Evaluasi kerasionalan penggunaan antibiotika untuk Infeksi Menular Seksual [IMS] pada tahun 2006 di kalangan Pekerja Seks Komersial [PSK] di lokasi Pasar Kembang Yogyakarta.

(1)

INTISARI

Infeksi Menular Seksual (IMS) merupakan infeksi yang disebabkan oleh patogen (bakteri, virus, atau jamur) dan ditularkan melalui berhubungan seksual. Pekerja Seks Komersial (PSK) wanita merupakan representasi dari kelompok yang berisiko tinggi terhadap IMS karena menuntut untuk berhubungan seksual dengan berganti-ganti pasangan. Dari penelitian Putranto (2002) dan Sutama (2005) menunjukkan PSK menggunakan antibiotika dengan alasan mencegah IMS dan penggunaan antibiotika tidak rasional. Pemakaian antibiotika yang tidak rasional dapat menimbulkan terjadinya resistensi mikroorganisme terhadap antibiotika yang digunakan.

Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui profil pengetahuan PSK tentang IMS dan antibiotika; mengetahui pola pemilihan dan penggunaan antibiotika pada tahun 2006; membandingkan pola penggunaan antibiotika yang digunakan pada tahun 2002, 2005, dan 2006; serta mengetahui kerasionalan dan Drug Therapy Problems yang berkaitan dengan penggunaan antibiotika di kalangan PSK di lokasi Pasar Kembang Yogyakarta.

Penelitian ini termasuk penelitian jenis non eksperimental. Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan survei epidemiologi deskriptif. Metode penelitian dengan metode kuisioner dan wawancara. Data yang diperoleh dianalisis dengan perhitungan prosentase berdasarkan variabel yang ingin diketahui.

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa profil pengetahuan PSK tentang IMS (84,3%) dan antibiotika (90,2%) sudah tinggi. Pola pemilihan dan penggunaan antibiotika oleh PSK pada tahun 2006 ampisilin (40%), amoksisilin (30%), dan tetrasiklin (30%). Pola pemilihan dan penggunaan pada tahun 2002, tahun 2005 dan tahun 2006 tidak berbeda. Penggunaan antibiotika oleh PSK belum rasional dengan Drug Therapy Problems yang terjadi adalah Unnecessary drug (menggunakan antibiotika setiap hari), Ineffective drug (antibiotika digunakan untuk mengobati pegal-pegal), Dosage too low (antibiotika tidak dihabiskan sebelum waktunya), dan Noncompliance (tidak mematuhi aturan pakai).

Kata Kunci : antibiotika, Drug Therapy Problems, Infeksi Menular Seksual (IMS), Pekerja Seks Komersial (PSK)


(2)

ABSTRACT

Sexually Transmitted Infections (STIs) are transmitted is through sexual contact. STIs can be caused by mainly bacteria, viruses, or protozoa. The women sex workers have the highest risk to be infected STIs. From Putranto (2002) and Sutama (2005) researches, the usage of antibiotics were not rational, the aim of use of antibiotic was for preventing STIs. Non-rational use of antibiotic rose the antibiotic-resistant bacteria.

A research has been done to observe the women sex worker’s knowledge profile about STIs and antibiotic; the pattern of selection and usage in year 2006; to compare the use of antibiotics in the researching year 2002, 2005, and 2006; to evaluate the rationality and Drug Therapy Problems (DTP) of antibiotics used among women sex workers in Pasar Kembang Yogyakarta.

The research was non-experimental research using the descriptive epidemiologic survey. The data were obtained using interview and quistioner method.

The result showed that women sex worker’s knowledge score 84,3% for sexual transmitted infections and 90,2% for antibiotics. Antibiotics used in year 2006 are ampicillin (40%), amoxicillin (30%), and tetracyclin (30%). There were no differences of the antibiotics in year 2002, 2005, and 2006. Some identified DTP were unnecessary, ineffective, dosage too low, and non-compliance were antibiotics usage.

Keywords: antibiotics, Drug Therapy Problems (DTP), Sexual Transmitted Infections (STIs), women sex worker


(3)

EVALUASI KERASIONALAN PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA UNTUK INFEKSI MENULAR SEKSUAL (IMS) pada TAHUN 2006 DI KALANGAN PEKERJA SEKS KOMERSIAL (PSK) DI LOKASI PASAR

KEMBANG YOGYAKARTA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Ilmu Farmasi

Oleh : Yulia Ratika Siwi NIM : 038114052

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(4)

EVALUASI KERASIONALAN PENCGUNAAN ANTTBTOTIKAIJNIT]K INFEKSI MENIJLAR SETSUAL gMS) p6dr TAEUN 2006 Dr

KAI,ANGAN PEKFIJA SEI<S KOMf,RSIAL (ISq DT II)X,{9I PASAR KEMBANG YOGYAI(ARIA

NlM:038114052 PERSETIUUAN PEIVBTMBII{G

\

q!^

d. LNio! Kusib!w.1i, M.K6. TogEEl : 22 Aguslus 2007


(5)

EAI,AMAN Pf,NCESAEAN

Pe.$3.1.n 6lci!.t B€.lud

EVAIUASIKERASIONAI,ANPENGGTJNAANANTIBIOTN'AUNTTJI( IIIFEKSI MENULAR SEI(SUAI, (IMS) Fd. TA{UN 2l|||5 DI

(AIAIIGAN PEKERJA SEKS KOMERsIAL IPSKI DI LOKAST PASAI KEMBANG YOGYAI(ARTA

Yuli! Rltikr Si*i NrM: 0381 140J2

DlFbhubn di I'da& Pu nP.neujiSbp6i Ffiih rlmGi

Unir6i|s Ssd Dh@a pdahggar: l3agrtu2c,07

dr_ rr;m KBeib.*di, M.Kc.

l. dr. Lmi&8 Kuvibaqdl, Ml(6.


(6)

HALAMAN PERSEMBAHAN

Hanya percaya padaNya dan tidak ada yang tidak

dapat kamu lakukan, terlebih berjalan di atas air...

Dan tetap berpeganglah pada didikan, janganlah

melepaskannya, peliharalah dia, karena dialah

hidupmu (Amsal 4:13)

KUPERSEMBAHKAN UNTUK

:

YESUS KRISTUS YANG SELALU ADA UNTUKKU

MAMA DAN PAPA TERKASIH MBAK TYAS DAN MAS RONALDO

TERKASIH KEKASIHKU WIWID SAHABAT-SAHABATKU ALMAMATERKU TERCINTA


(7)

PERNYATAIN KEASLIANKARYA

Say! Daylttke denge suggnhrt! bonwa sknpsi 'us sy! tulis ini tidat memurl k r,i .tau b.gid *FrE oms Lin, k€cu.li 'aDs tel.[ disbuucn ddm lqfip.n du dln r pushka s€Sreainda latdrto kary! ilmirh.


(8)

PRAKATA

Puji dan terima kasih untuk Tuhan Yesus atas berkat dan penyertaan yang diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi yang berjudul Evaluasi Kerasionalan Penggunaan Antibiotika untuk Infeksi Menular Seksual (IMS) pada Tahun 2006 di Kalangan Pekerja Seks Komersial di Pasar Kembang Yogyakarta.

Selama pelaksanaan penelitian hingga penyusunan skripsi, penulis memperoleh banyak bantuan, dukungan, doa, dan kerja sama dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada

1. Ibu Rita Suhadi, M.Si., Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta serta selaku dosen pembimbing dan dosen penguji yang telah memberikan bantuan berupa arahan, kritik, saran, dorongan serta selalu sabar dalam membimbing sehingga penelitian dan penyusunan skripsi ini dapat berjalan lancar.

2. Ibu dr. Luciana Kuswibawati, M.Kes. selaku dosen pembimbing dan penguji yang selalu memberikan arahan, saran, kritik, dan dorongan serta selalu sabar dalam membimbing sehingga penelitian dan penyusunan skripsi ini dapat berjalan lancar.

3. Bapak Drs. Mulyono, Apt. selaku dosen penguji yang telah memberikan saran dan kritik yang bermanfaat bagi skripsi ini.

4. Bapak Yosef Wijoyo, M. Si., Apt. selaku dosen penguji yang telah memberikan saran dan kritik yang bermanfaat bagi skripsi ini.


(9)

5. Papaku Endro Kismolo, S.T. terkasih atas ijin ke Pasar Kembang, atas dukungan, doa, dan biaya selama kuliah dan selama penelitian berlangsung hingga akhir penyusunan skripsi ini serta kasih, cinta, perhatian yang selalu tercurah setiap detiknya.

6. Mamaku Widhiati, B.Sc. terkasih yang telah melahirkan, mengajarkan serta memberikan doa, kasih, cinta, ijin, dan perhatian setiap detiknya hingga penulis mampu bertahan dalam hidup dan menyelesaikan skripsi ini.

7. Mbak Anugrahenny Sekrening Tyas, S.T. dan Mas Ronaldo Saragi S.T. yang selalu mendukung, mengajarkan, dan menanamkan prinsip untuk selalu berusaha dalam penyusunan skripsi dan menghargai setiap pemberian Tuhan. 8. Kekasihku Antonius Nugraha Widhi Pratama, S.Farm., Apt. yang saat ini

berkarya di Atambua, untuk cinta, semangat, teguran, dan doa selama ini sehingga membuatku dapat berpikir untuk menjadi lebih dewasa. Terima kasih pula karena selalu menemaniku ke Pasar Kembang.

9. Sahabatku Irwan, Madya, Andreas, Vian, Budiarto, Punto, dan Hengky untuk semangat, keceriaan, olokan, pertemanan, dan membuat aku selalu menjadi paling cantik di antara kalian selam ini.

10.Sahabat wanitaku satu-satunya Vera untuk selalu menjadi teman dan saudara waktu senang dan susah serta perhatian dan dukungan melalui canda tawa dan SMS yang telah diberikan selama ini.

11.Mas Uut untuk komputerku yang tidak pernah rewel serta Nug, Risang, Ratih, dan Sukma yang selalu membuatku merasa sebagai kakak.


(10)

12.Teman-teman kelompok Praktikum C (Anin, Chika, Ratna, Komang, Eveline, Hartono, Madya, Titien, Devi, Indu, Punto, Esti, Budiarto, Tata, Vian, Rosa, Maria, Ratih) atas canda tawa, suka duka selama ini serta dukungan dan keakraban yang selalu terpancar baik saat kita bersama maupun berpisah. 13.Mbak Severina (Ririn) dan Yoga (Kobo) untuk data kuisioner dan wawancara

sehingga skripsi ini menjadi ada saat ini,

14.Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah membantu penyelesaian skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan pada skripsi ini. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritika dan saran yang membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca.

Yogyakarta, Agustus 2007

Penulis


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ...v

PRAKATA... vi

DAFTAR ISI... ix

DAFTAR TABEL... xiii

DAFTAR GAMBAR ...xv

DAFTAR LAMPIRAN... xviii

INTISARI... xix

ABSTRACT...xx

BAB I. PENGANTAR ...1

A. Latar Belakang ...1

1. Perumusan Masalah ...2

2. Keaslian Penelitian...2

3. Manfaat Penelitian ...3

B. Tujuan Penelitian...3

BAB II. PENELAAH PUSTAKA ...5

A. Antibiotika ...5

1. Definisi...5


(12)

2. Penggolongan...5

3. Resistensi ...7

B. Infeksi Menular Seksual...9

1. Definisi...9

2. Jenis...10

C. Prinsip Terapi Antibiotika yang Rasional ...17

1. Terapi yang rasional...17

2. Pemilihan dan penggunaan antibiotika yang rasional...19

D. Antibiotika Untuk Pengobatan IMS...21

1. Pengobatan infeksi gonore ...21

2. Pengobatan infeksi klamidia ...22

3. Pengobatan infeksi sifilis ...23

4. Pengobatan infeksi herpes...24

5. Pengobatan infeksi trikomoniasis ...25

E. Drug Therapy Problems...26

1. Definisi Drug Therapy Problems...26

2. Kategori Drug Therapy Problems...27

F. Keterangan Empiris...30

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ...31

A. Jenis dan rancangan Penelitian...31

B. Definisi operasional ...31

C. Subjek Penelitian...32

D. Metode Penelitian ...33


(13)

E. Tata Cara Penelitian ...34

F. Analisis Data Penelitian ...34

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ...35

A. Profil Pengetahuan PSK tentang IMS dan Antibiotika ...35

1. Pengetahuan IMS ...35

2. Pengetahuan antibiotika ...41

3. Pengetahuan aturan pakai antibiotika...44

4. Pengetahuan efek samping antibiotika...48

5. Pengetahuan resistensi antibiotika ...51

B. Pola Pemilihan dan Penggunaan Antibiotika...53

1.Pola pemilihan dan penggunaan antibiotika PSK di Pasar Kembang Yogyakarta tahun 2006 ...53

