10 Berdasarkan penjelasan tersebut maka perumusan masalah dalam
penelitian ini adalah: 1.
Bagaimana karakteristik peternak KAUM Mandiri di Kecamatan Pasirjambu? 2.
Bagaimana proses keputusan pembelian peternak pada pakan Cargill di Kecamatan Pasirjambu?
3. Bagaimana tingkat kepuasan peternak KAUM Mandiri terhadap penggunaan
pakan Cargill berdasarkan atribut yang telah ditetapkan di Kecamatan Pasirjambu?
1.3 Tujuan
1. Mengidentifikasi karakteristik peternak KAUM Mandiri di Kecamatan
Pasirjambu. 2.
Mengidentifikasi proses keputusan pembelian peternak pada pakan Cargill di Kecamatan Pasirjambu.
3. Menganalisis tingkat kepuasan peternak KAUM Mandiri terhadap
penggunaan pakan Cargill berdasarkan atribut yang telah ditetapkan di Kecamatan Pasirjambu.
1.4 Manfaat
1. Bagi penulis, penelitian ini menjadi pembelajaran dalam menerapkan teori-
teori yang didapat selama masa perkuliahan di lapangan. 2.
Bagi peternak KAUM Mandiri penelitian ini diharapkan dapat melihat tingkat kepuasan atas kinerja pakan Cargill dan juga dapat menjadi bahan
pertimbangan dalam memberikan rekomendasi kepada peternak lain yang belum menggunakan pakan Cargill.
3. Bagi pihak terkait, yaitu PT Danone dan Cargill penelitian ini diharapkan
dapat menjadi tolak ukur kepuasan terhadap produknya dan sebagai masukan untuk dapat memproduksi produk pakan berkualitas.
.
11
II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Perkembangan Usaha Sapi Perah di Indonesia
Usaha sapi perah di Indonesia sebenarnya telah berkembang sejak tahun 1960. Usaha ini ditandai dengan pembangunan usaha-usaha swasta dalam usaha
sapi perah di sekitar Sumatera Utara, Jawa Barat dan Jawa Tengah. Mulai tahun 1977, Indonesia mulai mengembangkan agribisnis sapi perah rakyat ditandai
dengan Surat Keputusan Bersama SKB Tiga Menteri yaitu Menteri Perdagangan dan Koperasi, Menteri Perindustrian dan Menteri Pertanian. SKB ini merumuskan
kebijakan dan program pengembangan agribisnis sapi perah di Indonesia. Perkembangan populasi sapi perah di Indonesia sebelum tahun 1979 sekitar
70.000 – 90.000 ekor dan hampir 90 persen berada di pulau Jawa. Peningkatan populasi ternak terus mengalami peningkatan sejak tahun 1979. Pemerintah
melakukan impor induk sapi perah Tahun 1979-1982 dan melakukan Inseminasi Buatan IB untuk meningkatkan produksi susu. Industri Pengolahan Susu IPS
diperbolehkan impor bahan baku susu sampai 85 persen dan suplai susu lokal 15 persen.
Sapi perah yang cocok dipelihara dan diminati oleh peternak sapi perah di Indonesia adalah sapi Friesian Holstein FH. Adapun ciri-ciri dari sapi perah FH
adalah Muljana 1982 : 1.
Berwarna belang hitam dan putih, atau coklat dan putih 2.
Pada kaki bagian bawah dan ekornya berwarna putih 3.
Tanduk pendek dan menghadap ke muka 4.
Terkadang pada dahinya terdapat belang warna putih yang berbentuk segitiga 5.
Sifatnya jinak dan mudah dikuasai 6.
Tidak tahan panas 7.
Lambat dewasanya 8.
Berat badan jantan rata-rata 850 kg atau lebih, sedangkan yang betina bisa mencapai 650 kg
9. Produksi susu rata-rata per tahun di daerah asalnya Belanda bisa mencapai
4.500 – 5.500 liter dalam satu masa laktasi 305 hari dan berkadar lemak 3 – 7 persen
10. Tubuhnya tegap
12 Walaupun sapi perah FH banyak dipelihara di Indonesia, namun sapi-sapi
tersebut lebih cenderung dipelihara di daerah-daerah berhawa dingin, atau dipelihara diketinggian lebih dari 800 m dari permukaan laut. Misalnya, Batu
Raden, Kabupaten Malang – Jawa Timur, Lembang, Kabupaten Bandung Barat – Jawa Barat, Kabupaten Salatiga – Jawa Tengah, dan sebagainya Firman 2010.
Menurut Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Jawa Tengah 2006, usaha peternakan sapi perah di Jawa Barat belum efisien. Hal yang
menyebabkan adalah 1 ketergantungan terhadap pakan jadi yang harganya relatif mahal dan belum memanfaatkan bahan baku pakan lokal serta limbah pertanian
dan industri, 2 hijauan pada musim penghujan melimpah, namun pada musim kemarau kekurangan hijauan pakan, sehingga ternak hanya diberi pakan
berkualitas rendah dan berpengaruh pada penurunan produksi dan kualitas susu, dan 3 harga susu di tingkat petani relatif rendah. Hal ini disebabkan karena
struktur harga dan sistem distribusipemasaran persusuan belum memadai. Koperasi susu merupakan lembaga resmi pemerintah sebagai penyalur
dana untuk kredit investasi untuk peternak dan penyalur bibit sapi perah khususnya impor. Keterkaitan antara koperasi susu dengan agribisnis sapi perah
bukan hanya sebatas pada implementasi kebijakan pemerintah dalam pengembangan agribisnis, tetapi juga mengelola sarana dan prasarana pengelolaan
produk. Peranan koperasi dalam pemasaran susu sapi perah rakyat sangat besar. Diwyanto et al. 2007 menyatakan bahwa sebagian besar pemasaran susu segar
dari peternak 90 dikoordinasi oleh KPSGKSI. Hasil penelitian Rakhman et al.
