Profil peresepan dan evaluasi interaksi obat antihipertensi pada pasien geriatri di instalasi rawat inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta tahun 2005.

(1)

INTISARI

Hipertensi merupakan kejadian yang sering terjadi pada lanjut usia dan merupakan salah satu risiko terjadinya komplikasi-komplikasi berupa penyakit stroke, jantung, diabetes melitus dan ginjal. Penelitian ini bertujuan mengetahui profil peresepan dan evaluasi interaksi obat antihipertensi pada pasien geriatri di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Tahun 2005. Tujuan khusus untuk mengetahui karakteristik pasien, golongan dan jenis obat antihipertensi, jumlah, cara pemberian obat, interaksi obat antihipertensi dengan obat antihipertensi lain dan interaksi obat antihipertensi dengan obat lain.

Penelitian ini termasuk penelitian observasional dengan rancangan penelitian deskriptif non analitik yang bersifat retrospektif. Penelitian dilakukan dalam dua tahap yaitu tahap pengambilan data dan tahap penyelesaian data.

Dari hasil penelitian diperoleh kasus hipertensi sebanyak 81 pasien, berdasarkan umur terdapat 66,7% terjadi pada usia 65-≤75 tahun dan pada usia 76-≤90 tahun terdapat 30,9% serta pada umur diatas 91 tahun sebesar 2,5%. Dilihat dari jenis kelamin, jumlah wanita sebesar 61,8% dan laki-laki (38,3%). Klasifikasi hipertensi berdasarkan JNC VII prehipertensi sebesar 7,4%, hipertensi tingkat 1 sebesar 24,7% dan hipertensi tingkat 2 sebesar 67,9%. Jenis penyakit yang banyak menyertai pasien adalah stroke (41,8%). Rata-rata pasien menginap selama 9 hari. Obat antihipertensi yang banyak digunakan adalah ACE inhibitor (28,5%). Jumlah obat antihipertensi yang banyak digunakan yaitu tunggal sebesar 55,5%. Cara pemberian obat secara oral sebesar 90,9% sedangkan injeksi sebesar 9,1%. Interaksi yang paling sering terjadi adalah interaksi diuretik dan ACE inhibitor yaitu sebesar 25,9%. Interaksi obat antihipertensi dengan obat lain yang paling banyak terjadi yaitu ACE Inhibitor dan antasida sebanyak 28,6%.


(2)

ABSTRACT

Hypertension is incident commonly experienced by older people and one of the risks that result such stroke, heart attack, diabetes mellitus and kidney. This research aimed at knowing the prescription profile and the evaluation of antihypertension interaction in geriatric patient in Treatment Installation of Panti Rapih Hospital of Yogyakarta. The specific goal is to know the geriatric patient characteristics, medicines type and category, the amount of medicine, medicines taking method, the treatment duration and the interaction potential between antihypertension medicine and other antihypertension medicine and interaction between antihypertension medicine and other medicine

This research is an observational research with non analytical descriptive plan. The steps of the research covers collecting data and data analysis.

From the research, it can be obtained the case of hypertension consist of eighty patients, based on the age, there are 66,7% for 65 - ≤75 years old patient, 30,9% % for 76 - ≤90 year old patient, 2,5% for above 91 years old consist of 38.3% men and 61.8% women. While based on the sex total male who suffer from the diseases were lesser than female. The classification of the hypertension based on the JNC VII was prehypertension (7,4%), hypertension level 1 (24.7%) and 67.9% in level 2. The type of hypertension experienced by the patients mostly include in stroke by 41.8%. Patients stay in the hospital 9 day on the overage The antihypertension drugs commonly used in was ACE inhibitor by 28.7%. Total antihypertension drugs largely used was single by 55.5%. Orally medicine given is 90.9% and 9.1% by injection. The most interaction happened between diuretic and ACE inhibitor are 25,9%.The most interaction between antihypertension medicine and other medicine happened between ACE inhibitor and antasida by 28,6%.

Keywords: hypertension, older, prescription profile, drugs interaction


(3)

PROFIL PERESEPAN DAN EVALUASI INTERAKSI OBAT

ANTIHIPERTENSI PADA PASIEN GERIATRI DI INSTALASI

RAWAT INAP RUMAH SAKIT PANTI RAPIH

YOGYAKARTA TAHUN 2005

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Ilmu Farmasi

Oleh : Fitriani NIM : 028114109

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA


(4)

(5)

(6)

Jika kamu merasa lelah dan tidak berdaya dari usaha yang

sepertinya sia-sia,Tuhan tau betapa keras engkau berusaha

Ketika kamu memiliki tujuan untuk

dipenuhi dan mimpi untuk

digenapi, Tuhan sudah

membuka mata dan memanggil

namamu . . .

Tidak penting berapa kali anda jatuh tetapi yang penting adalah

berapa kali anda bangkit kembali (Abraham Lincoln)

Kupersembahkan Skripsiku ini kepada:

Yesus Kristus & Bunda Maria atas bimbingan dan kasih-Nya

Bapak dan Mama tercinta sebagai bakti dan penghargaanku

Saudara-saudaraku tersayang

Mas Anto terkasih dan Almamaterku


(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala anugerah dan bimbingan-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “PROFIL PERESEPAN DAN EVALUASI INTERAKSI OBAT ANTIHIPERTENSI PADA PASIEN GERIATRI DI INSTALASI RAWAT INAP RUMAH SAKIT PANTI RAPIH YOGYAKARTA TAHUN 2005”. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi (S.Farm) Program Studi Ilmu Farmasi Universitas Sanata Dharma.

Penyusunan skripsi ini tidak lepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Rita Suhadi, M.Si., Apt selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma dan selaku dosen penguji yang telah memberikan kritik dan saran kepada penulis.

2. dr. Luciana Kuswibawati, M.Kes yang telah membimbing dan memberikan kritik dan saran kepada penulis.

3. Drs. Mulyono, Apt selaku dosen penguji yang telah memberikan kritik dan saran kepada penulis.

4. Seluruh staf rekam medik di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta.

5. Bapak dan Mama untuk kasih sayang, doa tulus, dukungan dan kepercayaannya yang selalu bisa meyakinkan penulis untuk melakukan yang terbaik.

6. Saudara-saudara penulis: Bang Agus, Ce Emi dan Petro, Veri, Devi atas doa dan dukungan serta sukacita yang diberikan.

7. Saudara- saudaraku atas doa dan dukungan yang telah diberikan.

8. Kak Veron, Bastian, kak Berta atas semua jasanya dalam memulai kehidupan di Yogyakarta

9. Seluruh keluarga Mas Anto untuk dukungannya selama ini.


(8)

11. Saudara-saudaraku Linda Yunita, Linda Bor, Wiwi, Siska, Fina, Tupix, Hen Gere, farah, Langatan atas semua kesempatan untuk lebih menikmati hidup. 12. Rendeng dan keluarga kecilnya atas semua bantuan, keceriaan dan dukungan

yang telah diberikan.

13.Teman-temanku Wira, Duma, Reni, Devi, Via, Tori, Erni, Ulin, Nia, Isna, Tari, atas kebersamaan selama ini

14.Semua teman-teman praktikum kelompok D dan kelas B angkatan 2002 untuk semua dukungan dan bantuan selama ini.

15.Teman-teman KKN: Nana, Wawan, Tomi, Datu, Mei, Inge.

16.Temen-temen kost: Idha, Vina, Sri, Kristin, Tiar, Dani, dan Semua orang terdekat di hati yang dengan tulus mengiringi langkah kaki penulis, dahulu dan sekarang, selalu dan selamanya.

17.Semua pihak yang telah membantu penulis baik secara langsung maupun tidak langsung yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Yogyakarta, 18 Agustus 2007

Penulis


(9)

(10)

INTISARI

Hipertensi merupakan kejadian yang sering terjadi pada lanjut usia dan merupakan salah satu risiko terjadinya komplikasi-komplikasi berupa penyakit stroke, jantung, diabetes melitus dan ginjal. Penelitian ini bertujuan mengetahui profil peresepan dan evaluasi interaksi obat antihipertensi pada pasien geriatri di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Tahun 2005. Tujuan khusus untuk mengetahui karakteristik pasien, golongan dan jenis obat antihipertensi, jumlah, cara pemberian obat, interaksi obat antihipertensi dengan obat antihipertensi lain dan interaksi obat antihipertensi dengan obat lain.

Penelitian ini termasuk penelitian observasional dengan rancangan penelitian deskriptif non analitik yang bersifat retrospektif. Penelitian dilakukan dalam dua tahap yaitu tahap pengambilan data dan tahap penyelesaian data.

Dari hasil penelitian diperoleh kasus hipertensi sebanyak 81 pasien, berdasarkan umur terdapat 66,7% terjadi pada usia 65-≤75 tahun dan pada usia 76-≤90 tahun terdapat 30,9% serta pada umur diatas 91 tahun sebesar 2,5%. Dilihat dari jenis kelamin, jumlah wanita sebesar 61,8% dan laki-laki (38,3%). Klasifikasi hipertensi berdasarkan JNC VII prehipertensi sebesar 7,4%, hipertensi tingkat 1 sebesar 24,7% dan hipertensi tingkat 2 sebesar 67,9%. Jenis penyakit yang banyak menyertai pasien adalah stroke (41,8%). Rata-rata pasien menginap selama 9 hari. Obat antihipertensi yang banyak digunakan adalah ACE inhibitor (28,5%). Jumlah obat antihipertensi yang banyak digunakan yaitu tunggal sebesar 55,5%. Cara pemberian obat secara oral sebesar 90,9% sedangkan injeksi sebesar 9,1%. Interaksi yang paling sering terjadi adalah interaksi diuretik dan ACE inhibitor yaitu sebesar 25,9%. Interaksi obat antihipertensi dengan obat lain yang paling banyak terjadi yaitu ACE Inhibitor dan antasida sebanyak 28,6%.


(11)

ABSTRACT

Hypertension is incident commonly experienced by older people and one of the risks that result such stroke, heart attack, diabetes mellitus and kidney. This research aimed at knowing the prescription profile and the evaluation of antihypertension interaction in geriatric patient in Treatment Installation of Panti Rapih Hospital of Yogyakarta. The specific goal is to know the geriatric patient characteristics, medicines type and category, the amount of medicine, medicines taking method, the treatment duration and the interaction potential between antihypertension medicine and other antihypertension medicine and interaction between antihypertension medicine and other medicine

This research is an observational research with non analytical descriptive plan. The steps of the research covers collecting data and data analysis.

From the research, it can be obtained the case of hypertension consist of eighty patients, based on the age, there are 66,7% for 65 - ≤75 years old patient, 30,9% % for 76 - ≤90 year old patient, 2,5% for above 91 years old consist of 38.3% men and 61.8% women. While based on the sex total male who suffer from the diseases were lesser than female. The classification of the hypertension based on the JNC VII was prehypertension (7,4%), hypertension level 1 (24.7%) and 67.9% in level 2. The type of hypertension experienced by the patients mostly include in stroke by 41.8%. Patients stay in the hospital 9 day on the overage The antihypertension drugs commonly used in was ACE inhibitor by 28.7%. Total antihypertension drugs largely used was single by 55.5%. Orally medicine given is 90.9% and 9.1% by injection. The most interaction happened between diuretic and ACE inhibitor are 25,9%.The most interaction between antihypertension medicine and other medicine happened between ACE inhibitor and antasida by 28,6%.