2. Kepatuhan PSK terhadap aturan pakai antibiotika...55

3. Tindakan mengganti obat...58

C. Perbandingan Pola Penggunaan Antibiotika tahun 2002, tahun 2005, dan tahun 2006 ...62

D. Evaluasi Kerasionalan Pemilihan dan Penggunaan Antibiotika (Drug Therapy Problems)...63

1. Unnecessary drug therapy ... 63

2. Dosage too low... 64

3. Ineffective drug therapy ... 65

4. Noncompliance ... 65

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN...67


(14)

A. Kesimpulan ...67

B. Saran ...68

DAFTAR PUSTAKA ...69

LAMPIRAN...72


(15)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel I. Kondisi klinis infeksi gonore...11

Tabel II. Kondisi klinis infeksi klamidia...13

Tabel III. Kondisi klinis infeksi sifilis ...14

Tabel IV. Kondisi klinis infeksi trikomoniasis ...17

Tabel V. Pengobatan infeksi gonore ...21

Tabel VI. Pengobatan infeksi klamidia...23

Tabel VII. Pengobatan infeksi sifilis...24

Tabel VIII. Pengobatan infeksi herpes...25

Tabel IX. Pengobatan infeksi trikomoniasis ...26

Tabel X. Pengetahuan PSK tentang IMS di Pasar Kembang Yogyakarta tahun 2006...36

Tabel XI. Pernah tidaknya PSK di Pasar Kembang mengalami IMS pada tahun 2006...38

Tabel XII. Pengetahuan PSK tentang antibiotika di Pasar Kembang Yogyakarta tahun 2006...41

Tabel XIII. Pengetahuan PSK di Pasar Kembang tentang aturan pakai antibiotika tahun 2006...46

Tabel XIV. Pernah tidaknya di Pasar Kembang merasakan efek samping antibiotika pada tahun 2006 ...49

Tabel XV. Pengetahuan PSK di Pasar Kembang tentang resistensi antibiotika tahun 2006...51


(16)

Tabel XVI. Terapi IMS pada PSK di Klinik Griya Lentera Yogyakarta tahun

2006...54 Tabel XVII. Profil pemilihan dan penggunaan antibiotika oleh PSK di Pasar

Kembang Yogyakarta tahun 2006...55 Tabel XVIII. Kepatuhan PSK terhadap aturan pakai antibiotika...56 Tabel XIX. Tindakan PSK untuk mengganti antibiotika ...58 Tabel XX. Perbandingan antibiotika yang digunakan PSK pada tahun 2002,

tahun 2005, dan tahun 2006 di Pasar Kembang Yogyakarta ...61


(17)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1. Pengetahuan IMS berdasarkan profil umur PSK di Pasar Kembang

tahun 2006...37 Gambar 2. Pengetahuan IMS berdasarkan profil lama kerja PSK di Pasar

Kembang tahun 2006 ...37 Gambar 3. Pengetahuan IMS berdasarkan profil lama kerja PSK di Pasar

Kembang tahun 2006 ...38 Gambar 4. Pernah tidaknya PSK di Pasar Kembang mengalami IMS ditinjau dari

umur pada tahun 2006...40 Gambar 5. Pernah tidaknya PSK di Pasar Kembang mengalami IMS ditinjau dari

lama kerja pada tahun 2006...40 Gambar 6. Pernah tidaknya PSK di Pasar Kembang mengalami IMS ditinjau dari

tingkat pendidikan pada tahun 2006 ...41 Gambar 7. Pengetahuan antibiotika berdasarkan profil umur PSK di Pasar

Kembang tahun 2006 ...43 Gambar 8. Pengetahuan antibiotika berdasarkan profil lama kerja PSK di Pasar

Kembang tahun 2006 ...44 Gambar 9. Pengetahuan antibiotika berdasarkan profil tingkat pendidikan PSK di

Pasar Kembang tahun 2006...44 Gambar 10. Pengetahuan aturan pakai antibiotika berdasarkan profil umur PSK di

Pasar Kembang tahun 2006...47


(18)

Gambar 11. Pengetahuan aturan pakai antibiotika berdasarkan profil lama kerja PSK di Pasar Kembang tahun 2006 ...47 Gambar 12. Pengetahuan aturan pakai antibiotika berdasarkan profil tingkat

pendidikan PSK di Pasar Kembang tahun 2006 ...48 Gambar 13. Pernah tidaknya PSK di Pasar Kembang mengalami efek samping

antibiotika ditinjau dari umur pada tahun 2006 ...50 Gambar 14. Pernah tidaknya PSK di Pasar Kembang mengalami efek samping

antibiotika ditinjau dari lama kerja pada tahun 2006 ...50 Gambar 15. Pernah tidaknya PSK di Pasar Kembang mengalami efek samping

antibiotika ditinjau dari tingkat pendidikan pada tahun 2006...50 Gambar 16. Pengetahuan PSK di Pasar Kembang tentang resistensi berdasarkan

profil umur pada tahun 2006 ...52 Gambar 17. Pengetahuan PSK di Pasar Kembang tentang resistensi berdasarkan

profil lama kerja pada tahun 2006...53 Gambar 18. Pengetahuan PSK di Pasar Kembang tentang resistensi berdasarkan

profil tingkat pendidikan pada tahun 2006...53 Gambar 19. Prevalensi kasus IMS di Pasar Kembang tahun 2006 ...54 Gambar 20. Kepatuhan PSK terhadap aturan pakai antibiotika di Pasar Kembang

berdasarkan profil umur pada tahun 2006...57 Gambar 21. Kepatuhan PSK terhadap aturan pakai antibiotika di Pasar Kembang

berdasarkan profil lama kerja pada tahun 2006 ...57 Gambar 22. Kepatuhan PSK terhadap aturan pakai antibiotika di Pasar Kembang

berdasarkan profil tingkat pendidikan pada tahun 2006 ...58


(19)

Gambar 23. Tindakan PSK di Pasar Kembang untuk mengganti antibiotika berdasarkan profil umur pada tahun 2006...60 Gambar 24. Tindakan PSK di Pasar Kembang untuk mengganti antibiotika

berdasarkan profil lama kerja pada tahun 2006 ...60 Gambar 25. Tindakan PSK di Pasar Kembang untuk mengganti antibiotika

berdasarkan profil tingkat pendidikan pada tahun 2006 ...60


(20)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Lembar kuisioner...72

Lampiran 2. Hasil rekap kuisioner ...73

Lampiran 3. Daftar terminologi medik ...74

Lampiran 4. Hasil wawancara terstruktur ...78


(21)

INTISARI

Infeksi Menular Seksual (IMS) merupakan infeksi yang disebabkan oleh patogen (bakteri, virus, atau jamur) dan ditularkan melalui berhubungan seksual. Pekerja Seks Komersial (PSK) wanita merupakan representasi dari kelompok yang berisiko tinggi terhadap IMS karena menuntut untuk berhubungan seksual dengan berganti-ganti pasangan. Dari penelitian Putranto (2002) dan Sutama (2005) menunjukkan PSK menggunakan antibiotika dengan alasan mencegah IMS dan penggunaan antibiotika tidak rasional. Pemakaian antibiotika yang tidak rasional dapat menimbulkan terjadinya resistensi mikroorganisme terhadap antibiotika yang digunakan.

Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui profil pengetahuan PSK tentang IMS dan antibiotika; mengetahui pola pemilihan dan penggunaan antibiotika pada tahun 2006; membandingkan pola penggunaan antibiotika yang digunakan pada tahun 2002, 2005, dan 2006; serta mengetahui kerasionalan dan Drug Therapy Problems yang berkaitan dengan penggunaan antibiotika di kalangan PSK di lokasi Pasar Kembang Yogyakarta.

Penelitian ini termasuk penelitian jenis non eksperimental. Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan survei epidemiologi deskriptif. Metode penelitian dengan metode kuisioner dan wawancara. Data yang diperoleh dianalisis dengan perhitungan prosentase berdasarkan variabel yang ingin diketahui.

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa profil pengetahuan PSK tentang IMS (84,3%) dan antibiotika (90,2%) sudah tinggi. Pola pemilihan dan penggunaan antibiotika oleh PSK pada tahun 2006 ampisilin (40%), amoksisilin (30%), dan tetrasiklin (30%). Pola pemilihan dan penggunaan pada tahun 2002, tahun 2005 dan tahun 2006 tidak berbeda. Penggunaan antibiotika oleh PSK belum rasional dengan Drug Therapy Problems yang terjadi adalah Unnecessary drug (menggunakan antibiotika setiap hari), Ineffective drug (antibiotika digunakan untuk mengobati pegal-pegal), Dosage too low (antibiotika tidak dihabiskan sebelum waktunya), dan Noncompliance (tidak mematuhi aturan pakai).

Kata Kunci : antibiotika, Drug Therapy Problems, Infeksi Menular Seksual (IMS), Pekerja Seks Komersial (PSK)


(22)

ABSTRACT

Sexually Transmitted Infections (STIs) are transmitted is through sexual contact. STIs can be caused by mainly bacteria, viruses, or protozoa. The women sex workers have the highest risk to be infected STIs. From Putranto (2002) and Sutama (2005) researches, the usage of antibiotics were not rational, the aim of use of antibiotic was for preventing STIs. Non-rational use of antibiotic rose the antibiotic-resistant bacteria.

A research has been done to observe the women sex worker’s knowledge profile about STIs and antibiotic; the pattern of selection and usage in year 2006; to compare the use of antibiotics in the researching year 2002, 2005, and 2006; to evaluate the rationality and Drug Therapy Problems (DTP) of antibiotics used among women sex workers in Pasar Kembang Yogyakarta.

The research was non-experimental research using the descriptive epidemiologic survey. The data were obtained using interview and quistioner method.

The result showed that women sex worker’s knowledge score 84,3% for sexual transmitted infections and 90,2% for antibiotics. Antibiotics used in year 2006 are ampicillin (40%), amoxicillin (30%), and tetracyclin (30%). There were no differences of the antibiotics in year 2002, 2005, and 2006. Some identified DTP were unnecessary, ineffective, dosage too low, and non-compliance were antibiotics usage.

Keywords: antibiotics, Drug Therapy Problems (DTP), Sexual Transmitted Infections (STIs), women sex worker


(23)

BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang

Infeksi Menular Seksual (IMS) merupakan infeksi yang disebabkan oleh bakteri, jamur, atau virus dan sangat mudah ditularkan dengan berhubungan seksual baik melalui oral, anal, atau melewati vagina. Infeksi Menular Seksual kebanyakan disebabkan oleh karena bakteri, jamur, atau virus dan jika tidak diobati atau mendapat penanganan yang tidak tepat maka infeksi ini akan sulit disembuhkan bahkan dapat menimbulkan kematian. Infeksi Menular Seksual yang tidak diobati dengan benar berisiko mudah terinfeksi virus HIV yang nantinya dapat menjadi AIDS. Jika sudah terkena AIDS maka akan sangat mudah tertular penyakit lain karena AIDS menurunkan sistem kekebalan tubuh.

Pekerja seks komersial perempuan merupakan representasi dari kelompok yang memiliki risiko tinggi terhadap IMS karena pekerjaan yang menuntut untuk berhubungan seksual dengan berganti-ganti pasangan. Di Klinik Griya Lentera (GL) (2006) menyatakan angka prevalensi IMS gonore (GO) (47%) paling tinggi. Pekerja seks komersial yang menjadi subjek penelitian kali ini di lokasi Pasar Kembang Yogyakarta.

Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Sutama (2005) menunjukkan sebagian besar PSK menggunakan antibiotika dengan alasan untuk mencegah IMS. Antibiotika yang digunakan pada tahun 2005 adalah amoksisilin, ampisilin, dan tetrasiklin. Sebagian dari PSK tersebut mengobati penyakitnya dengan menggunakan antibiotika tanpa memeriksakan ke dokter. Penggunaan


(24)

antibiotika yang tidak mengikuti aturan pakai dapat disebabkan kurangnya pengetahuan mereka sehingga antibiotika yang digunakan kadang tidak sesuai dengan sakit yang dialaminya. Penggunaan antibiotika yang salah baik pada sasaran bakteri atau virus dan pada aturan pakai (dosis) dapat menyebabkan sensitifitas obat terhadap bakteri menjadi berkurang bahkan tidak ada. Dengan kata lain, agen penginfeksi (bakteri) dapat menjadi resisten.

1. Perumusan Masalah

Perumusan masalah pada penelitian ini sebagai berikut:

a. seperti apakah profil pengetahuan PSK di Pasar Kembang Yogyakarta tentang IMS dan antibiotika pada tahun 2006?

b. seperti apakah pola pemilihan dan penggunaan antibiotika yang digunakan oleh PSK di lokalisasi Pasar Kembang Yogyakarta tahun 2006 untuk terapi IMS?

c. bagaimana perbandingan pola pemilihan dan penggunaan antibiotika untuk terapi IMS yang digunakan pada tahun 2006 dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Sutama (2005) dan Putranto (2002)?

d. apakah antibiotika untuk terapi IMS yang diberikan rasional dan Drug Therapy Problems apa saja yang terjadi dalam penggunaan antibiotika tersebut?

