Sabuk hijau tanaman bakau di sempadan pantai dibangun di lahan milik negara. Namun karena pembangunan tersebut dilakukan secara swadaya oleh masyarakat,
maka dalam hamparan hutan mangrove tersebut sebenarnya terdapat batas-batas petak tanaman yang disepakati bersama oleh warga masyarakat sebagai hak dari suatu
keluarga. Batas petak atau luasan tersebut secara fisik tidak terlihat, namun di antara warga masyarakat saling mengetahui petak tanaman yang menjadi hak masing-
masing. Saat masih menjadi sabuk hijau tanaman mangrove, warga masyarakat hanya memiliki hak atas kayu atau tanaman mangrovenya. Pemberdayaan masyarakat dalam
menjaga dan melestarikan kawasan mangrove cukup mudah dilakukan mengingat sebagian besar masyarakat di lokasi penelitian sadar akan pentingnya menjaga dan
melestarikan kawasan mangrove. Hal ini terlihat dari kegiatan masyarakat yang melalukan pembibitan dan penanaman pohon bakau, baik secara perorangan maupun
secara berkelompok.
5.7.1 Pengelolaan Ekosistem Mangrove
Pengelolaan kepiting bakau tidak dapat dipisahkan dengan pengelolaan kawasan mangrove, hal ini karena daerah mangrove merupakan habitat alami bagi
kepiting bakau. Pengelolaan dapat berjalan dengan baik jika ditunjang dengan peraturan-peraturan yang bersifat formal yang berasal dari pemerintah maupun
yang bersifat tradisional yang berasal dari norma-norma lokal yang berkembang di masyarakat. Kawasan mangrove di Kabupaten Sinjai merupakan merupakan
hasil rehabilitasi yang awalnya dilakukan secara swadaya oleh masyarakat setempat.
Pengembangan kawasan mangrove terus dilaksanakan oleh kelompok masyarakat di desa-desa pesisir baik secara swadaya maupun melalui bantuan
Pemerintah Kabupaten Sinjai khususnya Dinas Perkebunan dan Kehutanan serta Dinas Kelautan dan Perikanan dan institusi Kehutanan Propinsi Sulawesi Selatan.
Peraturan mengenai pengelolaan dan pelestarian hutan mangrove telah diatur dalam Perda No 8 Tahun 1999. Perda tersebut menyangkut pengelolaan dan
pelestarian hutan mangrove mengingat kawasan mangrove merupakan habitat dari berbagai biota perairan dan teresterial. Dengan adanya perda tersebut diharapkan
secara tidak langsung dapat turut menjaga keberadaan biota yang hidup dikawasan tersebut khususnya kepiting bakau. Namun perlu juga ditunjang oleh aturan-aturan
mengenai pemanfaatan kepiting bakau, baik itu untuk budidaya maupun untuk
Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http:www.software602.com
penangkapan. Alasan pemerintah menetapkan kebijakan pelestarian kawasan mangrove untuk memperbaiki ekosistem pesisir melalui konservasi hutan mangrove
dan agar tetap terjaga kelestarian hutan mangrove melalui peraturan hutan mangrove yang dikelola secara swadaya DKP 2010.
5.8 Analisis Keberlanjutan Pengelolaan Sumberdaya Kepiting Bakau S. olivacea di Kawasan Mangrove
Pengelolaan sumberdaya kepiting bakau S. olivacea dipertimbangkan dari empat dimensi, yaitu dimensi ekologi, dimensi ekonomi, dimensi sosial dan
dimensi kelembagaan. Dalam setiap dimensi terdapat beberapa atribut yang diukur, baik secara kuantitatif maupun kualitatif, dan selanjutnya diberikan bobot
dengan menggunakan Multidimensional Scalling MDS. Analisis ini dilakukan dengan menggunakan software Rapfish. Atribut yang digunakan merupakan
modifikasi dari Pitcher Preikshot 2001, Hartono et al. 2005, Wijaya 2011 Pemberian skor atribut pada masing-masing dimensi disesuaikan dengan kondisi
ril pengelolaan kepiting bakau di Kabupaten Sinjai Lampiran 7.
Gambar 12 Diagram Layang-layang pengelolaan sumberdaya kepiting bakau S. olivacea di Kecamatan Sinjai Timur.
Analisis dengan MDS ini menghasilkan status dan indeks keberlanjutan pengelolaan sumberdaya kepiting bakau. Status keberlanjutan yang dimaksudkan
Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http:www.software602.com
adalah bagaimana status keberlanjutan pengelolaan sumberdaya kepiting bakau di Kecamatan Sinjai Timur berdasarkan keempat dimensi yang dikaji dan indeks
yang diperoleh seperti yang terlihat pada Gambar 12.
Hasil analisis Rapfish diperoleh indeks keberlanjutan untuk dimensi ekologi 50,06 dengan status cukup berkelanjutan, dimensi ekonomi 49,00 dengan
status kurang berkelanjutan dan dari segi dimensi sosial 34,23 dengan status kurang berkelanjutan dan dimensi kelembagaan 40,84 dengan status kurang
berkelanjutan. Indeks ini menggambarkan keberlanjutan dari masing-masing atribut berdasarkan pengelolaan saat ini. Berdasarkan penelitian Wijaya 2011
dalam pengelolaan kepiting bakau pada Taman Nasional Kutai terdapat dua dimensi yang kurang berkelanjutan, yakni dimensi ekologi dan dimensi sosial
sedangkan dimensi ekonomi berstatus berkelanjutan dan dimensi kelembagaan berstatus cukup berkelanjutan. Dalam penelitian ini, dimensi sosial juga
merupakan dimensi yang kurang berkelanjutan. Untuk meningkatkan status menjadi berkelanjutan, maka dimasa yang akan datang perlu dilakukan perbaikan
terhadap atribut-atribut pada masing-masing dimensi.
5.8.1 Status Keberlanjutan Dimensi Ekologi