Keywords: hypertension, older, prescription profile, drugs interaction


(12)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v

INTISARI ... vi

ABSTRACT ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB I. PENGANTAR ... 1

A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Perumusan Masalah ... 3

C. Keaslian Penelitian ... 3

D. Manfaat Penelitian ... 4

E. Tujuan Penelitian ... 5

BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA ... 6

A. Hipertensi ... 6

1. Definisi ... 6

2. Penyebab ... 7

3. Patofisiologi ... 7

4. Manifestasi Klinis ... 8

5. Diagnosis ... 9

6.Tujuan dan Sasaran Pengobatan... 9

7. Strategi Terapi... 10

B. Obat Antihipertensi ... 15


(13)

2. Beta Bloker ... 16

3. Vasodilator ... 17

4. ACE Inhibitor ... 17

5. Antagonis Kalsium ... 18

6. Antagonis Reseptor Angiotensin II .. ... 18

7. Antihipertensi Bekerja di Sentral .... ... 19

C. Obat Non Antihipertensi ... 20

1. Obat Antihiperlipidemia ... 20

2. Obat Antiangina ... 21

3. Obat Analgesik ... 21

4. Obat Gout ... 22

D. Penggunaan Obat Rasional ... 22

E. Geriatri ... 24

a. Farmakokinetika usia lanjut ... 24

b. Perubahan farmakodinamik usia lanjut ... 26

C. Interaksi Obat ... 27

1. Interaksi farmasetika ... 29

2. Interaksi farmakokinetika ... 29

3. Interaksi farmakodinamik ... 30

D. Keterangan Empiris ... 31

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ... 32

A. Jenis dan Rancangan Penelitian ... .. . 32

B. Definisi Operasional ... .. 32

C. Subyek Penelitian ... 33

D. Bahan Penelitian ... ... 33

E. Lokasi Penelitian ... ... 34

F. Tata Cara Pengumpulan Data ... 34

G. Tata Cara Analisis Hasil ... 35

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 36

A. Gambaran Subjek Uji... 36


(14)

2. Pasien ditinjau dari Umur .. ... 37

3. Klasifikasi Pasien berdasarkan JNC VII ... 38

4. Penyakit Lain yang Menyertai Pasien Hipertensi ... 39

5. Lama perawatan pasien hipertensi geriatri .. ... 41

B. Profil Peresepan Obat Antihipertensi .. ... 43

1. Golongan dan Jenis Obat Antihipertensi ... ... 43

2. Golongan dan Jenis Obat Non Antihipertensi ... 47

3. Jumlah Obat ... 49

4. Kesesuaian Pemilihan Obat Antihipertensi dengan Diagnosis ... 53

5. Cara pemberian obat ... 55

C. Evaluasi Interaksi Obat ... ... 56

1. Interaksi Obat Antihipertensi dengan Obat Antihipertensi Lain ... 58

a. diuretik dan ACE inhibitor ... 59

b. diuretika dan AH yang bekerja di sentral ... 59

c. diuretika dan β-bloker ... 59

d. diuretika dan antagonis kalsium ... 59

e. diuretika dan antagonis reseptor angiotensin II ... 59

f. ACE inhibitor dan AH yang bekerja di sentral ... 60

g. ACE inhibitor dan antagonis kalsium ... 60

h ACE inhibitor dan antagonis reseptor angiotensin II ... 60

i AH yang bekerja di sentral dan beta-bloker ... 60

j. AH yang bekerja di sentral dan antagonis kalsium ... 61

k. AH bekerja disentral dan antagonis reseptor angiotensin II ... 61

l. beta-bloker dan antagonis kalsium ... 61

m. beta-bloker dan antagonis reseptor angiotensin II ... 61

n. antagonis kalsium dan antagonis reseptor angiotensin .... 62

2. Interaksi Obat Antihipertensi dengan Obat Lain ... 62


(15)

b. ACE inhibitor dan antasida ... 64

c. ACE inhibitor dan NSAIDs ... 64

d. ACE inhibitor dan alupurinol ... 65

e. loop diuretik dan NSAIDs ... 65

f. loop diuretik dan kolestiramin ... 66

g. beta-bloker dan antasida ... 66

h. beta-bloker dan NSAIDs ... 67

C. Rangkuman Pembahasan ... 67

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 69

A. Kesimpulan ... 69

B. Saran ... 69

DAFTAR PUSTAKA ... ... 71

LAMPIRAN ... . 74


(16)

DAFTAR TABEL

Tabel halaman I. Klasifikasi Tekanan Darah Untuk Pasien >18 Tahun

Menurut Joint National Committee VII ... ……… 6 II. Modifikasi Pola Hidup dalam Penatalaksanaan Hipertensi

Menurut JNC VII.. ... 11 III. Panduan Pemberian Obat Antihipertensi pada Pasien dengan

Indikasi Penyulit Menurut JNC VII .... ... 12 IV. Perubahan Fisiologis yang Mempengaruhi Proses Kinetika

pada Geriatri... 26 V. Distribusi Jenis Diagnosis Penyakit Lain yang menyertai Pasien

Hipertensi Geriatri di Instalasi Rawat Inap RSPR tahun

2005... 39 VI. Lama perawatan pasien hipertensi geriatri di instalasi

Rawat Inap RSPR tahun 2005... 42 VII. Distribusi Jenis dan Golongan Obat Antihipertensi yang

digunakan di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih

Tahun 2005 ... 44 VIII. Distribusi Golongan dan Jenis Obat Lain Berdasarkan Kelas Terapi

yang Digunakan di Instalasi RSPR Tahun 2005 ... 47 IX. Distribusi Jumlah Obat Antihipertensi yang Digunakan di

Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih tahun 2005... 49 X. Distribusi Penggunaan Kombinasi tiga Golongan Obat Antihipertensi

pada Pasien Geriatri di Instalasi RSPR Tahun 2005 ... 52 XI. Kesesuaian Pemilihan Obat Antihipertensi pada Pasien Hipertensi

Geriatri Menurut JNC VII ... 53 XII. Persentasi Cara Pemberian Obat Antihipertensi di Instalasi Rawat


(17)

XIII. Distribusi Interaksi Golongan Obat Antihipertensi dengan Golongan Obat Antihipertensi di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Tahun 2005 ... 56 XIV. Distribusi Interaksi Jenis Obat Anithipertensi dengan Jenis

Obat Antihipertensi di Instalasi RSPR Tahun 2005 ... 57 XV. Distribusi Interaksi dan Golongan Obat Antihipertensi

dengan Golongan Obat Lain di Instalasi Rawat Inap RSPR

Tahun 2005 ... 63 XVI. Distribusi Interaksi Obat Antihipertensi dengan Obat Lain di


(18)

DAFTAR GAMBAR

Gambar halaman

1. Algoritma Terapi Hipertensi berdasarkan JNC VII ... 14 2. Klasifikasi Jenis Kelamin Pasien Hipertensi Geriatri di Instalasi

Rawat Inap Rumah Sakit panti Rapih tahun 2005 ... 36 3. Distribusi Umur Pasien Hipertensi Di Instalasi Rawat Inap

Rumah Sakit Panti Rini Tahun 2004 ... 38 4. Klasifikasi Pasien Hipertensi Geriatri Berdasarkan JNC VII di

Instalasi Rawat Inap RSPR tahun 2005 ... 39 7. Distribusi Jumlah Penggunaan Obat Antihipertensi secara Tunggal

di Instalasi Rawat Inap RSPR Yogyakarta Tahun 2005 ... 50 8. Distribusi Penggunaan Kombinasi Dua Jenis Obat Antihipertensi

di Instalasi Rawat Inap RSPR Yogyakarta Tahun 2005 ... 51


(19)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran halaman

1. Umur, Jenis kelamin, Diagnosis Penyakit, Lama Inap, Golongan Obat Antihipertensi pada Pasien Geriatri Berdasarkan Rekam Medis di Instalasi Rawat Inap RSPR Yogyakarta tahun 2005 ... 74 2. Data Umum Pasien Hipertensi Geriatri di Instalasi Rawat Inap

Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta tahun 2005 ..... 77 3. Daftar Diagnosa Kematian Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta

Tahun 2005 ... 103 4. Standar Pelayanan Medik Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta ... 104


(20)

BAB I

PENGANTAR

A. Latar Belakang

Hipertensi merupakan salah satu penyakit yang paling umum ditemukan di negara maju dan mempunyai angka kejadian yang tinggi di masyarakat. Hal ini disebabkan karena kebiasaan makanan dan pola hidup sehari-hari. Hipertensi cenderung meningkat sejalan dengan perubahan gaya hidup masyarakat yang mengarah ke pola hidup negara industri. Data penderita hipertensi masyarakat Indonesia sesuai laporan WHO menunjukkan bahwa kira-kira 50% penderita hipertensi tidak mengetahui dan tidak sadar bahwa tekanan darah mereka meninggi dan dari 50% orang yang diketahui menderita hipertensi hanya 25% yang mendapat pengobatan dan hanya 12,5% yang diobati dengan baik (Darmojo, 2004).

Usia lanjut menurut WHO adalah seseorang dengan umur 65 tahun atau lebih sedangkan menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia adalah yang berusia diatas 60 tahun. Di negara-negara maju, lebih dari 60% populasi geriatri menderita hipertensi (Darmojo, 2004). Laporan dari studi penyakit jantung Framingham menunjukkan bahwa setelah usia pertengahan dan lanjut usia 90% mengalami hipertensi di dalam sisa hidupnya. Hipertensi pada lansia merupakan salah satu risiko yang paling penting untuk terjadinya komplikasi-komplikasi berupa penyakit jantung, diabetes dan stroke, sehingga hipertensi memerlukan penanganan yang tepat dan segera (Siburian, 2004).


(21)

Di Indonesia penduduk dengan usia 65 tahun jumlahnya terus meningkat dan mereka merupakan pengguna obat yang paling utama. Timbulnya berbagai penyakit akan meningkat dengan bertambahnya usia. Oleh karena itu, pasien lanjut usia memerlukan lebih banyak obat terutama bagi mereka yang menderita bermacam-macam penyakit (Prest, 2003).

Rumah Sakit Panti Rapih (RSPR) adalah salah satu rumah sakit swasta yang berada di Yogyakarta yang terletak di jalan Cik Dik Tiro nomor 30. Rumah Sakit Panti Rapih mempunyai misi menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang menyeluruh secara ramah, adil, profesional, ikhlas, hormat dan semangat Katolik yang gigih membela hak hidup insani dan berpihak kepada yang berkekurangan (Anonim,1998). Rumah Sakit Panti Rapih merupakan rumah sakit rujukan yang cukup besar dengan jumah pasien yang cukup banyak untuk diteliti dibandingkan dengan lembaga pelyanan kesehatan lain.

Sebagai lembaga pelayanan kesehatan, RSPR terlibat dalam penanganan pasien hipertensi geriatri. Tercatat pada tahun 2003 RSPR merawat 166 pasien hipertensi geriatri (31,3%) dari 530 pasien hipertensi. Pada tahun 2004 merawat 121 pasien hipertensi geriatri (25,7%) dari 471 pasien hipertensi. Berdasarkan daftar diagnosa kematian, hipertensi di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta sepanjang tahun 2005 menduduki peringkat ketiga. Melihat cukup banyaknya kasus hipertensi terjadi pada pasien geriatri, maka perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui seperti apakah profil peresepan obat antihipertensi dan evaluasi interaksi obat antihipertensi pada geriatri di Instalasi Rawat Inap RSPR tahun 2005.


(22)

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut maka dapat disusun perumusan masalah - masalah sebagai berikut ini, seperti apa:

1. karakteristik pasien hipertensi geriatri di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta tahun 2005 yang meliputi jenis kelamin, umur, klasifikasi hipertensi menurut VII, penyakit penyerta, lama perawatan?

2. gambaran profil peresepan antihipertensi pada pasien geriatri di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta tahun 2005, meliputi golongan dan jenis obat antihipertensi, golongan dan jenis obat non antihipertensi, jumlah obat antihipertensi, kesesuaian pemilihan obat antihipertensi berdasarkan JNC VII serta cara pemberian?

3. evaluasi interaksi obat antihipertensi pada pasien geriatri di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta tahun 2005, meliputi interaksi obat antihipertensi dengan obat antihipertensi lain dan interaksi obat antihipertensi dengan obat lain?

C. Keaslian Penelitian

Penelitian serupa pernah dilakukan Lidia (2005) dengan judul Profil Peresepan Antihipertensi pada Pasien Lanjut Usia di Instalasi Rawat Inap di Rumah Sakit Panti Nugroho Yogyakarta tahun 2002. Penelitian ini berbeda dalam hal lokasi dan waktu penelitian. Penelitian ini menggunakan lokasi instalasi rawat inap Rumah Sakit Panti Rapih dan waktu penelitian yaitu tahun 2005.

Penelitian tentang profil peresepan serupa juga pernah dilakukan oleh Prasetyo (2005) yaitu tentang Profil Peresepan Obat Antihipertensi pada Pasien


(23)

Hipertensi di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta tahun 2004. Penelitian ini berbeda dalam hal objek, lokasi dan waktu penelitian serta evaluasi interaksinya. Penelitian ini menggunakan instalasi rawat inap Rumah Sakit Panti Rapih Tahun 2005 dan objek yang diteliti lebih spesifik yaitu pasien hipertensi geriatri. Evaluasi interaksi pada penelitian ini membahas interaksi obat antihipertensi dengan obat antihipertensi lain dan interaksi obat antihipertensi dengan obat lain sedangkan penelitian Prasetyo (2005) hanya membahas tentang interaksi obat antihipertensi dengan obat antihipertensi lain.

