1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan dari penelitian yang akan dilakukan adalah : 
Untuk  mengidentifikasi  kondisi  ekosistem  mangrove  di  Desa  Tongke- tongke dan Samataring Kecamatan Sinjai Timur.
 Untuk menganalisis beberapa aspek bioekologi kepiting S. olivacea yang
ada di Desa Tongke-tongke dan Samataring Kecamatan Sinjai Timur.
 Merumuskan strategi  pengelolan  kepiting  sehingga  dapat  dimanfaatkan
secara berkelanjutan. Adapun  hasil  dari  penelitian  ini  diharapkan  dapat  menjadi  sumber
informasi  dalam  upaya  pengelolaan  sumberdaya  kepiting  bakau  di  Kecamatan Sinjai Timur  Kabupaten Sinjai Sulawesi Selatan.
Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http:www.software602.com
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kepiting Bakau Scylla olivacea
Kepiting  bakau  S.  olivacea  merupakan  salah  satu  spesies  yang  bernilai ekonomi  tinggi  yang  hidup  pada  ekosistem  mangrove.  Pada  beberapa  tahun
terakhir  penangkapan  serta pembudidayaan  kepiting bakau  S. olivacea berkembang  di  Indonesia  karena  tingginya  nilai  ekonomi  dan  merupakan  salah
satu komoditi ekspor. Di Indonesia genus Scylla terdistribusi secara luas dari barat Sumatera  sampai  timur  Irian  Jaya.  Kepiting  banyak  terdapat  di  area  pesisir
dimana  terdapat  mangrove  dan  air  payau La  Sara  et  al. 2002.  Menurut Estampador 1949 in Klinbunga et al. 2000 membagi kepiting bakau dalam 4
golongan  tiga  spesies  dan  satu  subspesies  yaitu  S.  serrata,  S.  oceanica,  S. tranquberica dan  S.  serrata var.  paramamosain.  Seiring  dengan  perkembangan
ilmu pengetahuan, Keenan 1998 in Klinbunga et al. 2000 merevisi taksonomi kepiting  bakau  berdasarkan  morfometrik  dan  genetik  dengan  menggunakan
analisis Allozyme electrophoresis dan mitocondria DNA yang menemukan empat spesies  kepiting  bakau  yakni  S.  serrata,  S.  paramamosain,  S.  olivacea  dan  S.
traqueberica.
Klasifikasi  kepiting  bakau  S.  olivacea  secara  lengkap  adalah  sebagai berikut Motoh 1980:
Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Subfilum : Mandibulata
Kelas : Crustacea
Sub – kelas : Malacostraca
Ordo : Decapoda
Famili : Portunidae
Subfamili : Portuninae
Genus : Scylla
Spesies : Scylla olivacea
Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http:www.software602.com
2.1.1 Morfologi dan Tingkah Laku Kepiting
Ciri  morfologi  kepiting  bakau  adalah mempunyai  karapas  berbentuk  bulat pipih dilengkapi dengan sembilan duri pada sisi kiri dan kanan, empat duri yang
lain terdapat pada kedua mata, mempunyai kaki jalan lima pasang yang pertama bentuknya lebar disebut capit, berguna untuk memegang. Kaki jalan yang terakhir
mengalami  modifikasi  sebagai  alat  renang  berbentuk  seperti  dayung  dan  warna karapas  dari  kepiting  bakau  adalah  hijau  kecoklatan,  yang dipengaruhi  oleh
lingkungan dimana kepiting bakau berada, sedangkan di daerah bakau warnanya hijau merah kecoklatan Moosa et al. 1985
Jenis jantan dan betina pada kepiting bakau dibedakan dengan mengamati abdomennya.  Kepiting  jantan  ruas  abdomennya  sempit,  sedangkan  betina  lebih
lebar. Perut betina berbentuk stupa sedangkan jantan berbentuk tugu. Perbedaan lain  yakni  pada  kaki  renang  yang  terletak  dibawah  abdomen,  dimana  pada
kepiting  jantan  yaitu  pleopod  berfungsi  sebagai  alat  kopulasi,  sedangkan  pada betina sebagai tempat meletakkan telur.
Gambar 3 Kepiting Bakau S. olivacea Menurut Keenan 1998 bahwa kriteria klasifikasi S. olivacea Gambar  2
dewasa adalah warna bervariasi dari orange kemerahan sampai coklat kehitaman. Chela dan kaki-kakinya tanpa pola poligon yang jelas untuk kedua jenis kelamin
dan  pada  abdomen  betina  saja.  Duri  pada  bagian  dahi  karapas  tumpul  dan dikelilingi oleh ruang-ruang yang sempit. Umumnya tidak ada duri pada carpus,
sedangkan pada bagian propandus duri mengalami reduksi dari tajam ketumpul.
Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http:www.software602.com
Kepiting  bakau  S. olivacea  merupakan  spesies  yang  khas  berada  di kawasan bakau. Pada tingkatan juvenile muda, kepiting bakau jarang terlihat di
daerah  bakau,  karena  lebih  suka membenamkan  diri  ke  dalam  lumpur.  Juvenile kepiting  bakau  lebih  menyukai  tempat  terlindung  seperti  alur-alur  air  laut  yang
menjorok  ke  daratan,  saluran  air,  di  bawah  batu,  di  bentangan  rumput  laut  dan sela-sela akar pohon bakau Soim 1999.
Kepiting  bakau  baru  keluar  dari  persembunyiannya  beberapa  saat  setelah matahari terbenam dan bergerak sepanjang malam terutama untuk mencari makan.
Pada  waktu  malam,  kepiting  bakau  mampu  mencapai  jarak  219  – 910  m  untuk aktivitasnya  mencari  makan.  Ketika  matahari  terbit,  kepiting  bakau  kembali
membenamkan  diri,  sehingga  kepiting  bakau  digolongkan  hewan  malam nocturnal.  Secara  umum  tingkah  laku  kepiting  adalah  kanibalisme  dan  saling
menyerang.  Selain  itu,  kepiting  bakau  dewasa  merupakan  salah  satu  dari  biota yang  hidup  pada  kisaran  kadar  garam  yang  luas  euryhaline  dan  memiliki
kapasitas untuk menyesuiakan diri yang cukup tinggi.
2.1.2 Habitat dan Penyebaran
Kepiting  bakau  S.  olivacea  merupakan  salah  satu  fauna  yang  mendiami hutan  mangrove,  biasa  menggali  pada  lumpur  atau  pasir  berlumpur.  Distribusi
kepiting  bakau  mulai  dari  Arfika  Selatan,  di sepanjang  pantai  selatan,  melintasi Samudera India dan dari utara ke selatan Jepang, ke timur seperti Micronesia dan
dari selatan  ke  timur  Pantai  Australia.  Jenis S. olivace banyak  ditemukan  di Pakistan,  Indonesia,  bagian  utara  dan  barat  Australia.  Di  Indonesia  sendiri
merupakan  pusat  dari  keanekaragaman  genus  ini,  dimana  semua  spesies  Scylla dapat ditemukan Shelley 2008.
Kepiting  bakau  mendiami  hampir  semua  bagian  perairan  Indonesia, terutama di daerah yang banyak ditumbuhi pohon bakau atau daerah hutan bakau
lingkungan  mangrove,  pertambakan  pada  daerah-daerah  muara  sungai  dan lubang-lubang.  Kepiting  bakau  biasanya  ditemukan  di  estuari  dan  biasanya
populasi  yang  besar  berasosiasi  dan  menetap  di  daerah  mangrove  khususnya estuari Le  Vay 2001.  Adapun  kepadatan  rata-rata  kepiting  berdasarkan  hasil
Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http:www.software602.com
penelitian Elizabeth et al. 2003  yakni sekitar 16 ekor kepiting dalam 100 m
2
- plot.
2.1.3 Siklus Hidup
Kepiting bakau dalam manjalani kehidupannya beruaya dari perairan pantai ke  perairan  laut,  kemudian  induk  dan  anak–anaknya  akan  berusaha  kembali  ke
perairan  pantai,  muara  sungai  atau  perairan  berhutan  bakau  untuk  berlindung, mencari  makanan  atau  pembesaran.  Kepiting  bakau  yang  telah  siap  melakukan
perkawinan akan  beruaya  dari  perairan  bakau  atau  tambak  ke  tepi  pantai selanjutnya ke tengah laut untuk melakukan pemijahan. Kepiting jantan yang telah
melakukan perkawinan atau telah dewasa berada di perairan bakau, tambak atau sela-sela  bakau,  atau  paling  jauh  di sekitar  perairan  pantai  yaitu  pada  bagian
perairan yang berlumpur yang organisme makanannya melimpah. Kepiting betina yang  telah beruaya  ke  perairan  laut  akan  berusaha  mencari  perairan  yang
kondisinya cocok untuk tempat melakukan pemijahan, khususnya terhadap suhu dan  salinitas  perairan.  Peristiwa  pemijahan  ini  terjadi  pada  periode-periode
tertentu, terutama pada awal tahun Kasry 1991.