2. Keaslian Penelitian

Penelitian seperti ini pernah dilakukan oleh, Putranto (2002) dan Sutama (2005) yang mengkaji tentang penggunaan antibiotika di kalangan PSK di Pasar Kembang Yogyakarta. Penelitian ini berbeda dengan penelitian terdahulu dalam


(25)

hal tahun, bulan, dan waktu pelaksanaan. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui profil antibiotika, mengetahui perbandingan pola penggunaan antibiotika yang digunakan pada tahun 2006, tahun 2005, dan tahun 2002, serta mengetahui Drug Therapy Problems yang berkaitan dengan pemilihan dan penggunaan antibiotika dalam terapi IMS di kalangan PSK di lokalisasi Pasar Kembang Yogyakarta tahun 2006.

3. Manfaat penelitian a. Manfaat teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan dan meningkatkan pengetahuan dalam hal pemilihan dan penggunaan antibiotika untuk terapi IMS. b. Manfaat praktis

1) Hasil penelitian yang diperoleh dapat digunakan sebagai acuan bagi pihak terkait dalam menggunakan antibiotika sehingga penggunaan antibiotika tidak menimbulkan Drug Therapy Problems.

2) Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai acuan pihak-pihak yang terkait dalam menangani masalah penyakit IMS sehingga diharapkan dapat mencegah dan mengurangi penyebaran penyakit IMS.

B. Tujuan 1. Tujuan umum

Penelitian ini mempunyai tujuan mengkaji penggunaan antibiotika di kalangan PSK di lokasi Pasar Kembang Yogyakarta tahun 2006


(26)

2. Tujuan khusus

Penelitian ini bertujuan sebagai berikut:

a. mengetahui profil pengetahuan PSK di Pasar Kembang Yogyakarta tentang IMS dan antibiotika tahun 2006.

b. mengetahui pola pemilihan dan penggunaan antibiotika yang digunakan oleh PSK di lokalisasi Pasar Kembang Yogyakarta tahun 2006 untuk terapi IMS.

c. membandingkan pola penggunaan antibiotika untuk terapi IMS yang digunakan pada tahun 2006 dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Sutama tahun 2005 dan Putranto tahun 2002.

d. Mengetahui kerasionalan penggunaan antibiotika untuk terapi IMS dan Drug Therapy Problems yang terjadi dalam penggunaan antibiotika tersebut.


(27)

BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA A. Antibiotika

1. Definisi

Pada awalnya antibiotika adalah substansi yang dihasilkan mikroorganisme (bakteri, jamur) yang mampu menghambat pertumbuhan bahkan membunuh mikroorganisme lain (Lullman, Klaus, Ziegler dan Bieger, 2000). Akan tetapi, saat ini yang disebut antibiotika termasuk juga antibakteri sintetis seperti sulfonamida (Chambers dan Sande, 1996). Antibiotika harus efektif menghambat atau membunuh mikroorganisme lain pada konsentrasi yang tidak berbahaya bagi manusia atau hewan (Mutschler dan Derendorf, 1995).

Menurut Jawetz (2001) antibiotika yang ideal harus mempunyai toksisitas selektif. Hal ini menunjukkan bahwa antibiotika toksik bagi sel parasit, tetapi tidak (terlalu) toksik bagi sel hospes (Neal, 1985). Kadang toksisitas selektif lebih bersifat relatif daripada absolut; hal ini dimaksudkan bahwa antibiotika pada konsentrasi yang ditoleransi oleh hospes mungkin berbahaya bagi mikroorganisme yang menginfeksi (Jawetz, 2001).

2. Penggolongan

a. Berdasarkan mekanisme kerja

Tidak semua mekanisme aksi sebagian besar antibiotika menurut Jawetz (2001) dapat dipahami. Akan tetapi, mekanisme kerja tersebut dapat dibagi menjadi empat mekanisme kerja utama, yaitu:


(28)

1) antibiotika yang menginhibisi sintesis dinding sel (contoh: penisilin, sefalosporin, dan vankomisin);

2) antibiotika yang menginhibisi/ merusak fungsi permeabilitas membran sel (contoh: amfoterisin, polimiksin, dan colistin);

3) antibiotika yang menginhibisi sintesis protein (contoh: tetrasiklin, kloramfenikol, dan eritromisin);

4) Antibiotika yang menginhibisi sintesis asam nukleat (contoh: rifampin, quinolon, dan sulfonamida).

b. Berdasarkan tipe efek

Dengan melihat efek antibiotika, secara in vitro efek antibiotika dapat dibedakan menjadi dua yaitu efek bakteriostatik dan efek bakterisidal (Lullman dkk, 2000). Antibiotika dikatakan berefek bakteriostatik jika antibiotika menginhibisi pertumbuhan mikroorganisme tanpa membunuh mikroorganisme tersebut. Menurut Mutschler dan Derendorf (1995) antibiotika yang bersifat bakteriostatik adalah antibiotika yang menghambat biosintesis protein. Contoh antibiotika yang bersifat bakteriostatik adalah tetrasiklin, kloramfenikol, dan eritromisin (Walker dan Edwards, 1999).

Antibiotika mempunyai efek bakterisidal jika antibiotika mampu membunuh mikroorganisme. Menurut Mutschler dan Derendorf (1995), antibiotika bersifat bakterisidal jika antibiotika merusak dinding sel atau merusak permeabilitas membran sel. Contoh antibiotika bakterisidal adalah penisilin, aminoglikosida, dan sefalosporin (Walker dan Edwards, 1999).


(29)

c. Berdasarkan spektrum aktivitas

Menurut Mutschler dan Derendorf (1995) spektrum aktivitas menunjukkan kisaran seberapa banyak jenis mikroorganisme yang dibunuh/dirusak oleh antibiotika di tempat infeksi dalam tubuh manusia secara in vitro. Berdasarkan spektrum aktivitas, antibiotika dibagi menjadi antibiotika yang berspektrum luas (broad-spectrum) dan antibiotika berspektrum sempit (narrow-spectrum) (Snyder dan Finch, 1990).

Antibiotika berspektrum sempit merupakan antibiotika yang hanya mampu merusak Gram-positif atau Gram-negatif saja. Penisilin G merupakan antibiotika berspektrum sempit karena sangat efektif/mampu melawan bakteri Gram-positif. Antibiotika berspektrum luas merupakan antibiotika yang mampu merusak Gram-positif dan Gram-negatif. Contoh antibiotika berspektrum luas adalah tetrasiklin dan kloramfenikol (Snyder dan Finch, 1990).

3. Resistensi antibiotika a. Jenis resistensi

Mikroorganisme dikatakan resisten jika Konsentrasi Inhibitor Minimum (KIM) antibiotika lebih tinggi daripada konsentrasi tertinggi yang dicapai secara in vivo (konsentrasi yang tidak toksik) dalam serum atau jaringan (Mutschler dan Derendorf, 1995). Resistensi bakteri terhadap antibiotika terus-menerus berubah dan dapat menjadi masalah klinis yang serius (Walker dan Edwards, 1999).

Menurut Mutschler dan Derendorf (1995), resistensi terbagi menjadi tiga yaitu resistensi alami, resistensi primer, dan resistensi sekunder. Dengan adanya resistensi alami, semua mikroorganisme dalam spesies tertentu tidak dapat


(30)

dilawan oleh antibiotika (contoh: Pseudomonas aeruginosa tidak dapat dilawan oleh benzilpenisilin). Resistensi primer terjadi jika beberapa strain tertentu pada spesies sebenarnya sudah resisten ketika diberikan antibiotika (contoh: E. coli tidak mudah dirusak oleh tetrasiklin). Resistensi sekunder dapat disebabkan oleh mutasi spontan yang terjadi pada pemberian antibiotika pertama kali. Resistensi sekuder disebut juga resistensi yang diperoleh (acquired resistance) (Mutschler dan Derendorf, 1995).

Berdasarkan tahapan dan kecepatan resistensi, resistensi sekunder terbagi menjadi resistensi satu langkah (one step) dan resistensi bertahap (multiple step). Resistensi one step terjadi secara cepat atau setelah pemberian sebanyak satu sampai empat kali antibiotika secara in vitro. Resistensi multiple step terjadi secara perlahan dan bertahap; beberapa tahapan mutasi penting menjadi manifestasi resistensi (Mutschler dan Derendorf, 1995).

b. Mekanisme resistensi

Menurut Chambers dan Sande (1996), agar menjadi efektif antibiotika harus dapat mencapai target dan berikatan dengan target tersebut. Bakteri dapat menjadi resisten terhadap antibiotika karena (1) obat gagal mencapai target; (2) obat inaktif; atau (3) target berubah.

Jawetz (2001) memaparkan adanya beberapa mekanisme berbeda yang ditunjukkan oleh bakteri untuk menjadi resisten terhadap antibiotika.

(1) Bakteri memproduksi enzim perusak obat yang aktif. Contoh: Staphylococcus resisten terhadap penisilin G dengan cara memproduksi enzim β-laktamase yang dapat merusak obat tersebut.


(31)

(2) Bakteri mengubah permeabilitas terhadap antibiotika. Contoh: Streptococcus mempunyai barier permeabilitas alami terhadap aminoglikosida. Sebagian dari masalah ini dapat diatasi dengan adanya obat yang aktif terhadap dinding sel misalnya, penisilin.

(3) Bakteri mengubah struktur target obat. Contoh: resistensi terhadap beberapa penisilin dan sefalosporin bisa jadi merupakan suatu fungsi terhadap hilangnya atau berubahnya Penicilin Binding Protein (PBP).

(4) Mikroorganisme merubah jalur sintesis metabolit yang menjadi jalan pintas terhadap reaksi yang diinhibisi oleh obat. Contoh: beberapa bakteri yang resisten terhadap sulfonamid tidak memerlukan asam p-aminobenzoat (PABA) ekstraseluler, tetapi seperti sel mamalia, dapat memanfaatkan asam folat.

(5) Mikroorganisme mengubah enzim yang masih dapat menunjukkan fungsi metabolismenya, dimana enzim tersebut kurang dipengaruhi oleh obat. Contoh: pada bakteri resisten terhadap trimetoprim, asam hidrofolat reduktase menginhibisi lebih kurang efektif daripada bakteri yang peka terhadap trimetoprim.

B. Infeksi Menular Seksual 1. Definisi

Infeksi Menular Seksual (IMS) adalah infeksi yang disebabkan oleh patogen yang disebarkan hubungan seksual (oral, anal, atau vaginal) (Knodel, 2001). Beberapa IMS menjadi masalah serius ketika IMS terjadi bersamaan dengan infeksi neonatal atau perinatal. Kebanyakan infeksi neonatal diperoleh saat lahir, setelah bayi melewati serviks atau vagina yang terinfeksi. Manifestasi


(32)

infeksi neonatal dapat terjadi di berbagai tempat, menyebabkan tingkat morbiditas yang tinggi, dan beberapa kasus menyebabkan kematian bayi (Knodel, 2001). 2. Jenis

Infeksi Menular Seksual mencakup infeksi yang berupa gonore (GO), klamidia, herpes, sifilis, kankroid; termasuk semua patogen yang disebarkan melalui hubungan seksual. Infeksi ini bersifat individual karena manifestasi klinik, perubahan kemampuan obat untuk menyerang beberapa patogen, dan frekuensi komplikasi IMS yang tinggi secara bersamaan menyebabkan diagnosis dan manajemen terapi pasien yang terkena IMS sangat kompleks. Bermacam-macam spektrum sindrom secara klinis yang dihasilkan oleh IMS ditentukan tidak hanya oleh etiologi (patogen), tetapi juga dibedakan pada anatomi wanita dan pria, serta fisiologi reproduksi (Knodel, 2001).

a. Infeksi gonore (GO)

Neisseria gonorrhoeae adalah diplokokus gram-negatif diperkirakan sebagai penyebab IMS GO. Gonokokus menyerang selaput lendir genital, saluran kencing, mata, rektum, dan tenggorokan, mengakibatkan supurasi akut yang dapat menyebabkan invasi jaringan; hal ini diikuti oleh peradangan kronis dan fibrosis. Pada pria biasa terdapat uretritis, dengan nanah berwarna kekuningan dan nyeri pada saat kencing. Pada wanita, infeksi primer terjadi di endoserviks dan meluas ke uretra dan vagina, mengakibatkan sekret mukopurulen (Jawetz, 2001). Infeksi GO mempunyai masa inkubasi yang cepat dan kebanyakan infeksi bersifat asimptomatik sehingga IMS GO sulit untuk dikontrol (Knodel, 2001). Kondisi klinis infeksi GO diperlihatkan dalam tabel I.