D. Manfaat Penelitian

Tinjauan profil peresepan obat antihipertensi pada pasien geriatri di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta tahun 2005, manfaat hasil penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Manfaat teoritis

Dapat digunakan sebagai informasi untuk mengembangkan konsep pelayanan farmasi di rumah sakit.

2. Manfaat praktis

a. hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai referensi untuk bahan pertimbangan mutu pelayanan kesehatan melalui penggunaan obat secara rasional khususnya pada pasien lanjut usia.

b. dapat dijadikan referensi untuk penyusunan standar terapi di suatu rumah sakit atau pelayanan kesehatan yang lain.


(24)

E. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui profil peresepan dan evaluasi interaksi antihipertensi pada pasien geriatri di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta tahun 2005.

2. Tujuan Khusus

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui beberapa hal, khususnya tentang:

a. karakteristik pasien hipertensi geriatri di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta tahun 2005, yang meliputi jenis kelamin, umur, klasifikasi hipertensi menurut JNC VII, penyakit penyerta, lama perawatan.

b. profil peresepan pasien hipertensi geriatri di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta tahun 2005, yang meliputi golongan dan jenis obat antihipertensi, golongan dan jenis obat non antihipertensi, jumlah obat antihipertensi, kesesuaian pemilihan obat antihipertensi berdasarkan JNC VII, serta cara pemberian.

c. evaluasi interaksi obat antihipertensi pada pasien geriatri di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta tahun 2005, meliputi interaksi obat antihipertensi dengan obat antihipertensi lain dan interaksi obat antihipertensi dengan obat lain.


(25)

BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA

A. Hipertensi

1. Definisi

Hipertensi adalah keadaan tekanan darah sistolik 140 mmHg atau lebih dan tekanan diastolik 90 mmHg atau lebih dan diukur lebih dari satu kali kesempatan (Chobanian, Bakris, Black, Cushman, Green, and Joseph, 2003). Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (JNC) VII mengklasifikasikan tekanan darah untuk usia 18 tahun ke atas menjadi empat kelompok yaitu tekanan darah normal, prehipertensi, hipertensi tingkat 1, dan hipertensi tingkat 2. Pasien yang tekanan darahnya berada dalam kategori prehipertensi memiliki risiko dua kali lebih besar untuk terkena hipertensi dibanding dengan orang yang tekanan darahnya lebih rendah (Chobanian, et al., 2003).

Tabel I. Klasifikasi Tekanan Darah Untuk Pasien >18 Tahun Menurut Joint National Committee VII (Chobanian, et al., 2003)

Klasifikasi Tekanan Darah

Tekanan Darah Sistolik (mmHg)

Tekanan Darah Diastolik (mmHg)

Normal <120 <80

Prehipertensi 120-139 80-89

Hipertensi tingkat 1 140-159 90-99

Hipertensi tingkat 2 ≥160 ≥100

2. Penyebab

Berdasarkan penyebabnya, hipertensi dibagi menjadi hipertensi essensial dan hipertensi sekunder. Hipertensi essensial atau primer adalah hipertensi yang


(26)

tidak jelas penyebabnya, biasanya disebabkan oleh kombinasi beberapa faktor. Bukti epidemiologis menunjuk pada faktor genetik dan pola gaya hidup yang diduga sebagai penyebab terjadinya hipertensi essensial (William, 2001). Hipertensi dapat diwariskan dari orang tua kepada anak. Meskipun demikian munculnya hipertensi lebih berhubungan dengan pola hidup bukan keturunan. Pola hidup antara lain stres, asupan garam, dan alkohol (Clarke and Hebron, 1999).

Berbeda dari hipertensi essensial, hipertensi sekunder dapat diketahui penyebabnya. Penyebabnya adalah pengunaan obat yang dapat meningkatkan tekanan darah, sebagai contoh kortikosteroid, sibutramin, eritropoetin. Penyebab lain adalah penyakit penyerta seperti ginjal, endokrin (Chobanian, et al., 2003).

3. Patofisiologi

Tekanan darah adalah hasil dari curah jantung dan resistensi perifer yang dapat dirumuskan: Tekanan Darah = Curah Jantung x Total Resistensi Perifer. Jika curah jantung mengalami kenaikan dan resistensi pembuluh darah perifer normal maka tekanan darah akan meningkat. Resistensi perifer dipengaruhi oleh viskositas darah, diameter pembuluh darah. Viskositas darah yang semakin meningkat membutuhkan tekanan darah yang semakin tinggi pula agar darah dapat mengalir melalui pembuluh darah. Tekanan darah yang tinggi diperlukan untuk mendorong darah melalui pembuluh darah yang mengalami penyempitan (Setiawati dan Bustami, 1995).

Pengaturan tekanan darah dikontrol oleh saraf simpatis. Baroreseptor perifer yang mendeteksi adanya perubahan mengirim pesan ke pusat


(27)

kardiovaskuler di otak bagian medula. Hal ini akan memacu saraf untuk mengubah tekanan darah. Stimulasi pada adrenoreseptor ß1 di jantung akan meningkatkan kontraksi jantung. Stimulasi pada adrenoreseptor ß2 dalam arteri mengakibatkan vasodilatasi, sedangkan stimulasi pada adrenoreseptor 1 di arteri mengakibatkan vasokonstriksi (Saseen dan Carter, 2005).

Pengaturan tekanan darah juga dipengaruhi ginjal melalui sistem renin angiotensin-aldosteron. Renin merupakan enzim yang diproduksi di juktaglomerular. Jika ada perubahan tekanan darah di ginjal dan berkurangnya kadar natrium, klorida, kalium maka renin akan dilepaskan dari juktaglomerular aparatus. Renin akan mengubah angiotensinogen menjadi angiotensin I di dalam darah, kemudian diubah menjadi angiotensin II oleh angiotensin converting enzyme (ACE). Angiotensin II menyebabkan vasokontriksi. Angiotensin II juga dapat menstimulasi sintesis aldosteron dari adrenal korteks sehingga terjadi peningkatan tekanan darah (Saseen dan Carter, 2005).

4. Manifestasi Klinis

Hipertensi jarang memperlihatkan gejala yang spesifik sehingga pasien yang didiagnosis hipertensi kebanyakan dari mereka merasa sehat. Tanda utama hipertensi primer adalah kenaikan tekanan darah. Manifestasi lain seperti hidung berdarah dan mudah lelah (Clarke and Hebron, 1999). Keluhan lain yang berhubungan dengan peningkatan tekanan darah antara lain pusing, cepat lemas, dan impotensi. Gejala lain akibat komplikasi hipertensi adalah gangguan penglihatan, neurologi, jantung dan gangguan fungsi ginjal (Santoso, 2006).


(28)

5.Diagnosis

Diagnosis hipertensi didasarkan pada peningkatan tekanan darah yang terjadi pada pengukuran berulang. Diagnosis digunakan sebagai prediksi terhadap konsekuensi yang dihadapi pasien (Benowitz, 2001). Menurut JNC VII, diagnosis hipertensi ditegakkan berdasarkan sekurang-kurangnya dua kali pengukuran tekanan darah pada saat yang berbeda. Diagnosis hipertensi ditegakkan bila dari pengukuran berulang-ulang tersebut diperoleh nilai rata-rata tekanan darah diastolik 90 mmHg atau tekanan darah sistolik 140 mmHg. Diagnosis hipertensi boleh ditegakkan berdasarkan sekali pengukuran bila tekanan darah diastolik ≥120 mmHg dan atau tekanan darah sistolik ≥210 mmHg (Setiawati dan Bustami,1995).

Parameter Mean Arterial Pressure (MAP) dapat digunakan untuk menggambarkan tekanan darah. Pada tekanan darah normal nilai MAP adalah

70-100 mmHg. Mean Arterial Pressure =

(

)

,

3 TDD

TDD TDS

+ −

dimana TDS adalah

tekanan darah sistolik dan TDD adalah tekanan darah diastolik. Sebagai contoh, jika tekanan darah sistolik 120 mmHg dan tekanan darah diastolik 80 mmHg maka MAP adalah 93 mmHg, dimana nilai 93 mmHg terdapat dalam range tekanan darah normal.

6.Tujuan dan Sasaran Terapi

Tujuan pengobatan hipertensi adalah mencegah terjadinya morbiditas dan mortalitas kardiovaskuler akibat tekanan darah tinggi. Ini berarti tekanan darah harus diturunkan hingga tidak mengganggu fungsi ginjal, otak, jantung, maupun kualitas hidup, sambil mengendalikan faktor-faktor resiko kardiovaskuler lainnya


(29)

(Anonim, 2000). Pada Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (JNC) VII menyatakan sasaran tekanan darah yang ingin dicapai untuk sebagian besar pasien kurang dari 140/90 mmHg atau kurang dari 130/80 mmHg untuk pasien dengan diabetes melitus atau penyakit ginjal kronis.

Kebanyakan pasien hipertensi khususnya yang berumur lebih dari 50 tahun akan mencapai sasaran tekanan darah diastolik setelah tekanan darah sistoliknya tercapai. Oleh karena itu fokus utama sebaiknya pada pencapaian sasaran tekanan darah sistolik (Chobanian, et al., 2003). Pada umumnya obat-obat antihipertensi menurunkan tekanan darah dengan cara mengurangi curah jantung atau menurunkan resistensi perifer. Pada hipertensi sistolik dibutuhkan terapi obat yang efektif menurunkan tekanan sistolik namun juga memperhatikan tekanan diastolik (Anonim, 2001).

7. Strategi Terapi

Strategi penatalaksanaan hipertensi meliputi beberapa tahap yaitu, memastikan bahwa tekanan darah benar-benar mengalami kenaikan pada pengukuran berulang kali, menentukan target dalam penurunan tekanan darah, melakukan terapi non farmakologis meliputi pengamatan secara umum terhadap pola hidup pasien, kemudian terapi farmakologis meliputi pengoptimalan penggunaan obat tunggal antihipertensi dalam terapi, bila perlu berikan kombinasi penggunaan obat antihipertensi, dan melakukan monitoring secara rutin. Terapi hipertensi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu terapi non farmakologis dan terapi farmakologis (Greene and Harris, 1999).


(30)

Terapi non farmakologis dilakukan dengan modifikasi pola hidup yang berguna untuk menurunkan tekanan darah pada penderita hipertensi. Modifikasi pola hidup terbukti dapat menurunkan tekanan darah, menambah efektifitas penggunaan obat antihipertensi, dan menurunkan resiko kardiovaskuler. Modifikasi utama pola hidup yang dapat menurunkan tekanan darah antara lain penurunan berat badan pada kasus obesitas, pengurangan asupan kalium, asupan natrium, dan kalsium, melakukan kegiatan fisik seperti olahraga ringan, dan mengurangi konsumsi alkohol (Chobanian, et al., 2003).

Tabel II. Modifikasi Pola Hidup dalam Penatalaksanaan Hipertensi Menurut JNC VII (Chobanian, et al., 2003)

Modifikasi Rekomendasi Perkiraan penurunan tekanan darah (mmHg) Penurunan berat badan

Menjaga berat badan normal (Body Mass Index 18,5-24,9 kg/m2)

5-20 per 10 Kg penurunan berat

badan Pola makan

Mengkonsumsi buah-buahan, sayuran, dan makanan rendah kadar

lemak

8-14 Kurangi asupan

natrium

Kurangi asupan natrium < 2,4 gram

perhari 2-8

Aktivitas fisik Olahraga teratur seperti aerobik

ringan minimal 30 menit per hari 4-9

Kurangi alkohol

Membatasi konsumsi alkohol, pada pria tidak lebih dari 30 ml etanol per hari dan pada wanita tidak lebih dari

15 etanol ml per hari

2-4

Terapi farmakologis dilakukan dengan pemberian obat-obat antihipertensi secara rasional. Biasanya pemilihan obat antihipertensi terwujud dalam resep dokter. Peresepan yang rasional meliputi tepat dosis, tepat pasien, tepat penderita,


(31)

tepat penderita, tepat cara pemberian, tepat jumlah atau frekuensi serta lama pemberian, tepat secara ekonomis, tepat pemberian informasi, tepat monitoring efek samping obat. Proses terapi hipertensi membutuhkan waktu yang panjang dan biasanya pengobatan hipertensi berlangsung seumur hidup. Untuk itu, dibutuhkan strategi terapi yang tepat dan rasional (Prastowo,1995).