2009 menyatakan bahwa pemasaran susu sapi perah di Kabupaten Semarang dan Kabupaten Boyolali, sebagian besar dijual ke KUD setempat, yang
selanjutnya di setor ke GKSI. Untuk selanjutnya dari GKSI di setor ke IPS. Produktivitas yang diperoleh peternak dalam memelihara sapi perah pada
umumnya dibawah 10 liter per hari, sekalipun menggunakan bibit sapi perah unggul. Bibit sapi perah unggul mampu berproduksi susu sekitar 15 hingga 20
liter per hari. Menurut Ditjen Peternakan 1996, jumlah induk yang dipelihara dalam usaha agribisnis sapi perah selama ini tergolong skala usaha kecil, dengan
skala kepemilikan tiga hingga lima ekor, dan kemampuan berproduksi 10 – 12 literekorhari. Akan tetapi, hasil penelitian Yusdja 2005 menyatakan bahwa
13 umumnya semakin besar skala usaha semakin lemah manajemen dan semakin
rendah penampilan teknologi. Dengan demikian, semakin tinggi skala usaha, produktivitas semakin menurun. Hal ini disebabkan oleh kesulitan dalam
mendapatkan pakan hijauan dan konsentrat terutama karena kesulitan daya beli dan lahan bebas yang semakin sempit. Penurunan produktivitas dapat berdampak
pada penurunan pendapatan peternak. Berbeda halnya dengan Jepang, selama 20 tahun, sejak tahun 1960-1980,
Jepang melakukan program peningkatan skala usaha agribisnis sapi perah dengan menetapkan jumlah minimal sapi perah induk yang harus dipelihara setiap
agribinis sapi perah. Program peningkatan skala usaha yang dilakukan koperasi susu telah mampu meningkatkan skala usaha dari sekitar satu hingga dua ekor
sebelum tahun 1960 menjadi rata-rata 26,8 ekor tahun 1980. Peningkatan skala usaha tersebut telah meningkatkan pendapatan para peternak sampai sekitar
delapan kali lipat, sehingga para peternak di Jepang mempunyai kemampuan untuk mengembangkan agribisnis sapi perahnya. Akhirnya upaya tersebut
berdampak terhadap peningkatan produksi susu nasional Jepang yang sangat signifikan Jica 2002.
Sosroamidjojo dan Soeradji 1990 menyatakan bahwa upaya peningkatan produktivitas ternak meliputi :
1. Aspek breeding, yang menyangkut bibit ternak yang dipakai serta tindakan
perkembangbiakan dan pemuliabiakan 2.
Aspek feeding, menyangkut soal pakan serta kualitas maupun kuantitas yang dibutuhkan oleh tiap-tiap ternak untuk hidup, tumbuh serta produksi yang
diharapkan daripadanya
cara-cara pemberiannya
serta usaha-usaha
pengadaannya 3.
Aspek management, faktor ini meliputi segi-segi tata laksana perkandangan, perawatan, pencegahan penyakit, pemasaran dan sebagainya yang
menyangkut segi ekonominya. Selama ini usaha sapi perah masih terkonsentrasi pada daerah-daerah
dataran tinggi, seperti Garut, Pangalengan, dan Lembang Jawa Barat, serta Batu, Pujon, dan Nongkojajar Jawa Timur. Akan tetapi, Siregar dan Kusnadi 2004
melakukan penelitian di daerah dataran rendah yaitu di Kabupaten Cirebon.
14 Upaya yang dilakukan untuk pengembangan usaha sapi perah di Kabupaten
Cirebon yang berdataran rendah, adalah mengganti sapi perah Friesian Holstein yang dipelihara para peternak selama ini dengan sapi perah yang relatif tahan
terhadap suhu udara yang panas. Sapi perah yang relatif tahan terhadap suhu udara yang panas antara lain adalah Milking Shorthorn, Ayrshire, ataupun hasil
persilangan sapi perah tersebut dengan sapi perah Friesian Holstein. Dengan demikian, pengembangan usaha pemeliharaan sapi perah dapat juga dilakukan di
daerah dataran rendah. Saat ini, sapi perah FH dapat dipelihara di daerah panas atau berketinggian
di bawah 500 m dari permukaan laut dengan suhu di atas 22 C, misalnya di DKI
Jakarta Firman 2010. Dilaporkan, jumlah populasi sapi perah di DKI Jakarta mencapai 3.446 ekor di tahun 2007, namun jumlah produksinya rendah, hanya
rata-rata 6 kgekorhari Ditjen Peternakan 2007. Selain itu, teknologi sekarang memungkinkan juga sapi perah FH dipelihara di daerah panas, yaitu dengan
menggunakan teknologi close house system yang memanipulasi suhu dan kelembaban udara di dalam kandang, sehingga sapi perah FH merasa seperti di
daerah subtropis. Konsekuensinya adalah investasi pembangunan kandang pun akan semakin tinggi. Oleh karena itu, berdasarkan Davis 1962 dalam Muljana
1982 menyatakan bahwa faktor-faktor yang harus diperhatikan untuk mendirikan kandang sapi perah, yaitu : 1 lokasi, 2 iklim, 3 biaya
pembangunan, dan 4 kegunaan dari bangunan.
2.2 Karakteristik Peternak dan Usaha Sapi Perah di Indonesia