Larva kepiting bakau yang baru menetes berkembang melalui lima tingkat zoea  dan  satu  tingkat  megalopa.  Pergantian  kulit  moulting  pada  zoea  maupun
megalopa terjadi dengan pemisahan pada batas kepala-dada cephalothorax dan perut  abdomen.  Dibutuhkan  waktu  enam  hari  bagi  zoea-V  untuk  berubah
menjadi megalopa pada air laut dengan salinitas 31-32 ppt. Pada salinitas rendah waktu  yang  diperlukan  menjadi  lebih  pendek.  Perkembangan  yang  lebih  cepat
pada salinitas rendah menunjukkan migrasi juvenil menuju air payau Moosa Juwana 1996.
2.1.4 Ukuran Kepiting
Menurut  Soim  1999,  ukuran  kepiting  yang  ada  di  alam  bervariasi tergantung  wilayah  dan  musim.  Misalnya,  di  perairan  bakau  Ujung  Alang
Cilacap terdapat kepiting bakau dengan  kisaran  lebar karapas  kerangka  luar 18,80 mm – 142,40 mm. Sedangkan di perairan bakau Segara Anakan  Cilacap
didapatkan kepiting dengan kisaran lebar karapas 19,20 mm – 116,70 mm.
Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http:www.software602.com
Berdasarkan lebar karapasnya, tingkat perkembangan kepiting dapat dibagi menjadi tiga kelompok :
 Kepiting juwana, lebar karapas 20 mm – 80 mm
 Kepiting menjelang dewasa, lebar karapas 70 mm – 150 mm
 Kepiting dewasa, lebar karapas 150 mm – 200 mm.
Ukuran  kepiting  jantan  dan  betina  yang  lebar  karapasnya  3  cm  – 10  cm mempunyai berat capit sekitar 22 dari berat tubuh. Setelah ukuran karapasnya
mencapai 10 cm – 15 cm, capit kepiting jantan menjadi lebih berat yakni 30 - 35 dari berat tubuh, sementara capit betina tetap sama yakni 22 Soim 1999.
Berdasarkan  penelitian  Le  Vay  et  al. 2007, S. paramamosain mencapai ukuran  matang  gonad  pada  saat  mencapai  ukuran  rata-rata  10,2  cm  dan
berdasarkan tingkat pertumbuhannya, ukuran ini dicapai setelah sekitar 160 hari berada  pertama  kali  di  kawasan  mangrove.  Pada  kondisi  lingkungan  yang
memungkinkan, kepiting dapat bertahan hidup hingga mencapai umur 3-4 tahun dan  mencapai  ukuran  lebar  karapas  maksimum  lebih  dari  200  mm.  S. serrata
jantan  mantang  secara  fisiologis  ketika  lebar  karapas berukuran  90-110  mm, namun tidak  cukup  dalam  bersaing  untuk  kawin  sebelum  dewasa secara
morfologis yakni dari ukuran capit dengan lebar karapas 140-160 mm. Sedangkan untuk  S.  serrata betina  matang  gonad  pada  lebar  karapas  antara  80-120 mm
Bonine  et  al. 2008.  Menurut  Ewel  2008  perbedaan  ukuran  kepiting  bakau disebabkan oleh kondisi lingkungan serta pola penangkapan.
2.2 Ekologi Hutan Mangrove
Mangrove  berasal  dari  kata  mangal  yang  menunjukkan komunitas  suatu tumbuhan Odum 1983. Beberapa ahli mengemukakan definisi hutan mangrove,
seperti  Soerianegara  dan  Indrawan  1982  in Wilson  2008  menyatakan  bahwa hutan mangrove adalah hutan yang tumbuh di daerah pantai, biasanya terdapat di
daerah teluk dan di muara sungai yang dicirikan oleh: 1 tidak terpengaruh iklim; 2 dipengaruhi pasang surut; 3 tanah tergenang air laut; 4 tanah rendah pantai;
5  hutan  tidak  mempunyai  struktur  tajuk;  6  jenis-jenis  pohonnya  biasanya terdiri  atas  api-api  Avicennia  sp,  pedada  Sonneratia,  bakau  Rhizopora  sp,
lacang Bruguiera sp, nyirih Xylocarpus sp, nipah Nypa fruticans. Mangrove
Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http:www.software602.com
merupakan pohon  yang tumbuh terutama di zona pasang surut, antara darat dan laut,  di  daerah  tropis  sub.  Daerah  pasang  surut  zona  dicirikan  oleh  faktor
lingkungan  sangat  bervariasi,  seperti  suhu,  sedimentasi  dan  arus  pasang  surut Nagelkerken 2008
Kusmana 2002 mengemukakan bahwa mangrove adalah suatu komunitas tumbuhan  atau  suatu  individu  jenis  tumbuhan  yang  membentuk  komunitas
tersebut di daerah pasang surut. Hutan mangrove adalah tipe hutan  yang secara alami dipengaruhi oleh pasang surut air laut, tergenang pada saat pasang naik dan
bebas dari genangan pada saat pasang rendah. Ekosistem mangrove adalah suatu sistem yang terdiri atas lingkungan biotik dan abiotik yang saling berinteraksi di
dalam suatu habitat mangrove.