Pengobatan dengan antihipertensi harus dimulai dengan dosis yang terendah obat tersebut yang masih efektif menurunkan tekanan darah. Dosis dinaikkan bila efek terapeutik yang sesuai belum tercapai. Kombinasi dengan obat antihipertensi lain diberikan bila tekanan darah masih tetap belum terkendali. Ganti obat antihipertensi dengan golongan lain bila tidak ada respon atau tidak ditoleransi oleh pasien (Rahardjo, 2001).

Tabel III. Panduan Pemberian Obat Antihipertensi pada Pasien dengan Indikasi Penyulit Menurut JNC VII (Chobanian et al, 2003)

Antihipertensi yang direkomendasikan Indikasi

Penyulit Diuretika Inhibitor ACE Beta-bloker

Antagonis reseptor angiotensin II

Antagonis Ca

Antagonis aldosteron

Gagal

jantung √ √ √ √ - √

Infark

miokard - √ √ - - √

Penyakit

koroner √ √ √ - √ -

Diabetes

melitus √ √ √ √ √ -

Ginjal

kronik - √ - √ - -


(32)

Algoritme dari penatalaksanaan hipertensi berdasarkan JNC VII:

Hipertensi tingkat 1 umumnya menggunakan Diuretik jenis Thiazid dapat

dianjurkan ACE inhibitor, ARB, beta-bloker,CCB,

atau kombinasi

Obat antihipertensi sesuai dengan indikasi penyakit

penyulit. Obat antihipertensi lain ACE inhibitor, ARA,

beta-bloker, atau kombinasi Terapi farmakologi

Hipertensi dengan penyakit tambahan

Hipertensi tingkat 2 kombinasi dua jenis obat

antihipertensi (diuretik jenis tiazid dan ACE inhibitor atau ARB,

beta-bloker, CCB ) Hipertensi tanpa penyakit tambahan

Target tekanan darah tidak tercapai

Lakukan peningkatan dosis atau tambahan obat antihipertensi hingga target tekanan darah tercapai, konsultasikan dengan ahli hipertensi

Tidak mencapai sasaran terapi tekanan darah (<140/90 mmHg atau <130/ 80 mmHg untuk pasien dengan penyakit diabetes

dan ginjal) Modifikasi gaya hidup

Gambar 1. Algoritma Terapi Antihipertensi berdasarkan JNC VII (Chobanian, et al., 2003).


(33)

B. Obat Antihipertensi

Terapi antihipertensi pada pasien hipertensi usia lanjut dapat mengurangi kematian akibat kardiovaskuler dan komplikasi dengan penyakit lain pada pasien lanjut usia dengan hipertensi sistolik secara bermakna (Saseen dan Carter, 2005).

1. Diuretik

Diuretik menurunkan tekanan darah terutama dengan cara mendeplesikan simpanan natrium tubuh. Awalnya, diuretik menurunkan tekanan darah dengan menurunkan volume darah dan curah jantung, tahanan vaskuler perifer (Benowitz, 2001). Penurunan tekanan darah dapat terlihat dengan terjadinya diuresis. Diuresis menyebabkan penurunan volume plasma dan stroke volume yang akan menurunkan curah jantung dan akhirnya menurunkan tekanan darah (Saseen dan Carter, 2005). Obat-obat diuretik yang digunakan dalam terapi hipertensi yaitu : a. diuretik golongan tiazid

Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (JNC) VII merekomendasikan diuretik tiazid sebagai antihipertensi pilihan pertama dalam terapi hipertensi tanpa penyakit penyerta. Tiazid merupakan diuretik yang bekerja dengan cara menghambat reabsorpsi natrium pada tubulus distal. Diuretik tiazid mulai bekerja 1-2 jam setelah pemberian secara oral dengan durasi selama 12-24 jam. Sebagai contoh bendrofluazid, klortalidon, klorotiazid, klopamid, indapamid (Anonim, 2000). b. diuretik kuat

Dalam terapi hipertensi, diuretik kuat merupakan antihipertensi yang lebih kuat dibanding dengan diuretik tiazid. Diuretik kuat bekerja menurunkan tekanan


(34)

darah dengan cara menghambat reabsorpsi natrium dan klorida pada ascending loop henle dan di tubulus distal ginjal. Sebagai contoh yaitu frusemid, bumetanid, torasemid (Anonim, 2000).

c. diuretik hemat kalium

Diuretik hemat kalium merupakan antagonis aldosteron. Mekanisme kerjanya dengan cara berkompetisi dengan aldosteron pada bagian reseptor di tubulus distal, sehingga dapat menghambat efek aldosteron pada otot halus arteriola dengan baik, meningkatkan eksresi garam dan air, mencegah kehilangan kalium dan ion hidrogen (Lacy dkk, 2003). Jenis diuretik ini merupakan diuretik lemah. Obat-obat yang termasuk dalam golongan diuretik ini adalah amilorid, spironolakton, dan triamteren. Penggunaannya terutama dalam kombinasi dengan diuretik lain untuk mencegah atau mengurangi efek hipokalemia dari diuretik lain (Setiawati dan Bustami, 1995). Diuretik hemat kalium berguna untuk menghindari terjadinya deplesi kalium yang berlebihan (Benowitz, 2001).

2. Penghambat Adrenergik (beta-bloker)

Mekanisme kerja beta-bloker sebagai antihipertensi masih belum jelas. Diperkirakan ada beberapa cara pengurangan denyut jantung dan kontraktilis miokard menyebabkan curah jantung berkurang. Selain itu adrenoreseptor β juga terletak pada permukaan membran dari sel juxtaglomerular dan penyekat adrenoreseptor β menghambat pelepasan renin. Penghentian penggunaan penghambat β secara tiba-tiba juga dapat menyebabkan kenaikan tekanan darah secara tiba-tiba dengan nilai tekanan darah diatas nilai sebelum terapi. Untuk menghindari hal ini, maka dosis pemberian penghambat β ditingkatkan bertahap


(35)

selama selama 1 sampai 2 minggu sebelum akhirnya melanjutkan pemakaian obat ini (Saseen dan Carter, 2005). Obat-obat beta-bloker yang sering digunakan adalah yang sering digunakan adalah atenolol, betaksolol, labetolol

3. Vasodilator

Obat antihipertensi golongan ini menurunkan tekanan darah dengan merelaksasi otot polos vaskuler sehingga menurunkan tahanan vaskuler sistemik yang menyebabkan dilatasi pembuluh darah. Penurunan tahanan arteri menimbulkan respon kompensasi oleh baroreseptor dan sistem saraf simpatis. Termasuk dalam kelas terapi ini adalah hidralazin dan minoxidil (Benowitz, 2001). Kompensasi yang terjadi akibat aktifitas baroreseptor seperti peningkatan aliran keluar sistem saraf simpatis yang menyebabkan peningkatan denyut jantung, peningkatan curah jantung, dan pelepasan renin. Selain itu juga terjadi retensi air dan garam yang mana hal–hal tersebut diatas melawan efek hipotensi dari vasodilator. Oleh karena itu, pemberian vasodilator harus diberikan bersama dengan diuretik dan penghambat β untuk mengatasi adanya kompensasi dari baroreseptor (Saseen dan Carter, 2005).

4. Penghambat Enzim Konversi Angiotensin (ACE inhibitor)

Penghambat enzim pengkonversi angiotensin dianggap sebagai terapi kedua setelah diuretik pada kebanyakan pasien hipertensi (Chobanian, et al., 2003). Penghambat enzim konversi angiotensin bekerja dengan cara menghambat pengubahan angiotensin I menjadi angiotensin II. Selain itu juga menghambat degradasi vasodilator poten yaitu bradikinin (Williams, 2000). Penghambat enzim pengkonversi angiotensin juga merangsang sintesis dari beberapa substansi


(36)

vasodilator termasuk prostaglandin E2 dan protasiklin. Peningkatan bradikinin akan meningkatkan efek hipotensi dari penghambat ACE sehingga menyebabkan batuk kering (Saseen dan Carter, 2005).

Enzim pengkonversi angiotensin (ACE) memfasilitasi terbentuknya angiotensin II yang mempunyai peran penting dalam pengaturan tekanan darah arteri. Enzim pengkonversi angiotensin (ACE) terdistribusi dalam banyak jaringan dan terdapat dalam beberapa tipe sel yang berbeda, tetapi secara umum ACE terletak pada sel endotelial. Oleh karena itu, produksi utama angiotensin II terletak di pembuluh darah bukan di ginjal (Saseen dan Carter, 2005). Obat-obat golongan ini diindikasikan untuk hipertensi pada diabetes dengan nefropati. Pada beberapa pasien, obat golongan ini menyebabkan penurunan tekanan darah yang sangat cepat. Obat-obat yang termasuk dalam golongan ini adalah kaptopril, benazepril, enalapril maleat (Anonim, 2000).

5. Antagonis Kalsium

Antagonis kalsium bekerja dengan menghambat gerakan ion kalsium yaitu mengurangi masuknya ion kalsium melalui kanal kalsium lambat ke dalam sel otot polos, otot jantung dan saraf. Dengan berkurangnya kadar kalsium bebas dalam sel-sel tersebut menyebabkan berkurangnya kontraksi otot polos pembuluh darah, kontraksi otot jantung. Penurunan kontraktilitas otot jantung akan mengakibatkan penurunan curah jantung (Anonim, 2000). Contoh obat golongan ini adalah nifedipin, diltiazem, amlodipin, nimodipin, verapamil dan felodipin.


(37)

6. Antagonis Reseptor Angiotensin II

Antagonis Reseptor Angiotensin II mempunyai sifat menghambat yang mirip dengan ACE inhibitor. Perbedaannya obat-obat golongan ini tidak menghambat pemecahan bradikinin dan kinin-kinin lainnya, sehingga tidak menimbulkan efek samping batuk kering. Obat-obat yang termasuk dalam golongan ini adalah losartan, valsartan, kandesartan (Anonim, 2000).

Penghambat ACE menghambat efek dari angiotensin II yang berasal dari jalur sistem renin angiotensin–aldosteron, sedangkan antagonis reseptor angiotensin II menghambat angiotensin II dari semua jalur. Antagonis reseptor angiotensin II secara langsung menghambat reseptor angiotensin II tipe 1 yang menyebabkan vasokonstriksi, pelepasan aldosteron, aktivasi saraf simpatis, pelepasan hormon antidiuretik dan konstriksi arteriola efferent pada glomerulus. Antagonis reseptor angiotensin II tidak menghambat reseptor angiotensin II tipe 2. Oleh karena itu, keuntungan dari stimulasi reseptor angiotensin II tipe 2 seperti vasodilatasi, perbaikan jaringan dan penghambatan pertumbuhan sel tetap berlangsung ketika obat antagonis reseptor angiotensin II digunakan. Pada pasien hipertensi dengan diabetes nefropati, perkembangan keparahan diabetes nefropati berkurang secara signifikan dengan terapi antagonis reseptor angiotensin II. (Saseen dan Carter, 2005).

7. Antihipertensi Bekerja di Sentral

Klonidin salah satu obat golongan ini bekerja dengan jalan menstimulasi reseptor α2 susunan saraf pusat. Stimulasi ini menyebabkan pengurangan aliran simpatis dari pusat vasomotor di otak dan meningkatkan denyut vagal. Dipercaya


(38)

juga bahwa stimulasi perifer dari presinaptik reseptor α2 dapat menyebabkan pengurangan aktifitas saraf simpatis. Pengurangan aktifitas saraf simpatis bersamaan dengan peningkatan aktifitas saraf parasimpatis, dapat menurunkan denyut jantung, curah jantung, dan tahanan perifer. Klonidin sering digunakan untuk terapi hipertensi berat (Saseen dan Carter, 2005).

C. Obat Non Antihipertensi

1. Obat Antihiperlipidemia

Hiperlipidemia adalah suatu keadaan patologis akibat kelainan metabolisme lemak darah yang ditandai dengan meningginya kadar kolesterol darah (hiperkolesterolemia), trigliserida (hipertrigliseridemia) atau kombinasi keduanya. Antihiperlipidemia adalah obat yang digunakan unutk menurunkan kadar lipid plasma Menurunkan kadar lipid plasma dapat menurunkan resiko aterosklerosis. Aterosklerosis adalah penyakit yang ditandai dengan penebalan pembuluh darah dan hilangnya elastisitas arteri. Sebagai contoh obat golongan ini adalah golongan fibrat dan statin (Setiawati dan Bustami, 1995).