(33)

Tabel I. Kondisi klinis infeksi GO (Knodel, 2001)

Pria Wanita Umum Masa inkubasi 1-14 hari

Onset gejala 2-8 hari

Masa inkubasi 1-14 hari Onset gejala 10 hari Tempat infeksi Sebagian besar di uretra,

kadang di rektum (sexual intercourse pada pria dengan pria), orofaring, dan mata

Sebagian besar di kanal endoservik, kadang di uretra, rektum (biasanya kontaminasi perianal), orofaring, dan mata Gejala Bersifat asimptomatik atau

sedikit simptomatik. Pada infeksi uretra terjadi disuria.

Pada infeksi anorektal, asimptomatik atau sedikit nyeri pada rektal.

Pada infeksi faringeal, asimptomatik sampai sedikit faringitis

Bersifat asimptomatik atau sedikit simptomatik. Pada infeksi endocervik, asimptomatik atau sedikit simptomatik (nyeri). Pada infeksi uretra terjadi disuria.

Pada infeksi anorektal dan faring, gejala seperti pada pria.

Tanda Muncul nanah pada uretra atau rektum;

Pada anorektal terasa gatal, terdapat mukus dan nanah (mucopurulent), pendarahan.

Pengeluaran cairan vagina yang abnormal atau pendarahan pada uterus; gatal pada uretra atau rektum.

Komplikasi Jarang terjadi (epididimitis, prostatitis, limfadenopati pada selangkang (inguinal lymphadenopathy),

penyempitan pada saluran uretra (urethral stricture); disseminated gonorrhea

Inflamasi pada pelvis dan komplikasi (kehamilan ektopik, infertilitas); disseminated gonorrhea (tiga kali lebih sering terjadi daripada pria).

Sejak awal tahun 1980 hingga 1990, di Amerika Serikat peristiwa terjadinya IMS GO tampak berkurang. Faktor risiko IMS gonore sebagian besar adalah berganti pasangan seksual (terutama pasangan gay dan pria biseksual), pada infeksi HIV, dan kebanyakan kasus ditemui pada wanita. Akan tetapi, penyebab IMS GO terbesar adalah umur belasan dan remaja/dewasa yang aktif melakukan hubungan seksual. Faktor risiko terjadinya IMS GO lainnya adalah


(34)

status sosial ekonomi, daerah urban, dan riwayat terinfeksi gonore serta IMS yang lain (Koneman, Allen, dan Janda, 1997).

b. Infeksi klamidia

Knodel (2001) memaparkan IMS klamidia merupakan infeksi yang paling banyak terjadi di Amerika Serikat. Infeksi klamidia terjadi bersamaan dengan infeksi GO sehingga jika seseorang didiagnosis terinfeksi GO sangat dimungkinkan terinfeksi klamidia juga. Wanita berumur 20-25 tahun, aktif berhubungan seksual, dan sering berganti pasangan seksual harus diawasi dengan rutin terhadap infeksi klamidia.

Chlamydia trachomatis penyebab infeksi klamidia merupakan parasit obligat intraseluler yang berbentuk seperti virus dan bakteri. Seperti virus, klamidia membutuhkan material seluler hospes untuk replikasi. Seperti bakteri (Gram-negatif), klamidia kekurangan peptidoglikan pada dinding sel (Knodel, 2001), tidak memiliki mekanisme untuk menghasilkan energi metabolisme, dan tidak dapat menghasilkan Adenosin Tri Phospat (ATP) (Jawetz, 2001).

Dibandingkan dengan IMS GO, IMS klamidia lebih bersifat asimptomatik dan jika muncul, gejala tidak akan terlalu nampak. Pengeluaran cairan dari saluran kencing (urethral discharge) biasanya kurang banyak dan lebih banyak mukosa atau air daripada saat terinfeksi gonore (Knodel, 2001).

Pada wanita, infeksi lebih sering asimptomatik atau gejala simptomatik sangat minimal, jika terlambat/ tidak diterapi infeksi akan berkembang menjadi infeksi atau inflamasi pada pelvis, dan menyertai komplikasi seperti kehamilan


(35)

ektopik dan infertilitas (Knodel, 2001). Kondisi klinis infeksi klamidia dapat dilihat pada tabel II.

Tabel II. Kondisi klinis infeksi klamidia (Knodel, 2001)

Pria Wanita Umum Masa inkubasi sampai 35

hari

Onset gejala 7-21 hari

Masa inkubasi 7-35 hari Onset gejala 7-21 hari Tempat infeksi Sebagian besar di uretra,

kadang di rektum (akibat intercourse anal), orofaring, dan mata

Sebagian besar di kanal endoservik, kadang di uretra, rektum (biasanya kontaminasi perianal), orofaring, dan mata Gejala Sebanyak 50% infeksi di

uretra dan rektum asimptomatik.

Pada infeksi uretra terjadi disuria.

Pada infeksi faringeal, asimptomatik sampai sedikit faringitis

Sebanyak 66% di kanal endoserviks bersifat asimptomatik.

Pada infeksi uretra terjadi disuria

Pada infeksi faringeal dan rektum, gejala mirip dengan pria.

Tanda Jarang terjadi, pengeluaran cairan seperti mukus hingga pengeluaran nanah

(purulent) pada rektum atau uretra

Pengeluaran cairan vagina yang abnormal atau pendarahan pada uterus; gatal pada uretra atau rektum.

Komplikasi Epididimitis, Reiter’s syndrom (jarang terjadi).

Inflamasi pada pelvis dan komplikasi (kehamilan ektopik, infertilitas); Reiter’s syndrom (jarang terjadi).

c. Infeksi sifilis

Sifilis biasa didapat dari hubungan seksual yang kontak langsung dengan membran mukosa yang terinfeksi atau lesi pada kutan (Knodel, 2001). Sifilis dapat disebabkan tanpa melalui hubungan seksual misalnya, jarum suntik atau transfusi darah yang mengandung spiroketa (Koneman dkk, 1997).


(36)

Treponema pallidum, golongan spiroketa yang merupakan bakteri gram-negatif berbentuk spiral, panjang, tipis, bergulung secara heliks (Jawetz, 2001) merupakan organisme penyebab infeksi sifilis (Knodel, 2001). Risiko terinfeksi sifilis dari berhubungan seksual sekitar 50-60% (Knodel, 2001), prostitusi dan penyalahgunaan kokain merupakan faktor risiko utama penyebab infeksi sifilis (Koneman dkk, 1997).

Tabel III. Kondisi klinis infeksi sifilis (Knodel, 2001)

Kondisi klinis

Secara umun

Sifilis primer Masa inkubasi 10-90 hari (± 3 minggu)

Sifilis sekunder Berkembang 2-4 minggu setelah infeksi pertama yang tidak diterapi atau terapi tidak memadai

Sifilis laten Berkembang 4-10 minggu setelah sifilis sekunder yang tidak diterapi atau terapi tidak memadai

Sifilis tersier Berkembang sekitar 30% pada pasien yang tidak diterapi atau terapi tidak memadai selama 10-30 tahun setelah infeksi pertama

Tempat infeksi

Sifilis primer Genitalia luar, sekitar perianal, mulut, dan tenggorokan Sifilis sekunder Kemungkinan menyebar hingga dalam darah dan limfa Sifilis laten Potensial ke sistemik (dorman)

Sifilis tersier Sistem Saraf Pusat (SSP), hati, mata, tulang, otot Gejala dan

tanda

Sifilis primer Nyeri, terbentuk lesi (kankroid), ulcer, kadang hilang, sakit di sekitar limfa (limfadenopati); gejala muncul bersamaan, sangat nyeri, lesi bernanah kadang tidak terjadi

Sifilis sekunder Gatal atau ruam tidak gatal, lesi pada mukosa-kutan, gejala, limpadenopati

Sifilis laten Asimptomatik

Sifilis tersier Sifilis kardiovaskuler (aortitis), neurosifilis (meningitis, demensia), lesi lunak (gumma) pada setiap organ atau jaringan

Setelah berhubungan seksual, T. pallidum akan berpenetrasi masuk membran mukosa atau merusak lapisan epitelium, dan spiroketemia terjadi (Knodel, 2001). Masa inkubasi antara 3-90 hari, kira-kira 3 minggu (Koneman


(37)

dkk, 1997). Seseorang yang terinfeksi tetap dapat menularkan penyakitnya selama 3-5 tahun pada sifilis primer/ dini. Sifilis laten/ lanjut, yang lamanya lebih dari 5 tahun, biasanya tidak menular (Jawetz, 2001). Kondisi klinis sifilis bermacam-macam tergantung tingkat lamanya infeksi. Tingkatan infeksi sifilis adalah sifilis primer, sifilis sekunder, sifilis laten, sifilis tersier dan neurosifilis, sifilis kongenital (Knodel, 2001). Oleh Koneman dkk (1997), sifilis tersier, neurosifilis, dan sifilis kongenital diistilahkan sebagai late siphilis. Kondisi klinis infeksi sifilis diperlihatkan pada tabel III.

d. Infeksi herpes

Knodel (2001) memaparkan herpes genitalis disebabkan oleh Herpes simplex virus 2 (HSV-2). Herpes berasal dari kata Yunani yang berarti bergerak pelan (Knodel, 2001) karena virus herpes mampu dalam menyebabkan infeksi yang bertahan seumur hidup dalam inangnya dan mengalami pengaktifan kembali secara berkala (Jawetz, 2001). Tahapan infeksi herpes terdri dari 5 fase: infeksi primer, infeksi pada ganglia, infeksi laten, reaktifasi, dan infeksi kambuhan (Knodel, 2001).

Manusia diketahui sebagai hospes HSV. Menurut Jawetz (2001), untuk dapat menimbulkan infeksi, virus harus menembus permukaan mukosa atau kulit yang terluka (kulit yang tidak terluka tetapi bersifat resisten). Oleh Knodel (2001) dipaparkan juga bahwa infeksi herpes ditularkan melalui sekret terinfeksi HSV yang menembus permukaan mukosa (contoh: uretra, orofaring, serviks, dan konjungtiva) atau kulit yang luka (Jawetz, 2001). Herpes simpleks virus 2


(38)

terutama menginfeksi mukosa genital dan ditularkan secara seksual dan infeksi kelamin ibu kepada anaknya yang baru lahir (Jawetz, 2001).

Infeksi HSV sebagian besar bersifat asimptomatik; jarang terjadi di sistemik (Jawetz, 2001) dan pertumbuhan virus dapat terjadi pada lesi menyebabkan gejala simptomatik (Knodel, 2001). Herpes genitalis ditandai oleh lesi vasikoulseratif pada penis atau servik, vulva, vagina, dan perineum pada wanita. Masa inkubasi selama 2-4 hari, lesi pada alat kelamin akan terasa sangat nyeri (Jawetz, 2001) selama 7-10 hari (Knodel, 2001) dan timbul ulcer selama 21 hari (Knodel, 2001) diikuti dengan demam, malaise, disuria, dan limpadenopati (Jawetz, 2001).

e. Infeksi trikomoniasis

Trichomonas vaginalis, protozoa berflagelata merupakan penyebab infeksi trikomoniasis. Infeksi ini ditularkan secara seksual sehingga protozoa ini sering ditemukan/ diisolasi dari vagina, uretra, dan endoserviks. Trichomonas vaginalis membutuhkan pH antara 4,9-7,5 untuk bertahan, pH pada vagina yang lebih besar dari 5 biasanya menandakan adanya Trichomonas vaginalis (Knodel, 2001). Kondisi klinis infeksi trikomoniasis ditunjukkan pada tabel IV.


(39)

Tabel IV. Gejala infeksi trikomoniasis (Knodel, 2001)

Pria Wanita Umum Masa inkubasi 3-28 hari. T.

vaginalis dapat dideteksi 48 jam setelah terpejani.

Masa inkubasi 3-28 hari

Tempat infeksi Sebagian besar di uretra, kadang di rektum (sexual intercourse pada pria dengan pria), orofaring, dan mata

Sebagian besar di kanal endoservik, kadang di uretra, rektum (biasanya kontaminasi perianal), orofaring, dan mata Gejala Terkadang asimptomatik atau

sedikit simptomatik.

Pada uretra terjadi mucopurulent encer

Disuria dan gatal.

Terkadang asimptomatik atau sedikit simptomatik. Pruritus (terlebih pasa saat menstruasi),

Terjadi disuria, nyeri saat berhubungan seksual (dispareunia).

Tanda Pengeluaran cairan uretra (urethral discharge)

pH vagina menjadi 4,5-6. Inflamasi vulva, vagina, dan atau serviks.

Komplikasi Epididimitis dan prostatitis kronis (tidak/jarang terjadi)

Infertilitas (gerak dan lama hidup sperma)

Inflamasi pada pelvis dan komplikasi (kehamilan ektopik, infertilitas); Bayi lahir prematur, membran terpecah lebih awal (rusak), dan berat badan bayi saat lahir kurang (risiko infeksi pada neonatal rendah);

Pembentukan tumor pada serviks.