Secara ringkas hutan mangrove dapat didefinisikan sebagai suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut terutama di pantai yang terlindung, laguna,
muara  sungai  yang  tergenang  pasang  dan  bebas  dari  genangan  pada  saat  surut yang  komunitas  tumbuhannya  bertoleransi  terhadap  garam. Nybakken  1988,
menyatakan  hutan  mangrove  adalah  sebutan  umum  yang  digunakan  untuk menggambarkan  suatu  komunitas  pantai  tropik  yang  didominasi  oleh  beberapa
species pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin.
Hutan  mangrove  merupakan  komunitas  vegetasi  pantai  tropis  yang didominasi  oleh  beberapa  jenis  pohon  mangrove  yang  mampu  tumbuh  dan
berkembang  pada  daerah  pasang surut  pantai  berlumpur  Bengen 2000.  Hutan mangrove juga sering kali disebut hutan pantai, hutan pasang surut, hutan payau
atau hutan bakau. Istilah bakau ini hanyalah merupakan nama dari salah satu jenis tumbuhan yang menyusun hutan mangrove, yakni Rhizopora spp. Oleh karena itu
hutan  mangrove  lebih  dikenal  dan  telah  ditetapkan  sebagai  mangrove  forest Dahuri  et  al. 1996.  Hutan  bakau  atau  mangal  adalah  sebutan  umum  yang
digunakan  untuk  menggambarkan  suatu  varietas  komunitas  pantai  tropis  yang didominasi oleh  beberapa  jenis  pohan  yang  khas  yang  mempunyai  kemampuan
untuk tumbuh dalam perairan asin Nybakken 1988.
Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http:www.software602.com
2.2.1 Kondisi Fisik Ekosistem Mangrove
Mangrove  dapat  berkembang  dengan  baik  pada  kawasan  yang  memiliki pergerakan  air  yang  minimal  yaitu  pada  kawasan  yang  terlindung.  Kurangnya
gerakan  air  ini  mempunyai  pengaruh  yang  nyata.  Gerakan  partikel  yang  lambat menyebabkan partikel sedimen yang halus cenderung mengendap dan berkumpul
di  dasar.  Gerakan  awal  air  yang  lambat  pada  ekosistem mangrove  selanjutnya ditingkatkan oleh mangrove sendiri Nybakken 1988.
Kebanyakan  mangrove  mempunyai  akar  penyangga  yang  khas,  yang memanjang dari batang dan dahan. Akar ini sering kali sangat banyak dan kusut
sehingga sukar ditembus diantara permukaan lumpur dan permukaan air. Adanya sistem akar yang padat ini akan mengurangi gerakan air, sehingga partikel yang
sangat  halus  mengendap  di sekeliling  akar  mangrove  membentuk  kumpulan lapisan  sedimen.  Sekali  mengendap  biasanya  tidak  dialirkan  keluar  kembali
Nybakken 1988.
Komposisi  jenis  tumbuhan  penyusun  ekosistem  mangrove  ditentukan  oleh beberapa  faktor  lingkungan,  terutama  jenis  tanah,  genangan  pasang  surut  dan
salinitas, sehingga setiap daerah vegetasi mangrove umumnya membentuk zonasi yang berbeda-beda pada setiap habitatnya. Pada umumnya komunitas mangrove
tumbuh  di  daerah  intertidal  yang  jenis  tanahnya  berlumpur,  berlempung  atau berpasir.  Mangrove  dalam  menjaga  kelangsungan  hidupnya  dari  kondisi
lingkungan  yang  ekstrim  melakukan  beberapa  adaptasi  diantaranya  adaptasi terhadap kadar oksigen yang rendah, adaptasi terhadap kadar garam yang tinggi
dan  adaptasi  terhadap  tanah  yang  kurang  stabil,  serta  adanya  pasang  surut Bengen 2000.