Fibrat adalah suatu derivat asam isobutirat yang diubah oleh esterase serum menjadi asam klofibrat. Mekanisme kerja obat ini dapat merangsang enzim lipoprotein lipase (LPL) sehingga bersihan Very Low Density Lipoprotein (VLDL) meningkat. Kadar High Low Density (HDL) meningkat secara tidak langsung akibat menurunnya kadar trigliserida VLDL. Senyawa HDL memiliki kemampuan untuk mengambil kolesterol yang tertimbun dalam pembuluh darah. Selain itu karena menghambat sintesa kolesterol dalam hati dan merangsang sekresi kolesterol ke dalam empedu dan feses, obat ini juga dapat menurunkan


(39)

kadar kolesterol dalam jaringan (Setiawati dan Bustami, 1995). Statin bekerja dengan menghambat secara kompetatif enzim HMG CoA reduktase yaitu enzim untuk sintesis kolesterol (Anonim, 2000).

2. Obat Antiangina

Angina atau nyeri disebabkan oleh timbunan metabolit di dalam otot jantung. Angina pektoris merupakan penyakit nyeri dada hebat yang terjadi akibat aliran darah koroner tidak cukup memberikan oksigen yang dibutuhkan oleh jantung. Pemberian obat antiangina bertujuan untuk mengatasi dan mencegah serangan angina pektoris dan mencegah serangan angina jangka panjang. Contoh obat antiangina seperti nitrat (Setiawati dan Bustami, 1995).

Nitrat merupakan obat yang dapat mengobati serangan angina dengan cara mendilatasi vena perifer dan pembuluh darah koroner. Dilatasi vena menyebabkan penurunan aliran balik ke jantung sehingga tekanan darah diastolik akan menurun. Tekanan diastolik yang menurun akan menyebabkan pula penurunan resistensi perifer sehingga menyebabkan tekanan sistolik menurun (Setiawati dan Bustami, 1995).

3. Obat Analgesik

Analgesik opioid merupakan kelompok obat yang digunakan untuk meredakan atau menghilangkan rasa nyeri sedang sampai berat. Penggunaan berulang dapat menyebabkan ketergantungan dan toleransi. Sebagai contoh obat yang termasuk dalam golongan analgesik opioid adalah morfin, kodein, dekstromoramid. Pada umumnya obat yang termasuk dalam golongan non opioid


(40)

tidak menimbulkan banyak efek samping. Nalokson merupakan contoh obat dari golongan non opioid (Anonim, 2000).

4. Obat Gout

Gout adalah penyakit metabolik yang ditandai oleh atritis akut berulang karena endapan monosodium urat di persendian dan tulang rawan. Pengobatan gout bertujuan untuk meredakan dan mencegah serangan gout berulang. Serangan gout akut dapat diobati dengan Anti Inflamasi Non Steroid (AINS) seperti sulindak, diklofenak indometasin, kolkisin. Untuk pengobatan gout jangka panjang dapat digunakan alupurinol, probenesid (Setiawati dan Bustami, 1995).

D. Pengobatan Rasional

Penggunaan obat dikatakan rasional bila pasien menerima obat-obat yang sesuai kebutuhan klinik dan dalam dosis yang tepat. Adapun kriteria-kriteria penggunaan obat yang rasional adalah sebagai berikut:

1. obat tepat yaitu mempertimbangkan kemanjuran, keamanan dan ekonomis bagi pasien.

2. indikasi tepat yaitu alasan penulisan resep didasarkan pada pertimbangan medis yang baik.

3. cara penggunaan obat tepat mencakup besarnya dosis, cara pemberian, frekuensi pemberian, dan lama pemberian.

4. pemberian obat disertai dengan penjelasan yang tepat kepada pasien atau keluarganya (Siregar, 2005).

Penggunaan obat dikatakan tidak tepat jika resiko yang mungkin terjadi tidak seimbang dengan manfaat yang diperoleh dari tindakan memberikan suatu


(41)

obat. Dampak negatif penggunaan obat yang tidak rasional dapat dilihat dari berbagai segi. Selain pemborosan dari segi ekonomi, pola penggunaan obat yang tidak rasional dapat berakibat menurunnya mutu pelayanan pengobatan, misalnya meningkatnya efek samping obat, meningkatnya kegagalan pengobatan, meningkatnya resistensi antimikroba dan sebagainya. Latar belakang terjadinya masalah penggunaan obat bersifat kompleks karena berbagai faktor ikut berperan, seperti faktor yang berasal dari dokter, pasien dan sarana pelayanan yang tidak memadai (Anonim, 2000).

Untuk tercapainya tujuan pengobatan yang efektif, aman, ekonomis, maka pemberian obat harus memenuhi prinsip-prinsip farmakoterapi sebagai berikut : 1.indikasi tepat

2.pemilihan obat yang tepat, yakni obat yang aman, ekonomis dan sesuai dengan kondisi pasien

3.dosis dan cara pemberian obat secara tepat

4. penilaian kondisi pasien dan informasi untuk pasien harus tepat 5.Pemberian obat pada lansia harus diupayakan serasional mungkin.

Pemberian obat yang rasional pada lansia dapat dilakukan dengan cara jumlah obat yang diberikan harus seminimal mungkin, sebaiknya dosis obat yang diberikan pada lansia dikurangi (dosis rendah). Pendengaran, penglihatan dan ingatan yang menurun mengurangi kepatuhan pasien sehingga sebaiknya dilakukan penjelasan tentang penyakit dan pengobatannya. Perlu juga diperhatikan wadah obat, sebaiknya mudah dibuka dan terbuat dari bahan


(42)

transparan karena lansia seringkali mengenal obat dari bentuk dan warna. Kemasan harus memberikan petunjuk yang jelas (Martono, 2004).

E. Geriatri

Menurut data dari USA-Bureau of the Sensus tahun 2000 jumlah lanjut usia sebesar 7,28% dari jumlah populasi dan diperkirakan pada tahun 2020 jumlah lanjut usia di Indonesia akan meningkat sebesar 11,34%. Selain itu pada tahun 2025 Indonesia diperkirakan akan mengalami peningkatan lansia terbesar didunia. Menua adalah suatu proses menghilangkan secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti diri dengan mempertahankan struktur fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap penyakit (Martono, 2004).

Faktor fisiologik dapat mempengaruhi kesehatan lansia. Semakin lanjut usia seseorang maka kemungkinan terjadinya penurunan fungsional anatomi akan semakin besar. Penurunan fungsional anatomi organ-organ tersebut menyebabkan lebih mudah timbulnya penyakit pada organ tersebut. Selain itu faktor psikologi juga dapat mempengaruhi kesehatan lansia. Masalah psikologi yang dialami oleh golongan lansia adalah mengenai sikap mereka sendiri terhadap proses menua yang terjadi seperti kemunduran badaniah. Dengan bertambahnya umur kecepatan bergerak dan daya berpikir akan menurun sehingga golongan ini seringkali dianggap terlalu lamban. Selain itu pada wanita lansia faktor psikologik terjadi pada masa menopouse (Martono, 2004).

Banyak obat yang diresepkan untuk pasien lanjut usia akan menimbulkan banyaknya masalah termasuk polifarmasi, peresepan yang tidak tepat dan juga


(43)

kepatuhan. Polifarmasi merupakan problem utama dalam kelompok pasien ini. Semakin banyak jumlah obat yang diterima pasien maka makin besar pula resiko efek samping obat, interaksi obat dan interaksi obat-penyakit. Pemakaian obat pada lansia didasarkan pada perubahan farmakokinetik serta farmakodinamik, karena hal tersebut akan berkaitan dengan perubahan fisiologik pada organ dan sistem tubuh yang mempengaruhi respon tubuh terhadap obat (Sumartono, 2003). 1. Farmakokinetika lansia

Obat harus berada pada tempat kerjanya dengan konsentrasi yang tepat untuk mencapai efek terapeutik yang diharapkan. Perubahan-perubahan farmakokinetik pada pasien lanjut usia memiliki peranan penting dalam bioavailbilitas obat tersebut (Prest, 2003).

Perubahan farmakokinetik yang dialami orang lanjut usia antara lain terjadi pada mekanisme absorpsi. Bertambahnya usia kemungkinan dapat mengakibatkan perubahan kecepatan sejumlah obat yang diabsorsi. Absorbsi obat di lambung dan di usus secara keseluruhan tidak mengalami perubahan yang berarti. Penurunan aliran darah dan motilitas usus tidak mengurang jumlah obat yang diabsorbsi. Tetapi bila obat yang diabsorbsi mengalami metabolisme lintas maka obat yang masuk ke sirkulasi darah akan semakin kecil (Martono, 2004).

Dengan bertambahnya usia, faktor-faktor yang menentukan distribusi obat termasuk komposisi tubuh, ikatan plasma, dan aliran organ akan mengalami perubahan. Pada usia lanjut komposisi tubuh total air dalam tubuh akan menurun sehingga menyebabkan penurunan volume distribusi obat yang larut air. Akibatnya konsentrasi obat dalam plasma akan meningkat. Jumlah albumin


(44)

menurun dengan bertambahnya usia. Obat-obat yang akan terikat dengan protein, sehingga konsentrasi obat bebas akan meningkat. Perubahan aliran darah organ akan mengakibatkan penurunan perfusi pada anggota gerak, hati, otot jantung dan otak. Obat- obat yang mempunyai daya kelarutan dalam lemak yang tinggi akan terdistribusi lebih luas sehingga kerja obat akan menjadi lebih lambat (Prest, 2003).

Penderita lanjut usia biasanya mengalami penurunan metabolisme yang menyebabkan meningkatnya bioavailabilitas obat dalam darah. Perubahan tersebut disebabkan adanya gangguan metabolisme lintas pertama sehingga menurunkan kapasitas metabolisme obat di hati. Kapasitas fungsi hepar pada lansia juga menurun, sehingga massa dan aliran darah sudah berkurang . Metabolisme obat di hepar berlangsung dengan katalis atau aktivitas enzim. Aktivitas enzim ini dapat dirangsang oleh obat (inducer) seperti rimpafisin, diazepam dan dapat dihambat oleh inhibitor seperti alupurinol, simetidin (Martono, 2004).

Perubahan paling berarti yang terjadi pada usia lanjut ialah berkurangnya fungsi ginjal. Dengan bertambahnya umur aliran darah, filtrasi glomerulus dan sekresi tubuli ginjal teraus mengalami reduksi. Hal ini menyebabkan ekskresi obat berkurang, akibatnya terjadi perpanjangan intensitas kerja obat. Selain itu, perubahan yang terjadi pada lanjut usia adalah penurunan aliran darah ke ginjal sehingga kecepatan filtrasi glomerulus berkurang, akibatnya konsentrasi obat dalam jaringan meningkat. Pada pasien lanjut usia perlu penyesuaian dosis


(45)

terutama obat-obat yang mempunyai indeks terapi sempit seperti digoksin dan aminoglikosida (Bustami, 2001).

Tabel IV. Perubahan Fisiologis yang Mempengaruhi Proses Kinetika pada Lanjut Usia (Martono, 2004)

Perubahan Fisiologi pada Lansia Perubahan dalam Proses Farmakokinetika

Penurunan permukaan absorsi Penurunan aliran darah Penurunan pH saluran cerna Perubahan motilitas saluran cerna

absorbsi Penurunan cairan tubuh total

Penurunan massa tubuh tidak berlemak

Penurunan albumin serum

distribusi Penurunan aliran darah hepar

Penurunan aktivitas enzim

Penurunan induksi enzim metabolisme Penurunan aliran darah ginjal

Penurunan aliran glomerulus

Penurunan sekresi tubulus ekskresi

2. Perubahan farmakodinamik usia lanjut

Perubahan farmakodinamik pada lansia dapat mengubah respon terhadap obat. Respon seluler pada lansia akan mengalami penurunan. Penurunan kemampuan menjaga keseimbangan hameostatis terkait penurunan endokrin dan respon organ, perubahan pada reseptor dan tempat perubahan respon jaringan sasaran itu sendiri dapat menyebabkan perubahan respon terhadap obat (Prest, 2003). Pada umumnya obat-obat yang cara kerjanya merangsang proses biokimia seluler intesitas pengaruhnya akan menurun, misanya agonis beta untuk mengobati asma diperlukan dosis yang lebih besar. Sebaliknya obat yang bekerja dengan menghambat proses biokimia seluler maka efek farmakologik obat akan meningkat sehingga menyebabkan efek toksik (Martono, 2004).


