma, Ceratoneis.

> 0,5 – 1 Fitoplankton Diatom kecil bersel tunggal, alga biru.

> 1 Fitoplankton Volvocales, Chrysomonads.

Mason (1981) mengklasifikasi sungai berdasarkan kecepatan arusnya ke dalam lima kategori yaitu arus yang sangat cepat (> 100 cm/detik), cepat (50-100 cm/detik), sedang (25-50 cm/detik), lambat (10-25 cm/detik), dan sangat lambat


(36)

(< 10 cm/detik). Kecepatan arus akan mempengaruhi jenis dan sifat organisme yang hidup di perairan tersebut (Klein 1972). Menurut Whitton (1975) kecepatan arus adalah faktor penting di perairan mengalir. Kecepatan arus yang besar (> 5 m/detik) mengurangi jenis flora yang dapat tinggal sehingga hanya jenis-jenis yang melekat saja yang tahan terhadap arus dan tidak mengalami kerusakan fisik.

2.6.3. Suhu

Menurut Perkins (1960), Suhu perairan sangat erat kaitannya dengan komposisi substrat, kekeruhan, masukan air hujan, luas permukaan perairan yang langsung terkena sinar matahari, serta masukan air limpasan. Suhu perairan sungai pada umumnya terdapat perbedaan antara di permukaan yang selalu lebih tinggi dibandingkan dengan suhu pada kolom perairan (mendekati dasar perairan) (Nybakken 1988).

Suhu berperan sebagai pengatur proses metabolisme dan fungsi fisiologis organism, sehingga suhu sangat berpengaruh terhadap percepatan atau perlambatan pertumbuhan dan reproduksi alga. Perubahan suhu berpengaruh terhadap proses fisika, kimia, dan biologi badan air, sehingga suhu juga berperan dalam mengendalikan kondisi ekosistem perairan. Menurut Welch (1980) kisaran suhu yang optimum untuk pertumbuhan suatu organisme akuatik seperti alga dari filum Chlorophyta dan diatom berkisar pada suhu 30 – 35 oC, sedangkan Cyanophyta bisa toleran terhadap kisaran suhu yang lebih tinggi diatas 30 0C.

2.6.4. Kekeruhan (Turbiditas)

Gambaran sifat optik air dapat dilihat dari nilai kekeruhannya, kondisi ini sangat tergantung pada banyaknya cahaya yang terserap dan dipancarkan kembali oleh bahan-bahan yang terdapat dalam air baik bahan organik maupun anorganik yang terlarut dan tersuspensi biasanya berupa pasir halus dan lumpur maupun yang berupa plankton dan mikroorganisme lainnya (APHA 1995; Davis & Cornwell 1991).

Peningkatan kekeruhan pada perairan dapat mengurangi produktivitas primer dari suatu perairan. Menurut Lloyd (1985), pada perairan dangkal dan jernih peningkatan kekeruhan hingga 25 NTU mengakibatkan produktivitas primer turun antara 13 – 50%, sedangkan di danau dan sungai peningkatan


(37)

17

kekeruhan sebesar 5 NTU mengurangi produktivitas primer berturut-turut 75% dan antara 3 – 13%. Kekeruhan yang tinggi dapat mengakibatkan terganggunya proses osmoregulasi pada suatu organisme, seperti pernafasan dan penglihatan organisme akuatik (Effendi 2003).

2.6.5. Konduktivitas

Konduktivitas merupakan gambaran kemampuan air dalam menghantarkan arus listrik secara numerik karena ionisasi garam-garam terlarut dalam air (Cole 1988). Nilai konduktivitas suatu perairan alami berkisar antara 20 – 1500 µmhos/cm (Boyd 1988), sedangkan limbah industri nilai konduktivitasnya mencapai 10.000 µmhos/cm (APHA 1995). Nilai konduktivitas perairan lebih dari 500 µmhos/cm, maka hidrobiota termasuk perifiton mengalami tekanan secara fisiologis (Afrizal 1992).

2.6.6. Derajat keasaman (pH)

Perairan alami pada umumnya memiliki kisaran pH antara 6,5 – 8,5 tergantung pada suhu, oksigen terlarut dan kandungan garam-garam ionik yang ada dalam perairan. Sebagian besar biota akuatik memiliki batas toleransi terhadap pH. Secara umum kondisi pH antara 7 – 8,5 merupakan kondisi ideal yang disukai oleh biota perairan (Effendi 2003). Kondisi pH menentukan dominansi biota akuatik khususnya fitoplankton misalkan alga biru lebih menyukai pH netral sampai basa dan respon pertumbuhannya negatif terhadap asam (pH<6), sedangkan Chrysophyta umumnya pada kisaran pH 4,5–8,5; dan pada umumnya kisaran pH yang netral akan mendukung keanekaragaman jenis diatom (Wetzel 1979).