Menurut Onrizal 2005 in Santoso 2008 sistem perakaran mangrove yang khas  adalah  akar  napas  pneumatophore  seperti  pada  Avicennia sp.  dan
Sonneratia sp.  akar  tunjang  stilt  root  seperti  pada  Rhizophora sp.  akar  banir seperti  pada  Ceriops sp.  akar  lutut  knee  root  seperti  pada  Bruguiera sp.  atau
gabungan dari beberapa tipe akar tersebut. Secara umum, perkaran tersebut biasa diistilahkan sebagai akar udara aerial root.
Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http:www.software602.com
2.2.2 Struktur dan Adaptasi Mangrove
Ekosistem mangrove terdiri dua bagian, bagian daratan dan bagian perairan. Bagian  perairan  terdiri  dari  dua  bagian  yakni  tawar  dan  laut,  keterpaduan  ini
membentuk  lingkungan  unik  yang  menuntut  kemampuan  mangrove  untuk melakukan  adaptasi  dengan  keadaan  tersebut  Romimohtarto    Juwana  2005.
Beberapa  adaptasi  yang  dapat  dilakukan  mangrove  diantaranya  adalah Bengen 2000:
1 Adaptasi  terhadap  kadar  oksigen  yang  rendah,  yakni  memiliki  bentuk perakaran yang khas seperti perakaran bertipe cakar ayam yang mempunyai
pneumatofora untuk mengambil oksigen dari udara.
2 Adaptasi  terhadap  kadar  garam  tinggi,  yakni  mangrove  memiliki  sel-sel khusus dalam daun yang berfungsi untuk menyimpan garam, selain itu daun
mangrove  yang  tebal  dan  kuat  banyak  mengandung  air  untuk  mengatur keseimbangan  garam  serta  memiliki  struktur  stomata  untuk  mengurangi
penguapan.
3 Adaptasi  terhadap  tanah  kurang  stabil  dan  adanya  pasang  surut  dengan mengembangkan  struktur  akar  yang  sangat  ekstensif  dan  membentuk
jaringan horizontal  yang lebar, disamping untuk memperkokoh pohon juga berfungsi untuk mengambil unsur hara dan menahan sedimen.
2.3 Habitat Mangrove
Hutan  mangrove  merupakan  tipe  hutan  tropika  dan  subtropika  yang  khas, tumbuh di sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut
air  laut.  Mangrove  banyak  dijumpai  di  wilayah  pesisir  yang  terlindung  dari gempuran ombak dan daerah yang landai. Mangrove tumbuh optimal di wilayah
pesisir  yang  memiliki  muara  sungai  besar  dan  delta  yang  aliran  airnya  banyak mengandung  lumpur.  Sedangkan  pada  wilayah  pesisir  yang  tidak  bermuara
sungai, pertumbuhan vegetasi mangrove tidak optimal. Mangrove tidak atau sulit tumbuh  di  wilayah  pesisir  yang  terjal  dan  berombak  besar  dengan  arus  pasang
surut yang kuat, karena kondisi ini tidak memungkinkan terjadinya pengendapan lumpur yang diperlukan sebagai subtrat bagi pertumbuhannya Dahuri 2003
Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http:www.software602.com
Pertumbuhan  komunitas  vegetasi  mangrove  secara  umum  mengikuti  suatu pola  zonasi.  Pola  zonasi  berkaitan  erat  dengan  faktor  lingkungan  seperti  tipe
tanah,  keterbukaan  terhadap  hempasan  gelombang,  salinitas  serta  pasang  surut. Pembentukan zonasi dimulai dari arah laut menuju daratan, yang terdiri dari zona
Avicennia  dan  Sonneratia yang  berada  paling  depan  dan  langsung  berhadapan dengan  laut tumbuh  pada  lumpur  dalam  yang  kaya  akan  bakan  organik.  Zona
dibelakangnya  berturut-turut  adalah  tegakan  Rhizophora dan  Bruguiera. Zona transisi  antara  hutan  mangrove  dan  hutan  daratan  rendah  biasanya  ditumbuhi
Nypa fruticans dan beberapa spesies palem lainya Bengen 2000.
2.4 Fungsi dan Manfaat Ekosistem Mangrove