(46)

F. Interaksi Obat

Interaksi obat dapat didefinisikan sebagai perubahan efek satu obat akibat obat lain yang diberikan bersamaan atau bila dua atau lebih obat berinteraksi sedemikian rupa sehingga keefektifan atau toksisitas satu obat atau lebih berubah. Interaksi obat dapat membahayakan baik dengan meningkatkan toksisitas obat atau dengan mengurangi khasiatnya. Namun interaksi beberapa obat bersifat menguntungkan (Prest, 2003).

Interaksi yang menguntungkan misalnya (1) penisilin dengan probenesid, probenesid dapat menghambat sekresi penisilin di tubuli ginjal sehingga meningkatkan kadar penisilin dalam plasma; (2) kombinasi obat antihipertensi, dapat meningkatkan efektivitas dan mengurangi efek samping; (3) kombinasi obat anti kanker juga dapat meningkatkan efektivitas dan mengurangi efek samping (Setiawati dan Bustami, 1995). Interaksi obat yang berakibat merugikan, misalnya warfarin jika diberikan bersama dengan fenilbutason, fenilbutason menghambat metabolisme warfarin sehingga kadar warfarin dalam tubuh meningkat yang akan menyebabkan pendarahan (Stockley, 1994).

Penilaian potensial interaksi obat mempertimbangkan manifestasi klinis yang ditimbulkan oleh interaksi dan arti klinis dari interaksi tersebut. Arti klinis dari interaksi obat berhubungan dengan jenis dan besarnya efek yang ditimbulkan. Selain itu, hal yang perlu diperhatikan yaitu memonitoring keadaan pasien dan mengganti terapi untuk mencegah efek samping yang berbahaya. Faktor utama yang mendefinisikan arti klinis dari interaksi obat yaitu significance rating yang


(47)

terdiri atas onset dari timbulnya efek, potensi keparahan dari interaksi, dan dokumentasi manifestasi klinis dari interaksi yang telah terjadi (Tatro, 2001).

Onset didefinisikan kecepatan efek klinis yang dapat timbul dari suatu interaksi. Onset dibedakan menjadi dua yaitu cepat dan tertunda. Dikategorikan cepat jika efek klinis yang muncul dalam 24 jam setelah pemberian dan dibutuhkan tindakan segera untuk mengatasi efek yang timbul sedangkan onset tertunda adalah efek klinis dari interaksi obat yang timbul dalam beberapa hari atau beberapa minggu setelah pemberian dan tidak diperlukan tindakan segera untuk mengatasi efek yang timbul (Tatro, 2001).

Tingkat keparahan terdiri dari mayor, moderat, dan minor. Keparahan interaksi tergolong mayor jika efek yang terjadi membahayakan jiwa pasien atau dapat menyebabkan kerusakan permanen. Keparahan interaksi tergolong moderat jika efek yang terjadi dapat menyebabkan perburukan status kesehatan pasien sehingga mungkin dibutuhkan rawat inap di rumah sakit, perawatan yang lebih lama atau terapi tambahan. Keparahan interaksi minor jika efek yang timbul biasanya ringan atau mungkin tidak timbul dan tidak mempengaruhi outcome terapi dan tidak dibutuhkan terapi tambahan (Tatro, 2001).

Dokumentasi diartikan sebagai tingkat kepercayaan bahwa suatu interaksi dapat menyebabkan perubahan respon klinis. Dokumentasi berdasarkan literatur primer dan juga berdasarkan interaksi yang pernah terjadi. Dokumentasi dibagi menjadi lima yaitu established, probable, suspected, possible, dan unlikely. Dikategorikan established jika terbukti terjadi pada suatu penelitian yang terkontrol baik. Dikategorikan probable jika efek dari interaksi sangat mungkin


(48)

terjadi tetapi belum terbukti secara klinis. Dikategorikan suspected jika efek dari interaksi mungkin terjadi, terdapat data yang baik tetapi butuh penelitian lebih lanjut. Dikategorikan possible jika efek dari interaksi mungkin terjadi tetapi data yang ada sangat terbatas. Dikategorikan unlikely jika terjadinya efek dari interaksi diragukan dan tidak ada data bukti klinis yang baik tentang perubahan efek klinis (Tatro, 2001). Ada beberapa keadaan dimana obat berinteraksi dengan mekanisme yang unik. Menurut mekanisme kerja interaksi obat dibagi menjadi:

1. interaksi farmasetika

Interaksi ini terjadi jika antara dua obat yang diberikan secara bersamaan menyebabkan inkompatibilitas atau terjadi reaksi langsung, umumnya terjadi diluar tubuh dan berakibat hilangnya efek farmakologik obat yang diberkan. Sebagai contoh penisilin dan aminoglikosida (Anonim, 2000).

2. interaksi farmakokinetika

Interaksi farmakokinetik adalah interaksi terjadi apabila suatu obat mengubah absorpsi, distribusi, metabolisme, atau ekskresi obat lain. Dengan demikian interaksi ini meningkatkan atau mengurangi jumlah obat yang tersedia dalam tubuh untuk menimbulkan efek farmakologiknya (Anonim, 2000).

Interaksi dalam absorpsi dapat mengubah kecepatan absorpsi atau jumlah total obat yang diabsorpsi. Pengurangan jumlah total obat yang diabsorpsi dapat berakibat pada pengobatan yang tidak efektif Sebagai contoh pemberian kolestiramin menyebabkan berkurangnya absorpsi furosemid (Anonim, 2000).

Interaksi dalam proses distribusi terjadi bila obat-obat dengan ikatan protein yang lebih kuat menggeser obat-obat lain dengan ikatan protein yang lebih


(49)

lemah dari tempat ikatannya pada protein plasma. Hal ini mengakibatkan peningkatan konsentrasi obat bebas dalam darah sehingga dapat meningkat efek toksik, misalnya fenitoin, warfarin, tolbutamid (Prest, 2003).

Interaksi metabolisme terjadi bila suatu obat menghambat metabolisme obat lain, sehingga kadar obat lain dalam plasma meningkat dan menyebabkan peningkatan efek toksik sebagai contoh pemberian rifampisin dengan kontrasepsi oral (Anonim, 2000).

Interaksi dalam ekskresi terjadi bila obat mempengaruhi ekskresi obat lain sehingga dapat mempengaruhi konsentrasi obat lain dalam plasma. Sebagai contoh pemberian metotreksat dengan obat anti inflamasi non steroid yang menyebabkan meningkatnya kadar metotreksat (Fradgley, 2003).

3. interaksi farmakodinamik

Interaksi farmakodinamik adalah interaksi dimana efek suatu obat diubah oleh obat lain pada tempat aksi. Hal ini dapat terjadi akibat kompetisi pada reseptor yang sama atau interaksi obat pada sistem fisiologi yang sama (Fradgley, 2003). Kebanyakan interaksi farmakodinamik dapat diperkirakan kejadiannya sehingga bisa dihindari sedini mungkin apabila dokter yang bersangkutan mengetahui mekanisme kerja obat tersebut (Setiawati dan Bustami, 1995). Mekanisme interaksi farmakodinamik secara garis besar dapat dibagi menjadi: a. sinergis

interaksi ini terjadi bila dua obat yang mempunyai efek farmakologi sama digunakan secara bersama-sama. Sebagai contoh, penggunaan metotreksat dengan kotrimoksazol dapat menyebabkan megaloblastosis sumsum tulang


(50)

belakang karena keduanya merupakan antagonis asam folat. Suplemen kalium dapat menyebabkan hiperkalemia bagi pasien yang memperoleh pengobatan dengan diuretik hemat kalium seperti amilorida, triamteren (Stockley, 1994). b. antagonis

antagonisme terjadi bila obat yang berinteraksi memiliki efek farmakologi yang berlawanan. Sebagai contoh, antikoagulan dapat memperlama waktu penjendalan darah yang akan dihambat oleh vitamin K. Contoh lain yaitu penisilin yang bersifat bakterisida akan menghambat sintesa dinding sel bakteri, memerlukan sel yang terus tumbuh dan membelah diri. Dengan adanya tetrasiklin yang bersifat bakteriostatik akan menghambat sintesis protein dan pertumbuhan bakteri (Stockley, 1994).

G. Keterangan Empiris

Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan informasi tentang karakteristik pasien meliputi umur, jenis kelamin, distribusi penyakit lain, lama perawatan. Profil peresepan obat antihipertensi meliputi golongan dan jenis, jumlah obat, kesesuaian pemilihan obat antihipertensi berdasarkan JNC VII dan cara pemberian. Evaluasi interaksi meliputi interaksi obat antihipertensi dengan obat antihipertensi lain dan interaksi obat antihipertensi dengan obat lain pada pasien hipertensi geriatri di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih tahun 2005.


(51)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Rancangan Penelitian

Penelitian mengenai Profil Peresepan dan Evaluasi Interaksi Obat Antihipertensi Pada Pasien Geriatri di Instalasi Rawat Inap di Rumah Sakit Panti Rapih tahun 2005 ini merupakan jenis penelitian observasional dengan rancangan deskriptif non analitik. Data yang digunakan dalam penelitian adalah data retrospektif dengan melakukan penelusuran dokumen terdahulu, yaitu pada lembar catatan medis pasien hipertensi geriatri yang terjadi selama tahun 2005.

B. Definisi Operasional

1. Profil peresepan yaitu gambaran peresepan obat pada pasien geriatri hipertensi yang menjalani Rawat Inap di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta periode 2005 yang meliputi golongan dan jenis obat, jumlah obat, kesesuaian pemilihan obat antihipertensi berdasarkan JNC VII dan cara pemberian.

2. Pasien hipertensi geriatri (usia lanjut) adalah pasien yang berumur ≥65 tahun dengan diagnosis hipertensi dan menjalani Rawat Inap di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta tahun 2005.

3. Penyakit penyerta adalah penyakit lain yang menyertai selain penyakit hipertensi pada pasien hipertensi geriatri di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih tahun 2005 seperti jantung, diabetes melitus.

4. Golongan obat adalah kelompok obat berdasarkan kelas terapinya yang digunakan pasien hipertensi geriatri di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih tahun 2005.


(52)

4. Jenis obat adalah obat dengan nama generik obat dan nama dagang yang digunakan pasien hipertensi geriatri di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih tahun 2005.

5. Jumlah obat antihipertensi adalah jumlah golongan obat antihipertensi yang digunakan bersama oleh setiap pasien hipertensi geriatri.

6. Lama perawatan adalah jumlah hari dari mulai pasien masuk hingga diperbolehkan pulang bagi pasien hipertensi geriatri.

7. Cara pemberian obat adalah cara penggunaan obat pasien hipertensi geriatri di Instalansi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih tahun 2005, seperti oral, injeksi.

8. Interaksi obat adalah kemampuan suatu obat untuk mempengaruhi obat lain yang diberikan dalam waktu yang bersamaan dan dapat menyebabkan efek yang menguntungkan maupun merugikan antara obat antihipertensi yang dikaji secara teoritis dengan mengacu kepada Drugs Interaction, (Stockley, 1994) dan Informatorium Obat Nasional Indonesia, (Anonim, 2000), Drug Interaction Facts, (Tatro, 2001).

C. Subyek Penelitian

Subjek penelitian dalam penelitian ini adalah pasien hipertensi geriatri rawat inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta tahun 2005.

D. Bahan Penelitian

Bahan-bahan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini meliputi catatan medik (medical record) pasien hipertensi geriatri selama tahun 2005 di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta.


(53)

E. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Sub Bagian Rekam Medik Rumah Sakit Panti Rapih Jalan Cik Dik Tiro no 36 Yogyakarta.

F.Tata Cara Pengumpulan Data

Penelitian mengenai profil peresepan obat dan evaluasi interaksi antihipertensi pada pasien geriatri di Instalasi Rawat Inap di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta tahun 2005 meliputi dua tahap yaitu:

1. tahap pengambilan data

Proses pengambilan data diawali dengan penelusuran jumlah pasien geriatri yang menderita hipertensi selama tahun 2005, didapatkan data total pasien hipertensi geriatri selama tahun 2005 sebanyak 81 pasien, kemudian dilakukan pencatatan data rekam medik dari 81 pasien tersebut yang meliputi : nomor registrasi, nama, umur, jenis kelamin, macam obat, cara pemberian, tanggal masuk dan tanggal keluar pasien, penyakit penyerta, tekanan darah pasien sebelum dan sesudah perawatan.