2.6.7. Oksigen Terlarut (DO)

Proses metabolisme dan respirasi organisme akuatik memerlukan ketersediaan oksigen terlarut, sehingga keberadaan oksigen terlarut sangat vital bagi organisme akuatik, selain itu konsentrasi oksigen terlarut juga dapat digunakan sebagai indikator kualitas air (Odum 1971). Keberadaan oksigen terlarut di perairan berasal dari difusi oksigen dari udara ke dalam perairan serta hasil proses fotosintesis dari fitoplankton, sedangkan berkurangnya konsentrasi oksigen terlarut disebabkan oleh proses respirasi dan dekomposisi bahan-bahan


(38)

organik yang ada di perairan. Berkurangnya oksigen terlarut berkaitan dengan banyaknya bahan organik dari limbah industri yang mengandung bahan-bahan yang tereduksi dan lainnya (Welch 1952). Kandungan oksigen terlarut pada sistem perairan mengalir seperti sungai pada umumnya tinggi, sedangkan konsentrasi karbondioksida bebasnya cenderung kecil, hal ini disebabkan adanya kecepatan arus pada sistem sungai yang memberikan sumbangan terhadap proses difusi oksigen ke dalam perairan (Hynes 1972). Perairan tawar kandungan oksigen terlarut berkisar antara 8 mg/liter pada suhu 25 oC. Konsentrasi oksigen terlarut pada perairan alami biasanya kurang dari 10 mg/l (Mc Neelyet al.1979).

Kualitas air di perairan mengalir dapat dikelompokkan menjadi lima golongan berdasarkan konsentrasi oksigen terlarut menurut Sachmitz (1971) in

Lumbantobing (1996) Tabel 2.

Tabel 2. Penggolongan kualitas air berdasarkan kandungan oksigen terlarut (Sachmitz 1971 inLumbantobing 1996).

Golongan Kandungan oksigen

terlarut (ppm) Kualitas air

I > 8 atau perubahan

terjadi dalam waktu pendek

Sangat baik

II 6,0 Baik

III 4,0 Kritis

IV 2,0 Buruk

V < 2,0 Sangat buruk

2.6.8. Alkalinitas

Alkalinitas merupakan gambaran kapasitas air dalam menetralkan asam, sehingga alkalinitas dapat disebut juga sebagai kapasitas penyangga (buffer

capacity) terhadap perubahan pH perairan. Keberadaan alkalinitas perairan

berkaitan dengan kandungan karbonat yang berasal dari pelapukan batuan dan tanah yang terlarut dalam air. Perairan dengan nilai alkalinitas tinggi secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap meningkatnya produktivitas perairan. Perairan alami biasanya memiliki nilai alkalinitas sekitar 40 mg/l CaCO3 (Boyd


(39)

19

2.6.9. Unsur Hara (Nutrien)

Unsur hara yang penting di perairan adalah nitrogen dan fosfor. Nitrogen di perairan biasanya dalam bentuk nitrogen bebas, nitrat, nitrit, ammonia, dan amonium. Unsur fosfor dapat ditemukan dalam bentuk senyawa anorganik yang terlarut (ortofosfat dan polifosfat) dan senyawa organik yang berupa partikulat (Effendi 2003).

Nitrat dan amonia merupakan sumber utama nitrogen di perairan serta sumber nitrogen yang dapat dimanfaatkan secara langsung oleh tumbuhan akuatik maupun alga dan pada umumnya konsentrasi nitrat di perairan tidak tercemar biasanya lebih tinggi daripada konsentrasi amonia. Nitrat juga merupakan zat hara penting bagi organisme autotrof dan diketahui sebagai faktor pembatas pertumbuhan (Eaton et al.1995). Nitrat nitrogen sangat mudah larut dalam air dan bersifat stabil, sedangkan nitrit biasanya ditemukan dalam jumlah yang sangat sedikit di perairan karena bersifat tidak stabil terhadap keberadaan oksigen.

Kadar nitrat di perairan alami hampir tidak pernah lebih dari 0,1 mg/liter. Kadar nitrat yang lebih dari 5 mg/liter menggambarkan terjadinya pencemaran antropogenik yang berasal dari aktivitas manusia. Pada perairan yang menerima limpasan dari daerah pertanian yang banyak mengandung pupuk, kadar nitrat dapat mencapai 1.000 mg/liter (Davis & Cornwell 1991). Kadar nitrit di perairan relatif kecil karena segera dioksidasi menjadi nitrat. Senyawa nitrat dapat dihasilkan dari proses oksidasi sempurna senyawa nitrogen di perairan (Effendi 2003).