C. Prinsip Terapi Antibiotika yang Rasional 1. Terapi yang rasional

Semua pasien mempunyai kebutuhan terkait dengan obat dan tujuan kita adalah untuk melihat apa yang ditemui pasien saat terapi. Setiap pasien membutuhkan dan mengharapkan obat yang didapat sesuai dengan kondisi klinis (indikasi), pengaturan dosis efektif, keamanan terjaga, dan pasien harus mau dan dapat menggunakan obat dengan mudah. Rancangan untuk mempermudah dalam


(40)

menyelesaikan masalah klinis harus rasional pada (1) indikasi, (2) efektivitas, (3) keamanan, dan (4) kepatuhan pasien (Cipolle, Sande, dan Morley, 2004).

a. Tepat indikasi

Farmasis harus menghubungkan indikasi (kondisi klinis), produk obat, pengaturan dosis, dan hasil terapi. Beberapa terapi dapat digunakan oleh pasien, jika terdapat kondisi klinis atau saat muncul penyakit. Jika secara klinis, kondisi tidak membutuhkan terapi obat, maka terapi tidak membutuhkan obat (unnecessary drug therapy). Jika terdapat beberapa indikasi terapetik tidak muncul saat terapi maka pasien membutuhkan tambahan terapi obat (need additional drug therapy). Pada semua kasus, indikasi merupakan bagian informasi yang vital untuk mengidentifikasi dan memecahkan masalah terapi obat (Cipolle dkk, 2004).

b. Pengaturan dosis yang efektif

Terapi obat efektif jika tujuan terapi yang diharapkan tercapai. Efektivitas diperkirakan dengan mengevaluasi respon terkait tujuan terapi yang diharapkan untuk beberapa kondisi klinis (indikasi). Ketika terapi obat tidak efektif untuk pasien, farmasis harus memperkirakan dua hal yang mungkin terjadi yaitu: apakah produk obat tidak tepat untuk kondisi pasien atau apakah pengaturan dosis terlalu rendah untuk menghasilkan efek yang diinginkan (Cipolle dkk, 2004).

c. Pengaturan dosis yang aman

Produk obat dan pengaturan dosis dapat menyebabkan reaksi obat yang tidak diinginkan (adverse drug reaction) dan atau toksisitas pada pasien. Reaksi


(41)

yang tidak diinginkan adalah respon yang secara farmakologi tidak diharapkan muncul dari produk obat atau terjadi efek idiopati pada pasien. Toksisitas terjadi karena dosis yang diberikan pada pasien terlalu tinggi (Cipolle dkk, 2004).

Jika masalah yang terjadi terkait dengan dosis obat, maka pemecahannya agar tetap dapat menggunakan produk obat yang sama dengan mengurangi pengaturan dosis. Pengaturan dosis dapat dikurangi dengan mengurangi dosis yang diberikan atau mengurangi frekuensi pemberian (tidak terlalu sering). Keamanan dapat diukur dengan mengevaluasi parameter klinis (tanda dan gejala) atau hasil uji laboratorium jika terdapat hubungan dengan efek yang tidak diinginkan pada saat terapi (Cipolle dkk, 2004).

d. Memperhatikan kepatuhan pasien

Dalam pelayanan kefarmasian, ketidapatuhan dipertimbangkan sebagai masalah hanya pada saat setelah obat diberikan kepada pasien. Pertimbangan tersebut termasuk tepat indikasi secara klinis, dipastikan efektif untuk mencapai ujuan terapi, dan aman untuk pasien. Untuk maksud dalam mengerti/ memahami masalah terapi obat, digunakan istilah ketaatan. Pada aplikasi pelayanan kefarmasian, ketidakpatuhan diartikan seseorang tidak ingin atau tidak menggunakan obat dengan benar, efektif, dan aman seperti yang diharapkan (Cipolle dkk, 2004).

2. Pemilihan dan penggunaan antibiotika yang rasional

Antibiotika merupakan salah satu di antara obat yang sangat sering digunakan dan merupakan agen yang aman tersedia untuk klinis. Untuk memilih dan menggunakan antibiotika yang efektif perlu mengetahui etiologi/ penyebab


(42)

infeksi (Snyder dan Finch, 1990). Menurut Jawetz (2001) pada sebagian besar infeksi, hubungan antara penyebab infeksi dengan manifestasi klinis tidak selalu konstan. Oleh karena itu, penting melakukan pengambilan spesimen untuk mengidentifikasi bakteri atau agen penyebab lainnya. Untuk mengetahui penyebab infeksi perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut: (1) tempat infeksi (contoh: Urinary Tract Infection/infeksi saluran kencing (UTI), pneumonia), (2) umur pasien (contoh: neonatus, dewasa, remaja), (3) tempat dimana infeksi diperoleh (contoh: rumah sakit), (4) faktor mekanis (contoh: kateter urin, tetesan intravena, pernapasan), (5) kondisi faktor hospes (contoh: imunodefisiensi, kortikosteroid, transplantasi, kemoterapi kanker).

Jika etiologi infeksi sudah ditemukan, perlu dilakukan modifikasi atau pemilihan antibiotika yang cocok. Snyder dan Finch (1990) memaparkan bahwa pemilihan antibiotika perlu memperhatikan rute pemberian, dosis, durasi pengobatan, harga obat yang diminta, dan kemungkinan terjadinya reaksi yang tidak diinginkan (adverse drug reaction).

Uji laboratorium sensitivitas antibiotika sering dilakukan dalam pemilihan antibiotika yang tepat meskipun tidak semua infeksi dilakukan uji sensitivitas antibiotika (Snyder dan Finch, 1990). Uji laboratorium dilakukan jika: (1) mikroorganisme yang ditemukan resisten terhadap antibiotika, (2) proses infeksi dapat berakibat fatal, (3) infeksi membutuhkan antibiotika bakterisidal yang dapat membunuh bakteri dengan cepat (Jawetz, 2001).


(43)

D. Antibiotika Untuk Pengobatan Infeksi Menular Seksual 1. Pengobatan infeksi gonore (GO)

Terapi untuk semua tipe infeksi GO direkomendasikan dengan sefalosporin dosis tunggal (oral maupun parenteral) dan fluorokuinolon dosis tunggal. Pengaturan dosis ini efektif untuk terapi infeksi pada uretra, rektum, dan faring (Knodel, 2001).

Tabel V. Pengobatan infeksi GO (Knodel, 2001)

Tipe Infeksi Gonorrhea Pengobatan yang direkomendasikan

Alternatif pengaturan pengobatan

infeksi pada cerviks, uretra, dan rektum tanpa komplikasi pada dewasa

Seftriakson 125 mg i.m, dosis tunggal

Siprofloksasin 500 mg p.o dosis tunggal

Sefiksim 400 mg p.o, dosis tunggal

Ofloksasin 400 mg p.o, dosis tunggal

Spektinomisin 2 g i.m, dosis tunggal;

Seftizoksim 500 mg i.m, dosis tunggal;

Sefotaksim 500 mg i.m, dosis tunggal;

Sefotetan 1 g i.m, dosis tunggal atau Sefoksitin; Probenesid 2 g i.m atau 1 G p.o sekali pemberian, atau lomefloksasin 400 mg p.o; enoksasin 400 mg p.o; atau norfloksasin 800 mg p.o sekali

pemberian

infeksi waktu kehamilan seftriakson 125 mg i.m, dosis tunggal

spektinomycin 2 g, i.m, dosis tunggal

infeksi yang sudah menyebar pada dewasa (>45 kg)

seftriakson 1 g i.m/i.v setiap 24 jam

Seftizoksim 1 g atau sefotaksim 1 g i.v, setiap 8 jam

infeksi pada cerviks, uretra, dan rektum tanpa komplikasi pada anak

seftriakson 125 mg, i.m, dosis tunggal

spektinomisin 40 mg/kg i.m, dosis tunggal

infeksi konjungtivitis pada dewasa

Seftriakson 1 g i.m, dosis tunggal

infeksi di mata pada neonatus

Seftriakson 25-50 mg/kg i.m atau i.v, sekali pemberian (tidak melebihi 125 mg)

infeksi pada bayi lahir dari ibunya (profilaksis)

Seftriakson 25-50 mg/kg i.m atau i.v, sekali pemberian (tidak melebihi 125 mg)


(44)

Seftriakson dalam bentuk sediaan parenteral (i.m) yang direkomendasikan sebagai first line untuk terapi infeksi GO dengan dosis tunggal 125 mg. Fluorokuinolon tidak terlalu direkomendasikan sebagai first line karena resistensi mikoorganisme terhadap fluoroquinolon tinggi. Spektinomisin masih dipilih sebagai alternatif terhadap pasien alergi sefalosporin dan quinolon (Knodel, 2001). Pengobatan infeksi GO ditunjukkan pada tabel V.

2. pengobatan infeksi klamidia

Berbagai antibiotika termasuk tetrasiklin, makrolida, azitromisin, beberapa quinolon baik secara in vitro maupun in vivo mempunyai aktivitas membunuh C. trachomatis. Azitromisin dosis tunggal 1 g dan doksisiklin 100 mg, dua kali sehari selama 7 hari merupakan terapi pilihan untuk terapi infeksi klamidia tanpa komplikasi. Kadar azitromisin dalam darah dan waktu paruh yang panjang membuat dosis tunggal azitromisin 1g efektif untuk terapi klamidia (Knodel, 2001).

Golongan kuinolon seperti ofloksasin dan levofloksasin direkomendasikan untuk terapi, tetapi tidak nampak memberi keuntungan baik sebagai fisrt line maupun alternatif pengobatan. Bagi wanita hamil dengan infeksi klamidia, terapi yang dipilih harus tidak mempunyai risiko komplikasi terhadap bayi atau sedikit yang diterima oleh janin. Oleh karena tetrasiklin dan kuinolon dikontraindikasikan selama hamil, eritromisin dan amoksisilin yang direkomendasikan untuk terapi klamidia (Knodel, 2001). Pengobatan infeksi klamidia ditunjukkan pada tabel VI.


(45)

Tabel VI. Pengobatan infeksi klamidia (Knodel, 2001) Tipe Infeksi klamidia Pengobatan yang

direkomendasikan

Alternatif pengaturan pengobatan

infeksi klamidia pada uretra, endocerviks, atau pada rektum tanpa komplikasi pada dewasa

Azitromisin 1 g p.o, sekali atau doksisiklin 100 mg p.o, sehari 2 kali selama 7 hari.

Azitromisin 1 g p.o sekali atau doksisiklin 100 mg p.o sehari 2 kali selama 7 hari.

infeksi klamidia urogenital pada kehamilan

Eritromisin 500 mg p.o, sehari 4 kali selama 7 hari atau amoksisilin 500 mg p.o, sehari 3 kali selama 7 hari.

Eritromisin 250 mg p.o, sehari empat kali, atau eritromisin etil suksinat 800 mg sehari 4 kali selama 7 hari, atau azitromisin 1 g p.o, dosis tunggal.

infeksi konjungtivitis bayi baru lahir atau pneumonia yang bayi

eritromisin 50 mg/kg/hari p.o, dalam dosis terbagi empat selama 14 hari 3. Pengobatan infeksi sifilis

Penisilin G dalam bentuk sediaan parenteral adalah terapi pilihan untuk semua tahapan infeksi sifilis. T.pallidum berkembang sangat lambat, sehingga dosis tunggal penisilin yang mempunyai aksi pendek atau menengah cukup untuk eradikasi T. pallidum.

Alternatif pengobatan untuk pasien alergi penisilin adalah doksisiklin 100 mg, sehari dua kali atau tetrasiklin 500 mg, empat kali sehari; keduanya selama 2-4 minggu tergantung durasi infeksi sifilis (Knodel, 2001). Pengobatan infeksi sifilis ditunjukkan pada tabel VII.


(46)

Tabel VII. Pengobatan infeksi sifilis (Knodel, 2001)

Tipe Infeksi siphilis Pengobatan yang direkomendasikan

Alternatif pengaturan pengobatan untuk infeksi kurang dari 1

tahun

benzathine penisilin G 2,4 juta unit, i.m, dosis tunggal

infeksi lebih dari 1 tahun dan untuk infeksi yang tidak diketahui durasinya

benzathine penisilin G, i.m, 2,4 juta unit, sekali dalam

seminggu, digunakan selama 3 minggu

neurosifilis larutan penisilin G, i.v, 18-24 juta unit (setiap 4 jam atau dilanjutkan dengan infus) selama 10-14 hari.

prokain penisilin G, i.m, 2,4 juta unit setiap hari

dikombinasi dengan probenesid 500 mg p.o, empat kali sehari, selama 10-14 hari

infeksi sifilis kongenital larutan penisilin G 50,000 unit/kg i.v, setiap 12 jam selama 7 hari pertama dan setiap 8 jam untuk total 10 hari.

prokain penisilin G 50,000 unit/kg i.m, setiap hari selama 10 hari

pasien alergi penisilin yang terinfeksi kurang dari 1 tahun

doksisiklin 100 mg p.o, sehari dua kali selama 2 minggu.

tetrasiklin 500 mg sehari 4 kali selama 2 minggu

pasien alergi penisilin yang terinfeksi lebih dari 1 tahun dan tidak diketahui

durasinya

doksisiklin 100 mg p.o, sehari dua kali selama 4 minggu.

tetrasiklin 500 mg sehari 4 kali selama 4 minggu

4. pengobatan infeksi herpes

Tujuan terapi herpes genitalis adalah mengurangi gejala dan memperpendek tahapan klinis, mencegah komplikasi dan kekambuhan, dan mengurangi penyebaran infeksi. Terapi yang direkomendasikan untuk herpes genitalis adalah antivirus asiklovir, valasiklovir, famsiklovir. Bentuk per oral asiklovir, valasilovir, dan famsiklovir efektif untuk mengurangi perkembangan virus, lamanya gejala, dan waktu untuk menghilangkan virus pada infeksi herpes episode awal. Jika antivirus diberikan pada awal infeksi maka akan membuat


(47)

terapi menjadi maksimal (Knodel, 2001). Pengobatan infeksi herpes ditunjukkan pada tabel VIII.