2. tahap penyelesaian data

Penyelesaian data meliputi proses pencatatan data yaitu mencatat data pasien yang ada di lembar rekam medis ke dalam catatan khusus dan disajikan dalam bentuk tabel. Data yang diperoleh diolah dengan menggunakan metode deskriptif menggunakan buku-buku standar dan literatur yang ada seperti Informatorium Obat Nasional Indonesia (Anonim, 2000), dan Drugs Interaction (Stockley, 1994 ), Drug Interaction Facts, (Tatro, 2001).


(54)

G. Tata Cara Pengolahan Hasil Penelitian

Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif untuk memperoleh informasi tentang presentasi (%):

1. jenis kelamin pasien hipertensi geriatri.

2. umur pasien berdasarkan WHO yaitu kelompok umur elderly (usia 65-≤75), old (usia 76-≤90), dan very old (usia ≥91).

3. tingkatan hipertensi berdasarkan JNC VII yaitu prehipertensi, hipertensi tingkat 1, dan hipertensi tingkat 2.

4. penyakit lain selain hipertensi yang menyertai pasien geriatri

5. lama perawatan, dikelompokkan berdasarkan lama perawatan yang diberikan pada pasien.

6. jenis dan golongan obat yang diberikan, dihitung dari jumlah jenis dan golongan obat tertentu yang digunakan dibagi jumlah keseluruhan obat antihipertensi dikalikan 100%.

7. penggunaan obat antihipertensi secara tunggal maupun kombinasi.

8. kesesuaian pemilihan obat antihipertensi berdasarkan JNC VII, dikelompokan menjadi dua yaitu berdasarkan jumlah obat dan berdasarkan penyakit penyulit. 9. cara pemberian obat yang digunakan, dikelompokkan berdasarkan cara

pemberian obat yang diberikan pada pasien.

10.potensial interaksi obat antihipertensi dengan obat antihipertensi lain dan interaksi obat antihipertensi dengan obat lain dikelompokkan berdasarkan jenis dan golongan obat antihipertensi.


(55)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Jumlah total kasus hipertensi selama tahun 2005 sebanyak 440 kasus, pasien geriatri (≥ 65 tahun) sebanyak 106 kasus. Data yang diambil sebanyak 81 kasus, hal ini dikarenakan ada data yang tidak lengkap meliputi ada pasien yang meninggal dunia, tidak adanya obat antihipertensi yang dipakai. Deskripsi umum hasil penelitian dan pembahasan akan disajikan sebagai berikut ini.

A. Karakteristik Pasien Hipertensi Geriatri

Proses penelusuran data dilakukan dengan cara mengamati kartu status rekam medik penderita. Pasien yang diteliti adalah seluruh penderita hipertensi geriatri di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta selama tahun 2005. Dicatat nomor registrasi, nama, umur, jenis kelamin, macam obat, cara pemberian, tanggal masuk dan tanggal keluar pasien, penyakit penyerta, tekanan darah pasien sebelum dan sesudah perawatan.

1. Distribusi Jenis Kelamin Pasien Geriatri

Klasifikasi Jenis Kelamin Pasien Hipertensi

61,7%

38,3%

Pria Wanita

Gambar 3. Klasifikasi Jenis Kelamin Pasien Hipertensi Geriatri di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit panti Rapih tahun 2005


(56)

Gambar 3 menunjukkan angka kejadian hipertensi pada wanita lebih besar dibanding pria. Dari 81 kasus yang ada 50 kasus (61,7%) terjadi pada wanita dan pada pria sebanyak 31 kasus (38,3%). Hal ini disebabkan adanya faktor-faktor yang dapat meningkatkan tekanan darah yaitu stres dan menopouse. Secara psikologis wanita lebih rentan terhadap stres dibanding pria. Stres dapat meningkatkan hormon adrenalin dan noradrenalin sehingga pembuluh darah akan menyempit. Selanjutnya akan terjadi kenaikan tekanan darah.

Menurut Phillip (2005), wanita lebih banyak menderita penyakit kardiovaskuler setelah menopouse. Hal ini berhubungan dengan berkurangnya hormon estrogen setelah menopouse. Hormon estrogen dapat melindungi wanita dari penyakit kardiovaskuler seperti hipertensi karena menyebabkan vasodilatasi arteri jantung. Namun tidak berarti bahwa setiap wanita yang sudah menopouse

akan mengalami kenaikan tekanan darah.

2. Distribusi Umur Pasien Geriatri

Dalam penelitian ini klasifikasi umur lansia dibagi menjadi tiga yaitu elderly (usia 65 - ≤75), old (usia 76 - ≤90) dan very old (usia ≥91). Distribusi penderita hipertensi geriatri berdasarkan kelompok umur di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih selama tahun 2005 dari 81 kasus terdapat 54 kasus (66,7%) terjadi pada usia 65 - ≤75 tahun, pada usia 76 - ≤90 tahun terdapat 25 kasus (30,9%) serta pada usia ≥91 tahun sebanyak 2 kasus (2,5%). Distribusi umur pasien geriatri di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih ditunjukkan pada gambar 4 di bawah ini.


(57)

Distribusi Umur Pasien Hipertensi

66,7% 2,5%

30,9%

Elderly Old Very old

Gambar 4. Distribusi Umur Pasien Hipertensi Geriatri di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih tahun 2005.

Dari gambar 4 dapat dilihat bahwa angka kejadian hipertensi di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih selama tahun 2005 paling banyak diderita pada kelompok elderly (65 - ≤75 tahun). Meningkatnya tekanan darah pada lansia mungkin disebabkan pola hidup yang tidak sehat saat masih muda. Menurut Darmojo (2004), tekanan darah meningkat seiring dengan bertambahnya usia, akibat bertambahnya pengapuran atau pengerasan pembuluh darah perifer sehingga elastisitasnya berkurang. Selanjutnya akan meningkatkan resistensi pembuluh darah perifer, akhirnya tekanan darah meningkat.

3. Klasifikasi Pasien Hipertensi Berdasarkan JNC VII

Dalam penelitian ini, JNC VII digunakan sebagai acuan untuk mengelompokkan pasien hipertensi geriatri di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih. Dari data yang diperoleh pasien hipertensi geriatri yang dirawat di Instalasi Rawat Inap RSPR tahun 2005 sebagian besar merupakan pasien hipertensi tingkat 2 (≥160/100 mmHg) sebanyak 55 kasus (67,9%), hipertensi tingkat 1 sebanyak 20 kasus (24,7%) dan prehipertensi hanya 6 kasus (7,4%).


(58)

7,4% 24,7% 67,9% 0.00% 10.00% 20.00% 30.00% 40.00% 50.00% 60.00% 70.00% Prehipertensi Hipertensi tingkat 1 Hipertensi tingkat 2

P ro se n ta se (% ) Klasifikasi Hipertensi

Gambar 5. Klasifikasi Pasien Hipertensi Geriatri Berdasarkan JNC VII di Instalasi Rawat Inap RSPR tahun 2005.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pasien hipertensi terbanyak adalah pasien hipertensi tingkat 2. Hal ini dikarenakan hipertensi tidak memberikan gejala khas sehingga pasien tidak menyadari kalau sebenarnya mereka sudah menderita hipertensi. Pasien baru menyadari ketika tekanan darahnya diukur sudah mencapai hipertensi tingkat 2. Keadaan ini sesuai dengan William (2001) yang menyatakan bahwa orang yang menderita hipertensi tidak menyadarinya karena hipertensi berjalan terus menerus seumur dan sering tanpa adanya keluhan khas selama belum terjadi komplikasi pada organ tubuh.

Mengingat hipertensi sering kali tidak memberikan gejala untuk jangka panjang maka sebaiknya walaupun belum mencapai usia 65 tahun sangat diperlukan pengontrolan tekanan darah secara rutin, khususnya pada pasien yang memiliki orangtua atau saudara yang menderita hipertensi.

4. Distribusi Penyakit Lain

Hipertensi pada lansia merupakan salah satu risiko terjadinya komplikasi-komplikasi berupa penyakit jantung, stroke, ginjal, diabetes mellitus dan lain-lain,


(59)

sehingga hipertensi memerlukan penanganan yang tepat dan segera. Pada penelitian ini, pasien hipertensi geriatri yang dirawat di RSPR memiliki penyakit lain yang menyertainya. Diagnosis penyakit lain yang menyertai pasien hipertensi geriatri adalah stroke, diabetes mellitus, ginjal, jantung, dislipidemia, Urinary Tract Infection (UTI), asma, dispepsia, hipoglikemia, dan hiperglikemia. Jumlah pasien dengan diagnosis penyakit lain yang menyertai pasien hipertensi geriatri di instalasi rawat inap RSPR tahun 2005 ditunjukkan pada tabel V.

Tabel V. Distribusi Jenis Diagnosis Penyakit Lain yang Menyertai Pasien Geriatri di Instalasi Rawat Inap RSPR tahun 2005

No Diagnosis Jumlah pasien Persentasi (%)

1 Stroke 23 41,8

2 Diabetes mellitus 5 9,1

3 Ginjal 5 9,1

4 Jantung 4 7,3

5 Urinary Tract Infection (UTI) 1 1,8

6 Asma 2 3,6

7 Dislipidemia 2 3,6

8 Dispepsia 3 5,5

9 Hipoglikemia 2 3,6

10 Hiperglikemia 2 3,6

Total 55 100

Penyakit penyerta yang paling banyak diderita oleh pasien hipertensi geriatri adalah stroke sebanyak 23 kasus (41,8%). Tekanan darah yang meningkat menyebabkan pembuluh darah pecah biasanya ditandai dengan pendarahan serebral. Kondisi ini mengakibatkan otak kekurangan oksigen akibat penyumbatan pecahnya pembuluh darah sehingga menimbulkan kelumpuhan


(1)

2. Clonidine intravena (dapat diulang sampai 3 kali). Apabila tidak menunjukkan perbaikan dapat diberikan obat per oral : nifedipin sublingual.

b. Hipertensi Gawat 1. Furosemid intravena.

2. Clonidine per oral ('loading dose), nifedipin, captopril.

PROGNOSIS


(2)

KRISIS HIPERTENSI

DEFINISI

Krisis hipertensi ditandai oleh kelainan progresif dari fimgsi ginjal, dan otak pada penderita hipertensi berat atau kenaikan mendadak tekanan darah diastolik, biasanya > 120 mmHg. Angka kejadian krisis hipertensi berkisar antara 1-7% dari kasus hipertensi. Krisis lebih sering terjadi pada usia 40 - 60 tahun setelah menderita hipertensi 2-10 tahun. Keadaan yang sering kali berkaitan dengan hipertensi 2-10 tahun. Keadaan yang sering kali berkaitan dengan krisis hipertensi adalah hipertensi esensial, pielonefritis kronik, dan glomerulonefritis.

Pada pcnderita usia muda (dibawah 30 tahun) piclonefritis kronik dan glomerulonefritis lebih sering sebagai penyebab. Keadaan lain yaug berkaitan dcn;an krisis hipertensi ini adalah lupus eritematosus sistemik, skleroderma, poliarteritis nodosa, stenosis arteri renalis Imilateral, trombosis atau emboli, toksemia gravidarum, pasca radiasi area ginjal, aldosteron primer, hiperadrenokortisisme, feokromositoma, tumor ginjal dengan produk ektopik rzntin, dan minum efedrina, amfetamina, atau makanan bagi penderita yang sedang minum obat penghambat monoamina oksidase (MAO inhibitor)

KLASIFIKASI

Joint National Committee on Detection, Evaluation and Treatment of High Blood Pressure membedakan krisis hipertensi menjadi dua keadaan, yaitu hipertensi gawat dararut (hypertensive emergency) dan hipertensi gawat (hypertensive urgency).

HIPERTENSI GAWAT DARURAT

Hipertensi Ensefalopati adalah sindroma klinis akut reversibel sebagai akibat kenaikan tekanan darah secara tiba-tiba. Keadaan ini dapat teijadi pada orang normal (notmotensif) yang oleh sesuatu sebab tekanan darahnya mendadak naik misalnya 160/100 mmHg.

Pada penderita hipertensi kronik keadaaan ini mungkinn tidak terjadi walau tekanan darahnya mencapai 225 mmHg. Disebutkan bahwa terdapat autoregulasi di otak. Aliran darah di otak berjalan dengan baik. jika tekanan darah arterial rata (

mean arterial blood pressure

) berkisar antara 60-120

mmHg,

sedang pada penderita hipertensi

kronik

tekanan arterial ini bergeser

ke

kanan. Jika tekanan darah arterial rerata melampaui nilai ambang autoregulasi otak, maka akan terjadi hiperfusi dan kebocoran cairan ke jaringan otak sehingga timbul gejala ensefalopati.