Sumber amonia di perairan berasal dari proses penguraian nitrogen organik (protein dan urea) dan nitrogen anorganik (tumbuhan dan biota perairan yang telah mati) oleh mikroba jamur (proses amonifikasi). Perairan dengan pasokan oksigen cukup jarang ditemukan Amonia. Kadar amonia di perairan alami biasanya tidak lebih dari 0,1 mg/liter (McNeely et al. 1979). Amonia banyak digunakan dalam proses produksi urea, industri bahan kimia, serta industri bubur kertas. Kadar amonia yang tinggi dapat merupakan indikasi adanya pencemaran bahan organik yang berasal dari limbah domestik, industri, dan limpahan pupuk


(40)

Unsur fosfor (P) di alam mayoritas berada dalam bentuk fosfat yang merupakan bentuk hasil oksidasi sempurna. Fosfat yang dijumpai dalam air merupakan hasil pelapukan dan terlarutnya mineral fosfat karena erosi tanah, pupuk, proses asimilasi dan disimilasi tumbuhan, deterjen, limbah industri dan domestik. Fosfat yang terdapat dalam perairan biasanya terdapat dalam bentuk terlarut dan tak terlarut. Menurut Goldman et al.(1983) unsur P merupakan kunci dalam produktivitas primer dan kesuburan suatu perairan yang biasanya terdapat dalam jumlah sedikit, sehingga unsur ini sering dianggap sebagai faktor pembatas bagi produktivitas perairan.

Kandungan fosfat yang terlarut di perairan alami pada umumnya tidak lebih dari 0,10 ppm, sedangkan air sungai pada umumnya mempunyai kandungan fosfat berkisar 0,001 – 0,05 ppm (Jorgensen 1980). Kandungan fosfat dalam perairan yang tinggi akbat masuknya pencemaran bahan organik dari limbah rumah tangga (domestik) maupun industri, dan daerah pertanian dengan dipupuk yang mengadung unsur fosfat (Wardoyo 1975).


(41)

3. BAHAN DAN METODE

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan selama 6 bulan mulai Desember 2010 sampai Mei 2011. Sampel perifiton dan parameter kualitas air diambil setiap bulan pada Sungai Ciliwung bagian hulu sampai bagian tengah di 4 lokasi (Gambar 4) berdasarkan pertimbangan masuknya bahan pencemar organik yang berasal dari lingkungan sekitar sungai sehingga mewakili kondisi perairan dengan tingkat gangguan (pencemaran) mulai kategori belum tercemar hingga tercemar sedang pada ekoregion yang sama.

Gambar 4. Peta lokasi pengambilan sampel perifiton di Sungai Ciliwung.

Kondisi dan letak posisi lokasi penelitian ditentukan berdasarkan pertimbangan adanya aktivitas antropogenik seperti tercantum dalam Tabel 3.


(42)

Tabel 3. Lokasi penelitian berdasarkan kondisi ekositem Sungai Ciliwung.

Kode Lokasi Posisi Keterangan

St.1. Gunung Mas 6o42’ 31,39”

106o59’ 19,06”

- Kondisi masih baik masuk dalam hutan - Belum ada gangguan

aktivitas manusia. - Kondisi refference site

St.2. Kp. Pensiunan 6o42’ 00,35” 106o58’ 28,29”

- Perkebunan teh

St.3. Kp. Jogjogan 6o40’ 02,35”

106o55’ 57,30”

- Pertanian - Domestik

St.4. Cibinong 6o28’ 58,55”

106o48’ 53,05”

- Pertanian - Domestik dan - Industri

3.2. Metoda, Variabel dan Desain Penelitian

Penelitian dilakukan dengan metode Post Fakto Deskriptif yaitu pengambilan sampel secara langsung di lapangan dan dicari pengaruh masuknya unsur hara (N dan P) terhadap struktur komunitas perifiton pada setiap stasiun terpilih sepanjang ekosistem perairan Sungai Ciliwung.

Variabel yang diamati dalam penelitian ini meliputi:

1. Variabel tera yaitu penilaian kualitas sampel air berdasarkan pengukuran parameter fisika, kimia, dan biologi (perifiton) terhadap parameter utama maupun penunjang baik secara in situ: oksigen terlarut, pH, konduktivitas, suhu, dan total padatan terlarut (TDS) maupun parameter yang dianalisis di laboratorium (eksitu) antara lain: TN, NO2, NO3, NH4, TP, o-PO4dan

COD. Sedangkan parameter biologi diambil perifiton yang berupa algae dan diatom dari 3 buah batu tenggelam yang diambil secara acak sepanjang lokasi sampling.

2. Variabel kerja yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi penilaian kondisi habitat berdasarkan protokol USEPA (Barbour et al. 1999), penilaian kualitas perairan berdasarkan indeks pencemaran Kirchoff (1991) dan penilaian Indeks Integritas Biotik Perifiton (perifiton index


(43)

23

Peralatan maupun bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini seperti tercantum dalam tabel 4 di bawah:

Tabel 4. Parameter dan metode yang digunakan dalam penelitian (APHA 1995).