Tabel VIII. Pengobatan infeksi herpes (Knodel, 2001) Tipe Infeksi herpes Pengobatan yang

direkomendasikan

Alternatif pengaturan pengobatan

infeksi herpes episode awal

Asiklovir 400 mg p.o, sehari 3 kali, atau asiklovir 200 mg p.o sehari 5 kali, atau famcyclovir 250 mg p.o sehari 3 kali, atau

valasiklovir 1 g p.o sehari 2 kali selama 7-10 hari

Asiklovir 5-10 mg/kg i.v setiap 8jam selama 2-7 hari, diikuti oral terapi minimal 10 hari.

infeksi herpes proctitis atau infeksi oral (stomatitis atau faringitis)

asiklovir 400 mg, p.o, 5x1, selama 7-10 hari

asiklovir 5-10 mg/kg, setiap 8 jam selama 2-7 hari diikuti terapi oral mininal 10 hari infeksi herpes yang

berkelanjutan untuk terapi episodik

Asiklovir 400 mg p.o sehari 3 kali selama 5 hari; asiklovir 800 mg p.o sehari 2 kali selama 5 hari; famsiklovir 125 mg p.o sehari 2 kali selama 5 hari; valasiklovir 500 mg p.o sehari 2 kali selama 3-5 hari; valasiklovir 1 g p.o sehari sekali selama 5 hari infeksi herpes dengan

terapi supresif

famsiklovir 250 mg p.o sehari 2 kali setiap hari; valasiklovir 500 mg atau 1 g p.o sehari sekali setiap hari

5. Infeksi trikomoniasis

Standar terapi untuk infeksi trikomoniasis adalah dosis tunggal metronidazole 2 g secara per oral; dosis ini sebanding dengan metronidazole 500 mg, dua kali sehari, selama 7 hari. Keuntungan penggunaan dosis tunggal dibanding dosis berganda adalah meningkatkan ketaatan dan kenyamanan, harga


(48)

lebih murah, bakteri flora normal dan saluran pencernaan sedikit terpejani oleh obat (Knodel, 2001).

Beberapa pasien intolerasi terhadap dosis tunggal metronidazole 2 g karena reaksi samping (adverse reaction) biasanya toleransi atau dapat menerima pengaturan metronidazole dengan dosis berganda. Untuk memaksimalkan laju pengobatan dan mencegah kekambuhan, terapi dosis tunggal metronidazole 2 g dilakukan bersamaan dengan terapi pasangan seksual juga (Knodel, 2001). Pengobatan infeksi trikomoniasis ditunjukkan pada tabel IX.

Tabel IX. Pengobatan infeksi trikomoniasis (Knodel, 2001) Tipe Infeksi

Trikomoniasis

Pengobatan yang direkomendasikan

Alternatif pengaturan pengobatan

infeksi asimptomatik dan simptomatik

metronidazole 2 g p.o dengan dosis tunggal

metronidazole 500 mg p.o sehari 2 kali selama 7 hari

infeksi pada kehamilan metronidazole 2 g p.o dengan dosis tunggal infeksi pada bayi lahir metronidazole 10-30

mg/kg setiap hari selama 5-8 hari

E. Drug Therapy Problems 1. Definisi

Drug Therapy Problems (DTP) adalah peristiwa tidak diinginkan yang dialami oleh pasien, atau kemungkinan dialami pasien, saat terapi obat, dan semua yang dapat mempengaruhi tujuan terapi. Drug Therapy Problems merupakan masalah klinis dan harus diidentifikasi dan diselesaikan dengan cara yang sama untuk masalah klinis yang lain. Drug Therapy Problems selalu terkait dengan pasien, obat, dan masalah klinis yang terkait (Cipolle dkk, 2004).


(49)

2. Kategori

Telah diketahui terdapat tujuh kategori DTP yaitu: unnecessary drug (tidak membutuhkan obat), need additional drug therapy (membutuhkan tambahan terapi obat), ineffective drug (obat tidak efektif), dosage too low (dosis terlalu rendah), adverse drug reaction (reaksi obat yang tidak diinginkan), dosage too high (dosis terlalu tinggi), dan noncompliance (ketidaktaatan). Dua kategori pertama terkait dengan indikasi. Kategori ketiga dan keempat terkait dengan efektivitas. Kategori lima dan enam terkait dengan keamanan. Kategori tujuh terkait dengan ketaatan dan kenyamanan pasien (Cipolle dkk, 2004).

a. Unnecessary drug (tidak membutuhkan obat)

Terapi obat tidak dibutuhkan karena pasien tidak mempunyai indikasi klinis pada saat diberikan obat. Penyebab DTP tidak membutuhkan terapi obat antara lain (Cipolle dkk, 2004):

1) tidak terdapat indikasi medis yang benar untuk terapi dengan obat pada saat itu;

2) digunakan beberapa jenis obat pada pada saat dibutuhkan terapi dengan satu jenis obat;

3) kondisi medis lebih tepat diterapi tanpa obat;

4) terapi obat diberikan untuk mengatasi reaksi yang tidak diinginkan berkaitan dengan indikasi dari obat lain;


(50)

b. Need additional drug therapy (membutuhkan tambahan terapi obat)

Tambahan terapi obat digunakan untuk mengobati atau mencegah berkembangnya kondisi medis dan sakit. Beberapa penyebab DTP dimana pasien membutuhkan tambahan obat (Cipolle dkk, 2004) antara lain:

1) kondisi medis membutuhkan obat untuk inisiasi terapi;

2) mengurangi risiko berkembangnya kondisi medis yang baru dari terapi obat yang ada;

3) kondisi medis mengharapkan tambahan farmakoterapi untuk mencapai efek sinergis atau menambah efek.

c. Ineffective drug (obat tidak efektif)

Obat dikatakan tidak efektif jika obat tidak mampu untuk menghasilkan respon yang diharapkan. Penyebab DTP obat tidak efektif antara lain (Cipolle dkk, 2004):

1) produk obat sangat tidak efektif untuk indikasi terapi; 2) kondisi medis sulit disembuhkan dengan obat;

3) bentuk sediaan obat tidak sesuai yang diharapkan; 4) obat tidak efektif untuk masalah medis;

d. Dosage too low (dosis terlalu rendah)

Dosis terlalu rendah akan membuat respon yang diinginkan rendah pula. Penyebab DTP dosis terlalu rendah terhadap pasien dengan pengaturan dosis tidak cukup untuk menghasilkan efek yang diinginkan antara lain (Cipolle dkk, 2004): 1) dosis terlalu rendah untuk menghasilkan respon yang diinginkan;


(51)

3) interaksi obat yang mengurangi ketersediaan jumlah obat yang aktif; 4) durasi terapi terlalu cepat.

e. Adverse drug reaction (reaksi obat yang tidak diinginkan)

Obat menyebabkan reaksi yang tidak diinginkan. Beberapa penyebab DTP ini terhadap pasien yang menggunakan obat menjadi tidak aman antara lain:

1) produk obat menyebabkan reaksi yang tidak diinginkan yang tidak berhubungan dengan dosis;

2) suatu produk obat yang aman diperlukan terutama karena faktor-faktor risikonya;

3) interaksi obat yang menyebabkan reaksi yang tidak diinginkan yang tidak berhubungan dengan dosis;

4) pengaturan dosis yang digunakan terlalu cepat diubah; 5) produk obat menyebabkan alergi;

6) produk obat yang dikontraindikasikan terutama karena faktor-faktor resikonya.

f. Dosage too high (dosis terlalu tinggi)

Dosis terlalu tinggi dapat menghasilkan efek yang tidak diinginkan. Beberapa penyebab DTP dosis terlalu tinggi pada pasien dan oleh karena itu menghasilkan resiko/bahaya yang diterima antara lain (Cipolle dkk, 2004):

1) dosis terlalu tinggi;

2) frekuensi pemberian terlalu pendek; 3) durasi terapi terlalu panjang;


(52)

5) dosis obat digunakan terlalu cepat. g. Noncompliance (ketidakpatuhan)

Pasien tidak dapat atau tidak ingin menggunakan obat untuk terapi. Penyebab pasien tidak patuh terhadap aturan pakai antara lain (Cipolle dkk, 2004):

1) pasien tidak mengerti aturan pakai yang benar; 2) pasien memilih untuk tidak menggunakan obat; 3) pasien lupa menggunakan obat;

4) produk obat terlalu mahal (tidak terjangkau) untuk pasien;

5) pasien tidak dapat menelan atau menggunakan sendiri obat dengan benar; 6) produk obat tidak tersedia untuk pasien.

F. Keterangan Empiris

Penelitian ini ingin menggali informasi mengenai pola pemilihan dan penggunaan antibiotika, serta mengevaluasi kerasionalan penggunaan antibiotika untuk IMS di kalanagan PSK Pasar Kembang Yogyakarta.


(53)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian ini termasuk jenis penelitian non eksperimental dengan rancangan survei epidemiologi deskriptif. Survei epidemiologi adalah survei terhadap fenomena kesehatan dalam masyarakat yang dilakukan tanpa adanya perlakuan (manusia). Survei epidemiologi deskriptif adalah penelitian yang tujuan utamanya melakukan eksplorasi-deskriptif terhadap fenomena kesehatan di masyarakat baik yang berupa faktor resiko atau efek. Penelitian ini menyuguhkan deskriptif fenomena yang terjadi dan tidak menganalisis bagaimana dan mengapa fenomena tersebut terjadi (Pratiknya, 2001).

B. Definisi Operasional

1. Pekerja seks komersial (PSK) adalah istilah dari masyarakat yang menunjukkan pekerjaan seseorang yang memberikan jasa pelayanan seks dengan kompensasi uang atau barang sesuai dengan kesepakatan sebelumnya. 2. Responden adalah PSK yang menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan

oleh peneliti. Serta PSK yang mengisi kuisioner di Pasar Kembang Yogyakarta.

3. Infeksi Menular Seksual (IMS) adalah infeksi yang ditularkan melalui hubungan seksual (anal, oral, dan vagina).

4. Pengetahuan tentang IMS adalah pengetahuan tentang apa saja jenis infeksi yang ditularkan melalui hubungan seksual termasuk gejala-gejala yang terjadi.


(54)

5. Antibiotika adalah obat yang digunakan untuk mengobati infeksi bakteri maupun jamur.

6. Menggunakan obat antibiotika yang rasional adalah sesuai dengan indikasi, patuh terhadap aturan pakai, dan aman.

7. Pengetahuan dan pemahaman aturan pakai yang benar adalah mengerti frekuensi dan durasi penggunaan antibiotika yang benar.

8. Resistensi antibiotika adalah jika antibiotika yang digunakan tidak menghasilkan efek seperti yang diinginkan.

9. Profil antibiotika adalah jenis antibiotik yang diresepkan dan digunakan oleh PSK di Pasar Kembang Yogyakarta.

10.Melihat perbandingan profil antibiotika adalah melihat apakah terdapat kemiripan pola pemilihan dan penggunaan antibiotika untuk terapi IMS dari tahun 2002, tahun 2005, dan tahun 2006 yang digunakan oleh PSK di Pasar Kembang Yogyakarta.

11.Drug Therapy Problems adalah masalah klinis yang tidak dikendaki yang timbul karena ketidaksesuaian penggunaan obat dalam terapi pengobatan.

C. Subjek Penelitian

Subjek dalam penelitian ini adalah Pekerja Seks Komersial wanita di lokasi Pasar Kembang Yogyakarta. Dari data yang diperoleh di Griya Lentera, Pekerja Seks Komersial yang tinggal menetap sebanyak 101 orang. Dari populasi diambil 51 subjek uji untuk mengisi kuesioner dan 10 subjek uji untuk diwawancarai.


