diblokir. Dermaga dibangun didekat muara sungai dan bisa membawa penumpang sekaligus berkeliling kawasan mangove. Namun pemblokiran tidak berlangsung
lama, setelah musyawarah bersama akhirnya akses jalan dibuka dengan syarat wisatawan harus memarkirkan kendaraannya di halaman rumah tersebut dan
pembayaran parkir tidak masuk dalam kas kelompok Muara Baimbai melainkan pemilik lahan tersebut.
4.7.3 Konflik dengan Sumatera Woman Foundation
Konflik terhadap lembaga swadaya masyarakat merupakan konflik yang cukup lama terjadi antara kedua belah pihak. Pada awalnya konflik tidak terjadi,
kedua belah pihak justru bekerja sama untuk meningkatkan perekonomian masyarakat Sei Nagalawan. Kehadiran LSM Sumatera Woman Foundation
awalnya ingin memfasilitasi penduduk setempat untuk mencapai keadaan ekonomi yang lebih baik dengan mengajak Kelompok Perempuan Muara Tanjung
memproduksi panganan dari tanaman mangrove. Kedua belah pihak menyepakati untuk melakukan produksi panganan mangrove untuk kemudian dijual. Kelompok
Perempuan Muara Tanjung memproduksi sementara LSM SWF membantu dalam pemasaran.
Seiring berjalannya waktu, konflik mulai terjadi. Penduduk setempat yang tergabung dalam Kelompok Perempuan Muara Tanjung merasa dicurangi. Hal ini
terbukti ketika salah satu penduduk setempat menghadiri pameran yang diadakan di kota Medan. Mereka menemukan produk mangrove yang mereka hasilkan
dijual dengan merek brand yang berbeda dari kesepakatan. Selain brand yang berbeda mereka juga menemukan harga yang dijual oleh pihak SWF berbeda dari
harga normal. Merasa dicurangi akhirnya Kelompok Perempuan Muara Tanjung memutuskan untuk menghentikan kerjasama dan mulai memproduksi dan
memasarkan sendiri produk yang mereka hasilkan.
4.7.4 Konflik dengan Kelompok Maju Bersama
Hadirnya objek wisata mangrove yang mampu menopang penduduk setempat secara ekonomi tidak serta merta berjalan mulus. Ada beberapa
penduduk yang tergabung dalam kelompok Maju Bersama tidak suka terhadap kemajuan yang dicapai oleh mereka. Jauh sebelum objek wisata ini ada, ketika
mangrove baru mulai ditanam Jumiati selaku ketua Kelompok Perempuan Muara Tanjung dan Manajer Ekowisata bersama anggota kelompoknya dicibir karena
melakukan pekerjaan menanam mangrove di lumpur yang dinilai kurang kerjaan. Namun kala itu, Jumiati beserta perempuan lainnya tidak memperdulikannya
hingga mereka merasakan manfaatnya.
Kini tanaman mangrove yang mereka tanam beberapa tahun lalu telah tumbuh dengan sangat baik dan dapat dimanfaatkan untuk berbagai macam hal.
Bahkan mereka menggunakan izin dari Kementerian Kehutanan untuk pemanfaatan kawasan tersebut secara legal. Kendati telah memiliki izin tetap saja
ada penduduk setempat yang tidak suka. Beragam cara dilakukan untuk menghambat berkembangnya ekowisata mangrove tersebut.
Konflik yang terjadi memiliki akar masalah yang cukup panjang. Konflik mulai terjadi manakala ketua kelompok Muara Baimbai Bang Tris kala itu
mencalonkan diri menjadi Kepala Desa Sei Nagalawan yang berhadapan dengan
Kepala Desa terpilih Pak Jaffar Sidik. Saat itu Bang Tris kalah dan kekalahannya hanya terpaut beberapa suara.
Pada pemilihan selanjutnya Bang Tris mengajukan diri kembali dan berhadapan lagi dengan Pak Jaffar Sidik. Saat masa kampanye berlangsung
masing-masing calon sudah memiliki massa yang mendukung mereka. Saat pemilihan telah selesai dilakukan dan perhitungan suara dimulai Bang Tris
kembali mengalami kekalahan dan kali ini dalam jumlah yang cukup banyak. Pihak Bang Tris menganggap telah terjadi kecurangan namun pihak Pak Jaffar
Sidik merasa kecurangan tidak terjadi. Pasca pemilihan usai semua penduduk beraktifitas seperti biasa namun pihak Jaffar Sidik sebagai kepala desa terpilih
tetap menganggap Sutrisno dan pendukungnya yang mayoritas anggota kelompok Muara Baimbai tetap menjadi lawan. Hingga saat ini Kepala Desa terpilih
bersama dengan anggotanya yang tergabung dalam Kelompok Maju Bersama terus melakukan hal-hal yang dinilai bertujuan untuk menandingi apa yang telah
dicapai oleh kelompok Muara Baimbai. Setelah melakukan pemblokiran jalan kini kelompok Maju Bersama
menguasai lahan parkir kawasan ekowisata mangrove karena dekat dengan rumah salah satu anggota kelompoknya. Secara kebetulan rumah anggota kelompok
Maju Bersama berbatasan langsung dengan kawasan ekowisata mangrove yang di kelola oleh kelompok Muara Baimbai. Selain itu mereka juga mulai membuka
kawasan mangrove yang dikelola oleh kelompok Muara Baimbai untuk dijadikan objek wisata. Secara hukum mereka tidak memiliki hak untuk mengelola namun
mereka tetap melakukan pembukaan lahan kendati sudah dilarang oleh Pihak Desa.
Adapun kelompok Muara Baimbai tidak menganggap ini menjadi permasalahn serius. Hal ini dikarenakan lahan yang mereka kelola merupakan
lahan yang memiliki izin dari Kementerian Kehutanan. Mereka hanya berpikir bahwa kelompok maju bersama nantinya akan mendapat masalah terkait izin
pembukaan lahan mangrove oleh Kementrian Kehutanan. Konflik yang terjadi dibiarkan begiru saja hingga berlarut-larut. Masing-
masing pihak memendam untuk tidak mengeluarkan amarahnya. Ketika peneliti bertanya, bagaimana bila mereka bertemu di pengajian atau dalam suatu forum
mereka kebanyakan menjawab tidak membawa permasalahan tersebut kedalamnya. Ketika bertemu mereka bersikap seolah tidak pernah terjadi sesuatu
untuk mencegah meledaknya konflik. Hal ini dikarekan masing-masing dari pihak yang bertikai masih memiliki hubungan darah antara satu dengan yang lain. Lebih
baik bagi mereka meredam konflik ketimbang harus berhadapan dengan saudara sendiri.Mereka sama-sama etnis Banjar yang tinggal sudah berpuluh-puluh tahun.
4.7.5 Kasus Minuman Keras