Parameter Satuan Alat/Metoda Analisis

A. Morfometrik

1. Lebar sungai m Meteran In situ

2. Kedalaman m Meteran In situ

3. Kecepatan arus m/detik Current meter Perhitungan

4. Debit m3/dtk Perhitungan

B. Fisika

1. Suhu oC Probe In situ

2. Konduktivitas µS/cm Probe In situ

3. Turbiditas NTU Probe In situ

4. Total padatan terlarut

mg/l Probe In situ

C. Kimia

1. pH - Probe In situ

2. Alkalinitas mg/l Titrimetri In situ

3. DO mg/l Probe In situ

4. TN mg/l Spektrofotometer/metode

brucine

Laboratorium

5. N-NO2 mg/l Spektrofotometer/metode

sulfanilamite

Laboratorium

6. N-NO3 mg/l Spektrofotometer/metode

brucine

Laboratorium

7. N-NH4 mg/l Spektrofotometer/metode

phenate

Laboratorium

8. TP mg/l Spektrofotometer/metoda

ammonium Molybdate

Laboratorium

9. o-PO4 mg/l Spektrofotometer/metoda

ammonium Molybdate

Laboratorium

D. Biologi

1. Perifiton sel/cm2 Pengerikan dengan sikat pada substrat

In situdan

laboratorium

2. Klorofil-a mg/l Spektrofotometer Laboratorium

3.3. Metoda Sampling Perifiton

Perifiton dari setiap stasiun terpilih disampling dengan mengambil secara acak 3 buah batu yang terendam sebagai ulangan, kemudian seluruh permukaan batu disikat dengan sikat gigi untuk melepaskan perifiton yang menempel, sampel perifiton kemudian dimasukkan dalam botol dan diawetkan dengan formalin 5% sebanyak 3 tetes. Kelimpahan perifiton dihitung dengan menggunakan sedgewick


(44)

rafter di bawah mikroskop dengan perbesaran 40 x 10. Identifikasi perifiton menggunakan buku acuan identifikasi dari Needham & Needham (1963); Ellen JC (1996); Biggs BJF & Kilroy C (2000); Lavoie et al. (2008); serta Bellinger & Sigee (2009). Identifikasi dilakukan di laboratorium Planktonologi Pusat Penelitian Limnologi-LIPI, Cibinong.

Luas permukaan batu yang dikerik dihitung dengan pendekatan volumetrik yaitu benda pejal yang diketahui luasan tetapnya seperti kubus, persegi panjang maupun tabung dengan bermacam ukuran (besar dan kecil) dimasukkan dalam wadah berisi air sehingga air yang didesak merupakan volume dari benda tersebut. Data luas dan volume air kemudian dihitung persamaan regresinya dan diperoleh persamaan garis linear

Y = 0,6926 X + 6,8561 dengan R2= 0,961 Dengan:

Y = Volume hasil pengukuran X = Luas total permukaan batu

3.4. Penilaian Perifiton

Data perifiton yang diperoleh dari setiap lokasi sampling dilakukan analisis dan dihitung kelimpahan, indeks keanekaragaman, indeks keseragaman, maupun indeks dominansinya, selain itu juga dilakukan penilaian berdasarkan variabel kerja yang telah ditentukan dalam Indeks Integrasi Biotik Perifiton

(perifiton index biotic integrity/ PIBI) guna memudahkan penilaian kondisi

perairan berdasarkan keadaan perifitonnya.

3.4.1. Kelimpahan

Kelimpahan perifiton pada setiap titik lokasi sampling dihitung dengan menggunakan rumus modifikasi Eaton et al.1995 sebagai berikut:

Dengan:

N : Kelimpahan perifiton (sel/cm2)

n : Jumlah perifiton yang diamati (sel)

As : Luas substrat yang dikerik (cm2) untuk perhitungan perifiton

Acg: Luas penampang permukaan cover glass(mm2)


(45)

25

Vt : Volume konsentrasi pada botol contoh untuk perhitungan perifiton (ml)

Vs : Volume konsentrasi dalam cover glass (ml)

3.4.2. Indeks Keanekaragaman

Tingkat stabilitas komunitas atau kondisi struktus komunitas dari keanekaragaman jumlah jenis organisme yang terdapat dalam suatu area. Nilai keanekaraman jenis pada perifiton dapat dihitung berdasarkan modifikasi Indeks Shannon-Wiener (Odum 1971) sebagai berikut:

Dengan:

H’ : Indeks Keanekaragaman pi : ni/N (proporsi jenis ke-i) ni : Jumlah individu jenis ke-i N : jumlah total individu

Menurut Wilhm dan Doris (1968), nilai indeks keanekaragaman populasi dapat menggambarkan kondisi perairan. Kriteria indeks keanekaragaman tersebut diklasifikasikan sebagai berikut.