(55)

maka banyaknya sampel yang diambil adalah:

( )

%) 10 ( si signifikan tingkat d populasi besar N diambil yang sampel besar d N 1 2 = = = + n N n=

( )

51 248 , 50 01 , 1 1 101 1 , 0 101 1 101 n 2 ≈ = + = + =

D. Metode Penelitian

Metode yang digunakan adalah metode kuisioner serta didukung dari wawancara dengan dokter. Metode yang digunakan untuk penelitian adalah metode kuisioner yang nantinya kuisioner diisi oleh PSK Pasar Kembang Yogyakarta dan didukung dari wawancara dengan dokter yang memberikan pelayanan di Klinik Griya Lentera mengenai pola peresepan antibiotika untuk pengobatan IMS pada PSK Pasar Kembang Yogyakarta. Data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Data primer berupa data dari wawancara dengan dokter. Data sekunder merupakan data kuisioner yang diisi oleh PSK di Pasar Kembang.


(56)

E. Tata Cara Penelitian 1. Pembuatan lembar kuisioner

Lembar kuisioner dibuat dengan berdasar tema penelitian dan berisi mengenai pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan pola pemilihan dan penggunaan antibiotika pada PSK di lokasi Pasar Kembang Yogyakarta.

2. Penyebaran lembar kuisioner

Lembar kuisioner disebarkan dengan bantuan rekan tim penelitian dan rekan dari LSM Griya Lentera Yogyakarta. Lembar kusioner selanjutkan diisi oleh para PSK di Pasar Kembang Yogyakarta.

3. Wawancara dengan dokter

Wawancara dengan dokter dilakukan sebelum dokter praktek pelayanan dan dilakukan tanya-jawab mengenai pola peresepan antibiotik untuk pengobatan IMS, kasus IMS terbanyak yang muncul, dan kerasionalan terapi antibiotik, juga masalah-masalah yang terkait dengan hal di atas.

4. Pengolahan data

Data yang diperoleh diolah dengan cara kategorisasi data sejenis, yaitu dengan menyusun data dan menggolongkannya dalam kategori-kategori dan dengan dibandingkan dengan standar dari pustaka sehingga diperoleh hasil yang dapat diintrepetasikan menjadi jawaban bagi perumusan masalah.

F. Analisis Data Penelitian

Data yang diperoleh digunakan statistik deskriptif. Prosedur statistik yang digunakan dalam penelitian ini adalah perhitungan prosentase berdasarkan atas variabel yang ingin diketahui.


(57)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Profil Pengetahuan PSK Tentang IMS dan Antibiotika 1. Pengetahuan tentang IMS

Pengetahuan yang tepat akan mendukung terjadinya diagnosis dan pengobatan yang tepat. Sama halnya dengan pengobatan IMS, perlu diketahui jenis IMS termasuk gejala IMS yang ada sehingga diagnosis dan pengobatan IMS menjadi tepat. Pekerja Seks Komersial dikatakan mengetahui IMS jika PSK mengetahui jenis dan gajala IMS.

Dari hasil kuisioner yang ditunjukkan pada tabel X, sebanyak 84,3% mengetahui IMS dan 15,7% menyatakan tidak mengetahui IMS. Sebanyak 84,3% PSK mengetahui IMS baik dari jenis maupun gejala IMS. Dengan banyaknya PSK yang mengetahui IMS, dimungkinkan penggunaan antibiotika di kalangan PSK dapat menjadi rasional karena jika PSK mengetahui/merasakan gejala IMS yang terjadi pada dirinya seharusnya segera memeriksakan ke dokter agar mendapatkan antibiotika yang sesuai dengan infeksinya.

Dari hasil wawancara dengan 10 responden PSK, sebanyak 7 responden PSK mengetahui IMS. Responden mengetahui IMS baik dari gejala maupun jenisnya. Gejala IMS yang diketahui PSK biasanya dapat juga dari pengalaman pribadi (responden 7), antara lain: terasa nyeri dan panas saat kencing, keputihan berwarana hijau dan berbau, serta merasa sakit sewaktu atau setelah berhubungan seksual. Infeksi Menular Seksual yang diketahui antara lain: sifilis, AIDS, dan


(58)

gonore (GO). Pengetahuan IMS para PSK didapatkan antara lain dari penyuluhan, relawan Griya Lentera (GL), dan dokter di klinik GL yang memeriksa PSK.

Tabel IX. Pengetahuan PSK tentang IMS di Pasar Kembang tentang IMS tahun 2006

Pengetahuan tentang IMS Jumlah Prosentase (%)

Tahu 43 orang 84,3

Tidak 8 orang 15,7

Dari profil umur ditunjukkan pada gambar 1, PSK dengan kisaran umur 21-30 tahun mempunyai prosentase pengetahuan IMS paling banyak yaitu sebesar 39,22 %. Pada umur 21-30 tahun, PSK masih sangat mudah dan aktif dalam menerima informasi mengenai IMS. Selain itu, pada umur 21-30 tahun kebanyakan masih baru bekerja sebagai PSK sehingga mereka akan lebih merasakan/merespon gejala IMS. Gejala IMS akan mengganggu aktivitasnya atau pekerjaannya sehingga PSK segera memeriksakan ke dokter dan mencari informasi mengenai IMS. PSK berumur 15-20 tahun mempunyai prosentase pengetahuan IMS paling kecil yaitu 3,92%. Hal ini dapat disebabkan pada umur 15-20 tahun masih awal bekerja sebagai PSK sehingga belum banyak mendapat informasi tentang IMS.

Dari profil lama kerja, PSK dengan lama kerja lima tahun mempunyai prosentase pengetahuan IMS paling tinggi yaitu 25,49% seperti yang ditunjukkan pada gambar 2. Jika dilihat dari lama kerja, PSK dengan lama kerja lima tahun dimungkinkan mendapat informasi IMS paling banyak sehingga banyak mendapat informasi IMS baik sewaktu periksa ke dokter, dari relawan GL, atau dari penyuluhan.


(59)

Dari profil tingkat pendidikan pada gambar 3, PSK dengan tingkat pendidikan SD mempunyai prosentase pengetahuan IMS paling tinggi yaitu 33,33% seperti ditunjukkan pada tabel 13. Meskipun demikian, PSK dengan tingkat pendidikan SMP dan SMA juga mempunyai pengetahuan IMS menjadi cukup tinggi. Dapat dikatakan bahwa pengetahuan PSK tentang IMS mudah diperoleh dan diterima di berbagai tingkatan pendidikan.

9,8 27,45 39,22 7,84 5,88 5,88 3,92 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45

15-20 21-30 31-40 41-50

umur PSK (tahun)

P ro sen tas e (% ) Tahu (%) Tidak tahu (%)

Gambar 1. Pengetahuan IMS berdasarkan profil umur PSK di Pasar Kembang tentang IMS tahun 2006

17,65 11,76 21,57 7,83 25,49 3,92 1,96 1,96 1,96 5,88 0 5 10 15 20 25 30

1 2 3 4 5

lama kerja (Tahun)

P ro s e n ta s e (% ) Tahu (%) Tidak tahu (%)

Gambar 2. Pengetahuan IMS berdasarkan profil lama kerja PSK di Pasar Kembang tentang IMS tahun 2006


(60)

33,33

25,49

23,53

5,88 5,88 5,88 0

5 10 15 20 25 30 35

SD SMP SMA

tingkat pendidikan

P

ro

se

n

tase

(

%

)

Tahu (%) Tidak tahu (%)

Gambar 3. Pengetahuan IMS berdasarkan profil tingkat pendidikan PSK di Pasar Kembang tentang IMS tahun 2006

Meskipun sebanyak 84,3% memiliki pengetahuan IMS seperti yang ditunjukkan pada tabel X namun tidak semua mengetahui apakah dirinya pernah mengalami IMS atau belum baik dilihat dari gejala IMS maupun nama infeksinya. Dari hasil kuisioner pada tabel XI, sebanyak 25,5% mengetahui bahwa dirinya pernah mengalami IMS dan sebanyak 74,5% tidak merasa pernah mengalami IMS. Diduga sebanyak 74,5% menyatakan tidak merasa pernah mengalami IMS karena gejala IMS kadang bersifat asimptomatik atau menganggap gejala IMS bukan sebagai penyakit namun sebatas gangguan yang terjadi secara normal.

Tabel XI. Pernah tidaknya PSK di Pasar Kembang mengalami IMS tahun 2006 Pernah mengalami IMS Jumlah Prosentase (%)

Pernah 13 orang 24,5

Tidak pernah 38 orang 74,5

Dari hasil wawancara, PSK yang mengetahui dirinya terkena IMS lebih banyak yaitu 7 responden dari 10 responden. Para PSK mengetahui pernah mengalami IMS dari gejala IMS yang dialami dan mengetahui IMS dari jenis-jenisnya. Responden 7 menyatakan mengetahui IMS dari gejalanya seperti keputihan bau, terasa panas saat berkemih, dan sakit saat berhubungan seksual.


(61)

Responden 5 pernah mengalami IMS namun lupa nama infeksinya. Dari hasil wawancara, terdapat responden yang tidak merasa pernah mengalami IMS namun sebenarnya pernah mengalami gejala IMS. Responden 1 menyatakan belum pernah mengalami IMS namun dia pernah mengalami gejala IMS seperti terasa perih saat berkemih.

Jika dilihat dari pekerjaan sebagai PSK sangat mungkin PSK mengalami IMS. Ketidaktahuan pernah tidaknya PSK mengalami IMS dapat menjadi faktor risiko IMS sulit untuk dikendalikan. Sebaiknya PSK diberi informasi lengkap tentang IMS termasuk cara pencegahan IMS seperti menggunakan kondom setiap berhubungan seksual. Selain itu, setiap PSK diperiksa secara rutin agar saat didiagnosis IMS segera mendapat terapi pengobatan yang tepat.

Jika ditinjau dari profil umur pada gambar 4, para PSK dengan umur 21-30 tahun paling banyak mengatakan tidak pernah mengalami IMS. Diduga PSK dengan umur 21-30 tahun tidak pernah mengalami IMS karena mereka belum lama bekerja sebagai PSK, mempunyai informasi yang cukup tentang IMS termasuk cara pencegahan IMS, dan taat menggunakan kondom saat berhubungan seksual.

Para PSK dengan lama kerja 1 tahun dan PSK dengan tingkat pendidikan SMA menyatakan tidak pernah mengalami IMS. Para PSK dengan tingkat pendidikan SMA banyak bekerja selama 1 tahun dan kemungkinan masih sangat taat menggunakan kondom saat berhubungan seksual sehingga mereka jarang mengalami gejala IMS. Para PSK dengan lama kerja 5 tahun juga banyak yang menyatakan tidak pernah mengalami IMS. Diduga PSK dengan lama kerja 5


(1)

Waktu : 20.00 WIB Tempat : Pasar Kembang

X : Malam mbak, kok sepi sih mbak !!

Y : Malam juga mbak,iya nih pada lum pulang kemarin lebarankan pada pulang kampung gitu...mbak sendiri juga baru kelihatan ke mana aja? X : He3x..aku juga liburan dong mbak,,,

Y : Mang liburan kemana?.

X : Kalau pas hari raya aku ke Salatiga,masih ada saudara disana,trus kemarin 4 hari habis hari raya aku main ke Surabaya?

Y : Aku aslinya Jawa timuran loh mbak,aku dari Sidoarjo kmrn mampir ngga ke Lapindo?itu dekat rumah saya..

X : Oh,iya aku kemarin mampir kebetulan dari juanda ngga jauh-jauh banget jadi sekalian..Maaf mbak aku lupa nama mbak siapa?Udah berapa lama kerja di sini?

Y : Prihain mbak,Ya udah sekitar 3 tahunan lebih hampir 4. X : Mba, klo aku mau tanya-tanya sebentar boleh ga? Y : Boleh aja, mau tanya apa mbak?

X : Mau tanya tentang obat antibiotik dan Penyakit Menular Seksual (PMS), tahu ngga mbak obat antibiotik itu apa?

Y : Jelas tahu dong mbak...

X : Mba Atin sering ga pake antibiotik? Y : Tiap hari..

X : Tiap Hari mbak??Pertama kali pake antibiotik kapan mba?

Y : Sekitar 2 tahunan yang lalu..gara2nya saya badannya pegel2 ngga hilang2 gitu mbak.

X : Trus alasan mba pake antibiotik tiap hari kenapa?

Y : Ya buat mencegah penyakit aja mbak,soalnya sejak itu trus ngga pegel2 lagi.

X : Dulu yang menganjurkan minum antibiotik siapa mba? Dari diri sendiri, temen atau dokter?

Y : Aku dulu minun antibiotik dikasih tau ma temen, ya waktu badannya ngga enak ituloh mbak. katanya biar ga terkena penyakit.

X : Biasanya beli antibiotiknya dimana mbak? Y : Apotik.

X : Kalau beli di Apotik bilangnya piye?

Y : Mbak minta,Amoksisilinnya..langsung dikasih biasa 10 biji. X : Trus dikasih tau ga sama apotiknya cara pake obatnya? Y : Dikasih tau mas, pakenya 3 X sehari da harus dihabisin.