HIPERTENSI MALIGNA BERAT

DENGAN KOMPLIKASI DISFUNGSI ORGAN SASARAN

Keadaan ini disebut

pula

sebagai hipertensi akselerasi (accelerated hypertension). Tekanan darah yang tinggi > 200/130 mmHg akan melibatkan arteriolitis nekrotik di organ sasaran (ginjal dan otak). Terjadi kerusakan arteiole yang progresif yang dapat berakibat nefrosklerosis dan retinopati berupa perdarahan dan eksudasi (KW III), dengan atau tanpa edema papil. Termasuk dalam kategori ini adalah :

• Gagal jantung kiri akut disertai edema paru • infark miokard akut atau angina pektoris, unstable • aneurisma aorta disekans (disecting aortic aneurysma)


(3)

Gambaran Klinis Hipertensi Gawat Darurat

Tekanan darah : biasanya tekana darah diastolik > 130 mmHg Funduskopi : perdarahan eksudat, dengan / tanpa edema papil Status neurologis : sakit kepala, bingung, defisit fokal,kejang, koma Jantung : iktus nyata, hipertrofi, gagal Jantung

Ginjal : oliguria, azotemia

Gastrointestinal : mual, muntah

HIPERTENSI GAWAT

Tekanan darah tinggi tanpa disertai disfungsi organ sasaran, akan tetapi potensial menyebabkan komplikasi kerusakan organ sasaran. Oleh karena itu, tekanan harus diturunkan secepatnya (24 Jam). Termasuk dalam kategori ini adalah :

• Hipertensi maligna (accelerated hypertension). • Hipertensi perioperatif.

• Feokromositoma dan sindroma withdrawl akibat penahentian obat antihipertensi yang mendadak.

• Infark otak aterotrombotik dengan hipertensi berat.

MANIFESTASI KLINIS

Kelainan ginjal, mata, dan susunan saraf pusat mungkin mencolok, akan tetapi perubahan-perubahan pada ketiga organ ini biasanya teilihat selama perjalanan penyakit tekanan darah ini biasanya terlihat se!ama perjalanan Penyakit. Tekanan darah pada umumnya tetapi dapat pula sangat berfluktuasi. Tekanan darah diastolik yang lebih besar dari 120 mmHg sama sekali tidak menunjukkan akan kemungkinan adanya krisis hipertensi.

Perubahan awal dari mata dapat berupa eksudat lunak, perdarahan dan edema papil. Edema papil merupakan komponen yang bervariasi terutama pada mereka yang perjalanan penyakitnya pelan-pelan, akan tetapi pada mereka yang perjalanannya akut dan progresif edema papil mungkin tidak dijumpai. Edema papil biasanya diikuti oleh neuroretinitis, tetapi dapat pula dijumpai sendirian.

Bermacam tingkat kebutaan dapat dijumpai dan dapat pulih dengan terapi yang sesuai. Tetapi harus pula diketahui bahwa perubahan mata mungkin tetap berlanjut sampai beberapa minggu setelah tekanan darah terkontrol. Nekrosis fibrinoid artetiola dengan kebocoran plasma ke sekitamya menimbulkan eksudat cotton wool dan perdarahan bentuk nyala api akibat pecahnya pembuluh darah. Edema papil dapat timbul akibat edema serebri lokal atau menyeluruh. Kebutaan sebagai akibat neuroretinitis dan spasme arteria obliteratif berat.


(4)

Hipertensi ensefalopati mungkin timbul mendadak atau pelan-pelan dan biasanya didahului atau disertai nyeri kepala yang berat. Manifestasi neurologik bervariasi, tetapi biasanva berakhir dengan kejang dan koma. Kelainan primer yang mendasarinya adalah emboli kecil multipel di otak yang berkaitan dengan edema serebri. Proses ini terjadi akibat vasokontriksi yang menyertai tekanan darah yang meninggi. Vasokontriksi arteri di otak lebih ringan dibandingkan vasa perifer, tetapi ini dapat menyebabkan peningkatan tekanan kapiler di otak dan edema.

Hipertensi ensefalopati sering sulit dibedakan dengan edema paru pada penderita dengan Hipertensi atai ansietas dengan peninggian tekanan darah yang sementara saja. Perubahan neuro psikiatrik dari ketiga macam penyakit ini sangat mirip. Hipertensi ensefalopati dijumpai pada beberapa kasus iskemia gravidarum dan pada anak atau remaja dengan nefritis akut walaupun tekanan darah sekitar 140/90 mmHg, karena tekanan darah pada kelompok umur ini mungkin sudah menunjukkan peninggian tekanan diastolik 30-50 mmHg.

Gagal ginjal seringkali ada dan mungkin mendominasi gambaran klinis krisis hipertensi. Gambaran patologinya berupa nekrosis fibrinoid dan endarteritis arteriole praglomerulus dan arten interlobuler. Akibatnya akan timbul iskemia dan nekrosis glomeruli don timbul gagal ginjal. Selain dari itu, kelainan lain pada ginjal mungkin tampak, misalnya pielonefritis kronik. Krisis hipertensi mungkin timbul mendadak sebagai gagal ginjal akut (GGA) oliguria dengan atau tanpa ensefalopati. Hanya sekitar 40% kasus menunjukkan edema papil, tetapi hampir 50% menunjukkan perdarahan dan/atau eksudat. Krisis hipertensi harus selalu dipikirkan jika menegakkan diagnosis GGA akibat vaskulitis akut, glomerulonefritis, atau ATN (acute tubular necrosis). Uremia progresif merupakan 30-60% kematian akibat hipertensi maligna. Dan telah nyata bahwa akan sangat bermanfaat terhadap pendenita demikian bila tekanan darah diastolilmya diturunkan menjadi sekitar 90-1000 mmHg. Dengan menurunkan tekanan darah akan memperbaild iskemia dan akan diikuti dengan perbaikan fungsi ginjal. walaupun pada beberapa keadaan fungsi ginjal akan tampak memberat pada awal penurunan tekanan darah. Fungsi ginjal umumnya akan mernbaik beberapa minggu atau bulan berikutnya.

PENATALAKSANAAN

Tujuan pengobatan krisis hipertensi adalah menurunkan tekanan darah secepat dan seaman mungkin. Penurunan tekanan darah secara cepat mengandung resiko hipoperfusi otak. Dianjurkan agar penurunan tekanan darah diastolik jangan kurang dari 110 mmHg. Ke1ompok penderita hipertensi gawat darurat memerlukan rawat map di rumah sakit, sedang hipertensi gawat boleh dilakukan di luar rumah sakit. Evaluasi awal penderita hipertensi gawat darurat dan hipertensi gawat disajikan dalam daftar berikut :

• Furusemid 40 mg intravena

• Nitroprusida natrium. Dosis diberikan 0,5 - 1,5. Aksi kerjanya sangat cepat, namun memerlukan pemantauan tekanan darah sepanjang pemberian.

• Hidralazina (MAO inhibitor). Efeknya memperkuat vasodilator dari epinefiin dan isoproterenol.

Nitrogliserina

• Kombinasi fentolamina dan propanolol

• Reserpin. Efeknya tidak menentu, dosis 1 mg intramuskuler, diulang dengan dosis dua kali dalam 4 jam setelah pemberian per-tama jika belum diperoleh hasil yang diinginkan. Dosis maksimal sekali beri 10 mg, dosis sehari 20 mg.


(5)

Evaluasi Hipertensi Gawat Darurat dan Hipertensi Gawat

Anamnesis

• Riwayat hipertensi dan obat yang digunakan • Masukan obat simpatomimetic atau vasopresor • Gejala serebral, kardiovasa, dan gangguan visus Pemeriksaan

• Tekanan darah • Funduskopi • Status neuroloeis • Status kardiorespirasi

Status hidrasi Pemeriksaan Penunjang

• Hematokrit dan darah apus • Urinalisis

• Kadar kreatinin, glukosa darah, elektrolit • X-foto thorax

• EKG

• Klonidin. Ptimberian intravena, pada awalnya menaikkan tekanan darah (dapat dicegah dengan pemberian fentolamina. 5 menit sebelum injeksi, atau dengan jaian diencerkan)

• Intravena

klonidin 150 ug ( ampul) diuretika dalam 10 m1 larutan glukusa 5% disuntikkan pelan-pelan (5 menit). Lakukan pengukuran tekanan darah setiap 10 menit. Efek puncak

dicapai 30-60 menit setelah pemberian. Jika setelah 40 menit tekanan diastolik masih 120 mmHg pemberian klonidin dapat diulangi. Bila tetap tidak memuaskan boleh diberikan dalam bentuk infus.

Infus

Diberikan dengan dosis 0.9 - 1,0 ml Dextrose 5 %. Kecepatan infus disesuaikan dengan respon penurunan tekanan darah diastolik yang diinginkan.

Intramuskuler

Jika diberikan intramuskuler penurunan tekanan darah terjadi pelan-pelan, berlangsung sekitar 4 jam. Dosis maksimal sehari 1200 ug.

-->

• Diazoxida. Daya kerjanya langsung pada otot polos menyebabkan vasodilatasi. Sangat efektif sebagai obat antihipertensi, namun tidak boleh diberikan kepada penderita dengan edema paru, aneurisma aorta disekans, dan perdarahan intraserebral. Dosis 150 mg diberikan intravena dalam 30 detik (bolus, didahului pemberian furosemida 40 mg intravena), atau dengan infus 300-450 mg ( 5 mg/kgBB) dengan kecepatan 15 mg/merit, selama 20-30 menit. Efek hipotensinya berlangsung 4-12 jam.


(6)

BIOGRAFI PENULIS

Fitriani, anak ketiga dari pasangan suami-istri David

Lauth dan Paulina. Lahir di kabupaten

Putussibau-Kalimantan Barat, 15 Juli 1983. Menyelesaikan Sekolah

Dasar tahun 1995 di Sekolah Dasar Karya Budi. Jenjang

Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) diempuh di

SLTP karya Budi, lulus tahun 1998. Pendidikan Lanjutan

Tingkat Atas (SLTA) ditempuh di SLTA Karya Budi,

lulus tahun 2001.

Penulis kemudian melanjutkan pendidikan Perguruan Tinggi di Universitas Sanata

Dharma Yogyakarta tercatat sebagai mahasiswi Fakultas Farmasi tahun angkatan

2002.


Dokumen yang terkait

Kajian interaksi obat pada peresepan pasien Hipertensi Geriatri di Instalasi Rawat Jalan Rumah Sakit Panti Nugroho Yogyakarta Periode Januari-Juni 2016.

0 12 56

Evaluasi penggunaan obat antihipertensi pada pasien geriatri di Instalasi Rawat Inap RSUD Panembahan Senopati Bantul.

0 1 50

Kajian interaksi obat pada peresepan pasien Hipertensi Geriatri di Instalasi Rawat Jalan Rumah Sakit Panti Nugroho Yogyakarta Periode Januari Juni 2016

0 0 54

Evaluasi drug related problems pada pengobatan pasien stroke di instalansi rawat inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta tahun 2005.

0 5 127

Profil peresepan obat antihipertensi pada pasien pre-eklampsia di instalansi rawat inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta tahun 2005.

0 1 110

Kajian interaksi obat pada pasien penyakit jantung koroner di instalansi rawat inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta periode 2005.

1 20 96

Kajian interaksi obat pada pasien penyakit jantung koroner di instalansi rawat inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta periode 2005 - USD Repository

0 0 94

POLA PERESEPAN OBAT PENYAKIT ASMA BRONKIAL PADA PASIEN PEDIATRI DI INSTALASI RAWAT JALAN RUMAH SAKIT PANTI RAPIH YOGYAKARTA TAHUN 2006

0 0 106

PROFIL PERESEPAN OBAT ANTIHIPERTENSI PADA PASIEN PRE-EKLAMPSIA DI INSTALASI RAWAT INAP RUMAH SAKIT PANTI RAPIH YOGYAKARTA TAHUN 2005 SKRIPSI

0 0 108

PROFIL PERESEPAN DAN EVALUASI INTERAKSI OBAT ANTIHIPERTENSI PADA PASIEN GERIATRI DI INSTALASI RAWAT INAP RUMAH SAKIT PANTI RAPIH YOGYAKARTA TAHUN 2005 SKRIPSI

0 0 127