H’ < 2,3026 : Keanekaragaman rendah, penyebaran jumlah individu tiap genus rendah dan kestabilan komunitas rendah. Komunitas mengalami gangguan faktor lingkungan 2,3026 < H’ < 6,9078 : Keanekaragaman sedang, penyebaran jumlah individu

tiap genus sedang dan kestabilan komunitas sedang. Komunitas mudah berubah

H’ > 6,9078 : Keanekaragaman tinggi, penyebaran jumlah individu tiap genus tinggi dan kestabilan komunitas tinggi. Faktor lingkungan yang baik untuk semua jenis dalam habitat.

3.4.3. Indeks Keseragaman

Keseragaman merupakan upaya untuk mengetahui komposisi setiap genus dalam suatu komunitas dengan cara membandingkan nilai indeks keanekaragaman dengan nilai maksimumnya. Rumus perhitungan indeks keseragaman menurut Brower & Zar 1990 adalah sebagai berikut:


(46)

Dengan:

E : Indeks keseragaman H’ : Indeks keanekaragaman

H’maks : Nilai keanekaragaman maksimum

S : Jumlah genus

Nilai indeks keseragaman (E) berkisar antara 0-1 (Odum 1971). Semakin kecil nilai E, semakin kecil pula keseragaman populasinya. Artinya penyebaran individu tiap jenis tidak merata atau ada kecenderungan satu genus mendominasi. Sebaliknya, apabila nilai E mendekati 1 maka penyebaran individu tiap jenis cenderung merata atau memiliki tingkat keseragaman yang tinggi.

3.4.4. Indeks Dominansi

Nilai indeks dominansi (Odum 1971) digunakan untuk mengetahui ada tidaknya jenis tertentu yang mendominasi suatu komunitas. Nilai indeks dominansi dihitung dengan rumus sebagai berikut:

Dengan :

C : Indeks Dominansi ni: Jumlah indeks ke-i N : Jumlah total individu

Kisaran nilai indeks dominansi adalah antara 0-1. Nilai yang mendekati nol menunjukkan bahwa tidak ada genus dominan dalam komunitas. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi struktur komunitas dalam keadaan stabil. Sebaliknya, nilai yang mendekati 1 menunjukkan adanya dominansi jenis yang menunjukkan kondisi stuktur komunitas dalam keadaan labil dan terjadi tekanan ekologis.

3.4.5. Indeks Toleransi Pencemaran

Toleransi polusi indeks (PTI) untuk ganggang menyerupai indeks Hilsenhoff biotik untuk makroinvertebrata (Hilsenhoff 1987). Lange-Bertalot


(1)

73

Des'10 Jan'11 Feb'11 Mart'11 Aprl'11 Mei'11 Des'10 Jan'11 Feb'11 Mart'11 Aprl'11 Mei'11 Des'10 Jan'11 Feb'11 Mart'11 Aprl'11 Mei'11 Des'10 Jan'11 Feb'11 Mart'11 Aprl'11 Mei'11 Bacillariophyceae

1Achnanthes 24 55 103 79 35 105 40 - 68 67 67 92 - 45 77 99 62 143 - 77 78 71 77 54 2Achnanthidium - - - 45 40 99 - 239 28 91 105 81 3Actinella 30 48 36 39 35 72 - 19 50 37 50 51 79 15 31 49 47 114 142 25 26 30 38 36 4Amphora 24 28 22 - - - 23 15 - 37 50 - 62 30 27 - - - -5Aulacodiscus - - - 35 15 120 - 50 41 62 - - 49 62 80 47 - 39 61 - -6Aulacoseira 37 22 66 52 83 23 15 - - - 41 - - 98 297 47 80 142 18 113 45 48 43

7Cyclotella 24 - 22 - 35 50 - - - 47 78 61 -

-8Cymbella aspera 28 28 29 - 35 - 23 17 - 56 50 - 175 36 78 68 47 133 57 42 26 45 38 27 9Cymbella tumida - - - 79 52 50 - - - 40 62 62 239 - 56 39 40 57 41 10Diatomella - - 91 49 55 138 - - - 95 61 71 96 -11Diploneis 49 28 - 92 39 122 - 20 55 45 50 48 74 75 159 - - - -12Encyonema 24 193 65 47 41 70 - 24 60 45 50 41 123 35 53 49 47 119 189 37 26 30 38 -13Epithemia - - - 23 15 37 41 62 15 27 49 47 - 95 56 - - 57

-14Fragilaria capucina - 266 32 - - 100 35 - - - 75 41 - - -

-15Fragilaria crotonensis - - - 370 - - 1.930 795 - - 157 286 1.182 - 623 16Fragilariforma viriscent - 73 43 79 70 113 - - - 25 42 49 47 358 - 63 26 30 - 54 17Frustullia vulgaris - 28 54 - 81 - - - 95 73 124 - 159 47 56 - 546 - -18Gomphoneis 36 41 22 - 70 83 - - - 47 34 52 - 38 -19Gomphonema - - 73 - 35 67 - 31 70 74 50 102 62 50 - 49 - 80 - - -