X : Berarti seharusnya mbak tahu dong aturan pake obat gitu? Tapi kok minum tiap hari?

Y : Ya..saya ngga terlau mengerti..kalau minum ya ampe habis 3x sehari emang ngga boleh ya kalau minum tiap hari?

X : Iya mbak,soalnya antibiotik itu bisa ngga berefek lagi loh ngga manjur mbak apalagi kalau minumnya tiap hari dah gitu terus2 lagi selama 2 tahun.


(2)

Y : Oh jadi bisa kebal to mbak?

X : Ya, betul sekali... Kalau beli antibiotik biasanya merk apa mbak? Y : Ya itu tadi Amoksisilin..

X : Oh iya,pernah ngga mbak merasakan efek samping selam pake antibiotik? Y : Ngga pernah tuh mbak...

X : Kalau Penyakit Menular Seksual tahu ngga mbak? Y : Tahu..dong aku pernah ikut penyuluhan

X : Apa coba?

Y : Ya kaya sifilis,GO gituka?

X : Ya, benar banget tapi ngga cuma itu mbak masih,banyak termasuk HIV/AIDS, Klamidia, Kutu Kelamin, dll. Selama kerja disini pernah ngga mbak mengalami gejala-gejala penyakit seperti yang udah tak jelasin tadi? Y : Lum pernah,Cuma pegel2 gitu..

X : Trus mbak tahu, alat kontrasepsi itu apa? Y : Tahu..

X : Apa Dong?

X : Ya kaya kondom, pil KB, suntik KB.. Y : Betul.

X : Lha mbak Atin pake yang mana? pake kondom terus ngga? Y : Slalu mbak,aku takut banget..

X : Bagus,mang tamunya mau?

Y : Ngga semua mau,tapi tak paksa..aku bilang kalau pake kondom pasti aman..

X : Itu sikap yang bagus banget pertahankan ya mbak. demi kesehatan smuanya jadi tamu ama mbak ngga rugi dua-duanya. Ya udah klo gitu aku tak pamit pulang dulu ya mba, udah malam aku dah ngantuk.. Makasih banyak atas informasinya dan jangan lupa pake kondomnya ya mbak!!! Y : Ya, makasih juga ya mbak,hati-hati di jalan...

Responden 9

Usia : 27Tahun Pendidikan : SMA Lama Bekerja : 5 Tahun

Hari/ Tanggal : Selasa 14 November 2006 Waktu : 20.30WIB

Tempat : Pasar Kembang

X : Hallo mbak, gmn kabarnya?

Y : Baik, kemarin sakit ya mbak,mas Riza bilang gitu soalnya mas Riza turun sendiri?

X : Iya mbak waktu pulang dari sini kehujanan deras banget yang malam-malam banget itu mbak,yang lampunya mati..dah nunggu hujan ampe malam eh malah tetap kena pas plngnya,aku nyampe rumah jam 24.30 rekor mbak plng malam,besoknya demam deh ampe tiga hari.


(3)

X : Mbak Nia,aku mau nanya2 boleh ngga mbak,..tapi sekarng kita ngobrol tentang Antibiotik ama Penyakit Menular Seksual aja ya,,,masalah hukum kemarin,aku lagi nanya temanku soalnya aku ngga ngerti masalah pengaduan kekerasan rumah tangga gitu..yang jelas hasil visum dokter kemarin disimpan biar jadi barang bukti ke kepolisian.

Y :Iya,mbak thx perhatiannya..iya mbak mau nanya apa.

X : Tanya tentang obat antibiotik, mbak tahu? Antibiotik itu apa? Y : Tahu.

X : Biasanya pake antibiotik seberapa sering mbak? Y : Ya kalau pas sakit aja...

X : Berarti kalau sakit berobat di dokter gitu baru di kasih obat..?Tahu ngga mbak biasanya dokter kasih antibiotik apa?

Y : Iya,wah aku ngga ingat obatnya apa mbak soalnya kalau sakit obat dari dokter beda2 antibiotiknya..

X : Oh gitu,mang waktu itu mbak Nia sakit apa?

Y : Biasanya Cuma radang tenggorokan ama kalau kencing perih ama panas itu mbak..

X : Trus sampe sekarang masih rutin ke dokternya?

Y : Ya kalau Cuma sakit aja..katanya dokternya obat antibiotik harus minum ampe habis,harus ikut aturannya katanya bisa kebal, jadi saya pasti ikuti semua petunjuk dokter takut mbak kalau kena aneh2,dulu pernah suntik antibiotik ikut-ikut teman tapi ya dah ngga lagi..

X : Emang yang benar seperti itu...Pernah rasa efek sampingnya ngga mbak dari obat antibiotik?

Y : Ngga pernah..

X : Trus mbak pencegahan Penyakit Menular Seksual pake apa?ituloh penyakit yang pernah aku jelasin waktu itu...

Y : Iya aku ingat yang ada GO,Sifilis,HIV/ADIS jugakan mbak? Aku kadang Cuma minum jamu untuk jaga kesehatan yamg pahit-pahit itulah mbak.. X : Wah ternyata mbak Nia masih ingat...kalau kontrasepsi tahukan mbak? Y : Jelas dong mbak,ya salah satunya kondom inikan..aku balik naya nih

mbak, katanya ada kondom perempuan ya mbak?gmn tuh udah ad lum di Indonesia?

X : Wah Mbak Nia pengetahuannya bagus, emang tahu dari mana?Iya emang ada klo di INA sendiri aku lum tahu udah masuk lum, tapi setahuku harganya masih mahal..kemarin dari GL sendiri ngajuin bantuan ke WHO untuk diperbantukan kondom cewek tuh,lumyankan kalau bisa dapat...Mbak Nia sendiri slalu pake kondom ngga?

Y : Ya udah pastilah mbasaya slalu pake kondom. Sayakan punya anak masih kecil kalau saya sakit trus anak saya nanti gimana coba..saya suka baca mbak jadi tahu tentang informasi tadi.

X : Itu bagus banget mbak...emang tamu ngga pernah nolak...?

Y : Itu dah komitmen awal mbak jadi kalau dia ngga mau ya udah,yang jelas saya tetap pake kondom. Makanya kalau ada kondom cwek tambah enak ya mbak..


(4)

X : Iya,setahuku bisa di cuci lagi jadi ngga sekali pake.Mbak makasih ya dah mau ngobrol banyak dengan saya,aku pulang ya mbak dah malam nih,takut kehujanan lagi..

Y : Ya.. mbak hati2..ya jagan sakit lagi ya.. Responden 10

Usia : 37Tahun Pendidikan : SMA Lama Bekerja : 5 Tahun

Hari/ Tanggal : Minggu /29 November 2006 Waktu : 15.30 WIB

Tempat : Pasar Kembang

X : Sore mbak… gimana kabarnya mbak?

Y : Baik..kok tumben sore2 mbak?mbak sendiri gimana kabarnya?

X : Aku juga baek-baek aja kok mbak, tadi iseng kayaknya kalau jalan sore2 enak..

X : Kalau sore ternyata sepi ya mbak? Y : Iya pada tidur...

X : Ini ganggu ngga mbak,soalnya aku mau nanya2 tentang obat antibiotika ama Penyakit Menular Seksual..?

Y : Ya ngga mbak,wong lagi nyante.. X : Disini kerja sudah berapa lama?.

Y :Aku kerja disini dah ada 5 tahunan gitu.. X : Mbak tau tentang antibiotika?.

Y : Aku ngga tahu banget…

X : Antibiotika dapat digunakan untuk mengobati infeksi Contohnya Amoksisilin, Ampisilin, penisilin, dll.Mbak pernah pakai gak?.

Y : Oh itu,aku pake Amoksisilin.. X : Kapan pertama kali mbak pakai?. Y : Sudah lama, aku lupa.

X : Berapa kali dalam sehari mbak minum obat tersebut?.

Y : Wah kalau itu ngga pasti asal badan sakit atau ngga enak tak minum aja.. tapi kadang sebulan tiga kali,ya suka-suka deh mbak..

X : Yang menyarankan minum obat tersebut siapa?. Y : Diri sendiri.

X : Cuma obat itu atau obat apalagi yang biasa mbak pakai?. Y : Kadang Supertetra.. kalau Amok ngga ada..

X : Mbak tau tentang Penyakit Menular Seksual?. Y : Tau, kayak sifilis, AIDS khan?.

X : Ya, Pernah terkena gak?.

Y : Pernah kayaknya, tapi aku lupa.Tapi bukan AIDS.

X : Obat yang mbak pakai bisa tidak berkhasiat lagi, mbak tau gak?. Y : Gak tau, biasanya kalo aku minum sembuh.


(5)

Y : Gak.

X : Aturan pakai obat itu misalnya obat ini diminum sebelum atau sesudah makan, 1 kali sehari, dll. Apa yang mbak lakukan kalo obat tersebut ada aturan pakainya?.

Y : Aku gak pernah liat aturan pakai obat. Kalo sudah sembuh ya sudah. Obat yang aku minum biasanya sebelum makan.

X :Oooo.Selama minum obat tersebut pernah mengalami efek samping?. Y : Gak pernah tuh.

X : Kalau kondom selalu pake ngga mbak? Itu alat kontrasepsi itu mbak.. Y : Kalau itu pasti dan slalu krn aku paling takut ama penyakit2 itu..

X : Bagus dong mbak,ya dah mbak aku pamit pulang dulu ya..dah sore nih.. Y : Ya sam-sma mbak.


(6)

BIOGRAFI PENULIS

Penulis mempunyai nama lengkap Yulia Ratika Siwi dilahirkan di Yogyakarta pada tanggal 4 Juli 1985. Putri pasangan Bapak Endro Kismolo, S.T dan Ibu Widhiati, B.Sc. ini terlahir sebagai anak kedua dari dua bersaudara. Penulis mengawali masa pendidikannya di TK Retno Ningrum Sidoarum Yogyakarta.

Penulis melanjutkan pendidikan Sekolah Dasar di SD BOPKRI Gondolayu Yogyakarta lulus pada tahun 1997. Menempuh pendidikan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama di SLTP Negeri 3 Yogyakarta, lulus pada tahun 2000. Kemudian melanjutkan pendidikan di SMU Negeri 9 Yogyakarta hingga lulus pada tahun 2003. Penulis menyelesaikan pendidikan sarjana di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta (2003-2007). Selama menempuh kuliah, penulis yang gemar melakukan pengabdian masyarakat ini juga aktif sebagai asisten praktikum antara lain praktikum Farmasi Fisika, FTS Solid, Bioanalisis, Biofarmasetika, dan Patologi Klinik. Selain itu, penulis juga aktif dalam berbagai kepanitiaan seperti TITRASI 2004 dan 2005, Koordinator Sie. Acara PMK Apostolos periode 2004-2005, Penganbilan Sumpah Apoteker 2004-2005, PIMFI 2004-2005, dan Workshop Student Centered Learning 2007.


Dokumen yang terkait

Hubungan Pengetahuan dan Sikap Wanita Pekerja Seks Komersial Dengan Tindakan Pencegahan Penyakit Infeksi Menular Seksual (IMS) Di Bandar Baru Kecamatan Sibolangit Tahun 2012

4 47 154

Pengaruh Pelaksanaan Pelayanan Kesehatan Dan Karakteristik Individu Terhadap Keberhasilan Rehabilitasi Sosial Bidang Kesehatan Bagi Pekerja Seks Komersial di Panti Parawasa Kabanjahe tahun 2004

0 29 87

Pengetahuan Dan Sikap Pekerja Seks Komersial (PSK) Tentanginfeksi Menular Seksual (IMS) Di Desa Naga Kesiangan Kecamatan Tebing Tinggi Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2010

4 49 92

Gambaran Infeksi Menular Seksual di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2009.

11 90 71

Gambaran Konsep Diri Pekerja Seks Komersial di Kota Medan.

9 78 138

Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Anak Menjadi Pekerja Seks Komersial di Kota Medan

1 56 104

Presentasi Diri Seorang Pekerja Seks Komersial (Studi Dramaturgi Mengenai Presentasi Diri Seorang Pekerja Seks Komersial di Saritem Bandung)

16 55 103

Prilaku Komunikasi Pekerja Seks Komersial (Studi Deksriptif Mengenai Perilaku Komunikasi Pekerja Seks Komersial di Cafe Dengan pelanggannya di Kota Bandung)

1 6 1

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Infeksi Menular Seksual 2.1.1 Definisi dan Epidemiologi Infeksi Menular Seksual - Studi Kualitatif Pencegahan Penyakit Infeksi Menular pada Komunitas Waria di Kecamatan Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2013

0 1 26

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Infeksi Menular Seksual 2.1.1 Definisi dan Epidemiologi Infeksi Menular Seksual - Pengetahuan dan Sikap Remaja Tentang Infeksi Menular Seksual Di SMA Negeri 7 Medan

0 0 15