-20Gomphonema parvulum - - - 142 63 61 60 54

21Gyrosigma 24 28 22 - - 50 23 23 - 37 50 - 92 15 27 106 47 39 26 30 38 27 22Hyalodiscus 24 41 22 39 35 50 - - - 40 49 47 - 47 - 26 30 38 27 23Melosira dickiei 121 76 106 126 70 238 23 31 40 37 - 163 - - -

-24Melosira varians - - - 246 60 53 - 70 - - -

-25Meridion circulare - - - 115 - - 175 326 97 200 148 - 637 - 232 - 182 230 244 26Naviculla margalithi 43 66 22 237 35 50 - 31 - 37 50 203 82 35 48 62 78 111 236 - 45 45 89 -27Naviculla radiosa - - - 31 15 67 - 50 41 159 21 40 49 - 159 57 42 - 30 - 41 28Naviculla subtilissima - - - 62 - 27 99 - - 47 39 - 30 77 -29Neidium 24 28 32 - - - - 15 40 74 50 81 77 30 40 82 47 - 63 - 78 61 - -30Nitzschia 64 103 - 66 - - 54 27 80 100 - 210 90 - 115 - - 71 46 65 53 - -31Nitzschia cf intermedia - - - 40 82 50 - - - 40 49 - 80 - - - -32Nitzschia dissipata - 165 22 - 70 50 - - 40 37 - 41 30 47 49 47 199 - 39 39 30 38 54 33Nitzschia gracilis - 41 22 - - 50 - - - 62 30 27 - 47 - 47 63 52 57 27

34Nitzschia linearis - - - 23 - 50 37 - - -

-35Pinnularia cf gibba - - - 72 - 53 99 - - -

-36Pinnularia viridis - 37 29 - 35 - - - 53 37 244 103 15 27 49 47 99 95 39 52 - - 54 37Rhoicosphenia 24 193 130 - 116 200 - 49 74 150 420 370 80 133 412 156 477 359 193 212 192 217

38Staurosira cf anceps - - - 88 15 - - - 80 - - -

-39Stephanodiscus 24 - 26 39 - 50 - - 221 37 50 41 62 - 27 - 47 80 47 - 26 30 - 27 40Surirella - - - 32 23 67 - - - 62 - 53 - 94 331 - 208 - 345 230 41Surirella angusta - - - 62 45 43 49 - - 426 - 26 61 -

-42Synedra acus - - - 221 56 - 364 - 27

43Synedra ulna - - 76 158 - 150 92 15 607 1.535 321 248 144 60 225 346 129 279 122 53 61 - - 81

44Tabellaria - - - 378 - 312 212 -

-16

21 24 14 19 21 14 19 17 19 19 18 24 24 30 28 22 23 26 25 25 28 20 21 591

1.602 1.118 1.196 993 1.942 480 517 1.730 2.422 1.538 2.256 2.945 1.013 1.782 4.711 2.145 4.208 3.551 1.647 1.864 3.736 1.759 2.071 Jumlah taksa

Kelimpahan

St. 1 (Gunung Mas) St. 2 (Kp. Pensiunan) St. 3 (Kp. Jogjogan) St. 4 (Cibinong)

No Genus


(2)

74

Des'10 Jan'11 Feb'11 Mart'11 Aprl'11 Mei'11 Des'10 Jan'11 Feb'11 Mart'11 Aprl'11 Mei'11 Des'10 Jan'11 Feb'11 Mart'11 Aprl'11 Mei'11 Des'10 Jan'11 Feb'11 Mart'11 Aprl'11 Mei'11

Chlorophyceae

1Ankistrodesmus - 344 788 39 - 134 23 92 40 - 50 326 246 217 - 99 - - 142 77 57 - 77 27 2Closterium - - - 82 - 27 49 - 80 47 - 26 45 - 41 3Coelastrum - - - 23 77 281 - 600 122 - - 53 - 421 1.830 - - - -4Desmidinium - - - 23 69 100 - - 81 - - - 378 147 - - 192 -5Gongrosira - - - 598 1.243 1.801 217 6Gonium - 399 259 - 139 - - - 757 56 - 30 -

-7Hydrodictyon - 179 - 592 661 - - -

-8Klebsormidium - 1.391 173 316 452 - - - 2.384 854 800 224 1.232 677 772 1.138 - - - -9Microspora - - - 334 150 183 - - - 426 - - 1.081 54 108 10Oedogonium - - - 346 - 80 186 - 264 - - - 709 - 390 - 192 352 11Oocystis 24 28 22 39 35 67 23 15 40 50 - 41 92 15 27 74 47 80 47 35 26 56 38 33 12Pediastrum duplex - - - 329 - 792 749 - 662 - - 818 - 894 13Pediastrum tetras - - - 242 307 217 14Scenedesmus quadricauda 97 331 - 79 - 50 - - - 473 183 - - 115 -15Selenastrum 36 129 209 39 - 150 - 38 - 67 - 163 400 67 67 198 - - 296 35 39 121 - -16Sphaerocystis - - - 69 15 - 37 50 - - - -17Spirogyra 49 634 108 - - - 369 - 1.163 1.689 - - 862 - 293 594 655 - 804 - 390 - 2.146 732

18Tetraspora 65 28 32 - - -

-19Ulothrix - 138 346 - - 1.728 177 337 2.310 965 - - 1.355 566 - 2.128 - - 4.210 323 - 667 1.418 515 20westella 28 47 43 53 104 125 - 23 60 37 63 61 - - -

-6

11 9 7 5 6 8 8 9 9 6 9 7 6 6 8 4 3 12 7 7 9 10 10 299

3.647 1.980 1.157 1.392 2.254 1.053 666 6.459 4.219 1.713 1.465 4.271 1.872 1.238 5.072 1.872 1.989 8.951 857 1.525 4.304 6.340 3.135 Cyanophyceae

1Anabaena - - - 8.440 210 - 148 - - 1.419 - 1.169 - - 1.030 2Aphanocapsa 30 32 35 49 57 143 - 15 57 43 100 73 68 36 47 60 60 114 74 84 30 52 80 45 3Calothrix 24 28 22 39 35 50 35 15 53 37 - 264 - 15 27 49 47 80 59 39 26 - 38 54 4Chroococcus 179 152 292 141 122 315 23 101 267 149 100 285 648 180 276 238 140 318 438 58 125 167 204 154 5Gleocapsa - 142 59 118 - - 137 18 40 37 - 41 - 30 53 - 47 - - - -6Gomphosphaeria 32 41 65 79 35 75 - 23 40 74 - 41 69 37 - 99 - - 87 35 - 30 38 -7Oscillatoria agardhii - - - 816 - 27 49 - 159 - - - -8Oscillatoria brevis - 55 22 - 35 - - - -9Oscillatoria princeps - - - 133 49 94 - - - -10Oscillatoria rubescens - - - 77 120 74 50 - 1.617 19 49 49 47 80 - - - -11Phormidium - 83 65 39 35 50 23 46 185 - 100 - - - -12Rivularia - - 238 - 418 852 - - 1.063 483 800 570 - - 213 - 795 358 - 509 - 1.040 862

-13Synechococcus - 39 32 39 - - -

-14Talyphothrix 833 - - 1.144 - 601 - - 1.230 446 4.351 855 - 719 559 - 445 1.989 3.311 527 909 - 1.169 623 5

8 9 8 7 7 4 7 9 8 6 7 6 8 9 8 8 7 6 6 5 4 6 5 1.098 572 828 1.650 736 2.086 218 295 3.057 1.343 5.501 2.128 11.659 1.246 1.384 743 1.674 3.098 5.388 1.251 2.259 1.289 2.393 1.906 Jumlah taksa

Kelimpahan

Jumlah taksa Kelimpahan

No Genus St. 1 (Gunung Mas) St. 2 (Kp. Pensiunan) St. 3 (Kp. Jogjogan) St. 4 (Cibinong)


(3)

75

Des'10 Jan'11 Feb'11 Mart'11 Aprl'11 Mei'11 Des'10 Jan'11 Feb'11 Mart'11 Aprl'11 Mei'11 Des'10 Jan'11 Feb'11 Mart'11 Aprl'11 Mei'11 Des'10 Jan'11 Feb'11 Mart'11 Aprl'11 Mei'11 Rhodophyceae

1Hildenbrandia 631 - 540 - - 1.453 - 306 - 1.169 1.850 1.546 - - 745 - 936 2.626 394 - 286 485 997 1.734 1

- 1 - - 1 - 1 - 1 1 1 - - 1 - 1 1 1 - 1 1 1 1 631

- 540 - - 1.453 - 306 - 1.169 1.850 1.546 - - 745 - 936 2.626 394 - 286 485 997 1.734 Xanthophyceae

1Tribonema viride - 83 - 237 - 67 - 184 1.611 761 - 1.241 - 408 177 297 421 - 804 137 390 788 1.457 -2Vaucheria - 41 36 39 35 50 576 31 100 37 50 61 - 22 32 49 56 477 32 26 30 64 36

2 1 2 1 2 1 2 2 2 1 2 - 2 2 2 2 1 1 2 2 2 2 1

124 36 276 35 117 576 214 1.711 798 50 1.302 - 431 209 346 477 477 804 169 416 818 1.520 36 Dinophyceae

1Ceratium - - - 61 - 37 50 41 - - 27 - 47 80 47 28 - 61 - 54 2Peridinium - - - 62 52 - 66 - - 71 - - 91 77 27

- - - - - - 1 - 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 1 - 2 1 2

- - - - - - 61 - 37 50 41 62 52 27 66 47 80 118 28 - 152 77 81 28

42 44 31 32 37 27 38 37 40 34 38 38 41 49 47 38 36 48 41 40 46 40 40

2.618 5.944 4.501 4.279 3.155 7.851 2.327 2.060 12.957 9.988 10.702 8.738 18.937 4.614 5.385 10.939 7.151 12.477 19.206 3.952 6.350 10.784 13.085 8.965

Taksa Total Kelimpahan Total

Jumlah taksa Kelimpahan

Jumlah taksa Kelimpahan

Jumlah taksa Kelimpahan

No Genus St. 1 (Gunung Mas) St. 2 (Kp. Pensiunan) St. 3 (Kp. Jogjogan) St. 4 (Cibinong)


(4)

76

Lampiran 6. Jumlah jenis dan proporsi kelas perifiton yang ditemukan selama

penelitian.

Jumlah

jenis

Poporsi

[%]

Jumlah

jenis

Poporsi

[%]

Jumlah

jenis

Poporsi

[%]

Jumlah

jenis

Poporsi

[%]

Bacillariophyceae

16

57,14

14

51,85

24

63,16

26

54,17

56,58

Chlorophyceae

6

21,43

8

29,63

7

18,42

12

25

23,62

Cyanophyceae

5

17,86

4

14,81

6

15,79

6

12,5

15,24

Rhodophyceae

1

3,57

0

0

0

0

1

2,08

1,41

Xanthophyceae

0

0

1

3,70

0

0

1

2,08

1,45

Dinophyceae

0

0

0

0

1

2,63

2

4,17

1,70

Bacillariophyceae

21

75

19

70,37

24

63,16

25

52,08

65,15

Chlorophyceae

11

39,29

8

29,63

6

15,79

7

14,58

24,82

Cyanophyceae

8

28,57

7

25,93

8

21,05

6

12,5

22,01

Rhodophyceae

0

0

1

3,70

0

0

0

0

0,93

Xanthophyceae

2

7,14

2

7,41

2

5,26

2

4,17

6,00

Dinophyceae

0

0

1

3,70

1

2,63

1

2,08

2,10

Bacillariophyceae

24

85,71

17

62,96

30

78,95

25

52,08

69,93

Chlorophyceae

9

32,14

9

33,33

6

15,79

7

14,58

23,96

Cyanophyceae

9

32,14

9

33,33

9

23,68

5

10,42

24,89

Rhodophyceae

1

3,57

0

0

1

2,63

1

2,08

2,07

Xanthophyceae

1

3,57

2

7,41

2

5,26

2

4,17

5,10

Dinophyceae

0

0

0

0

1

2,63

0

0

0,66

Bacillariophyceae

14

50

19

70,37

28

73,68

28

58,33

63,10

Chlorophyceae

7

25

9

33,33

8

21,05

9

18,75

24,53

Cyanophyceae

8

28,57

8

29,63

8

21,05

4

8,33

21,90

Rhodophyceae

0

0

1

3,70

0

0

1

2,08

1,45

Xanthophyceae

2

7,14

2

7,41

2

5,26

2

4,17

6,00

Dinophyceae

0

0

1

3,70

1

2,63

2

4,17

2,63

Bacillariophyceae

19

67,86

19

70,37

22

57,89

20

41,67

59,45

Chlorophyceae

5

17,86

6

22,22

4

10,53

10

20,83

17,86

Cyanophyceae

7

25

6

22,22

8

21,05

6

12,5

20,19

Rhodophyceae

0

0

1

3,70

1

2,63

1

2,08

2,10

Xanthophyceae

1

3,57

1

3,70

2

5,26

2

4,17

4,18

Dinophyceae

0

0

1

3,70

1

2,63

1

2,08

2,10

Bacillariophyceae

21

75

18

66,67

23

60,53

21

43,75

61,49

Chlorophyceae

6

21,43

9

33,33

3

7,89

10

20,83

20,87

Cyanophyceae

7

25

7

25,93

7

18,42

5

10,42

19,94

Rhodophyceae

1

3,57

1

3,70

1

2,63

1

2,08

3,00

Xanthophyceae

2

7,14

2

7,41

1

2,63

1

2,08

4,82

Dinophyceae

0

0

1

3,70

1

2,63

2

4,17

2,63

Apr-11

Mei-11

Rerata

[%]

Kelas

Gunung Mas

Kp. Pensiunan

Kp. Jogjogan

Cibinong

Des-10

Jan-11

Feb-11


(5)

77

Lampiran 7. Foto beberapa jenis perifiton hasil identifikasi

Cymbella sp.

Closterium sp.

Hildenbrandia sp.

Stephanodiscus sp.

Pediastrum sp.

Ceratium sp.

Achnanthes sp.


(6)

78

Lampiran 8. Foto situasi lokasi penelitian

Foto situasi lokasi penelitian Gunung Mas (St. 1).

Foto situasi lokasi penelitian Kp. Pensiunan (St. 2).

Foto situasi lokasi penelitian Kp. Jogjogan (St. 3).